Usai memberikan makan siang pada Bian dan menyuapi pria itu, Anjani melangkah menggerakan tongkatnya mengeluari gedung Pradipta.
Namun di tengah belokan lobi, Anjani tersentak karena seseorang tiba-tiba menarik tubuhnya menepi.
"Vanya?" Anjani yang tadi syok sebab nyaris saja ia kehilangan keseimbangan, menghela lega mengetahui yang menarik tubuhnya adalah Vanya. Wanita berkemeja pink berpadu rok hitam sebatas lutut itu menyatukan telunjuk ke bibir.
"Shtt diam, An, mumpung gue ada jam kosong." Vanya celengak-celenguk seolah takut ketahuan seseorang.
"Kamu kenapa tiba-tiba narik aku?" tanya Anjani.
Vanya menghela napas, "Gini ya ada yang mau gue omongin sama lo."
"Iyah, ngomong aja sekarang."
"Bukan di sini tapi di ruangan gue," jawab Vanya.
Anjani mengangguk samar. "Bentar aja ya. Soalnya aku mau jemput anak aku di sekolah."
WARNING! PART SETERUSNYA DIJAMIN MEMBUAT KALIAN BAPER!"Haii manis," sapa wanita itu ceria, membungkuk menatap tubuh Clara yang mungil.Tadinya Clara merasa wanita itu memiliki aura negatif, lantas ia mengenyahkan prasangkanya dan membalas dengan senyuman lebar."Halo tante.""Siapa sayang?" Anjani dari arah dapur menghampiri, menggerakan tongkatnya lebih cepat sebab dari kejauhan ia seperti mengenali wanita di ambang pintu tersebut."Bukan papa Bian, bun. Tapi orang lain," jawab Clara menatap Anjani. Dan setelah menghadap sang tamu mata Anjani membulat, ia mengenal wanita itu, terlebih saat dia menaikkan letak kacamata hitamnya ke atas kepala."Nyonya Cintya?""Baguslah. Kamu masih ingat denganku," ujar Cintya tersenyum.Anjani menyengir tipis, "Bagaimana saya bisa lupa? Nyonya adalah ibunya pak Bian.""Jadi nyonya bundanya Om Bian?""Iya." Cintya mengusap lembut rambut Clara,
Sungguh! Bian sangat bingung sekarang, ia tak menduga Anjani akan tertarik menjadi sekretaris pribadinya. Lalu apakah ini adalah tanda bahwa wanita itu memang sudah mencintainya, ingin selalu bersamanya?Jika benar, Bian tidak masalah posisi sekretaris digantikan oleh wanita itu. Namun, masalahnya, apakah Anjani mampu mengemban semua tugas yang biasa dikerjakan oleh Vanya?Lagipula mengingat kondisi Anjani yang... ah tidak, bukan Bian meremehkan kemampuan Anjani. Tetapi dengan menggunakan tongkat Anjani pasti akan lebih sulit menjalankan tugas.Juga karena ini menyangkut kinerja karyawan, yang pastinya berdampak pada kelancaran perusahaan."Memang nggak bisa ya, Mas?" tanya Anjani sekali lagi. Bian jelas melihat raut kecewa dari wajah wanita itu. Menolaknya, membuat Bian tidak tega."Kamu sendiri udah izin sama Vanya?"Anjani manggut-manggut. Ia tersenyum. "Vanya ngebolehi
WARNING! PART SETERUSNYA DIJAMIN MEMBUAT KALIAN BAPER!"Capek juga ya pak keliling kantor," ucap Anjani mengeluari lift di lantai satu bersama Bian.Bian mengangguk dan tersenyum tipis, ia merasa sedikit bersalah karena dialah yang meminta Anjani memperkenalkan diri hingga ke lantai lima, dimana beberapa karyawannya yang lain bekerja di sana. Namun, ada kepuasan tersendiri bagi Bian dapat memperkenalkan wanitanya ke seluruh penghuni kantor.Itupun baru lantai lima, belum sampai lantai sepuluh. Dan Bian tidak bisa membayangkan betapa lelahnya Anjani jika ia mengajak wanita itu hingga ke lantai sepuluh hari ini.Akan tetapi, Bian salut karena selama perjalanan tadi Anjani begitu bersemangat dan berulang kali mengangumi seluruh desain kantornya."Tapi pak..." Anjani menghentikan langkah menatap Bian."Ya?""Saya kebelet pipis, ke toilet dulu boleh?"
