Broto berhenti tertawa dan berkata, "Dengan apa kamu membayar hutang bapakmu, hah?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Saras menjadi bingung, ia membenarkan ucapan juragan Broto yang setelah liter itu.
'Betul juga ucapan Broto, aku bayar pakai apa? Buat makan saja kami sudah,' batin Saras.
Melihat Saras yang terdiam seribu bahasa, Broto lalu bicara lagi, "Baiklah, aku akan berbaik hati padamu, aku kasih waktu satu bulan untuk berpikir, dan dalam satu bulan itu, kalau kamu bisa bayar hutang bapakmu? Aku akan lepaskan kamu. Tapi, kalau kamu tidak bisa bayar, maka kamu harus jadi istriku! Mengerti wong ayu?"
Saras memandang ke arah Broto tajam, tatapan matanya seakan ingin menghujam jantung pria yang menjijikkan itu.
"Aku tidak mau menikah denganmu!" seru Saras dengan suara sengit.
"Walah, lek marah kamu itu tambah cantik, lo! Hehehe!" Broto mencoba menggoda Saras.
Saras tidak merespon ucapan Broto, ia memalingkan mukanya ke arah lain, tapi melihat perlakuan Saras yang seperti itu, hati Broto semakin gemas padanya.
"Wong ayu, baiklah akan bersabar, aku tunggu sampai hatimu terbuka untukku, jangan marah ya! Hehehe!"
Suara tawa Broto membuat Saras semakin jijik pada Broto, Saras tak bisa menahan amarahnya, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.
"Datanglah, satu bulan lagi," ucap Saras, "bulan depan aku akan bawa uang untuk membayar hutang bapakku!" imbuhnya.
Broto manggut-manggut kepalanya sambil mengusap janggutnya, "Baiklah! Aku akan datang satu bulan lagi ke sini."
"Sekarang pergilah!" usir Saras.
"Iyo, wong ayu, aku akan pergi dulu. Jangan lupa janji kamu wong ayu."
"Iya!" tegas Saras.
Broto berdiri dan menatap Saras tajam, tapi Saras memalingkan mukanya, ia muak melihat wajah pria yang membuat Saras mual ingin muntah. Broto cuek aja dan melangkah menuju pintu rumah Saras, tapi sebelum langkah kakinya berada di luar pintu, Broto menoleh ke belakang sambil mengelus jenggotnya, senyuman sinis nampak di sudut bibirnya.
Di teras rumah Broto berhenti dan berbisik ke telinga pengawalnya, "Jago, awasi calon istriku dengan baik! Kalau sampai dia kabur dari sini, kamu akan aku hukum. Ngerti!"
"Baik, juragan! Siap!" jawab pengawalnya yang berbadan kekar itu.
Sepeninggal Broto, Saras termenung memikirkan masalah yang menimpa dirinya, matanya berkaca-kaca menahan gejolak hatinya yang tidak karuan.
Ibunya memegang tangan Saras sambil memandang putrinya itu, ia berkata, "Alhamdulillah, kita sudah bisa lolos dari Broto walau hanya sementara waktu, tapi dengan waktu satu bulan, siapa yang akan membantu kita?"
"Emak, jangan sedih, semua masalah pasti ada jalan keluarnya," ucap Saras mencoba menenangkan hati ibunya.
Ibunya hanya bisa meneteskan air mata. Ia terlihat sangat sedih melihat keadaan yang menimpa putrinya saat ini.
"Saras, kita dapat uang dari mana? Memangnya, siapa yang akan membantu kita?" suaranya bergetar menahan kesedihan, airnya tak hentinya mengalir deras.
Saras duduk di samping ibunya, dia memegang tangan ibunya dan berkata, "Emak, sabar saja dulu, semoga ada jalan keluarnya."
"Aku marah sama kelakuan bapakmu itu! Apa tidak cukup, mabuk-mabukkan dan main perempuan. Sekarang malah main judi, pakai taruhan besar seperti ini lagi. Dasar, bapakmu itu kurang ajar!"
"Sudahlah, Mak! Jangan pikirkan Bapak. Mak istirahat dulu saja, ya!"
