**
Setelah itu, aku akan bersalto untuk melompati tubuhnya, dengan tujuan menghindari arah tembakan pistol andai dia melakukannya dari posisi terjatuh tadi.
Ketepatan, itu kuncinya, dan aku harap masih memilikinya.
Beberapa detik aku menunggu reaksi lanjutan, ternyata tidak ada. Si penodong di belakangku sepertinya sedang bimbang.
“Apakah ia terpengaruh dengan gertakanku tadi?” Batinku.
Aku lantas membalikkan badanku. Kami pun berhadap-hadapan. Kedua mata kami saling beradu pandang. Dia dengan pistolnya yang teracung, dan aku dengan kedua tangan yang masih terangkat.
Rupanya dia seorang lelaki dengan penampilan dan citra diri yang lazim seperti orang kebanyakan. Aku tidak melihat kesan yang jahat dari raut wajahnya itu.
Sehingga, dengan senjatanya yang sedang teracung ini, dan semua siasatnya yang menggiringku ke sini dengan begitu tenangnya, aku bisa mengambil kesimpulan.
Bahwa dia, adalah seoran
**Lalu, dengan segenap rasa tega ia pun menembak aku!Ceklek..!Tentu saja, suara itu membuat si penodong terkejut bukan kepalang. Pistol ternyata tidak meletus. Ia menatapku sekilas dengan penuh amarah.Sementara aku hanya bereaksi dengan mengangkat bahu dan memencongkan sedikit bibirku.Si penodong itu masih tidak percaya dengan senjatanya sendiri. Ia pun berusaha menembak aku lagi.Ceklek, ceklek, ceklekk..!Aku yang tengah dibidik, bersikap anteng saja. Malah kemudian, dengan santai aku menggigit-gigiti kuku jari tanganku.Si penodong begitu terkesiap dengan pistolnya sendiri. Ia kesal bercampur panik ketika kemudian dengan cepat ia memeriksa magasen peluru.Setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, sadarlah dia sekarang, bahwa pistolnya kosong. Sadar juga dia sekarang, bahwa lagi-lagi dia tertipu olehku!“Kurang ajar!” Bentaknya marah. Ia maju dan sontak menerjang aku lagi.
**“Tapi dari jarak sedekat ini, seekor lalat pun tidak akan luput dari bidikanku!” Ucapku sambil memicingkan satu mata, untuk mengepaskan bidikan pistol tepat di keningnya.Sadar dirinya telah kalah dalam adu gertakan, tiba-tiba si penodong itu menyerang aku. Zettt..!Ia menerjang dan melakukan sliding, lalu dengan kedua kakinya ia menggunting kedua kakiku.Aku terkejut bukan kepalang. Terlambat!Kedua kakiku sudah berhasil diguntingnya, hingga kemudian aku pun terjatuh dengan telengas. Brug! Usahaku untuk bangkit rupanya juga kalah cepat.“Hiyaaakh..!”Si penodong langsung lompat mendahului aku. Ia menindihku dengan posisi mount yang kurang sempurna. Sehingga usahanya untuk merebut pistol di tanganku pun gagal.Aku langsung bereaksi dengan menggelinjang ke samping. Tubuh si penodong pun ikut terdorong sehingga aku bisa..,“Eh, apa ini??” Pekikku dalam hati.Ternyata, tangan ka
**Setelah itu, aku akan bersalto untuk melompati tubuhnya, dengan tujuan menghindari arah tembakan pistol andai dia melakukannya dari posisi terjatuh tadi.Ketepatan, itu kuncinya, dan aku harap masih memilikinya.Beberapa detik aku menunggu reaksi lanjutan, ternyata tidak ada. Si penodong di belakangku sepertinya sedang bimbang.