Ada dua hal saat ini yang Arika takutkan dan cemaskan. Nasibnya malam ini harus melayani nafsu Dokter Rein dan juga kemungkinan manusia di dalam ruang bawah tanah itu.
Sepanjang hari dia menuruti perintah Dokter Rein untuk tidak melakukan pekerjaan berat. Namun bukan karena dia ingin badannya fit, namun karena perasaannya yang terlalu resah memikirkan semua hal menakutkan itu.Sampai malam hari tiba, Dokter Rein pun kembali dari kliniknya. Arika menatap dari jendela ruang tamu ke arah luar saat mobil Rein berhenti dan terparkir di depan rumahnya.Jantungnya mulai bergemuruh. Sebisa mungkin Arika bersikap biasa untuk dapat menyambut Dokter Rein.Dokter Rein membuka pintu rumahnya. Arika memasang senyumnya. Terlalu berat untuk dilakukan bibirnya yang gemetar takut. Namun dia menyadari sesuatu, bila dia begini Dokter Rein bisa curiga. Dia mulai melupakan semua ketakutannya."Kamu pasti lelah," kata Arika mengambil tas kerja Dokter Rein."Yah. Harusnya aku bisa pulang lebih cepat dari ini. Tetapi ada keadaan darurat, jadi aku harus tangani dulu," jawab Dokter Rein merangkul pundak Arika sambil berjalan ke kamarnya."Apa yang aku dengar benar. Anda Dokter yang baik. Bahkan saat ada yang membutuhkan, anda rela pulang terlambat demi pasien darurat," sahut Arika."Hahaha," Dokter Rein tertawa."Semua dokter akan melakukan hal yang sama Arika. Karena itu sudah menjadi bagian dari tugas kami," jawab Dokter Rein."Hm..., begitu ya." jawab Arika."Anda mau saya siapkan air hangat di bathtub atau mandi shower?" tanya Arika.Dokter Rein menaruh lengannya di pinggang Arika dan memutar tubuh depan Arika hingga menempel kepadanya."Sepertinya berendam akan lebih mengasyikan bukan?"bisiknya menyatukan kedua dahi mereka.Arika melihat bibir Dokter Rein saat berbicara. Tanpa dia sadari dia menggigit bibir bawahnya sendiri. Bersikap sensual yang membuat Dokter itu malah terlihat semakin bergairah.Arika menelan salivanya, "baiklah. Akan aku siapkan," kata Arika bergegas ke kamar mandi setelah menaruh tas kerja Dokter Rein di single sofa yang bersandar dekat pintu kamarnya."Bagus, gadis penurut!" gumamnya menatap Arika dari belakang.Dia mulai membuka jam tangan yang dia kenakan."Biar aku bantu," kata Arika membantu Dokter Rein melepas kancing kemejanya satu persatu.Dokter Rein menatap Arika lembut sambil tersenyum. Arika mendongak dan ikut tersenyum."Ini bahkan sudah sangat menggairahkan untukku," bisiknya mencium bibir Arika.Bathtub siap dengan air hangat di dalamnya, mereka pun berendam bersama di sana."Aku ingin membuat kamu selalu merasa nyaman sebelum kita melakukannya. Karena aku tidak ingin membuatmu tertekan. Aku ingin kamu menikmati semua itu," ungkap Dokter Rein berbisik di telinga Arika yang kini bersandar di dadanya."Dokter Rein benar-benar begitu baik, dia bahkan memikirkan sampai sedetail itu. Apa mungkin dia bisa bersikap kejam? Aku rasa nggak." pikir Arika meruntuhkan keraguannya akan sifat tersembunyi Dokter Rein."Apa yang dikatakan orang-orang benar. Mungkin dia nggak sempurna dan memiliki kekurangan tetapi dia bukan orang yang jahat," sambung pikiran Arika."Meski demikian, lalu apa yang ada di ruang bawah tanah sana?" pikirnya lagi."Apa ada yang kamu pikirkan Arika?" tanyanya mengusap lengan Arika dengan ujung jari telunjuknya.Arika menggeleng."Nggak ada Dokter Rein." jawab Arika."Ahhh Dokter," Arika mendesa saat Dokter Rein mulai melancarkan aksi pemanasannya sebelum berlanjut ke inti.Malam berlalu begitu lama bagi Arika dalam cengkraman Dokter Rein. Malam penyiksaan namun juga