"Bagaimana Mak bisa istirahat dengan tenang? Rasanya, dadanya Mak sesak nafas memikirkan masalah ini."
"Mak, aku akan mencari cara, agar kita bisa mendapatkan uang untuk membayar hutang Bapak, Mak!" ucap Saraswati mencoba menenangkan hati ibunya.
"Saras, dengan cara apa kamu bisa mendapat uang yang begitu besar, dari mana kamu akan mencari uang sebanyak itu?" ucap ibunya di sela isak tangisnya.
Saras berpikir keras, siapa yang bisa, membantunya mengangkat sedihan dan mau membantu memberi hutang untuk membayar juragan Broto. Sekilas dalam pikirannya dia teringat teman masa kecilnya yang baru datang dari merantau dari Singgapura.
"Mak, kalau aku minta izin keluar negri, boleh?" Saras menatap wajah ibunya, dia melanjutkan ucapannya. "katanya kerja di luar negeri gajinya mahal dan kita bisa cepat cari uang banyak, Mak!"
Ibunya memandang anaknya itu penuh rasa penasaran, "Saras, kalau ke luar negeri itu harus ada suratnya, kalau tidak nanti malah ditangkap sama polisi! Kamu kan nggak punya surat lengkap, gak punya paspor, nanti malah ketangkep gimana? Emak takut kalau kamu nanti ditangkap polisi, terus kamu dipenjara bagaimana dengan nasib ibu dan adik-adikmu?"
"Mak, kata temen yang sudah dari sana, dia bisa bawa aku ke luar negeri, kalau tidak ada surat, lewat bawah Mak! Nanti akan di masukkan lewat Batam, pakai kapal katanya Mak."
"Kamu yakin itu aman, Saras?"
"Aku yakin itu aman, Mak!"
"Terus, di Singapura itu kerjanya apa?"
"Katanya, disuruh merawat orang tua yang sudah lumpuh, bilangnya begitu, Mak!"
"Saras, menurutmu juragan Broto akan melepaskanmu kamu begitu saja, kalau kamu pergi?"
"Aku tidak tahu, Mak! Semoga saja dia mau melepaskan aku, kalau aku membayar hutang bapak."
"Emak juga gak mau kalau kamu jadi istri orang tua itu, dia itu tidak tahu malu, semua perempuan maunya dia tiduri, dasar gila!" maki Ibunya Saras.
"Kita, coba saja dulu, bilang ke Munifah kalau aku akan pinjam uang dan akan ikut dia ke Singapura."
"Iya, Saras. Sana bilang sama Munifah!.
"Mak, tapi jangan bilang sama bapak, takut bapak bilang sama juragan Broto. Aku takut juragan Broto akan menghalangi usahaku untuk mencari uang pinjaman."
"Baik, Ibu akan tutup mulut. Untung tadi bapakmu ikut juragan Broto."
"Inggih, Mak! Nanti, saya tak ke rumah Munifah. Aku akan tanya sama dia boleh tidak? Aku hutang dulu, buat bayar semua hutang Bapak ke juragan Broto."
"Emak doakan, Munifah mau membantu kita."
"Aamiin. Mak, aku pamit dulu ya!" ucap Saras sambil salaman meminta izin untuk pergi ke rumah Munifah.
"Iya, Saras. Emak mau istirahat dulu, dadanya Mak sakit dan sesak nafas."
"Mak istirahat saja, jangan banyak mikir, ya Mak! Biar tidak jatuh sakit, kalau Emak sakit, kasihan sama adik-adik, Mak!"
"Iya!" Ibunya berjalan ke kamar sambil berpegangan dinding rumah Saras yang terbuat dari bambu. Melihat keadaan ibunya yang terlihat kurang sehat, dia pun memapah ibunya masuk ke dalam kamar.
Kamar tidur yang sempit dengan ukuran ruangan 2x3 meter itu hanya beralaskan tikar yang terbuat dari daun pandan. Saras merebahkan tubuh ibunya di atas dipan dan membenarkan letak bantal yang terbuat dari kapas. Bantal itupun neneknya yang membuat sendiri dengan mengambil kapas yang Saras ambil dari kebun mereka dan memasukkan dalam sarung bantal jahitan tangannya sendiri.
