Tiba di ruang meeting, semua mata menatapku. Mungkin merasa aneh, kenapa kali ini aku telat. Biasanya datang lebih dulu atau tepat waktu. Semua ini gara-gara membahas omongan ibu mertua semalam. Aku mengatur napas, mengembuskan, lalu berdehem.
“Maaf saya terlambat tujuh menit. Silakan meetingnya dimulai,” ucapku melirik arloji. Menyimpan tas, Kemudian duduk.
Seperti biasa, Siska mengawali pembahasan. Wanita seumuran denganku itu menceritakan tentang pertemuannya kemarin dengan salah satu pengusaha pabrik Mie Instan untuk mengiklankan produknya. Alhamdulillah, perusahaan itu mempercayakan produknya pada perusahaan Advertising kami.
Aku mendirikan perusahaan Advertising atau periklanan bekerja sama dengan Siska. Dia adalah sahabat karib sejak sekolah menengah dahulu. Sampai kuliah kami tetap bersama.
“Masalahnya kita belum punya pengganti Merry yang cuti melahirkan. Jadi, siapa yang akan gantiin Merry di bidang kreatif?” tanya Siska, bimbang.
“Kenapa gak buka lowongan kerja? Gimana sih kalian?” tanyaku kecewa. Tujuh karyawanku saling pandang.
“Sudah, Bu. Tiga hari yang lalu.” Sahut Rano yang bekerja di bagian Riset Pemasaran.
“Sudah ada yang melamar?”
“Baru satu orang. Tapi baru diwisuda tahun ini. Belum ada pengalaman.”
“Ah, ribet. Cari yang sudah berpengalaman.” Tolakku langsung. Kalau menerima karyawan yang belum berpengalaman, bakal menyita waktu lama. Khawatir mengecewakan Klien.
“Gak keburu, Laila.” Jawab Siska dengan suara lemah. Dia memang aku larang memanggil dengan panggilan formal. Bahkan perusahaan ini pun dapat berdiri atas kerjasama dengannya. Hanya saja, aku dan kedua orangtuaku yang lebih banyak menanam saham.
“Klien minta dalam seminggu iklannya sudah bisa tayang. Jadi tiga hari lagi kita harus presentasi. Apalagi perusahaan itu udah ngasih uang dimuka setengah dari harga yang disepakati.” Lanjut Siska menyerahkan cek ke hadapanku. Aku mengambil cek tersebut dan melihat nominal tersebut.
“Astaghfirullah ....” Aku mendesah frustasi. Menyandarkan kepala pada sandaran kursi yang aku duduki. Bukan tidak bersyukur, tapi aku takut mengecewakan klien. Apalagi bagian kreatifnya orang baru. Tapi kalau menunggu pelamar lainnya, bisa rusak reputasi perusahaan ini karena tidak profesional.
“Ya sudah, panggil saja pelamar itu. Besok aku sendiri yang mengujinya. Ada lagi yang mau disampaikan?” tanyaku memandang satu persatu mereka.
“Kayaknya udah selesai. Nanti meeting lagi pas bagian kreatifnya sudah ada.” Sahut Siska mewakili yang lain. Aku mengangguk, mengucapkan salam, kemudian keluar ruang meeting menuju ruang kerjaku.
“Laila!” seru Siska.
“Napa?” sahutku sembari membuka pintu. Siska mengekor saat aku masuk ruangan. Wanita itu duduk di kursi yang bersebrangan dengan meja kerja.
Aku pun duduk, menyimpan tas di atas meja, kemudian menutup wajah. Pikiranku penat luar biasa. Kalau soal pekerjaan sudah biasa menghadapinya tapi kalau soal rumah tangga sangat menyita pikiran.
Selama hampir tujuh tahun berumah tangga, jarang sekali dilanda masalah apalagi masalah yang rumit. Meskipun rumah tangga sudah tidak terlalu harmonis karena kesibukan masing-masing tapi aku dan Bang Haris tetap menjaga komunikasi. Setidaknya saat kami sedang di rumah.
