“Laila ... kok ngomongnya gitu? Kamu pura-pura marah sama ibu?” tanya Ibu bersuara lembut.
“Pura-pura gimana? Dari dulu, aku gak suka pura-pura! Memangnya Ibu yang suka pura-pura! Pura-pura baik, gak taunya jahat! Udahlah, aku mau pulang!”
“Maaf, Laila ... ibu khilaf.”
“Iya.” Kumatikan sambungan telepon. Memblokir kontak Ibu. Udah gak ada urusan!Bergegas keluar ruangan. Beberapa karyawan menyapaku. Aku membalas tersenyum. Tiba di parkiran, melenggang masuk ke dalam mobil. Lalu menyalakan mesin. Pulang.
***
Mang Karman membuka gerbang. Tubuhnya setengah membungkuk. Aku memasukan mobil ke garasi. Kemudian keluar, memanggil Mang Karman. Tergopoh-gopoh suami Bi Inah menghampiri.“Ada apa, Non?”
“Jam berapa Bang Haris dan Ibunya pergi?”
“Tidak lama setelah Non Laila berangkat,” sahut Mang Karman. Kulirik mobi
Nomor Haris sudah aku blokir. Begitu pun nomor Ibunya. Setidaknya mulai saat ini bisa bernapas lega. Hidupku juga bisa lebih tenang. Tidak ada lagi yang mengganggu. Terutama diganggu dua parasit itu.Kupejamkan mata perlahan. Kantuk mulai menyerang. Menarik selimut hendak tidur. Namun tiba-tiba ponsel berdering. Panggilan masuk. Kuabaikan panggilan tersebut. Namun terus saja berdering.Mau tak mau kuraih handphone, memeriksa siapa yang menelepon malam-malam begini? Ternyata nomor baru. Sengaja tak kuangkat, langsung merijecknya. Tak lama terdengar notifikasi pesan. Dengan mata setengah mengantuk, membuka pesan dari nomor pemanggil tadi.[Laila! Kenapa nomor Ibu dan Haris kamu blokir? Eh inget baik-baik, Selama belum ketuk palu, kamu masih sah istri Haris. Masih menantu Ibu! Benar-benar gak bisa dibaikin. Haris itu udah rela merendahkan diri, masih saja ingin cerai! Ooh ... Jangan-jangan kamu selingkuh dari Haris ya? Makanya ingin cepat-cepat cerai??]
“Tiga bulan lalu, saya kerja di perkebunan teh.” Salma mulai bercerita. Tatapannya menerawang.“Saya asli Majalengka, kerja di situ karena diajak Bibi. Bibi saya asli Bogor. Singkat cerita, pas saya mau ambil gaji pertama, ketemu sama Kang Haris. Awalnya cuma ngobrol biasa, lama-lama ... Kang Haris bilang dia suka sama saya. Cinta sama saya.” Salma menjeda cerita. Mengembuskan napas panjang.“Sebulan lalu, dia datang ke rumah Bibi malam-malam. Saat itu ... Bibi dan Paman saya lagi gak di rumah. Mereka nginap di rumah keponakannya yang habis melahirkan. Lalu ... saya dan Kang Haris ...Maaf, Teh ....” Aku membuang muka, mengerti dengan ucapan Salma yang menggantung.“Gak apa-apa. Lanjutin ceritanya.”“Pagi harinya, Bibi memergoki Kang Haris keluar dari kamar. Bibi marah-marah. Minta Kang Haris tanggung jawab. Kang Haris bilang, ia akan tanggung jawab. Tapi, setelah kejadian itu dia tidak pern
PoV HarisSebelumnya aku sangat bahagia, Laila menyuruhku datang ke rumahnya. Aku pikir ia membatalkan gugatan cerai. Karena menurut Ibu, sebelumnya Ibu bercerita tentang keadaan kami di sini. Ibu berpura-pura sangat menderita.“Kayaknya, si Laila berubah pikiran. Kemarin Ibu telponan sama dia. Ibu ceritain keadaan kita di sini, malah ibu lebih-lebihin. Ah, dasar si Laila bodoh! Gampang banget dibegoin. Tapi syukurlah, akhirnya dia nyuruh kita balik lagi ke rumahnya.” Cerocos Ibu sepanjang jalan.Naas, tiba di kediaman Laila, bukan penyambutan hangat yang kami dapatkan, justru kehadiran Salma, gadis pemetik teh yang sebulan lalu kurenggut keperawanannya.Di rumah Laila, tak sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Kehadiran Salma membuat bibir ini terasa kelu. Tak menyangka gadis yang kupikir sangat lugu itu berani ke kota besar sendirian. Bahkan dengan lancangnya bercerita tentang hubungan kami pada Laila. Jelas saja, Laila
