**
“Nah, Mojo, dia yang akan mengetes kamu.” Kata Ibu Widya, sembari mengangguk kecil pada lelaki bule, yang dibalas dengan anggukan pula.
Aku menoleh sebentar pada Kelvin, lelaki bule itu. Dia balas menatapku, agak songong, dagunya terangkat, dan tersenyum dengan hanya sebelah bibirnya yang tersungging.
“Emm.., kira-kira, bagaimana teknis dari tes ini, Bu?” Tanyaku.
Ibu Widya merespon pertanyaanku dengan bangkit dari kursinya.
“Ayo kita ke atas,” jawabnya.
“Let’s go to the top,” katanya pula pada Kelvin.
Beberapa saat kemudian, aku berjalan mengikuti Ibu Widya dan Kelvin. Mereka melangkah beriringan di depan, sementara aku membuntut di belakang.
Cara berjalannya Ibu Widya itu sibuk sekali. Tangan kirinya memegang berkas hasil interview aku dengan manajer HRD tadi.
Sementara tangan kanannya mengendalikan ponsel, plus mulutnya yang nyinyir menelepon entah
**Aku membatalkan niatku untuk pergi ke Kampung Melayu, tempat tinggal Iroh. Tadi sore ia menelepon aku, memberi kabar bahwa hari ini ia kerja lembur.Seperti biasa ia mendapat shif kedua, masuk kerja pukul dua siang, keluar pukul sepuluh malam. Jika lembur, maka ia pulang pukul dua belas malam atau lebih.“Mikhail, bagaimana, Roh?” Tanyaku tadi di telepon.“Jangan khawatir, Mas. Dia ada yang jaga kok di penitipan. Ada pengasuh yang standby sampai 24 jam.”“Kamu hati-hati ya pulangnya.”“Iya, terima kasih, Mas. Kamu juga hati-hati. Eh, eh.., bagaimana tadi hasil interviewnya di Arung Corp?”“Excellent, Roh, aku diterima kerja di Arung Bahari Corp, jadi ajudannya Ibu Widya itu.”“Syukurlah.”Di sini, di warung bandrek pinggir jalan ini aku tersenyum tipis, terkenang pada jawaban yang aku beri tadi pada Iroh.Aku tidak mau menceritakan semuanya
**Malam harinya..,Widya masih bengong di tepi sebuah balkon di depan kamarnya. Ia menatap langit seakan mau pergi ke salah satu bintang di atas sana.Tangan kiri Widya bergerak perlahan, mendekatkan cangkir berisi teh melati pada bibirnya yang merah dan ranum.Ia menyeruput tehnya dengan pandangan mata yang masih tertambat di langit. Aroma melati dan rasa kelat manis dari teh mengantarkan pikirannya semakin jauh.“Apa yang sesungguhnya dilakukan Mojo tadi siang di rooftop Arung Tower?” Batinnya kembali bertanya pada diri sendiri.“Dan apa yang sesungguhnya terjadi pada Kelvin? Oh, Kelvin sayangku.., syukurlah kamu tidak kenapa-napa. Kalau kamu terluka, aku pasti akan memenjarakan si Mojo itu.”Widya masih saja tidak habis pikir. Ajang pengujian, perploncoan, sekaligus pemberian pelajaran bagi Mojo yang telah ia rancang bersama Kelvin ternyata berlangsung dengan amat cepat. Tanpa ia mengetahui apa
**Fandi sudah selesai memakaikan sarung tinju pada Kelvin. Menyusul kemudian aku yang juga selesai dengan sarung tinjuku.“Allright, guys..,” ujar Fandi setengah berteriak, sembari berjalan menuju ke tengah.