"Emak pasti capek, setiap hari kerja jualan di pasar sampai siang, dan setelah itu mencari dagangan sayur ke sawah atau kebun, kasian Emak, ia pasti lelah seharian bekerja," batin Saras.
Langkah kaki Saras bergerak cepat menuju ke rumah Munifah teman masa kecilnya. Munifah teman Saras yang sudah sukses, dia punya rumah megah dan punya banyak sawah. Munifah juga punya mobil mewah hasil kerjanya menjadi TKW di Singapura selama 4 tahun.
Rumahnya yang jaraknya kira-kira 500 meter dari rumah Saras, jadi dia tidak perlu berjalan jauh menuju rumah Munifah teman masa kecilnya itu. Sejak lulus SMA dia sudah menjadi TKW ke Singapura.
"Andai dulu aku ikut dia ke Singapura, pasti aku juga saat ini sudah makmur hidupku, tapi saat itu Bapak melarang aku pergi jauh karena Bapak ingin aku menikah saja dengan orang kaya agar dia bisa dapat uang mahar dari menantunya yang kaya, heh! Dasar Bapak ini serakah!"
"Dan sekarang malah aku jadi jaminan bayar hutang-hutangnya, sunguh nasibku kurang beruntung memiliki orang tua macam dirinya."
Sepanjang perjalanan Saras bicara sendiri, lalu langkah kakinya berhenti di sebuah rumah megah dengan halaman yang sangat luas, pagar rumahnya yang tinggi menambah gagah rumah itu. Rumah Munifah memang yang paling bagus di desa tempat tinggalnya.
Saras melihat Munifah sedang berada di teras sambil duduk di ayunan. Wajahnya yang cantik, putih bersih sekali kulitnya, rambut hitam tergerai indah, kecantikannya terpancar dengan jelas walau dari kejauhan. Munifah sekarang sudah menjadi orang kaya di desanya, Munifah cantik dan juga sangat baik hati walaupun dia sudah kaya, tapi tidak menjadikanya orang yang sombong.
'Ah, kamu cantik sekali, aku tidak menyangka sekarang dirimu secantik itu, padahal dulu kulitmu hitam dan kusam serta banyak jerawatnya," batin Saras.
"Saras! Sini ..." seru Munifah saat melihat kedatangan Saras.
Mendengar ucapan Munifah, Saras maju dan melangkah mendekati Munifah dengan senyuman manis menghiasi bibirnya.
"Saras, aku kangen!" ucap Munifah sembari menggenggam erat tangan Saras. "Duduk sini!" imbuhnya.
Saras langsung duduk saat Munifah menarik tangannya agar duduk di ayunan. Mereka berdua saling tersenyum bahagia.
Saat duduk di ayunan sejenak, Saras terhibur hatinya dia menikmati gerakan pelan ayunan itu. "Nyaman sekali hidupmu Nif, beda sekali denganku yang hidupnya sangat menyedihkan!"
Munifah yang melihat Saras bersedih, ia pun bertanya, "Saras, kenapa kamu?"
"Munifah, aku lagi ada masalah, aku rasanya ingin pergi jauh dari desa ini, Nif!" ucap Saras dengan pandangan mata yang sendu.
"Memangnya ada apa?" tanya Munifah.
Saras menunduk dan menghela napas panjang, ia seakan ingin mengeluarkan semua perasaan yang menyesakkan dadanya.
"Munifah, bapakku punya hutang dengan juragan Broto, bila aku tidak bisa membayar, maka aku akan dijadikan istri sebagai jaminan untuk membayar hutang bapakku."
"Ah, mana bisa begitu, bapakmu gak waras, ya? Memangnya bapakmu hutang uang berapa, ke juragan Broto?" Munifah kesal mendengar cerita Saras.
"Bapak hutang 10 juta, itu belum termasuk bunga 20% dari uang itu, bayangkan saja, aku membayar hutang bapakku, dengan apa? Sedangkan buat makan aja aku susah!" kata Saras.
"Terus, sekarang bagaimana?"
"Aku tidak tahu, tapi tadi juragan Broto si rentenir itu, ke rumah minta aku mengembalikan uangnya, kalau tidak, aku akan dibawa sebagai jaminan."
"Dasar orang gila! Mana bisa begitu?"
"Aku tidak tahu harus bagaimana lagi?"