“Apakah ia terpengaruh dengan gertakanku tadi?” Batinku. Aku lantas membalikkan badanku. Kami pun berhadap-hadapan. Kedua mata kami saling beradu pandang. Dia dengan pistolnya yang teracung, dan aku dengan kedua tangan yang masih terangkat.Rupanya dia seorang lelaki dengan penampilan dan citra diri yang lazim seperti orang kebanyakan. Aku tidak melihat kesan yang jahat dari raut wajahnya itu.Sehingga, dengan senjatanya yang sedang teracung ini, dan semua siasatnya yang menggiringku ke sini dengan begitu tenangnya, aku bisa mengambil kesimpulan.Bahwa dia, adalah seoran
**“Kalau kamu tidak ingin Widya Wibisono bos kamu itu celaka, turuti kata-kataku!”Aku terkejut setengah mati. Aku mau menoleh ke belakang, tapi tidak bisa karena sudah terlanjur ditodong oleh sebuah senjata yang menempel di pinggangku.“Sepertinya, ini pistol!” Batinku yang sontak cemas luar biasa.Aku melirikkan mata, untuk melihat siapa penodong di belakangku lewat kaca-kaca mobil yang terparkir. Berhasil, lirikan mataku bisa melihat sosok penodong itu.Dia satu orang, berpostur tegap dan berambut pendek. Feeling-ku benar, dia menodong aku dengan menggunakan pistol!Nyess! Begitu rasanya di dalam hatiku ini. Seperti ada sekarung es batu yang secara tiba-tiba membekukan jiwaku.“Angkat tangan kamu!” Perintah si penodong dengan suara yang cukup pelan dan juga tenang.Aku menyesali diri sendiri yang kali ini kurang waspada. Maka dengan gerakan yang enggan aku pun mengangkat kedua tanga
**Mbak Vera mengernyitkan keningnya. Beberapa saat ia masih menimbang-nimbang permintaanku barusan.“Tidak sulit kan, Mbak?”“I.., iya sih. Tapi, yang Mbak pikirkan adalah, cara masuknya itu lho. Kan, lucu juga, kalau tiba-tiba Mbak menelepon Kelvin, terus ngomong, meminta dia untuk menikahi Miss Widya. Yang pasti tidak etis.”“Kalau untuk yang itu, terserah Mbak saja bagaimana baiknya,” sahutku.“Mbak bisa masuk, misalnya, pura-pura salah pencet nomor waktu mau menelepon Miss Widya.”“Atau, Mbak bisa pura-pura bertanya tentang jadwal ketemuan mereka berikutnya, begitu. Nah, terus, Mbak bisa ngoceh sana-sini.”“Kemudian Mbak bisa mengorek keterangan dari Kelvin itu. Sambil dibawa bercanda, kapan nikah, kapan lamaran, semacam itu.”“Tapi..,” Mbak Vera tampak masih ragu. “Kalau hasilnya nanti tidak sesuai dengan keinginan kamu, bagaimana?&r
**“Iya? Kisah nyata?” Tanya Miss Widya lagi, sambil tersenyum-senyum menahan geli.“Kalau iya, kenapa? Dan kalau tidak, kenapa?” Tanyaku pula.“Kalau iya, saya jadi penasaran sama yang setengah meter di rumah itu, hahaha..!”Aku manyun.“Jorok,” ujarku pelan.Sekonyong-konyong Miss Widya mendekati aku, lalu dengan gemas ia mencubiti pangkal lenganku.“Kamu yang jorok, Gending! Hahaha..!”Ish, ish..! Sudah mulai mencubit dia!“Cerita kamu.., cerita kamu.., hahaha.., sumpah, kocak banget!”“Cara kamu bertutur juga enak. Sampai-sampai semua pentonton terbawa suasana.”“Pertama-tama, serius. Tapi endingnya, unpredictable, dan cerdas. Kamu bisa menceritakan sesuatu yang jorok tanpa membuat tema itu jorok.”Biasa saja, sahutku dalam hati. Aku hanya salah satu dari sekian banyak laki-laki yang kelak akan menceri