Bian berpakaian sangat rapi hari ini mengenakan kemeja batik yang baru saja ia beli. Untuk apa? Ya, tentu saja untuk dikenakan saat pergi ke rumah Anjani. Jika kalian menebak Bian ingin melamar wanita itu. Kalian benar.
Senyum cerah senantiasa terulas di bibir pria itu, mengancing satu persatu kancing kemejanya sambil menatap pantulan dirinya di cermin, Bian lalu menyisir rambutnya ke belakang. Ah, Bian tidak pernah merasa setampan ini sebelumnya. Hal ini membuatnya semakin yakin, Anjani pasti enggan menolak lamarannya.
"Bian," panggil Cintya di ambang pintu. Wanita itu tampak lebih muda saat mengenakan gaun batik dan rambut yang diurai sebatas bahu.
Bian berbalik dan tersenyum menatap Cintya, "Aku sudah siap, Ma. Gimana penampilan Bian? Ganteng kan?"
Cintya pun tersenyum dan menepuk-nepuk lembut pipi Bian, dia terenyuh, sebab tak pernah sebelumnya ia melihat Bian sesenang ini saat akan melamar seseorang.
Acara lamaran pun dilaksanakan dengam sederhana dan dalam waktu yang boleh dikata singkat, disaksikan oleh Cintya, bi Ratih, Clara serta supir dan kedua bodygard Bian.Cincin lamaran pun serta merta sudah tersemat di jari manis sepasang kekasih yang baru beberapa bulan menjalin kasih tersebut. Raut bahagia tak lepas menyelimuti wajah keduanya.Setelah sesi menyematkan cincin mereka pun berdoa, lalu dilanjutkan oleh Anjani yang mengajak keluarga Bian untuk makan siang bersama di rumahnya. Bukan hanya Bian dan Cintya, tetapi Anjani dengan senang hati mengajak supir serta kedua bodygard Bian untuk ikut makan bersama."Mari silahkan dinikmati ya bu, pak," ujar bi Ratih sambil menyajikan makanan di atas meja. Dan yang Anjani tidak pahami, kenapa semua makanan yang disajikan bi Ratih sangat banyak dan fresh semua. Padahal sebelum Bian datang, Anjani belum melihat bi Ratih memasak satupun semua makanan ini."Enghh bi, kapan bibi memasak s
"Ish, ngamcem mulu lo bisanya," dengus Laura mendengar jawaban Bram sebelumnya. Dia mengercutkan bibir menatap bram yang memutar bola mata. Sungguh, ini kali pertama dia bertemu duda angkuh seperti Bram."Kau tidak tau apa yang bisa aku lakukan bodoh. Jangan banyak bicara. Segera saja kita bahas apa rencana untuk memisahkan mereka berdua," ujar Bram. Kini mereka duduk di bibir kasur."Loh, jadi lo belum ada rencana?" tanya Laura bersedekap. Bram menggeleng dengan wajah masam. Karena banyaknya pekerjaan kantor, dia sampai tidak sempat memikirkan semua itu.Laura mendengus, dengan penuh berani dia menabok lengan Bram membuat pria itu kesakitan. "Gimana sih duda. Kan lo yang ngajakin kerja sama!""Jadi aku sendiri saja yang harus berpikir? Enak sekali kau," sahut Bram kesal. Dia balas menarik rambut Laura."Duh, rempong rambut gue," kesal perempuan itu membenarkan tatanan rambutnya. "It
Semua karyawan di lantai dua ini pun beranjak dari aktivitas mereka dan berkumpul menghadap Bian serta Anjani yang tampak malu-malu. Bagaimana tidak malu? Saat ini dia diperhatikan banyak sekali orang meskipun tidak lebih banyak dari perkenalannya sebagai pegawai baru beberapa minggu kemarin.Sedangkan Bian tetap santai dengan ekspresi wajah yang berseri-seri. Toh, maklumi saja karena pria itu sedang bahagia."Baiklah, terima kasih sudah mau meluangkan waktunya sebentar. Ada info penting yang ingin aku sampaikan," ucap Bian memulai kala semua karyawannya telah berkumpul tepat di hadapannya. Mereka tampak saling berbisik penasaran satu sama lain."Soal pernikahan bapak?" tanya salah satu dari mereka.Bian mengangguk dan tersenyum tipis. Anjani pun menatap laki-laki yang bertanya itu."Iya benar. Apa kalian semua sudah menerima undangannya?""Sudah, pak," jawab mereka serempak."Sudah. Selamat y
Mampus, Bian terciduk oleh karyawannya sendiri, dan dia adalah seorang wanita. Bian pun reflek melepaskan tautan bibir mereka dan dengan tenang serta pelan-pelan mendudukan kembali Anjani ke kursi. Sedangkan Anjani malu bukan main, ia menunduk dalam dan tak mau menatap wajah wanita yang juga menunduk, mungkin sekarang dia sedang berpikiran negatif tentangnya. Bian menghampiri wanita itu dengan wajah datar, berusaha bersikap tenang dan menyembunyikan rasa malunya. Bian bersedekap lalu wanita berkemeja abu-abu itu segera meminta maaf. "Maaf pak. Maaf. Sungguh, saya tidak berniat mengintip kalian. Jangan pecat saya pak," ujarnya penuh rasa bersalah. "Kenapa tidak mengetuk pintu dulu sebelumnya? Bukankah itu tata tertib yang sudah lama diterapkan di kantor ini hah?" tanya Bian marah. "Sa-saya sudah mengetuk pak. Tapi tidak ada sahutan dari bapak. Jadi, saya berinisiatif masuk