"Saras, jangan bersedih, aku akan membantumu," ucapan Munifah bagaikan air hujan di musim kemarau buat Saras.
Sejenak hati Saras menjadi tenang. Saras menatap Munifah dengan mata berkaca-kaca penuh rasa haru.
"Sungguh, kamu akan membantuku?"
"Iya, aku akan membantumu!" ucap Munifah sembari tersenyum.
"Alhamdulillah, aku sungguh sangat bahagia mendengar ucapanmu, terima kasih, ya!" ucap Saras sembari memeluk tubuh sahabat tercintanya itu.
"Tapi ada syaratnya!" ucap Munifah sembari memandang tajam ke arah Saras.
"Apa syaratnya?"
"Ikut denganku jadi TKW ke Singapura. Kerja di bar seperti aku."
"Baik, aku setuju lagi pula aku sudah bosan tinggal di sini, aku ingin menjadi orang sukses seperti dirimu."
"Hehehe, aku akan membuatmu jadi orang sukses, tapi kamu harus menuruti semua ucapanku, oke!" ucap Munifah seraya tersenyum bahagia karena Saras akan ikut dengannya bekerja di Singapura.
"Munifah, kapan aku bisa ambil uangnya? Aku sudah tidak sabar untuk membayar hutang ke Broto!" tanya Saras.
"Sabar, aku siapkan uangnya dulu. Insya Allah besok sore atau siang kamu datang lagi ke rumahku dan ambil uangnya ya, Oke!"
"Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu ya!" pamit Saras sembari berdiri dari duduknya.
"Iya, sana pulanglah dulu kasih tahu sama Emak kamu ya!"
"Baiklah," Saras menjabat tangan Munifah dengan penuh kasih sayang dan Munifah tersenyum melihat Saras yang wajahnya sumringah.
"Nah gitu, kalau senyum kamu terlihat cantik Ras!" goda Munifah.
"Ah, kamu bisa aja!" Saras tersipu malu.
Mereka berdua tertawa ringan saat saling memeluk, Saras bisa merasakan ketulusan hati Munifah padanya. Sahabatnya itu memang sahabat terbaik bagi Saras.
"Baiklah, aku pulang dulu ya!" pinta Saras.
"Iya, besok kamu datang dan siapkan dokumen yang aku minta."
"Baik, aku akan siapkan."
"Saras, kamu pasti diterima oleh juragan aku, soalnya kamu baik dan juga cantik," ucap Munifah.
"Terima kasih ya! Aku akan selalu ingat kebaikan kamu. Baiklah aku pulang ya! Assalamualaikum."
"W* alaikum salam," jawab Munifah sambil melambaikan tangannya.
Saras pergi dari rumah Minifah dengan hati bahagia. Munifah yang berjanji akan membantu membayar hutang bapaknya, membuat Saras pulang dengan hati riang gembira, sepanjang perjalanan menuju rumah, Saras tersenyum bahagia.
Saat langkah kakinya memasuki pekarangan rumah, Saras heran kenapa banyak orang yang ada di dalam rumahnya, orang-orang itu sibuk mengeluarkan perabotan dari dalam rumahnya.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi?"
Setengah berlari Saras menuju halaman rumahnya yang sudah penuh dengan banyak orang. Saras heran dengan senyuman orang-orang yang berada di halaman rumahnya, mereka menyambut kedatangan Saras dengan isak tangis.
"Ada apa ini, ya Allah!" batinnya. Jantungnya berdebar kentang menyaksikan apa yang dia lihat. Sanak keluarga banyak yang menangis di halaman rumahnya.
Hati Saras semakin bingung, tatkala sampai di depan pintu rumah, di ruang tengah ada banyak keluarga dan tetangga yang sedang duduk, mengelilingi jasad yang terbujur kaku dan ditutup dengan sebuah kain batik panjang.
Saras menatap tubuh yang terbaring di tengah ruangan, "Ada apa ini? Siapa yang terbaring di sana?"
"Saras, duduklah," bisik Bulek Nuning, sepupu dari ibuku.
Bude Sumiati juga ikut menuntun Saras untuk duduk di samping tubuh yang terbaring di tengah orang-orang yang menangis itu.
"Bulek, Bude, ini ada apa?"