"Aku mencintaimu, Mas," cicit Anjani kala Bian mengakhiri pagutan mereka. Jantungnya berdegup begitu cepat.Bian membelalak tak percaya, "Benarkah? Katakan sekali lagi, An." Ia menangkup gemas wajah wanita itu. Ingin memastikan pendengarannya tidaklah salah.Pipi Anjani memerah, ia yakin mengatakan isi hatinya sekarang, ini adalah waktu yang tepat. Ia pun menyadari akan perasaannya selama ini kepada Bian. Bukan sekedar sayang, tapi Anjani juga ingin memiliki hubungan yang jelas bersama pria itu.Wanita yang duduk di pangkuan Bian itu kembali berucap, "Enghh saya mencintai mas Bian."Ingin rasanya Bian berteriak ke seluruh penjuru kantor bahwa Anjani sudah mencintainya, wajahnya sangat menunjukan kebahagiaan. Bian mengusap pipi Anjani. Lalu mendekatkan telinganya ke bibir wanita itu."Kurang jelas sayang. Katakan tepat di telingaku."Anjani pun malu-malu kucing mendekatkan
Bian berpakaian sangat rapi hari ini mengenakan kemeja batik yang baru saja ia beli. Untuk apa? Ya, tentu saja untuk dikenakan saat pergi ke rumah Anjani. Jika kalian menebak Bian ingin melamar wanita itu. Kalian benar.Senyum cerah senantiasa terulas di bibir pria itu, mengancing satu persatu kancing kemejanya sambil menatap pantulan dirinya di cermin, Bian lalu menyisir rambutnya ke belakang. Ah, Bian tidak pernah merasa setampan ini sebelumnya. Hal ini membuatnya semakin yakin, Anjani pasti enggan menolak lamarannya."Bian," panggil Cintya di ambang pintu. Wanita itu tampak lebih muda saat mengenakan gaun batik dan rambut yang diurai sebatas bahu.Bian berbalik dan tersenyum menatap Cintya, "Aku sudah siap, Ma. Gimana penampilan Bian? Ganteng kan?"Cintya pun tersenyum dan menepuk-nepuk lembut pipi Bian, dia terenyuh, sebab tak pernah sebelumnya ia melihat Bian sesenang ini saat akan melamar seseorang.
Acara lamaran pun dilaksanakan dengam sederhana dan dalam waktu yang boleh dikata singkat, disaksikan oleh Cintya, bi Ratih, Clara serta supir dan kedua bodygard Bian.Cincin lamaran pun serta merta sudah tersemat di jari manis sepasang kekasih yang baru beberapa bulan menjalin kasih tersebut. Raut bahagia tak lepas menyelimuti wajah keduanya.Setelah sesi menyematkan cincin mereka pun berdoa, lalu dilanjutkan oleh Anjani yang mengajak keluarga Bian untuk makan siang bersama di rumahnya. Bukan hanya Bian dan Cintya, tetapi Anjani dengan senang hati mengajak supir serta kedua bodygard Bian untuk ikut makan bersama."Mari silahkan dinikmati ya bu, pak," ujar bi Ratih sambil menyajikan makanan di atas meja. Dan yang Anjani tidak pahami, kenapa semua makanan yang disajikan bi Ratih sangat banyak dan fresh semua. Padahal sebelum Bian datang, Anjani belum melihat bi Ratih memasak satupun semua makanan ini."Enghh bi, kapan bibi memasak s
"Ish, ngamcem mulu lo bisanya," dengus Laura mendengar jawaban Bram sebelumnya. Dia mengercutkan bibir menatap bram yang memutar bola mata. Sungguh, ini kali pertama dia bertemu duda angkuh seperti Bram."Kau tidak tau apa yang bisa aku lakukan bodoh. Jangan banyak bicara. Segera saja kita bahas apa rencana untuk memisahkan mereka berdua," ujar Bram. Kini mereka duduk di bibir kasur."Loh, jadi lo belum ada rencana?" tanya Laura bersedekap. Bram menggeleng dengan wajah masam. Karena banyaknya pekerjaan kantor, dia sampai tidak sempat memikirkan semua itu.Laura mendengus, dengan penuh berani dia menabok lengan Bram membuat pria itu kesakitan. "Gimana sih duda. Kan lo yang ngajakin kerja sama!""Jadi aku sendiri saja yang harus berpikir? Enak sekali kau," sahut Bram kesal. Dia balas menarik rambut Laura."Duh, rempong rambut gue," kesal perempuan itu membenarkan tatanan rambutnya. "It
Semua karyawan di lantai dua ini pun beranjak dari aktivitas mereka dan berkumpul menghadap Bian serta Anjani yang tampak malu-malu. Bagaimana tidak malu? Saat ini dia diperhatikan banyak sekali orang meskipun tidak lebih banyak dari perkenalannya sebagai pegawai baru beberapa minggu kemarin.Sedangkan Bian tetap santai dengan ekspresi wajah yang berseri-seri. Toh, maklumi saja karena pria itu sedang bahagia."Baiklah, terima kasih sudah mau meluangkan waktunya sebentar. Ada info penting yang ingin aku sampaikan," ucap Bian memulai kala semua karyawannya telah berkumpul tepat di hadapannya. Mereka tampak saling berbisik penasaran satu sama lain."Soal pernikahan bapak?" tanya salah satu dari mereka.Bian mengangguk dan tersenyum tipis. Anjani pun menatap laki-laki yang bertanya itu."Iya benar. Apa kalian semua sudah menerima undangannya?""Sudah, pak," jawab mereka serempak."Sudah. Selamat y