Rasanya baru kali ini malas pulang rumah. Ibu pasti akan membahas hal yang sama. Apalagi tadi pagi aku sudah bilang, membahasnya nanti malam selepas pulang kerja.
Kuhembuskan napas. Membuka ponsel. Barang kali Bang Haris masih memberiku perhatian seperti dua minggu lalu.
Astaghfirullah ... Aku baru sadar, ternyata dia sudah jarang mengirim pesan w******p atau menelpon. Banyaknya pekerjaan membuatku lupa urusan pribadi.
Kurapikan berkas-berkas, memasukan ponsel ke dalam tas, kemudian keluar ruangan.
“Bu Laila!” Suara laki-laki memanggil. Aku menoleh. Ternyata Adam, karyawan yang bekerja di bagian Eksekusi Iklan.
“Iya, ada apa?”
“Cuma mau bilang, gambar untuk iklan yang tadi pagi kita bahas sudah ada.”
“Lho kok bisa? Bukannya harus nunggu kreatifnya dulu?”
“Harusnya emang gitu. Tapi kan Merry lagi cuti, udah gitu calon penggantinya juga belum berpengalaman. Jadi ya ... nanti bilamana udah ada, orang kreatif itu harus ikuti gambar yang sudah saya buat.”
Aku masih belum mengerti maksud Adam. Kenapa mendahului tugas kreatif? Ah sudahlah, terserah saja. Yang penting hasilnya membuat klien suka. Kepalaku sudah pusing dengan masalah Bang Haris dan ibunya.
“Kamu atur aja deh. Saya pulang duluan ya?”
“Iya, Bu.”
***
Benar saja, saat aku keluar mobil. Ibu mertua duduk di kursi depan rumah. Dia seolah sedang menunggu kepulanganku.
Usai menguruk salam, Ibu mertua mengulurkan tangannya untuk aku cium. Aiiih ... sebenarnya aku sudah malas. Tapi ya sudahlah, saat ini statusnya masih ibu mertua. Yang semestinya harus aku hormati.
“Pulangnya malam amat?” tanya Ibu mertua sambil tangannya membuka kipas lepit yang selalu dibawa.
“Banyak kerjaan.” Sahutku singkat, bergegas masuk ke dalam.
“Laila, tunggu!” Panggil ibunya Bang Haris. Aku menghentikan langkah tanpa menoleh.
“Bagaimana?” tanya Ibu mertua. Kini tubuhnya sudah berada di hadapanku.
“Laila mau mandi dulu, mau salat isya dulu, mau makan dulu. Nanti ya Bu bahasnya.” Pintaku sambil melanjutkan langkah.
“Kamu bilang kita bahas habis kamu pulang kerja? Sekarang malah banyak alasan. Dasar mantu tukang bohong!!”
Degh!
Dia bilang aku tukang bohong? Enak saja. Mereka berdua yang selalu membohongiku. Bang Haris dan Ibunya pikir mungkin aku gak tahu tentang ia yang selalu menggelapkan beberapa persen dari hasil perkebunan teh warisan Abi dan Umi.
Aku selalu diajarkan untuk tidak berbohong sepahit apapun kenyataan itu. Dan sekarang, seenak jidat Ibu mertua melabeliku tukang bohong!
Aku membalikan badan. Menghampiri ibu mertua yang berkacak pinggang. Kedua mataku mulai terasa panas menahan amarah.
Aku dan ibu mertua saling berhadapan. Kutelisik kedua netranya, apa masih ada kelembutan dan kasih sayang di sana, dari seorang mertua terhadap menantunya? Nihil! Yang terlihat hanya tatapan keangkuhan dan sok berkuasa.
“Kalau Ibu gak sabar ....” Aku menggantung kalimat. Menelan saliva, menghela napas, kemudian
“SILAKAN KELUAR!!” Tubuh Ibu mertua bergetar, mundur beberapa langkah. Tangan kanannya spontan memegang dada.
“Menantu lancang! Percuma kau punya wajah cantik, pake jilbab, suka salat, kalau sama orang tua gak ada sopan santun! Pantas saja Tuhan menghukummu dengan tidak memberikan anak!!”
Astaghfirullah ... ya Allah ampuni kekhilafanku. Aku merunduk lesu. Ya aku emang salah. Sudah terpancing emosi.
“Ada apa ini ribut-ribut?” Bang Haris menghampiri kami.
“Itu si Laila. Sekarang sudah berani ngebentak Ibu. Dia mau ngusir Ibu Haris.” Ibu mertua dengan lancar mengadu pada anaknya. Bang Haris langsung memeluk Ibu.