“Kelvin dan Mojo, mari sini, mendekat ke sini.” Panggilnya pada kami berdua. Kedua tangannya juga melambai berbarengan, memanggil kanan dan kiri.Kelvin berjalan mantap menuju sisi Fandi. Aku yang gugup pun berjalan mendekat pula dengan langkah yang enggan.Lalu Ibu Widya.., itu, dia di situ, duduk bersilang kaki sambil bersedekap di atas sebuah pipa besar.Setelah aku dan Kelvin berhadapan, Fandi melanjutkan dengan sebuah briefing kecil.Jujur kuakui di sini, dia memang pantas menjadi seorang wasit. Dia pasti tahu banyak hal tentang pertandingan beladiri.“Sesuai permintaan Ibu Widya, kalian akan bertanding di bawah pengaturan dan pengawasan saya.” Kata Fandi, seraya menatap wajahku dan
**“Nah, Mojo, dia yang akan mengetes kamu.” Kata Ibu Widya, sembari mengangguk kecil pada lelaki bule, yang dibalas dengan anggukan pula.Aku menoleh sebentar pada Kelvin, lelaki bule itu. Dia balas menatapku, agak songong, dagunya terangkat, dan tersenyum dengan hanya sebelah bibirnya yang tersungging. “Emm.., kira-kira, bagaimana teknis dari tes ini, Bu?” Tanyaku.Ibu Widya merespon pertanyaanku dengan bangkit dari kursinya.“Ayo kita ke atas,” jawabnya. “Let’s go to the top,” katanya pula pada Kelvin.Beberapa saat kemudian, aku berjalan mengikuti Ibu Widya dan Kelvin. Mereka melangkah beriringan di depan, sementara aku membuntut di belakang.Cara berjalannya Ibu Widya itu sibuk sekali. Tangan kirinya memegang berkas hasil interview aku dengan manajer HRD tadi.Sementara tangan kanannya mengendalikan ponsel, plus mulutnya yang nyinyir menelepon entah
**“Tidak apa-apa, Bu,” sahutku enteng. “Usir saja saya sekarang.”Kontan saja Ibu Widya terperangah. Kedua matanya melotot seperti mau marah. Tapi hanya sebentar, karena mendadak redup lagi.Ancamannya terhadapku tidak berefek. Sikap santaiku benar-benar ‘nothing to loose’ di depannya kini. Tidak menjadi ajudannya toh aku juga tidak rugi.Ibu Widya masih memandangi aku dengan sorot matanya yang kalah itu. Kentara sekali wajahnya yang tampak menahan kesal.Ia melirik sekilas ke arah lelaki bule seakan butuh dukungan moriil. Kemudian, ia lanjut berujar padaku.“Hemm.., lumayan impresif juga kamu ya.” Senyumnya agak sinis.“Okelah, oke saya tidak akan mengusir kamu. Saya anggap saja kamu ngawur, yang ternyata kebetulan itu benar.”“Nah sekarang saya ingin tanya. Apa yang akan kamu lakukan dalam rangka menjamin keamanan dan keselamatan saya, di mana pun saya berada?
**“Bule?” Batinku heran.Aku segera teringat pada gosip sewaktu berada di dalam lift tadi. Aku terus mencari benang merah dari gosip itu dengan keberadaan lelaki bule itu.Dengan cara yang tersamar aku melirik ke kiri, berusaha menakar si bule. Menurutku, dia cukup menarik untuk orang kebanyakan.Sosoknya terbangun dari kombinasi postur dan tulang rahangnya yang khas Kaukasoid, dengan wajah dan mata khas Skandinavia yang dingin.Ganteng, lumayan. Badannya tinggi, dan ia tak perlu berdiri untuk bisa aku bandingkan dengan tinggi badanku sendiri.Kulitnya, apa yang bisa kusebutkan, putih pucat kemerah-merahan. Rambutnya agak pirang.Terakhir bola matanya, entahlah, terlalu jauh aku melihat dari posisiku ini.“Dasar kutukupret!” Gerutuku dalam hati.Sudah masuk ke ruangannya begini, sudah dipersilahkakn duduk, eee.., aku malah dicueki!Ibu Widya itu malah meneruskan perbincangannya denga