Pandangan Saras melihat sekeliling ruangan. Neneknya yang duduk lesu di ujung ruangan, memeluk adik perempuannya. Neneknya memandang Saras dengan derai air mata. Hati Saras semakin bingung, dia melihat sekeliling untuk mencari ibunya, tapi dia tidak melihat ibunya di ruangan itu.
Bersambung...
"Apa yang terjadi? Emakku di mana?" tanya Saras."Saras, ini Emakmu!" jawab Bulek Nuning, sambil memandang ke arah Saras dengan derai air mata."Di mana Emak Bulek?""Yang terbaring di tengah ruangan itu adalah Emak kamu."Mendengar ucapan Bulek Nuning, Saras memandang ke tengah ruangan yang terbujur kaku seseorang yang di turupi oleh kain jarik."Bulek, bagaimana mungkin? Bulek pasti salah! Aku barusan saja keluar dari rumah, aku tidak percaya!""Saras, kamu sabar ya!" Bulek Nuning menggenggam tangan Saras."Tidak mungkin itu Emak! Barusan saja, Mak bicara denganku, bagaimana mungkin, itu Emak? Tidak mungkin, Bulek!" Saras menyangkal semua ucapan Bulek Nuning."Saras, tenangkan hatimu, coba tenangkan hatimu dulu." Bulek Nuning mencoba menenangkan hati Saras."Tidak, mungkin. Itu tidak mungkin!" g
Melihat Bayu yang terguncang hatinya, Bude Sumiati mendekati Bayu, lalu memegang pundaknya."Jangan kamu yang pergi, biar orang lain yang menjemput bapakmu," kata Bude Sumiati."Aku tahu tempat judi juragan Broto, aku yang jemput Bapak, ya!" sahut Permadi.Tanpa mereka duga, Adik kecil Saras yang berumur 8 tahun itu bersuara lantang. Permadi memang tahu betul tempat bapaknya berjudi, karena Permadi yang sering di suruh ibunya untuk menyusul bapaknya bila tidak pulang ke rumah. Permadi itu anak yang pemberani. Walau masih kecil."Biar aku yang susul, Mbak!" sahutnya lagi,"Jangan. Kita tidak pergi ke mana-mana, kita di sini jaga Ibu untuk yang terakhir kalinya." tegas Saras.Bayu berdiri dari duduknya, Saras memperhatikan adiknya yang berdiri, Saras lalu bertanya, "Kamu mau ke mana?""Aku akan membuat perhitungan dengan B
Saras meraih tangan mungil adiknya. "Sundari, Bayu, Permadi, jangan bersedih, jangan menangis, masih ada Mbak Saras di sini. Kita harus relakan Emak untuk istirahat dengan tenang," ucap Saras sembari memeluk adik-adiknya dengan kasih sayang.Neneknya cuman bisa menatap cucu-cucunya dengan hati yang hancur, tidak pernah terbayang dalam pikiran akan terjadi musibah seperti ini."Oalah Menik, bagaimana nasib anak-anak kamu sekarang? Apa lagi bapaknya pergi tanpa kabar entah ke mana," ucapnya lirih sambil mengusap derai air matanya dengan sudut jarik yang ia pakai.Dalam kesedihan yang amat dalam, Saras berusaha tabah. Matanya menangis, tapi tubuh dan hatinya, ia kuat-kuatkan untuk tetap tegar di hadapan adik-adiknya.'Aku harus kuat, adik-adik butuh aku. Kuat, aku harus kuat!' kata-kata itu yang terus ia lantunkan dalam hatinya.Hati Saras semakin hancur tatk
"Mbak Saras jangan khawatir, aku akan bekerja agar dapat uang untuk membantu Mbak Saras membayar hutang bapak," sahut Bayu sembari memegang tangan kakak perempuannya itu."Tidak, Bayu! Kamu harus tetap sekolah, bagaimanapun caranya, kamu harus tetap sekolah dan menjadi orang sukses. Tolong bantu Mbak mewujudkan cita-cita Mbak.""Tapi Mbak! Bagaimana cara Mbak Saras membayar hutang Bapak?" tanya Bayu."Kita pikirkan nanti saja.""Bagaimana kalau Broto ke sini dan nagih utang?""Bayu, biarkan Mbak istirahat sejenak, pikirannya Mbak masih kacau.""Mbak, biarkan aku bekerja saja."Saras memandang ke arah adiknya dengan tatapan tajam, ia terlihat kesal tapi juga sedih. Saras lalu menyandarkan kepalanya di dinding rumahnya yang terbuat dari bambu."Bayu, Mbak ingin kalian semua, adik-adikku yang Mbak sayangi menjadi orang h
"Ya Allah, belum juga 40 hari almarhumah ibuku, namun Broto gemblung itu minta aku menikah dengan dia. Dasar manusia tak ada udelnya, harusnya nunggu sampai 40 harinya ibuku.""Tapi kalau aku tak menikah dengannya, para pengawalnya pasti akan menyakiti keluargaku.""Ya Allah, andai saja aku bisa mati, matikan saja aku saat ini, aku takut membayangkan nasibku.""Tapi kalau aku mati, bagaimana dengan adik-adikku? Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menikah dengannya?"Malam itu Saras tak bisa tidur, pikirannya kalut memikirkan nasibnya yang malang. Air matanya mengalir membasahi pipinya, bahkan kain selendang yang tersampir di pundaknya sudah basah oleh air mata.Saras merebahkan tubuhnya di atas tikar pandan yang ada di ruang tengah itu, ia bersama ketiga adiknya memang tidur di ruangan tengah, sedangkan neneknya tidur di dipan di sebelah ruang tamu.