“Apa-apan kamu, Laila? Berani kurang ajar sama Ibu mertuaAa” Aku tak menjawab. Memilih masuk kamar, mandi, salat, lalu makan. Percuma meladeni mereka. Yang ada, aku bisa lepas kendali lagi.
Nanti saja baru bicaranya. Kalau memang mau mereka Bang Haris menikah lagi, silakan. Aku tidak akan mencegah atau memberi pilihan lain. Yang terpenting ceraikan aku lebih dulu.
***
Usai makan malam sendiri, aku berencana membicarakan keputusanku pada Ibu dan Bang Haris.
“Non Laila?” panggil Bi Inah. Asisten rumah tangga keluarga sejak aku masih kecil.
“Iya, Bi?”
“Boleh Bibi bicara sebentar?” tanya Bi Inah sambil kepalanya melongok ke ruang televisi.
“Boleh.”
“Tapi ... kalau Non gak keberatan, kita bicaranya di kamar Bibi aja. Maaf Non.”
Aku mengerti kemana arah pembicaraan Bi Inah. Kayaknya apa yang akan Bi Inah bicarakan itu soal Bang Haris dan ibunya.
Aku mengangguk. “Laila mau bicara di kamar Bibi. Ayok!” ajakku berjalan mendahului Bi Inah.
“Kunci aja pintunya, Bi.” Titahku. Aku yakin, yang dibicarakan Bi Inah nanti adalah suatu hal yang penting.
Aku duduk di tepian ranjang. Begitupun dengan Bi Inah.
“Non maaf ... bukan maksud Bibi ikut campur, atau mengadu domba.” Aku tersenyum mendengar penuturannya.
“Bicara saja, Bi. Gak usah sungkan. Insya Allah apa yang Bibi omongin nanti, Laila percaya.”
Bi Inah membetulkan tempat duduknya. Kentara sekali dia begitu gugup.
“Non, seminggu lalu ... Bibi mendengar obrolan Nyonya besar sama tuan Haris di kamar Nyonya besar. Nyonya besar bilang, dia punya teman arisan seorang wanita cantik keturunan korea. Katanya ... uangnya banyak, perhiasannya juga banyak. Wanita ... sos-sos- ....” Bi Inah berpikir sejenak.
“Sosialita?” tanyaku.
“Nah itu Non.”
“Terus, Bi?”
“Nyonya besar bilang, dia pengen ngenalin Tuan Haris sama wanita itu. Malahan ... Nyonya besar pengen Tuan Haris menikah sama wanita itu.”
Ternyata benar dugaanku. Ini bukan masalah anak. Perkara anak Cuma alasan mereka saja.
“Terus, Bi? Eh sebentar, kok Bibi bisa denger obrolan mereka?” tanyaku penasaran. Sebab aku tahu, Ibu mertua paling tidak mau kalau sedang ngobrol ada Bi Inah di dekatnya. Dia bilang, “Bau bawang.”
“Waktu itu Nyonya nyuruh Bibi bersihin toilet yang di kamarnya. Nyonya besar itu kan kalau bicara keras suaranya. Jadi kedengeran.”
“Oh gitu. Terus mereka ngomong apalagi, Bi?”
“Sebenarnya ... Nyonya gak mau Tuan Haris sama Non Laila cerai. Tuan Haris suruh mempertahankan rumah tangga sama Non Laila, tapi harus juga nikahin wanita itu. Biar dapat uang dari sana sini.”
Astaghfirullah ... menghadapi mertuaku itu memang harus banyak-banyak istighfar. Matrenya naudzubillah.
“Tapi kenapa mereka nyuruh Laila pilih dicerai atau dipoligami?”
“Nah itu Non ... kata Nyonya besar lagi, itu Cuma ancaman. Karena Nyonya pikir, Non Laila gak bakal mau kehilangan Tuan Haris. Soalnya Non Laila udah gak punya orang tua. Mereka pikir, Non Laila sangat butuh kehadiran mereka.”
Aku menutup mulut menahan tawa. Ada-ada aja mereka!
“Laila rasa ya, Bi. Ibu dan anak itu kegeeran. Kepedean. Emangnya mereka siapa? Laila gak selemah itu. Lagian kan, ada Bibi yang selalu temenin Laila.”
“Iya Non, alhamdulillah ... Gusti Allah masih ngasih Bibi umur panjang. Moga saja ... Bibi bisa lihat anak Non Laila kelak.”
“ Aamiin. Terus, masih ada lagi gak yang mereka omongin?”
“Ada Non. Menurut Bibi ini sangat penting.”
“Apaan Bi?”
“Apa Non Laila pernah tanda tangan dimap yang Tuan Haris sodorkan sebulan lalu?” Aku mengingat-ingat apa yang Bi Inah sampaikan.