Langit cerah kini berganti nama menjadi senja, matahari pun sudah bersiap tenggelam untuk digantikan oleh bulan.Seharian ini, Anjani dan Bian disibukkan oleh persiapan pernikahan mereka, bahkan Clara pun ikut ambil andil sebagai orang yang begitu antusias, yah antusias dalam mencoba semua makanan serta kue-kue yang dibuat khusus oleh chef sewaan Bian. "Clara ayo ke sini. Jangan gangguin mereka dong sayang," panggil Anjani melihat Clara sedang berjinjit lalu mencoleki satu persatu adonan kue kemudian mencicipinya tanpa dosa. Mereka tengah berada di mansion Bian, tepatnya di dapur mewah nan luas milik pria itu. Anjani menggelengkan kepalanya sembari mendengus lelah, kelakuan Clara itu pasti menganggu pekerjaan para chef tersebut. Hanya mungkin, mereka enggan menegur Clara dan memilih diam saja.Anjani pun menghampiri putri kesayangannya itu dan meraih bahu Clara agar anak itu mundur menjauhi meja adonan. Seketika Clara tergelak dan menyengir lebar pada Anjani dengan jari dan sudut bi
Sungguh, Bian tidak menyangka akan bertemu Bram di tempat ini. Lagipula, ada sekitar dua minggu mereka tidak bertemu.Mereka saling memandang dengan terkejut selama beberapa saat, sebelum kemudian Bram berdehem singkat lalu membuang pandangannya ke arah lain.Sedangkan Bian menaikan alis lalu tersenyum smirk pada pria itu. Bram tampak malu, pikirnya. Entah kenapa rekan bisnisnya itu tiba-tiba saja mengalihkan pandangan darinya.Oh ya, Bian berpikir ini juga saat yang paling tepat untuk memberitahu pria itu, bahwa dia dan Anjani akan segera melangsungkan pernikahan. Atau apa sebenarnya Bram sudah tau duluan? Sehingga menatapnya pun Bram merasa sungkan. Jika benar, Bian pikir ini mungkin adalah titik kemenangannya. Dimana ia akhirnya berhasil membuat Bram sadar bahwa Anjani tidak mungkin jatuh dalam pelukan pria duda itu. Hahaha.Oke, karena sekarang dia sedang bahagia, Bian tidak ingin mencari masalah, maka dari itu usai mengulas senyum tipis sekali
Tiga hari kemudian...Anjani dan Bian akhirnya melangsungkan pernikahan, bertempat di mansion mewah milik Bian yang sudah ditata sedemikian rupa layaknya sebuah hotel mewah berbintang yang sanggup menampung ribuan orang.Menginjak pukul delapan, tamu-tamu pun mulai banyak berdatangan, mulai dari keluarga dekat maupun keluarga jauh, teman, para karyawan kantornya hingga yang paling penting adalah kedatangan semua kolega bisnisnya.Bian ingin pernikahan perdananya hari ini disaksikan oleh banyak orang, agar mereka tahu, bahwa dia sudah menemukan seorang wanita yang tepat untuk melengkapi kehidupannya.Yah sekalipun Bian mengerti dan sadar akan banyaknya asumsi mengenai Anjani, namun, itu sama sekali tidak menggoyahkan komitmen Bian untuk meminang wanita cantik bertongkat itu. Ia tidak peduli lagi seburuk apa pikiran mereka tentang Anjani atau sesusah apa rumah tangga mereka nanti karena Anjani menggunakan tongkat. Bian rasa itu sama sekali tidak
Suara tembakan nyaring tersebut ternyata terdengar tak jauh dari tempat duduk kedua mempelai, yang tak lain dan tak bukan adalah tempat duduk seorang penghulu di depan mereka.Seluruh tamu undangan pun berteriak histeris, panik, serta ketakutan melihat tragedi yang tidak pernah diduga tersebut. Apalagi ini di sebuah acara pernikahan seorang pengusaha ternama, Bian Pradipta.Penghulu tersebut tertembak tepat di bagian pinggangnya. Lantas dia terkulai kesakitan dan Bian langsung menjatuhkan cincin yang belum terpasang di jari Anjani itu, untuk membantu penghulu tersebut."Argh," ringisnya. Anjani shok berat dan matanya pun berkaca-kaca melihat banyak sekali darah berucucuran membasahi lantai mansion ini."Ya Tuhan, bertahan pak," ucap Bian memangku penghulu tersebut."Arghh, sa-kit Nak," ujarnya membuat hati Bian terasa tercabik-cabik, ia tak tega melihat pria paruhbaya ini kesakitan.""Brengsek, siapa yang berani