Setelah beberapa saat, ia di kamar mandi, lalu masuklah seorang wanita paruh baya yang terlihat baik hati, ia menolong Saras mandi dan menuntun Saras ke tempat tidur."Ibu siapa?" tanya Saras lirih."Saya pengurus rumah ini, Non.""Nama Ibu siapa?""Non, jangan panggil aku Ibu, tapi panggil saja Mbok Tarni.""Mbok Tarni terima kasih ya!""Iya sama-sama, ini sudah tugas saya Non.""Sepreinya sudah Mbok ganti.""Iya Non, saat Non di kamar mandi, Mbok ganti sprei yang kotor dengan yang baru.""Mbok, badanku sakit semua dan bisakah Mbok bantu aku?""Bantu apa Non?"Saras melihat sekali lagi ke mata Mbok Tarni yang terlihat baik hati, Saras ingin minta tolong belikan pil KB agar dirinya tidak hamil dengan Broto."Mbok, belikan aku obat agar
Satu minggu kemudian...Daminah istri pertama almarhum Juragan Broto datang ke rumah Saras, dia di dampingi oleh pengawalnya yang bernama Jatmiko. Mereka datang berdua dengan wajah yang sinis, Saras yang sedang menerima mereka di ruang tamu rumahnya yang sederhana hanya tersenyum tipis.'Dua manusia tak tahu diri ini kenapa datang ke rumahku? Bikin pandangan mataku ternoda oleh penampilan Daminah yang menor, menyebalkan!' batin Saras.Daminah adalah wanita yang sombong dan suka pamer, penampilannya menor dan juga banyak perhiasan emas yang dia pakai. Daminah dijuluki toko emas berjalan."Hei, Saras! Kamu harus dengarkan aku baik-baik, ya!" Daminah membuka suara."Iya Bu.""Aku bukan ibumu, jangan panggil aku Bu!""Maaf," jawab Saras sambil menunduk, tapi dalam hati dia menahan tawa."Ada apa? Kenapa kamu senyum?"
Seorang pria tampan datang mendekat, setelah Daminah pergi bersama pengawalnya. Pria itu terlihat kebingungan. Permadi adik dari Saras baru pulang dari beli minyak goreng, ia lalu bicara dengan pria tampan itu."Maaf Mas, cari siapa ya?" tanya Permadi."Anu Dik, apa kamu tahu rumahnya Pak Sujarwo?""Ada apa cari Pakde Jarwo?""Orang itu katanya mau jual tanah jadi saya cari dia, tapi aku tak tahu pasti rumahnya di mana, karena ponselku mati gak bisa telpon dia.""Pakde Jarwo kan?""Iya Sujarwo.""Sujarwo atau Jarwo?" tanya Permadi. Bocah kecil itu memastikan siapa yang di cari orang itu."Aku tahunya dia namanya Sujarwo pedagang beras di pasar.""Oh, kalau itu betul namanya Pakde Jarwo.""Dia Pakde kamu?"Permadi mengangguk perlahan, ia lalu menunjuk sebua