Seingatku, waktu itu aku buru-buru pergi buat nemuin klien. Bang Haris nyuruh aku tanda tangan di atas kertas yang belum sempat aku baca. Katanya, itu persetujuan kontrak panen setahun hasil kebun teh pada pengusaha teh kemasan. Dan harus ditanda tangani pagi itu juga. Sebab siangnya Bang Haris harus ke Bogor.
“Kayaknya pernah. Kenapa emang, Bi?”
Wajah Bi Inah terlihat lesu. Pundaknya melorot ke bawah.
“Kata Nyonya Besar ... itu surat pemindahan sertifikat perkebunan di Bogor menjadi atas nama Tuan Haris.”
“APA??”
Tiba di ruang meeting, semua mata menatapku. Mungkin merasa aneh, kenapa kali ini aku telat. Biasanya datang lebih dulu atau tepat waktu. Semua ini gara-gara membahas omongan ibu mertua semalam. Aku mengatur napas, mengembuskan, lalu berdehem.“Maaf saya terlambat tujuh menit. Silakan meetingnya dimulai,” ucapku melirik arloji. Menyimpan tas, Kemudian duduk.Seperti biasa, Siska mengawali pembahasan. Wanita seumuran denganku itu menceritakan tentang pertemuannya kemarin dengan salah satu pengusaha pabrik Mie Instan untuk mengiklankan produknya. Alhamdulillah, perusahaan itu mempercayakan produknya pada perusahaan Advertising kami.Aku mendirikan perusahaan Advertising atau periklanan bekerja sama dengan Siska. Dia adalah sahabat karib sejak sekolah menengah dahulu. Sampai kuliah kami tetap bersama.“Masalahnya kita belum punya pengganti Merry yang cuti melahirkan. Jadi, siapa yang akan gantiin Merry di bidang kreatif?”
Aku menunggu Damar yang sedang serius di depan laptop selama lima belas menit.Menghela napas, beranjak menuju jendela kaca. Melihat panorama jalan raya di pagi hari.Pikiranku tiba-tiba mengawang pada pertemuan pertama dengan Bang Haris.Bugh!!Saat itu, tanpa sengaja menabrak tubuh Bang Haris di koridor kampus. Tidak ada kemarahan dari wajahnya. Ia justru tersenyum dan membantuku berdiri serta mengambil buku-buku yang berserakan.“Maaf,” ucapku membungkuk. Lagi, laki-laki berkulit putih yang berdiri di hadapanku tersenyum.“Gak apa-apa,” sahutnya. Kemudian ia berlalu. Aku pun melanjutkan langkah menuju ke perpustakaan.Tak disangka, di perpusatakaan bertemu kembali dengannya. Di sana, kami pun berkenalan.Sejak kejadian itu, aku mengetahui siapa Bang Haris. Ternyata Bang Haris kakak tingkat.
Ibu menatapku dengan bengis. Kedua matanya memerah, menahan amarah.“Lepasin tangan, Ibu! Lepasin!”“Oke!”Aku masih tetap siaga, kalau-kalau Ibu melayangkan tangannya kembali.“Mantu kurang ajar! Gak punya sopan santun!” Aku tersenyum sinis.“Aku kayak gini karena sikap Ibu. Mertua matre, gak tau diri, kasar!”Gigi Ibu bergemelutuk. Kedua tangannya mengepal.“Benar kan?” tanyaku.“Awas kamu! Ibu aduin ke Haris. Udah berani ngelawan!”“Sana aduin. Laila gak takut.” Jawabku enteng.Ibu keluar kamar. Langkah kakinya terhenti saat melihat Bi Inah sedang berdiri di sisi pintu.“Oooh ... Ibu tau ... Pasti Pembantu ini kan yang ngadu sama kamu?”Astaghfirullah ... Masih saja ngeselin. Aku menoleh.“Eh, jangan pernah ikut campur urusan kami. Ngerti? Dasar Babu!!” Maki
#POV_Ibu_Mertua Namaku Sarnih, berasal dari kampung pinggiran kota. Perkampungan kumuh tepatnya. Tapi itu beberapa tahun silam. Sekarang aku sudah berganti nama menjadi Sahrini. Biar lebih keren. Karena aku bukan lagi Sarnih si penjual gorengan keliling, melainkan wanita sosialita. Memiliki teman arisan, dan pengoleksi perhiasan. Kastaku terangakat berkat kepiawaian anak semata wayangku dalam menaklukan Laila anak tunggal pemilik perkebunan teh terbesar di Negara ini. Yang aku dengar, teh yang dihasilkan dari perkebunan keluarga Laila akan diimpor ke luar negeri. Aduhaaaii ... bahasaku keren sekali. Udah kayak orang kaya sungguhan. Kasta, sosialita, impor, bahasa asing yang dulu tak pernah aku ucapkan. Sebenarnya Haris tipikal laki-laki playboy. Dulunya kerap kali bergonta ganti pacar. Kenapa aku bisa tahu? Ya karena aku ibunya. Haris selalu bercerita tentang wanita-wanita yang ia dekati. Tentu bukan karena cinta. Semua itu karena harta.