"Emak, istirahat dulu ya."
"Iya Nak. Emak tidak apa-apa, kamu tidak usah khawatir, Emak hanya butuh istirahat sebentar saja."
"Emak jangan banyak pikiran, aku yakin akan bisa melunasi hutang bapak."
Mendengar ucapan Saras, ibunya tersenyum simpul, lalu setelah memastikan ibunya berbaring dengan nyaman, Saras lalu meninggalkan kamar ibunya dan pergi ke rumah Munifah dan berharap mendapat bantuan darinya.
"Aku berharap ada dia bisa membantuku untuk keluar dari masalahku."
Saras berjalan cepat, bahkan hampir setengah setengah berlari agar cepat sampai di rumah Munifah.
Bersambung...
"Kenapa kamu bersama Saras?" "Kenapa, kamu tidak suka?" jawab Radytia seraya menatap Reyhan tajam. Seakan tidak mau kalah dengan Radytia, Reyhan berkacak pinggang sambil menatap balik Radytia dengan pandangan yang siap tanding, "Kalau berani, kita bisa berduel di luar." "Jangan Mas." Saras memegang tangan Radytia erat-erat. Reyhan semakin cemburu melihat Saras begitu dekat dengan Radytia, padahal dengannya Saras selalu menjauh, dia juga tidak tahu sejak kapan Radytia dan Saras bisa sedekat itu. "Apa kalian sudah tidur bersama?" "Dasar gila, kamu bicara terbuka seperti itu, apa tidak malu?" sahut Saras kesal. "Malu ... kalian yang seharusnya malu bergandengan tangan di depan umum padahal dia masih istriku." Plaaakk! Saras menampar Reyhan dengan keras hingga Radytia terkejut melihatnya, dia sungguh tidak menyangka bila Saras senekat itu di depan orang banyak. "Aku bukan istrimu lagi jadi jangan sebut lagi aku istrimu. Ngerti!" Zapp! suara pukulan bogem mentah yang langsung mend
"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Saras sambil menengadah menatap Radytia."Kenapa, apa kamu tidak suka aku melihatmu?""Tidak juga sih.""Kamu cantik, pribadimu juga menarik, apa kamu mau jadi pacarku?"Saras menatap dalam-dalam Radytia, dia rasa Radytia sedang mabuk karena bicaranya ngaco, "Kamu baik-baik saja kan?""Tentu saja," jawab Radytia yang tanpa sungkan duduk di ranjang sambil menatap Saras penuh perhatian."Kenapa lihat-lihat hah! Jauh-jauh sana!""Biasanya kalau wanita bilang jauh-jauh itu tandanya suruh mendekat.""Dekat-dekat sana!" sahut Saras yang mengira Radytia bicara sungguh-sungguh, tetapi Saras tidak tahu kalau itu hanya modus Radytia untuk mendekatinya."Bagaimana, apa ini sudah dekat?"Saras terkejut dengan tindakan Radytia yang langsung mendekatinya dan bahkan wajahnya tepat di depannya hingga hidupnya bisa merasakan hidung Radytia. Saras tidak berani buka mulut karena dia baru bangun tidur dan belum gosok gigi, tapi wajah Radytia yang semakin mendekat mem
Saras menahan gejolak rindu dalam hatinya karena Reyhan sekarang sudah punya istri, sedangkan dirinya hanya ibu dari anaknya, tidak seharusnya dia berduaan dengan suami orang."Aku mencintaimu, percayalah cintaku hanya untukmu," lirih Reyhan."Maafkan aku Mas, aku tidak bisa menerimamu. Tolong kembalilah ke kamarmu, kita sudah bukan lagi suami istri, Mas sudah memilih menikah dengan Bella dan meninggalkanku jadi sekarang waktunya kita untuk berpisah."'Apa maksud kamu Dik, kita sudah lama tidak bertemu dan duku kita berpisah karena salah paham, jadi kembalilah padaku, aku tahu dulu aku banyak salah padamu, tapi mohon mengertilah keadaanku.""Maafkan aku Mas," jawab Saras sambil menepis tangan Reyhan.Mendapat penolakan dari Saras Reyhan pun terduduk lemas sambil bersandar di sisi ranjang, matanya terpenjam dan dia duduk bersila, penyesalan yang begitu besar menyesakkan dadanya."Dik, andai saja dulu aku tidak melakukan kebodohan, mungkin saat ini kita sudah hidup bahagia.""Mungkin sa
