“Jangan mentang-mentang kamu keponakannya Siska berani godain aku ya? Aku emang janda, tapi bukan perempuan murahan yang gampang kamu rayu-rayu!!” ucapku dengan suara lantang, menatap Damar sengit. Laki-laki berkumis tipis itu berdiri. Menyeimbangkan tubuh denganku. Senyum yang terukir di wajahnya sirna. Kening Damar berkerut.
“Aku gak maksud gitu, Laila.” Tak kuhiraukan ucapan Damar. Berlalu meninggalkannya yang masih mematung. Kunaiki anak tangga menuju kamar paling ujung.
Beberapa pasang mata menatapku heran. Bahkan ada yang sempat menyapaku namun aku tetap bungkam, memilih berjalan cepat. Kubuka pintu kamar, lalu membantingnya.
Brukh!!
“Buset! Kesambet setan apa lo?” tanya Siska mengalihkan tatapannya dari laptop ke arahku. Aku duduk di sisi ranj
PoV HarisIbu dan Tante Susi beradu pandang. Kedua mata mereka saling melotot. Masing-masing tangannya mengepal. Rahang terlihat mengeras. Aku mengaruk-garuk kepala dengan kasar. Pusing menyaksikan tingkah mereka.Ibu sudah keterlaluan! Terlalu berambisi pada Meyla. Ibu lupa kalau uang lima juta yang kemarin aku berikan itu pinjaman dari Tante Susi.“Sudah, Bu! Sudah!” Aku mengalihkan Ibu dan tante Susi. Tante Susi kini menatapku.“Apa benar Haris, kamu akan menikah dengan perempuan bernama Meyla?” tatapan Tante Susi terlihat sangar. Seperti mata burung Elang yang ingin menerkam mangsanya. Aku mundur beberapa langkah. Tubuh Tante Susi terus saja meringsek hingga aku menyandar pada pintu.“Tenang, Tante ... tenang dulu. Ibu lagi emosi, wajar kalau bicaranya melantur,” ucapku sambil tersenyum.“Melantur???!! Kamu bilang Ibu melanturr?? Dasar anak durhaka! Kamu lebih memilih si J
“Bu Laila, kuenya gak dicicipi? Tenang, Bu ... kue ini gak basi kok. Gak aku kasih racun juga. Hehehe .... ” Candaan Adam membuyarkan pikiranku. Aku tersenyum canggung.“Nih, aku cicipin,” sahutku kemudian.Usai mencicipi kue pemberian Adam, aku dan Siska menuju ruang monitor CCTV.“Pagi, Neng Laila?” sapa Pak Karja, Satpam Villa.“Pagi. Pak, kunci ruangan ini di mana ya?” tanyaku pada laki-laki yang telah belasan tahun mengabdi.“Lagi gak dikunci, Neng. Barusan Bapak habis ngecek monitornya,” sahut Pak Karja.“Oh kebetulan. Kami juga mau ngecek sebentar. Ya udah, Sis. Yok kita masuk! Pak, kami tinggal dulu ya?”“Iya, Neng.”Aku bergegas menuju meja yang berderet tiga televisi. Selama ini tak pernah aku mengecek CCTV. Cuma tahu dari Ummi, kalau Abi memasang banyak CCTV di Villa.Monitor pertama, CCTV Villa pert
PoV Bu SarnihTak kusangka, anak yang sudah kubesarkan selama ini, berani melawan dan meninggalkanku. Haris lebih memilih janda genit dari pada aku, ibunya.Air mata sudah tak lagi dapat kutahan. Mengalir deras membasahi pipi. Meratapi kelakuan kurang ajar anak yang selalu kuakui sebagai anak semata wayang.Hatiku benar-benar sedih dan kecewa oleh sikap Haris. Aku yakin, Harus sudah dipelet oleh Susi. Janda genit itu memang gak tau diri. Sudah tua, masih saja deketin Haris. Aku mendesah. Menarik napas perlahan. Bagaimana pun aku tak boleh terpuruk, apalagi sampai sakit. Kalau aku sakit, siapa yang mau merawat? Haris sudah tidak bisa aku andalkan.“Bu, ibu baik-baik aja?” Salma menegurku. Aku tak menjawab.“Salma pamit pulang, Bu. Terima kasih sudah mau terima Salma di sini.” Salma menggapai telapak tanganku, lalu menciumnya.Salma telah pergi. Tinggallah aku seorang diri. Aku duduk di kursi depan. Me
