Share

Bab 4. Suara Itu

Jantung Sally berdebar tidak karuan. Hidupnya sudah penuh dengan ketidak adilan tapi kenapa memilih suami pun ia tidak berhak.

Sally berusaha berdiri meskipun lututnya terasa lemas. Pemuda itu menghampirinya dan mengulurkan tangan.

“Namaku Ben.” Ucap pemuda itu menatap Sally.

“Sa-Sally.”

Dalam keluarga Sally hanya Briana dan Dania yang tersenyum bahagia melihat pemandangan yang tengah terjadi diantara mereka saat ini. Sedangkan Carol dan Raka sendiri nampak menyembunyikan kesedihan mereka.

Jangan ditanya bagaimana perasaan Sally saat ini melihat wajah pemuda yang akan dijodohkan dengannya. Pantas saja Dania tidak bersedia dijodohkan dengan anak dari konglomerat ini, ternyata pemuda ini memiliki kekurangan dari fisiknya.

Di wajahnya terdapat dua guratan bekas luka bakar bahkan hampir menutupi pipi juga bibirnya. Mungkin bagi Dania sosok pria dihadapan Sally saat ini layaknya seorang manusia berwujud monster menyeramkan. Namun saat mata Sally menatap mata Ben, entah mengapa jantungnya mulai menggila bahkan wajah menyeramkan Ben seperti tertutup dimatanya. Seakan mata itu mengingatkannya akan seseorang yang selama ini mengisi hatinya dan belum sedikitpun dihempasnya keluar meskipun tidak ada kejelasan dengan perasaannya itu.

“Jadi kamu mau kan menikah sama Ben, Sal? Meskipun kekurangannya secara fisik tapi Ben ini pewaris beberapa perusahaan Pak Samuel.” Ucap Briana tanpa memberi kesempatan Sally untuk mundur sekaligus menyadarkan Sally dari lamunannya itu.

“Iyah, aku mau nikah sama Ben.” Masih menatap mata Ben.

Pemuda itu juga menatap mata Sally dengan perasaan yang sulit diungkapkan.Ben tercengang mendengar jawaban Sally yang langsung setuju.

Katakanlah otak Sally sudah tidak waras, tapi mata itu seolah menghipnotis kesadarannya. Mendorong jiwa yang merindu seakan bertemu dengan pandangan yang selalu ia nantikan.

“Terima kasih kamu mau menerima putra kami jadi calon suami kamu, Sal. Betul apa yang dikatakan orang-orang kalau putri bungsu Pak Raka ini memang hatinya seperti malaikat.” Ucap Pak Samuel tersenyum lega.

Sedangkan Dania nampak merengut seolah tersindir dengan penuturan calon mertua Sally itu.

“Kalau begitu, kita bisa bicarakan masalah mahar kan, Pak.” Seru Briana tidak sabaran.

“Soal itu biar jadi urusan Ben dan Sally saja. Sebagai orang tua, kami mengerti kalau Ben dan Sally harus mengenal satu sama lain lebih dulu. Mungkin tahun depan baru kita langsungkan pernikahan mereka. Minggu depan kita datang kesini lagi untuk mengikat Sally sebagai tunangannya Ben.” Ucap Reina, ibu dari Ben.

Briana mendengus sedikit tidak suka dengan ide dari orang tua Ben itu, sepertinya ia harus lebih bersabar untuk mengeruk harta keluarga Ben. Kalau bisa ia juga rela dijadikan istri kedua Pak Samuel. Lihat saja kelakuan Briana setiap kali bertatapan mata dengan papa Ben, terlihat jelas sedang memancing perhatian pria paruh baya itu.

“Kalau begitu kita pamit dulu.” Ucap Reina yang menangkap gelagat Briana dan membuatnya kesal.

Ben menatap Sally kembali. “Boleh minta nomor kontak kamu? Biar kita bisa chat saling kenal?”

Sally mengangguk kemudian menyebutkan nomor kontak dirinya.

Setelah Ben dan para tamu pulang, Carol langsung menghampiri putrinya. Wajahnya jelas sekali tidak terima putrinya harus menikahi pria dengan wajah penuh luka bakar itu.

“Kamu yakin mau nikah sama, Ben?”

Briana yang mendengar pertanyaan Carol langsung naik emosinya. “Hei! Jangan coba-coba menghasut putrimu untuk tidak jadi menikah! Bagus ada konglomerat yang masih mau nerima anak haram kayak anakmu itu!”

Lalu mengusap lengan Sally dengan lembut, berbeda sekali dengan sikapnya Briana sebelum ini. Jelas saja karena mulai sekarang Sally adalah pohon uangnya.

“Sally sayang, Mama suka kamu menurut. Kamu tidak akan menyesal menikah dengan Ben. Muka rusak bisa dioperasi lagi kan, jadi kamu ngak usah khawatir.”

Kesal mendengar ucapan Briana, Carol akhirnya meluapkan kekesalannya. “Kalau pikiran Kak Bri seperti itu, kenapa ngak Dania saja yang dijodohkan dan Viko bisa kembali sama Sally. Ben punya banyak uang, ajak saja operasi plastis, beres kan.”

“Ma..” Sally mengusap punggung Carol yang benar-benar tidak terima dengan nasib putrinya.

“Heh, Tante tahu diri dong. Aku sama Ben itu jelas ngak selevel. Udah jelek, pakai bajunya norak. Mana mungkin aku gandeng cowok cupu begitu!” Seru Dania ketus sama sekali tidak memperlihatkan rasa hormatnya pada Carol.