Saras sudah muak dengan perilaku Bella, terlebih mereka saat itu di kamar hotel. Langkah kakinya menuju pintu kamar lalu membuka pintu."Keluar dari sini!"Semua yang di dalam kamar memandang ke arah Saras, mereka terkejut dengan ucapan Saras yang tajam."Lama tidak bertemu, aku tidak menyangka kau sekarang lebih berani padaku," balas Bella. "Cukup sudah kau hina aku, jadi sebaiknya kau pergi."Mendengar ucapan Saras, Bella berjalan menuju tempat Saras berdiri, terlihat senyuman sinis dari sudut bibirnya. "Kau menantangku …?""Selama ini aku sudah menghindar dan pergi dari kehidupan kalian, tapi kau masih saja mengangguku, jadi untuk apa aku mengalah?""Saras, kau sudah berubah," balas Bella. "Bukan urusanmu aku berubah atau tidak, tapi kalau kau usik aku, maka aku tak akan tinggal diam!""Baiklah, aku akan pergi, tapi ingat, kalau kamu main-main dengan suamiku, maka rasakan akibatnya!"Tatapan serta ucapan Bella begitu tajam pada Saras, namun Saras bukan wanita yang gampang takluk
Saras setuju menginap di hotel, karena dirinya juga butuh istirahat setelah kemarin melakukan perjalanan dari kota Solo. Melihat perhatian Radytia, saudara-saudara Saras beranggapan bila Radytia punya perasaan khusus pada Saras. "Mbak, sepertinya Mas Radyt itu orang baik," ucap Sundari yang sedang bermain dengan Elena di atas kasur. "Baik dari mananya, bukankah kau baru kenal dia?" "Iya sih, tapi terlihat dari tatapan matanya yang syahdu saat melihat Mbak Saras." "Mbak rasa setiap laki-laki begitu adanya, mereka akan menatap dengan penuh cinta saat belum mendapatkan apa yang dia incar." "Menurut Mbak Saras seperti itu?" "Iya," jawab Saras sambil tersenyum. Saras masih ingat bagaimana perhatian Reyhan padanya saat dirinya belum menikah dengannya, namun setelah dirinya hamil, malah Reyhan memintanya untuk menggugurkan kandungan. Perasaan benci pada Reyhan waktu itu masih sangat terasa sampai saat ini. Rasa benci, rindu dan cinta bercampur aduk dalam hatinya saat ini. "Mbak, kenap
"Radyt, tolong bicara dengan Bella kalau kita cari makan hanya berdua saja," ucap Reyhan sambil memandang Radytia. "Apa maksudmu? Kenapa aku harus berbohong padanya?" "Ayolah bantu aku kali ini saja." "Hahaha!" tiba-tiba saja Saras tertawa melihat wajah Reyhan, "dasar pengecut!" lanjutnya. "Aku tidak pengecut, tapi saat ini ada Mama di rumah sakit dan Papa juga masih kritis di ICU, jadi aku tidak bisa jujur dengan mereka," jawab Reyhan. "Tetap saja kau seorang pengecut bagiku," sahut Saras dengan pandangan tajam ke arah Reyhan. "Sudah su-" belum sempat Radytia selesai bicara, ponsel yang dipegang Reyhan berdering kembali. "Radyt, tolong bicara dengan Bella," pinta Reyhan. "Aku tidak mau," jawab Radytia. "Radyt aku mohon." Radytia terlihat cuek dan asik dengan makanan yang dia kunyah, sedangkan Reyhan terlihat gelisah sambil memandang ponselnya yang berdering. "Radyt kalau Mama tahu aku makan bersama Saras, Mama bisa kena serangan jantung." Saras yang tadinya merasa kesal de