“Sudahlah, aku mau siap-siap ke kantor. Baiknya kalian juga segera berkemas. Sebelum aku usir tanpa membawa barang-barang.” Kataku sambil mengayunkan langkah menuju kamar. Ibu mendengus kesal. Membantu Bang Haris berdiri.
“Sudah Ibu bilang, jangan ngemis-ngemis lagi!! Kamu pasti dapet perempuan yang lebih tajir dari si Laila!!” sungut Ibu, suaranya dipenuhi luapan amarah.
Pertanyaan yang kutanyakan pada Bang Haris tadi, terjawab sudah oleh omongan Ibu. Untung saja, sejak mengetahui perselingkuhan Bang Haris melalui sambungan telepon tempo hari, Allah sudah menghapus cinta di hati ini, hilang tak berbekas.
Usai mengganti pakaian dan memakai sedikit make up, aku menenteng tas bersiap berangkat ke kantor.
Terdengar pintu diketuk. Aku mempersilahkannya masuk. Rupanya Bang Haris.
“Laila, Abang mau ambil pakaia
PoV IbuRencana yang sudah aku susun bertahun-tahun berantakan. Rencana menjadi orang yang banyak uang dan kaya raya0 abadi sepanjang masa, hancur! Sirna! Tak berbekas!Bahkan uang pemberian Laila yang aku kumpulkan, dan uang penggelapan hasil perkebunan warisan orang tua Laila sudah lenyap. Berpindah tangan pada mantan istri anakku bukan diambil tuyul atau Babi ngepet. Padahal yang aku takutkan selama ini, uang ratusan jutaku diambil oleh Babi ngepet, sampai-sampai gepokan uang itu aku lilit dengan rambut tebal. Ah, sial!!Kulihat Haris yang masih saja diam. Aku jadi bingung, kenapa Haris jadi lembek begitu? Sampai rela menjatuhkan harga dirinya. Mengemis-ngemis pada wanita sombong macam Laila.“Haris! Kamu kenapa dari tadi diam aja? Sikapmu bikin Ibu tambah kesel tau??!” Kusenggol lengan Haris. Ia tak menoleh sedikitpun. Pandangannya masih lurus ke depan.“Harusnya mobil Laila jangan dikasihin! Kalau mobil Lail
POV LailaKetukan pintu membuatku tersadar dari lamunan.“Masuk!” ucapku setengah berteriak.“Tumben ketuk pintu dulu,” Aku menyindir Siska ketika pintu terbuka. Cewek tomboy itu terkekeh. Dia melenggang santai.“Takut ganggu lo!” tukasnya sambil menutup pintu.“Elah. Kerjaan lo kan emang gangguin gue!”“Set dah, calon janda nyindir mulu ....”“Asem!!” Kulempar pulpen ke arah Siska.“Eeiitt ... yang ini jandanya galak euy!”“Diem lo! Rese ah!” Sumpah! Candaan Siska kali ini gak lucu banget. Menyebalkan!Siska justru tertawa melihat ekspresi wajahku. Ia menarik kursi, duduk bersebrangan.“Dua parasit udah lo usir?” Siska bertanya saat tawanya mulai reda. Aku mengangguk, “Udah.”“Alhamdulillah ... berarti bentar lagi lo sah dong menyandang predikat Janda Laila?” Aku melo
“Laila ... kok ngomongnya gitu? Kamu pura-pura marah sama ibu?” tanya Ibu bersuara lembut.“Pura-pura gimana? Dari dulu, aku gak suka pura-pura! Memangnya Ibu yang suka pura-pura! Pura-pura baik, gak taunya jahat! Udahlah, aku mau pulang!”“Maaf, Laila ... ibu khilaf.”“Iya.” Kumatikan sambungan telepon. Memblokir kontak Ibu. Udah gak ada urusan!Bergegas keluar ruangan. Beberapa karyawan menyapaku. Aku membalas tersenyum. Tiba di parkiran, melenggang masuk ke dalam mobil. Lalu menyalakan mesin. Pulang.***Mang Karman membuka gerbang. Tubuhnya setengah membungkuk. Aku memasukan mobil ke garasi. Kemudian keluar, memanggil Mang Karman. Tergopoh-gopoh suami Bi Inah menghampiri.“Ada apa, Non?”“Jam berapa Bang Haris dan Ibunya pergi?”“Tidak lama setelah Non Laila berangkat,” sahut Mang Karman. Kulirik mobi
Nomor Haris sudah aku blokir. Begitu pun nomor Ibunya. Setidaknya mulai saat ini bisa bernapas lega. Hidupku juga bisa lebih tenang. Tidak ada lagi yang mengganggu. Terutama diganggu dua parasit itu.Kupejamkan mata perlahan. Kantuk mulai menyerang. Menarik selimut hendak tidur. Namun tiba-tiba ponsel berdering. Panggilan masuk. Kuabaikan panggilan tersebut. Namun terus saja berdering.Mau tak mau kuraih handphone, memeriksa siapa yang menelepon malam-malam begini? Ternyata nomor baru. Sengaja tak kuangkat, langsung merijecknya. Tak lama terdengar notifikasi pesan. Dengan mata setengah mengantuk, membuka pesan dari nomor pemanggil tadi.[Laila! Kenapa nomor Ibu dan Haris kamu blokir? Eh inget baik-baik, Selama belum ketuk palu, kamu masih sah istri Haris. Masih menantu Ibu! Benar-benar gak bisa dibaikin. Haris itu udah rela merendahkan diri, masih saja ingin cerai! Ooh ... Jangan-jangan kamu selingkuh dari Haris ya? Makanya ingin cepat-cepat cerai??]