Sedangkan Raka tidak bisa berbuat apapun, ia hanya bisa menatap sedih nasib putri sambung yang sudah dianggap sebagai putrinya itu.

“Udah ngakpapa, Mah. Aku capek mau mandi dulu yah.”

Sebelum Sally masuk ke dalam kamarnya, ia mengusap bahu Raka. Meskipun ia tahu Raka bukan ayah kandungnya namun Sally sudah menganggapnya seperti papa kandungnya sendiri dan rela berkorban untuk Raka. Tanpa pria ini, mungkin dirinya dan sang mama akan menjadi gembel jalanan.

Sally, Raka dan Carol selalu makan malam di dapur di tempat berbeda dengan Briana dan Dania. Mereka dilarang menyentuh meja makan mewah bertatahkan marmer murni itu sejak Raka sakit. Hanya kalau ada tamu yang datang atau orang kantor yang menjenguk Raka, mau tidak mau Bri mengijinkan suaminya di sana.  

Carol dan Raka tidak hentinya menatap wajah putrinya yang terlihat tidak terganggu sama sekali dengan perjodohannya.

“Sal, kita masih bisa pergi dari sini. Uang tabungan Mama masih cukup buat kita ngontrak rumah. Papa juga keberatan kamu dijodohkan sama Ben. Kamu masih bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik lagi dari Ben.”

Sally tersenyum menanggapi kekhawatiran sang mama. “Aku ngakpapa kok, Mah. Lebih baik menikah dengan pemuda seperti Ben yang punya kekurangan daripada menikah dengan pria yang hanya melihat perempuan dari fisiknya saja.”

“Kamu yakin Ben itu orangnya baik? Kalian juga baru ketemu tadi kan. Jangan bilang karena mata dan suaranya mirip dengan Sean.”

Tebakan Carol benar sekali langsung mengena pada sasaran. Hal yang sama dirasakan Sally saat menatap mata Ben dan mendengar suaranya meskipun suara Ben lebih berat dari suara Sean.

Melihat sikap putrinya, Carol tahu kalau ucapannya benar. “Jangan jadikan Ben sebagai pelampiasan cinta kamu dari Sean, Sal. Kalau memang kamu memilih Ben, Mama harap kamu juga menerimanya sebagai seorang Ben dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukan karena Sean.”

Sally tersenyum menanggapi penuturan dan dapat merasakan kekhawatirannya.

“Mama sama Papa jangan khawatir. Aku ngak kenapa-napa kok. Waktu lihat Ben, berasa nyaman aja terlepas dari mukanya yang terkena luka bakar. Kan Tante Bri juga bilang bisa bawa Ben nanti operasi plastik buat nyembuhin luka nya dia. Lagian juga baru tunangan, nikahnya masih setahun lagi. Masih ada kesempatan buat saling kenal dulu.”

Carol nampak menghela nafas masih belum ikhlas menerima keputusan putrinya. Namun Sally sudah dewasa dan ia hanya bisa menasehati putrinya, segala keputusan ada ditangan Sally. Carol percaya kalau Sally bukanlah gadis yang bisa membuat keputusan seenaknya tanpa berpikir jernih.

Di dalam kamar tidurnya, Sally melihat sinar di layar ponselnya berkedip tanda pesan masuk.

Sambil bersandar ia melihat pesan yang masuk.

“Hai, Sal. Ini nomorku Ben. Kamu catat yah.”

“Iya.”

Setelah itu Ben tidak lagi mengirim pesan balasan.

Sally memandang ke atas lanit-langit kamarnya, pikirannya berkelana memikirkan kisah masa lalunya dengan Sean. Tidak banyak namun setiap hal yang sempat dilaluinya bersama Sean selama setahun begitu berarti dan masih jelas teringat.

Ia mengangkat tangan kirinya, mengusap gelang yang sudah lama melingkat di sana. Tanda mata terakhir dari Sean saat mereka resmi berpacaran dulu. Gelang itu masih terlihat seperti baru karena Sally selalu merawatnya dengan hati-hati,

Sally mengambil ponsel miliknya kemudian dengan kesadarannya ia memotret tangan kirinya dengan langit-langit kamar sebagai alasnya. Kemudian ia memasukkan foto tersebut dalam sosial media miliknya dengan tulisan ‘Andai waktu boleh diulang kembali, mungkin aku akan meminta kejadian yang berbeda.’ Kemudian ia memasukkan lagu Dan Lagi yang dinyanyikan oleh Indra Sinaga dari grup Lyla.

Air mata Sally jatuh kembali terbuai oleh kata-kata dalam lirik lagu tersebut. Seakan menyiratkan kata yang terpendam darinya untuk Sean. Haruskan dirinya berhenti menanti sampai disini, meskipun hatinya masih tidak mampu untuk menghempas nama Sean dari situ.

Tangisan dalam diam Sally terusik dengan suara dering ponselnya. Tanpa berniat melihat siapa yang menghubungi, Sally langsung menggeser tombol hijau mengangkatnya.

“Halo.”

Mendengar suara serak Sally, sang penelpon pun kebingungan khawatir telah terjadi sesuatu pada gadis itu.

“Sally, kamu kenapa?”

Mata Sally membola mengangkat tubuhnya karena terkejut dengan suara di balik ponsel. Apakah ia tengah berhalusinasi karena sedang menangisi pria yang dirindukannya.

‘Suara itu!’

Ia mematung dengan detak jantung menggila seakan sosok Sean ada di balik suara itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status