“Lu lagi ada masalah?” Siska bertanya, seolah tahu apa yang sedang kualami. Aku menghela napas berat. Menyandarkan punggung di kursi.
“Soal ibunya Bang Haris.” Jawabku malas.
“Kenapa lagi dia? Minta dibeliin perhiasan? Mobil baru?” cecar Siska yang sudah tahu watak ibu mertuaku yang sangat matre.
Aku menggeleng.“Kalau soal itu gue gak sepaneng kayak sekarang.”
“Udahlah ... jangan lu manjain mertua matre kayak gitu. Ngelunjak tau! Lama-lama dia bakal minta lu buat dipoligami.” Aku melebarkan mata mendengar ucapan Siska.
Tahu dari mana dia? Aku kan belum cerita. Kalau Bang Haris atau ibunya yang cerita gak mungkin. Karena dua manusia itu dari dulu tidak suka aku dekat-dekat dengan Siska. Mereka bilang, takut ketularan tomboy.
Siska memang agak tomboy. Selama kenal dengannya belum pernah satu kali pun melihat dia mengenakan rok. Mungkin Cuma sewaktu wisuda saja.
“Lu tau dari mana?” tanyaku penasaran.
“Tau apaan?”
“Kalau ibunya Bang Haris nyuruh gue milih dipoligami atau dicerai.” Siska terlonjak. Dia hampir terjatuh dari tempat duduk.
“Hah?? Serius nenek sihir bilang gitu?!” tanya Siska. Bola matanya membulat seketika.
“Jadi bener, tadi lu Cuma nebak?”
“Hooh! Gimana ceritanya dia berani bilang gitu? Halah gak tau diri amat sih? Udah numpang, dikasih makan, laki dikasih kerjaan, apa-apa lu turutin. Sekarang nyuruh lu milih dicerai apa dipoligami! Sarap dua orang itu!! Makanya Laila ... dari dulu gue sering bilang ke lu, jangan terlalu manjain dua manusia itu!!” Omel Siska panjang lebar. Napasnya memburu. Matanya melirik ke arahku. Lalu menumpu kedua tangan di atas meja.
“Sorry gue emosi. Sekarang lu cerita dah dari awal. Gedein dulu tuh AC, mendadak panas nih hati gue. Rasanya pengen banget makan orang pake sambel geprek!” pungkasnya.
“Ngaco, Lu!” Kuraih remote AC, lalu menuruti permintaan sahabatku, Siska.
“Udah, segitu. Sekarang lu mulai cerita dah!”
“Semalam pas gue baru balik kerja, tuh mertua tiba-tiba bilang, ‘kau pilih dicerai atau dipoligami’, edan kan?”
“Idih amit-amit jabang orok. Ya Tuhan ... tolong jauhkan hamba dari mertua macam mertuanya Laila. Aamiin. Terus-terus?”
Aku pun menceritakan semua yang terjadi malam itu hingga kejadian tadi pagi sebelum berangkat ke kantor.
“Dasar parasit! Dugaan lu kemungkinan besar bener! Tuh nenek sihir pasti udah nemuin cewek yang lebih tajir dari lu. Soal anak, itu mah alesan mereka doang.” Siska menanggapi dengan yakin. Sebelah kakinya ia naikan ke atas kursi.
“Turunin kaki. Cewek gak pantes kayak gitu!”
“Elah ... yang beginian lu urusin. Lanjut dah ceritanya.”
Aku memutar bola mata malas.
“Masalahnya gue belum tau siapa cewek itu.”“Gampang! Kita punya anak buah banyak. Ngapain pusing? Tinggal suruh, beres!”
Aku menimang perkataan Siska. “Gak segampang itu kali, Sis!”
Siska menghadapku intens. “Terus lu mau pilih yang mana? Dicerai? Apa dipoligami?”
“Ngapain lu nanya? Jelaslah gue pilih cerai!”
“Bagus. Biar nyaho tuh bekas laki ama bekas mertua lu! Gembel-gembel dah! Hidup Cuma numpang aja banyak tingkah!” Gerutu Siska.
“Tapi, Sis ... gue ngeri juga kalau sampe jadi janda.” Mataku menerawang. Membayangkan ada orang yang bilang.