“Tiga bulan lalu, saya kerja di perkebunan teh.” Salma mulai bercerita. Tatapannya menerawang.“Saya asli Majalengka, kerja di situ karena diajak Bibi. Bibi saya asli Bogor. Singkat cerita, pas saya mau ambil gaji pertama, ketemu sama Kang Haris. Awalnya cuma ngobrol biasa, lama-lama ... Kang Haris bilang dia suka sama saya. Cinta sama saya.” Salma menjeda cerita. Mengembuskan napas panjang.“Sebulan lalu, dia datang ke rumah Bibi malam-malam. Saat itu ... Bibi dan Paman saya lagi gak di rumah. Mereka nginap di rumah keponakannya yang habis melahirkan. Lalu ... saya dan Kang Haris ...Maaf, Teh ....” Aku membuang muka, mengerti dengan ucapan Salma yang menggantung.“Gak apa-apa. Lanjutin ceritanya.”“Pagi harinya, Bibi memergoki Kang Haris keluar dari kamar. Bibi marah-marah. Minta Kang Haris tanggung jawab. Kang Haris bilang, ia akan tanggung jawab. Tapi, setelah kejadian itu dia tidak pern
PoV HarisSebelumnya aku sangat bahagia, Laila menyuruhku datang ke rumahnya. Aku pikir ia membatalkan gugatan cerai. Karena menurut Ibu, sebelumnya Ibu bercerita tentang keadaan kami di sini. Ibu berpura-pura sangat menderita.“Kayaknya, si Laila berubah pikiran. Kemarin Ibu telponan sama dia. Ibu ceritain keadaan kita di sini, malah ibu lebih-lebihin. Ah, dasar si Laila bodoh! Gampang banget dibegoin. Tapi syukurlah, akhirnya dia nyuruh kita balik lagi ke rumahnya.” Cerocos Ibu sepanjang jalan.Naas, tiba di kediaman Laila, bukan penyambutan hangat yang kami dapatkan, justru kehadiran Salma, gadis pemetik teh yang sebulan lalu kurenggut keperawanannya.Di rumah Laila, tak sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Kehadiran Salma membuat bibir ini terasa kelu. Tak menyangka gadis yang kupikir sangat lugu itu berani ke kota besar sendirian. Bahkan dengan lancangnya bercerita tentang hubungan kami pada Laila. Jelas saja, Laila
PoV LailaAku bersyukur rapat kali ini berjalan dengan lancar walau mendadak. Dan yang membuatku lebih bersyukur, klien sangat menyukai hasil kerja kami. Rencananya besok syuting untuk pembuatan iklan dimulai.Aku juga tak menyangka kalau Damar sudah menyiapkan lokasi serta menghubungi artis untuk model iklan tersebut.“Jadi gimana? Jadi kan kita weekend di Bogor?” Damar bertanya saat aku melenggang menuju ruang kerja.“Kelarin dulu proyek ini dengan baik,” sahutku datar, tanpa ingin menoleh.“Aku sih yakin, bakal kelar dengan baik. Apalagi tim kita solid banget,” ucapnya optimis. Aku tetap tidak menanggapi. Pikiranku saat ini sedang terbagi-bagi. Satu sisi memikirkan perusahaan, sisi lain memikirkan sidang perceraian besok. Pak Jatmoko sudah mengabari ketika aku dalam perjalanan ke kantor, kalau besok jadwal sidang perceraianku.Aku khawatir di persidangan, Haris dan Ibunya memiliki rencana diluar per
Aku menyesap kopi tegukan terakhir. Kulirik Siska sibuk dengan ponselnya.“Cie ... yang mau nikah, gue di sini berasa Cuma pot bunga yang manis ....” Aku menyindir Siska yang tengah asik chattingan sambil senyam-senyum.“Dih, apaan lo? Garing amat?” timpal Siska sadis tanpa menoleh. Jarinya lincah mengetik tuts keyboard handphone.Baru saja hendak pulang, tiba-tiba seorang wanita berpakaian glamour berjalan ke arah meja kami. Sepertinya aku tidak asing. Semakin dekat jarak wanita itu, aku langsung mengingatnya.“Meyla?!” Pekikku sambil berdiri. Dia mengulas senyum, lalu merangkulku.“Puji Tuhan, kamu masih ingat aku, Lai ....”“Laila, Mey ....” Walau kutahu dari dulu Meyla sering memanggilku dengan sebutan Lai, tapi sampai sekarang aku masih selalu memprotesnya.Siska turut berdiri. Menyaksikan kami sedang berpelukan.“Meyla Chan?” Tanya S