Awas ya part ini bikin baper!!
***"Mas ada kerjaan penting?" tanya Anjani menahan langkah Bian.
Bian mengangguk dan tersenyum tipis. Ia bersedekap, mungkin lebih menyenangkan dengan sedikit menggoda wanita itu hari ini. "Banyak. Aku kan seorang CEO."
"Oh yaudah, Mas berangkat aja. Maaf ganggu ya, Mas," ucap Anjani pasrah. Namun, terselip ekspresi kecewa di wajahnya. Dalam hati Bian bersorak, ternyata aktingnya berjalan mulus.
"Pfttt hahaha. Aku bercanda, An. Mana mungkin aku sibuk saat kamu membutuhkanku." Bian pun kembali ke tempat duduknya, samping ranjang Anjani.
"Mas nyebelin banget." Anjani mencubit pelan perut Bian. Pria itu pura-pura meringis kesakitan.
"Aku akan menemanimu di sini selama yang kamu ingin, sampai kamu sendiri yang memintaku pergi, An," ucap Bian membuat Anjani tersipu malu. Terlebih, ketika tangan besar nan hangat pria itu menggenggam tangannya
Anjani berbaring memunggungi Bian, mereka dalam satu selimut yang sama. Anjani sedang mode kesal karena gara-gara Bian, mereka sekarang hanya memakai celana dalam.Entah kapan dan dimana Bian melepaskan dress putihnya Anjani lupa. Selama berciuman Bian memangku tubuhnya berpindah tempat untuk menuruni kasur. Untung nggak sampai keluar kamarnya ini."An, jangan marah dong," bujuk Bian menghembuskan napas di punggung mulus Anjani. Tangan pria itu tak tinggal diam, meraba bagian perut hingga naik ke dada, memainkan milik wanita itu."Apaan sih mas geli," desis Anjani menepis tangan Bian dari tubuhnya.Menemukan ide guna membujuk wanita idaman, Bian menyengir lebar, ia menarik bahu Anjani hingga wanita itu telentang, lantas Bian mengambil kesempatan dengan mengambang di atas tubuh Anjani, bertumpu pada kedua sikunya sendiri.Pipi Anjani merah merona, dia membuang pandangan ke samping. Sungguh,
Anjani membulatkan matanya menatap Bram. Ia terkejut melihat pria itu datang tanpa menghubunginya lebih dulu. Lagipula darimana Bram tahu rumahnya berada di daerah sini? Padahal sebelumnya, ia tak pernah sekalipun memberikan alamatnya pada pria itu.Bram memarkirkan mobilnya di depan rumah Anjani."Selamat siang Anjani," sapa Bram keluar sembari menutup pintu mobilnya.Anjani tersenyum kikuk, "Se-selamat siang, Pak Bram." Ia merasa canggung.Bram pun menampilkan senyum tampannya, senang pada akhirnya dapat bertemu Anjani. Meskipun tadi ia sempat melihat Bian mengeluari rumah wanita itu. Kenapa coba Bian selalu menemui Anjani? Memang ada hal penting apa harus datang setiap hari?Bram tak suka Bian mendekati wanitanya.Bram terkekeh menatap Anjani yang masih terpaku, "Aku tau kamu terkejut melihat kedatanganku, An. Maaf sebelumnya tidak memberitahu."A
"Arghh, apa salahku Bram?!" bentak Bian sembari menyeka sudut bibirnya, darah segar pun menetes mengotori jas hitamnya."Kau bertanya apa salahmu?" Bram dengan amarah yang menggebu mencengkram kerah jas Bian. Menatap netra rekan bisnisnya itu nyalang."Bukankah sudah aku bilang jauhi Anjani hah?! Tapi kau malah bercumbu dengannya! Kenapa?!"Bian membelalak terkejut, ia heran darimana Bram tahu ia dan Anjani sempat melakukan itu, apakah Anjani yang memberitahu? Tidak mungkin! Bram pasti mengirim seseorang untuk memata-matai mereka.Bukannya takut akan gertakan Bram, Bian malah tersenyum tipis. "Memangnya tidak boleh?""Bian!" geram Bram seraya mengeratkan cengkramannya.Dengan sekali sentakan Bian melepas cengkraman Bram di kerahnya. Bian tersenyum kecut."Anda sendiri memiliki hubungan apa dengan Anjani, Bram? Apa kau kekasihnya?" tanya Bian santai.
Usai memberikan makan siang pada Bian dan menyuapi pria itu, Anjani melangkah menggerakan tongkatnya mengeluari gedung Pradipta.Namun di tengah belokan lobi, Anjani tersentak karena seseorang tiba-tiba menarik tubuhnya menepi."Vanya?" Anjani yang tadi syok sebab nyaris saja ia kehilangan keseimbangan, menghela lega mengetahui yang menarik tubuhnya adalah Vanya. Wanita berkemeja pink berpadu rok hitam sebatas lutut itu menyatukan telunjuk ke bibir."Shtt diam, An, mumpung gue ada jam kosong." Vanya celengak-celenguk seolah takut ketahuan seseorang."Kamu kenapa tiba-tiba narik aku?" tanya Anjani.Vanya menghela napas, "Gini ya ada yang mau gue omongin sama lo.""Iyah, ngomong aja sekarang.""Bukan di sini tapi di ruangan gue," jawab Vanya.Anjani mengangguk samar. "Bentar aja ya. Soalnya aku mau jemput anak aku di sekolah."