“Janda Laila. Oh, Ya Allah ....” Cetusku bergidik. Menutup wajah dengan kedua tangan.
“Mending dibilang Janda Laila. Dari pada lu diomongin, ya Allah ... si Laila jadi istri tua.” Siska mulai mengejek. Kutimpuk ia dengan pulpen. Sue banget punya temen.
“Tau ah. Gue pusing! Lu keluar deh! Keluar!” Aku mengusir Siska, mengibas-ibaskan tangan agar ia segera keluar dari ruanganku.
“Iya-iya! Cuma saran gue sebagai sahabat, jangan sampe lu mau dipoligami! Mending lu tendang dua parasit itu!” Siska sudah keluar ruangan. Pikiranku kembali membayangkan, bagaimana nasibku setelah menyandang status Janda Laila?
PoV LailaKabar tentang kehamilanku langsung dibagikan Damar melalui media sosial. Berbagai komentar yang berisikan ucapan selamat serta doa-doa dipersembahkan untuk kami. Bahkan Mama mertuaku langsung datang ke rumah. Membawa aneka macam lauk pauk serta susu untuk ibu hamil."Ya Allah, Mama malah repot-repot," ucapku setelah mempersilakan wanita yang telah melahirkan Damar masuk ke dalam rumah."Repot apanya? Tidak, Sayang ... Mama senang bisa berkunjung ke sini apalagi ketika mendengar kabar kamu hamil." Wajah Mama terlihat lebih ceria dari terakhir kali kami bertemu."Terima kasih ya, Ma? Mohon doanya semoga kehamilan Laila selalu sehat, tidak ada masalah yang berarti. Aamiin." Mama mengaminkan harapanku. Damar sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Ia membalas satu persatu ucapan selamat serta doa-doa untuk calon anak bayi kami."Astaghfirullah ... Damar ... Kamu ini kenapa sih tidak juga berubah? Masih saja asyik main hape! Inget lho, kamu akan men
PoV LailaSemalam aku mendengar kabar tentang tertangkapnya Bu Sarnih oleh pihak kepolisian. Beruntung, Polisi langsung sigap menerima laporan Ria. Ternyata bukan hanya Ria yang melaporkan mantan mertuaku, tapi juga Mbak Susi. Wanita yang dulu pernah menjadi simpanan almarhum Haris."Jadi, semalam Ibu Sarnih sudah ditangkap Polisi, Mbak?" tanya Salma saat aku memberitahunya tentang kabar yang disampaikan Nafisa."Iya," sahutku singkat.Entah kenapa sejak semalam kepalaku pusing, badanku juga terasa lemah. Bahkan rencana aku dan Damar yang makan malam di restoran pun batal gara-gara kondisiku ini. Barang kali aku kecapekan."Kasihan sekali, sudah tua harus hidup di penjara," lirih Salma. Aku hanya mengulum senyum. Kalau Bu Sarnih dapat dikasihani dan tahu diri, tidak mungkin Ria, Nafisa dan Mbak Susi tega melakukan hal tersebut. Menjebloskan Bu Sarnih ke dalam penjara. Apalagi Bu Sarnih sangat tega membuat wajah Mbak Susi menjadi terluka.