PoV LailaAku bersyukur rapat kali ini berjalan dengan lancar walau mendadak. Dan yang membuatku lebih bersyukur, klien sangat menyukai hasil kerja kami. Rencananya besok syuting untuk pembuatan iklan dimulai.Aku juga tak menyangka kalau Damar sudah menyiapkan lokasi serta menghubungi artis untuk model iklan tersebut.“Jadi gimana? Jadi kan kita weekend di Bogor?” Damar bertanya saat aku melenggang menuju ruang kerja.“Kelarin dulu proyek ini dengan baik,” sahutku datar, tanpa ingin menoleh.“Aku sih yakin, bakal kelar dengan baik. Apalagi tim kita solid banget,” ucapnya optimis. Aku tetap tidak menanggapi. Pikiranku saat ini sedang terbagi-bagi. Satu sisi memikirkan perusahaan, sisi lain memikirkan sidang perceraian besok. Pak Jatmoko sudah mengabari ketika aku dalam perjalanan ke kantor, kalau besok jadwal sidang perceraianku.Aku khawatir di persidangan, Haris dan Ibunya memiliki rencana diluar per
Aku menyesap kopi tegukan terakhir. Kulirik Siska sibuk dengan ponselnya.“Cie ... yang mau nikah, gue di sini berasa Cuma pot bunga yang manis ....” Aku menyindir Siska yang tengah asik chattingan sambil senyam-senyum.“Dih, apaan lo? Garing amat?” timpal Siska sadis tanpa menoleh. Jarinya lincah mengetik tuts keyboard handphone.Baru saja hendak pulang, tiba-tiba seorang wanita berpakaian glamour berjalan ke arah meja kami. Sepertinya aku tidak asing. Semakin dekat jarak wanita itu, aku langsung mengingatnya.“Meyla?!” Pekikku sambil berdiri. Dia mengulas senyum, lalu merangkulku.“Puji Tuhan, kamu masih ingat aku, Lai ....”“Laila, Mey ....” Walau kutahu dari dulu Meyla sering memanggilku dengan sebutan Lai, tapi sampai sekarang aku masih selalu memprotesnya.Siska turut berdiri. Menyaksikan kami sedang berpelukan.“Meyla Chan?” Tanya S
“Mey, Meyla! Gimana ceritanya lo kenal ama tuh orang?” Siska menggoyangkan bahu Meyla. Aku dan Siska benar-benar tak menyangka kalau Meyla kenal Haris dan Ibunya. Meyla menoleh. Menurunkan kedua telapak tangan dari mulutnya.“Sebentar, aku mau minum dulu. Astaga, aku benar-benar shock.” Meyla menyesap Jus alpukatnya hingga habis sambil memegang dada. Dia mengembuskan napas berkali-kali. Wanita berambut panjang itu menatapku lekat.“Keputusanmu gugat cerai Haris udah sangat tepat, Lai.” Bola mata Meyla membulat. Telapak tangannya menggenggam tanganku.“Jawab dulu, gimana ceritanya kamu bisa kenal Haris dan Ibunya?” Aku makin penasaran saat Meyla berbicara seperti itu. Atau jangan-jangan Meyla juga jadi korban gombalan si Haris.“Belum lama ini, Haris dan Ibunya datang ke rumah aku. Kalian tau mereka ngomong apa?” Meyla melempar tanya pada kami.“Ngomong apa?” t
PoV HarisSelesai mengantar Tante Susi belanja, aku langsung pulang. Aku masih tidak terima dia menyebutku supir. Cuih!“Haris, kamu gak nemenin Tante ngobrol dulu? Eh, Haris, Haris tunggu!” Tante Susi mengejar, aku tetap berjalan sambil menunggu angkutan umum yang melintas.“STOP!!” Tante Susi menarik lenganku.“Kamu itu kenapa sih, Har? Dari tadi dieeeemmm ... aja? Tante tanya, cuma jawab singkat. Kamu sakit? Lagi ada masalah?” Aku memalingkan wajah. Tante Susi menggenggam tangan, kemudian mengelus pipiku. Seketika aliran darah berdesir. Panas.Kutatap wajah janda kaya raya itu, dia tersenyum manis, bibirnya sangat seksi.“Jadi, selama ini tante anggap aku supir?” Akhirnya pertanyaan itu lolos juga. Tante Susi tertawa renyah. Buah dadanya ikut bergoyang. Membuat pikiranku semakin tak menentu.“Gara-gara itu kamu marah?” Aku tak menjawab. Tante Susi m
Sudah kuduga, Haris pasti tidak hadir di persidangan. Ia lebih memilih jalan bersama Meyla. Tapi tidak apa-apa, dengan begitu surat perceraian akan cepat selesai.Usai ngobrol sebentar dengan Pak Jatmoko, aku membuka handphone.Ada pesan di grup kami bertiga. Siska, Meyla, dan aku. Grup ini dibuat atas usulan Siska semalam. Nama grupnya juga dari dia, “Three Angel’s.”[Gaess ... aku lagi sama Haris. Mau aku ajak ke salon. Mobil dia baru lho.] Meyla.[Baru ngerental. Hahaha] Aku tersenyum membaca balasan Siska.[Sok tau kamu, Boy ... dia kan pengusaha perkebunan yang sukses, lagi nge-ekspor besar-besaran.][Tapi, boong. Awokwok.][Hahaha ... bisa banget sih kamu nyindirnya. Laila mana nih? Kok dia gak nongol?][Masih jalanin sidang perceraiannya.][Oh iya aku lupa. Berarti si Haris gak dateng ke sana, ya?][Si Haris itu laki pemalas, culas, pengecut, doyan isi cangcut. Wkwkwk][Boooyyy