WARNING! PART SETERUSNYA DIJAMIN MEMBUAT KALIAN BAPER!"Haii manis," sapa wanita itu ceria, membungkuk menatap tubuh Clara yang mungil.Tadinya Clara merasa wanita itu memiliki aura negatif, lantas ia mengenyahkan prasangkanya dan membalas dengan senyuman lebar."Halo tante.""Siapa sayang?" Anjani dari arah dapur menghampiri, menggerakan tongkatnya lebih cepat sebab dari kejauhan ia seperti mengenali wanita di ambang pintu tersebut."Bukan papa Bian, bun. Tapi orang lain," jawab Clara menatap Anjani. Dan setelah menghadap sang tamu mata Anjani membulat, ia mengenal wanita itu, terlebih saat dia menaikkan letak kacamata hitamnya ke atas kepala."Nyonya Cintya?""Baguslah. Kamu masih ingat denganku," ujar Cintya tersenyum.Anjani menyengir tipis, "Bagaimana saya bisa lupa? Nyonya adalah ibunya pak Bian.""Jadi nyonya bundanya Om Bian?""Iya." Cintya mengusap lembut rambut Clara,
Sungguh! Bian sangat bingung sekarang, ia tak menduga Anjani akan tertarik menjadi sekretaris pribadinya. Lalu apakah ini adalah tanda bahwa wanita itu memang sudah mencintainya, ingin selalu bersamanya?Jika benar, Bian tidak masalah posisi sekretaris digantikan oleh wanita itu. Namun, masalahnya, apakah Anjani mampu mengemban semua tugas yang biasa dikerjakan oleh Vanya?Lagipula mengingat kondisi Anjani yang... ah tidak, bukan Bian meremehkan kemampuan Anjani. Tetapi dengan menggunakan tongkat Anjani pasti akan lebih sulit menjalankan tugas.Juga karena ini menyangkut kinerja karyawan, yang pastinya berdampak pada kelancaran perusahaan."Memang nggak bisa ya, Mas?" tanya Anjani sekali lagi. Bian jelas melihat raut kecewa dari wajah wanita itu. Menolaknya, membuat Bian tidak tega."Kamu sendiri udah izin sama Vanya?"Anjani manggut-manggut. Ia tersenyum. "Vanya ngebolehi
WARNING! PART SETERUSNYA DIJAMIN MEMBUAT KALIAN BAPER!"Capek juga ya pak keliling kantor," ucap Anjani mengeluari lift di lantai satu bersama Bian.Bian mengangguk dan tersenyum tipis, ia merasa sedikit bersalah karena dialah yang meminta Anjani memperkenalkan diri hingga ke lantai lima, dimana beberapa karyawannya yang lain bekerja di sana. Namun, ada kepuasan tersendiri bagi Bian dapat memperkenalkan wanitanya ke seluruh penghuni kantor.Itupun baru lantai lima, belum sampai lantai sepuluh. Dan Bian tidak bisa membayangkan betapa lelahnya Anjani jika ia mengajak wanita itu hingga ke lantai sepuluh hari ini.Akan tetapi, Bian salut karena selama perjalanan tadi Anjani begitu bersemangat dan berulang kali mengangumi seluruh desain kantornya."Tapi pak..." Anjani menghentikan langkah menatap Bian."Ya?""Saya kebelet pipis, ke toilet dulu boleh?"
"Aku mencintaimu, Mas," cicit Anjani kala Bian mengakhiri pagutan mereka. Jantungnya berdegup begitu cepat.Bian membelalak tak percaya, "Benarkah? Katakan sekali lagi, An." Ia menangkup gemas wajah wanita itu. Ingin memastikan pendengarannya tidaklah salah.Pipi Anjani memerah, ia yakin mengatakan isi hatinya sekarang, ini adalah waktu yang tepat. Ia pun menyadari akan perasaannya selama ini kepada Bian. Bukan sekedar sayang, tapi Anjani juga ingin memiliki hubungan yang jelas bersama pria itu.Wanita yang duduk di pangkuan Bian itu kembali berucap, "Enghh saya mencintai mas Bian."Ingin rasanya Bian berteriak ke seluruh penjuru kantor bahwa Anjani sudah mencintainya, wajahnya sangat menunjukan kebahagiaan. Bian mengusap pipi Anjani. Lalu mendekatkan telinganya ke bibir wanita itu."Kurang jelas sayang. Katakan tepat di telingaku."Anjani pun malu-malu kucing mendekatkan