PoV Bu SarnihLemas sudah persendianku. Berharap Mas Agung yang membayar semua makanan, justru aku yang membayarnya. Kalau tahu kaya gini, lebih baik aku pesan menu yang murah meriah saja. Semua ini gara-gara menu sialan! Mas Agung sih enak, makanannya sudah habis semua. Lah aku, masih ada dua menu yang belum aku cicipi.Kulambaikan pelayan, menyuruhnya membungkus sisa makanan lalu membayar semua pesananku dan pesananan Mas Agung. Apes sekali nasibku hari ini. Padahal sebelumnya aku sangat bahagia mendapat pujian dari Mas Agung.Keluar restoran dengan langkah gontai. Hampir enam juta aku membayar menu makanan tadi. Huh rugi sekali! Lain waktu aku akan membuat Mas Agung mengganti kerugian yang aku alami malam ini. Menghentikan taksi yang melintas, lalu masuk. Kuhempaskan bokong dengan malas. Pusing sekali, harus merelakan uang jutaanku keluar hanya karena makanan. Ah sial!"Bu, Ibu mau kemana?" Pertanyaan supir taksi mengalihkan kekesalanku. Aku meny
PoV Bu SarnihHahahha ... Hatiku sangat bahagia. Di dalam tas ini, uangku saaaaaangat banyak! Sekarang hidupku sudah banyak uang! Aku jadi orang kaya sungguhan. Hahahaha ....Menghempaskan tubuh ke atas kasur, merentangkan kedua tangan, menatap langit-langit kamar hotel.Mulai besok, aku akan mencari tempat tinggal baru. Tidak mungkin selamanya di hotel. Aku ingin mencari rumah yang dapat dicicil tiap bulan. Pembayaran tiap bulannya, aku akan mencari target-target bodoh seperti Nafisa dan Susi!Ngomong-ngomong soal Susi, sekarang dia sudah sadar belum ya? Aku tidak dapat membayangkan jika ia sudah terbangun seperti apa reaksinya. Apalagi wajahnya sangat merah, ditambah bintik-bintik. Iiih ... Menyeramkan! Belum lagi, jika Susi telah menyadari, barang-barang di rumahnya hilang! Dia pasti tambah terkejut dan frustasi. Ah ... Semoga saja si Susi jadi sakit jiwa! Hilang akal warasnya! Terus, dia masuk rumah sakit jiwa deh seperti aku dulu! Kalau mengingat tem
PoV Laila"Nafisa, sabar ya?" Kupegang pundak kanan Nafisa, menuntunnya duduk di sisi ranjang. Air mata sudah membasahi kedua pipinya."Kak! Ada apa?" Ria datang langsung bertanya, dia duduk di samping Nafisa. Meletakkan buku-buku di atas lantai. Tidak lama datang Erni. Adik ketiga Nafisa."Kak Laila, Kak Nafisa kenapa? Kenapa Kak Nafisa menangis?" Belum sempat aku menjawab, Nafisa menghambur dalam pelukan adiknya."Ria ... Maafkan Kakak ... Maafin Kakak ...." lirih Nafisa pada adiknya. Mungkin Nafisa merasa bersalah karena telah memasukkan Bu Sarnih ke rumah ini. Kasihan sekali Nafisa. Bu Sarnih benar-benar tidak berubah. Padahal dia sudah pernah mengalami gangguan kejiwaan. Ria melepaskan pelukan, menatap wajah Nafisa dengan lekat. Memegang kedua pundak Nafisa. Kakak kandung Haris itu hanya merunduk sambil terisak."Kak, ada apa? Kenapa Kakak menangis? Kak Laila kenapa Kak Nafisa menangis?"Tatapan Ria beralih padaku. Ia menu
PoV Bu Sarnih"Iya, Pak. Walaupun baru saya beli beberapa bulan lalu, tidak masalah kalau saya jual. Jadi total semuanya berapa?"Aku tidak mau mereka semua lebih lama di rumah Susi. Khawatir kalau Susi terbangun dan tetangga kanan kiri menaruh curiga. Bisa gawat kalau hal itu terjadi.Pak Kuto menyebutkan nominal hasil penjualan barang-barang elektronik milik si janda gatel. Lumayanlah, lebih dari sepuluh juta. Setelah menyerahkan sejumlah uang, anak buah Pak Kuto mengangkut barang-barang tersebut ke dalam mobil pick up."Terima kasih banyak, Bu. Kalau mau jual barang-barang elektronik lagi, jangan lupa hubungi saya," ujar Pak Kuto tersenyum. Aku hanya mengulum senyum, tidak menanggapi dengan kata-kata.Pak Kuto dan mobilnya pergi meninggalkan rumah Susi. Aku masuk ke dalam. Menyimpan uang ke dalam tas. Masuk ke kamar, melihat kondisi wajah si Susi. Ya ampun, wajah Susi seeprti Kepiting rebus. Merah merona. Terdapat bintik-bintik juga. Aku ber