Penjelasan Damar membuatku dan Siska tercengang. Kalau memang benar, saat itu Damar tertidur, pasti sepatunya diambil pelaku. Atau mungkin sengaja ingin mencari kambing hitam.Tapi kenapa harus sepatu Damar?“Lo gak bohong ‘kan?” telisik Siska menatap tajam Damar.“Ya ampun, Tan. Lo kenal gue dari kecil!! Gue gak sepengecut itu!!” Tandas Damar. Aku tahu, ia pasti sangat frustasi mendapat tuduhan seperti itu.“Tapi lo suka jahil!” Siska masih tak mau kalah.“Au dah! Terserah!” Damar berlalu. Ia meninggalkanku dan Siska.“Sis, sabar ... kita kan udah denger penjelasan Damar. Kali aja dia jujur. Nanti kita pastiin sambil lihat rekaman CCTV ini, bener gak yang diomongin dia. Oke?” Siska menarik napas. Lalu mengangguk.“Tapi gue gak akan ngediemin orang-orang yang berusaha ngehancurin perusahaan kita, Laila. Kalau perusahaan ini bangkrut, banyak orang yang kehi
PoV HarisTiba di apartemen, Tante Susi langsung merebahkan tubuh moleknya di atas kasur ukuran king size. Tak kusangka, tante Susi memiliki apartemen yang cukup mewah.“Sini, Sayang,” panggil tante Susi menjentikkan jarinya. Aku mengulas senyum sambil berjalan mendekati tante Susi yang tidur dengan posisi miring. Belahan gunung kembar wanita yang usianya hampir setengah abad itu terlihat jelas. Aku menelan saliva.“Kenapa sih masih malu-malu?” tanya tante Susi, kini jarinya membelai tanganku.“Bukan malu, Yangsus ... tapi mau ....” jawabku sembari menjawil dagunya. Tante Susi tersenyum nakal.Menit berikutnya kami sudah tenggelam dalam lautan gairah birahi yang sudah memuncak.***Pukul delapan malam, tante Susi sudah bersiap-siap pulang.“Kenapa gak nginep di sini aja sih, Yang?” Aku bertanya sembari memeluk pinggangnya dari belakang.“Malam in
Kedua tangan Siska mengepal. Kemarahan terpancar dari kedua matanya yang memerah.“Kita makan dulu yuk!” Ajakku memecah ketegangan. Damar dan siska kompak menoleh. Menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Dipandangi seperti itu, aku merasa gugup.“Sekarang kan kita udah tahu titik terang siapa pelakunya.” Aku berucap sesantai mungkin. Padahal hatiku juga sama dengan mereka. Kesal dan kecewa.Damar menarik napas. “Ya udah, gue juga lapar.” Celetuk Damar.“Mendingan lo balik dah! Sumpek gue liat muka lo!” ujar Siska sambil mematikan laptop.“Gue mau makan dulu! Rejeki gak boleh ditolak!!” Imbuh Damar, bangkit. Berjalan melewatiku menuju meja makan.“Dasar cucunguk! Songong! Maen nyelonong aja!”“Udah biarin. Lagian dari tadi lo tuh ngomeeeel ... terus. Gak capek apa tuh mulut?”“Bodo! Mulut-mulut gue!!” sahut Siska k
PoV Bu SarnihHaris mematikan telepon sepihak. Dasar anak kurang ajar! Makin ke sini, sikapnya makin gak sopan! Sulit diatur!Tok tok tokPintu kamar diketuk. Aku membuka pintu. Rupanya Meyla.“Tante, sarapan belum?” Aku menggeleng.“Belum. Barusan habis teleponan sama Haris,” sahutku.“Oh ya? Mas Haris kapan mau ke sini? Aku kan kangen banget,” rengek Meyla. Aku tersenyum bangga melihat wanita yang bergelimangan harta merindukan anak semata wayangku.“Katanya dia masih sibuk. Tadi sih bilangnya lagi di perkebunan, Bogor. Lagi sibuk banget dia, Mey. Telepon tante aja bentaran doang. Tapi dia juga kangen lho sama kamu. Dia nitip salam.”“Iyakah?” Wajah Meyla berbinar. Aku mengangguk.“Hm ... Aku jadi tambah kangeeen ....” ucapnya. Matanya menerawang.“Sabar ya, Sayang ... nanti kan Haris bakal jadi suami kamu. Tiap hari bakal ketemu d
Sepanjang jalan aku menangis. Pikiran buruk berkecamuk. Entah bagaimana nasibku jika Damar tidak datang. Aku menoleh pada laki-laki bercambang tipis itu, tatapannya lurus ke depan. Fokus menyetir. Sekarang aku hutang budi.“Damar, terima kasih,” lirihku merunduk.“Iya. Udah jangan nangis terus. Mau makan dulu atau langsung pulang?”“Langsung pulang,” jawabku pelan.Selang tiga puluh menit, tiba di depan rumah. Mang Karman membuka gerbang. Damar memasukkan mobil ke dalam garasi.“Sebelum tidur makan dulu,” pesan Damar setelah mematikan mesin mobil. Kami pun keluar dari dalam mobil.“Ini kunci mobilnya. Aku langsung pulang.”“Gak masuk dulu?”“Gaklah udah malam. Pamit, ya?” Aku mengangguk. Setelah Damar pergi, aku bergegas masuk ke rumah.“Non baru pulang?” sapa Bi Inah saat aku menaiki anak tangga.