Benda apa itu? Kok seperti gulungan rambut? Kayaknya benar rambut. Kucoba menelisik benda persegi empat yang dibalut oleh helaian-helaian rambut yang sangat tebal.“Bi, coba ambil yang itu.” Perintahku, Bi Inah mengangguk. Mengambil benda persegi panjang tersebut.Bi Inah dan Mang Karman meneliti. Mengorek benda apa sebenarnya di balik balutan rambut.“Ini gepokan uang, Non!” seru Mang Karman. Gulungan rambut disingkirkan. Terpampang jelas setumpuk uang seratus ribu. Aku heran, kenapa uang sebanyak itu dililit dengan rambut sangat tebal?“Kok dililit sama rambut? Buat apa?” tanyaku heran. Menatap suami istri yang berdiri di depanku bergantian. Sejenak kami diam.“Bibi tau, Non.” Celetuk Bi Inah. Memecah keheningan. Aku dan Mang Karman menatap Bi inah seksama. Menunggu kelanjutan ucapannya.“Katanya, kalau uang kita dililit dengan rambut. Tuyul, babi ngepet, atau
“Jangan ngomong sembarangan, Laila!” Gertak Bang Haris. Ibu memegang lengan anaknya. Menenangkan. Aku sendiri bersikap tak peduli. Acuh tak acuh. Kenapa mesti takut dengan mereka? Wong ini rumahku sendiri.“Aku serius!” jawabku menatap mereka nyalang. Enak saja, mereka memberiku pilihan. Pilihan yang jsutru sangat merugikanku. Benar kata Siska, mereka berdua memang parasit!“Ya sudah kalau itu emang maumu. Tapi kamu yang harus biayai perceraiannya!” Ibu menyela. Sudah kuduga, pasti Ibu tidak mau rugi.“Gak masalah. Yang penting sekarang kalian keluar dari rumah ini!” ucapku tegas. Jari telunjuk menjuntai ke pintu luar. Mereka pikir aku akan mengemis untuk tidak ditinggalkan? Ah, no!! Meskipun sekarang kedua orang tuaku telah tiada, tapi aku masih punya orang-orang yang peduli. Orang-orang yang sayang padaku dengan tulus.“Oh gak bisa. Sebelum ketuk palu, kami masih berhak tinggal di sini.
“Ini kopinya,” Damar datang membawa kopi pesananku.“Makasih,” jawabku singkat.“Eh, ngapain duduk di sini?” Laki-laki itu tanpa permisi duduk di kursi samping kiri.“Temenin lo lah.” Kedua bola mata Damar menatapku intens. Aku salah tingkah. Membenarkan posisi duduk.“Gak perlu. Aku pengen sendiri.” Tolakku ketus. Lagian jadi orang sok akrab banget. Kenal juga baru tadi siang. Udah sok peduli. Aku melirik ke arahnya. Damar masih saja menatapku.“Eh! Jangan liatin aku kayak gitu!!” Aku melotot Jengah! Tapi Damar bergeming. Pandangannya tak beralih.“Lo lagi ada masalah?” tanyanya. Aku memalingkan muka.Kali ini aku pilih diam. Meniup uap kopi, lalu menyesapnya perlahan. Damar masih menunggu jawaban.“Ya elah, ditanya diam aja.” Aku tak peduli. Memainkan ponsel, membuka sosial media.“Oh iya, gue u
“I-Ibu?” Terbata-bata Bang Haris memanggil Ibu.“PULANG!!!” Teriak Ibu. Aku memijat pelipis. Pikiranku seharian ini benar-benar pusing.“Siapa sih, Maaaas?” Terdengar suara manja wanita itu lagi. Aku menggelengkan kepala. Tak menyangka, suami yang selama ini aku puja, yang selalu aku banggakan, tega berbuat hal keji dan menjijikan. Semakin bulat keputusanku untuk berpisah dengannya.Di saat seperti ini, aku bersyukur, karena belum dikaruniai buah hati. Benar, Allah lebih tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.“Ibu. Kamu diem dulu.” Bang Haris menjawab pada wanitanya.“Ibu bilang, pulang sekarang! Ada hal penting yang mau Ibu omongin!” sejak mendengar desahan wanitanya Bang Haris, Ibu sudah tidak menangis lagi.Syukurlah, setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak. Tanpa mendengar tan