terasa nikmat baginya.Pagi datang, entah apakah Arika pingsan atau dia hanya tertidur kelelahan. Sampai Dokter Rein telah siap dengan pakaian kerjanya Arika masih terpejam di atas tempat tidurnya.Dokter Rein tersenyum melihat Arika. Dengan lembut dia mengecup pipi Arika.Arika terperanjat kaget, terduduk langsung dari tidurnya. Jemarinya mencengkram kuat selimut yang menutupi dadanya yang terbuka."Ampuni aku Dokter Rein, maaf...," racau Arika dengan napas tersengal-sengal."Arika!" Dokter Rein duduk disebelah Arika dan memeluknya."Kamu baik-baik saja?""Ah..., iya Dokter. Maafkan aku. Aku terlambat bangun.""Nggak apa-apa. Aku yang harusnya minta maaf telah membangunkan kamu. Kamu pasti sangat lelah kan?" tanya dengan lembut."Tidurlah lagi. Aku sudah menyiapkan sarapan dan makan siang untukmu di dapur. Hangatkan lagi saja kalau kamu mau makan. Aku harus ke klinik sekarang." pesannya."Baik," Arika mencoba turun dari tempat tidur namun sesuatu di bawah perutnya terasa perih dan nyeri."Ah...," Rintihnya."Kamu jangan bangun." katanya merangkul Arika dari depan."Makanannya aku bawa ke sini saja ya. Agar kamu tidak perlu turun,""Nggak Dokter, jangan! Biar aku ke dapur nanti," jawab Arika memegang lengan Dokter Rein."Baiklah kalau itu mau mu. Aku harus berangkat. Berbaringlah!" Dokter Rein membantu Arika berbaring di atas tempatnya. Wajah Arika meringis kesakitan saat itu."Sampai nanti Arika!" Dokter Rein mengecup kening Arika dan berbalik menuju pintu. Tanpa Arika sadari Dokter Rein yang membelakanginya tersenyum licik sambil keluar dari kamar."Bagaimana aku bisa mencari tahu kalau begini keadaannya?" pikir Arika memegangi antara pahanya."Ah...putikku rasanya mau copot. Aku ingin pergi saja dari sini. Dia begitu baik namun di sisi lain dia pun menyiksaku," tambah pikirannya."Tetapi aku juga masih membutuhkannya untuk melanjutkan hidupku. Inikah yang disebut hidup bagaikan dua sisi mata uang?"Arika terpejam dengan sendirinya setelah lelah menangis. Ketika dia bangun hari sudah menjelang sore."Tidurku lama sekali," gumamnya seraya menurunkan kedua kakinya secara perlahan dari atas tempat tidur."Berendam air hangat pasti bisa meredakan nyeri selangkanganku,"Ketika tengah berendam, Arika mulai berpikir, mencari cara agar bisa masuk ke dalam ruangan bawah tanah itu."Untuk membuktikan dugaanku salah tentang Dokter Rein aku harus bisa mengetahui isi ruang bawah tanah itu,""Dan hanya ada satu cara agar bisa masuk yaitu menemukan kunci dua pintu itu."Selesai mandi dia mengambil kumpulan kunci rumah yang terikat menyatu di dalam laci nakasnya. Itu adalah kunci yang dipegang Arika. Oleh Dokter Rein dia diserahi duplikat kunci rumah ini. Sementara kunci asli dipagang oleh Dokter Rein."Apa mungkin salah satu kunci ini ada kunci ruang bawah tanah?" tanpa menunggu lama dengan langkah perlahan Arika turun kelantai dasar.Dia menuju ke ruang bawah tanah dan mencoba satu persatu kunci yang diserahkan kepadanya. Namun sayangnya tidak ada satupun kunci yang cocok dan bisa membuka pintu ruangan tersebut. Itu menandakan kunci itu tidak ada di antara kunci yang dia pegang."Sial..., nggak ada kuncinya di sini!" geram Arika dengan kesal."Lalu di mana kunci ruangan ini disembunyikan Dokter Rein?" tanyanya seraya menaiki anak tangga ruang bawah tanah."Apa itu ada di kunci yang dipegang Dokter Rein. Mungkin saja. Aku harus bisa mendapatkan kunci itu tanpa ketahuan olehnya." rencananya.Malam pun datang, Arika duduk bersandar di headboard memperhatikan Dokter Rein yang sibuk di atas sofa dengan berkas-berkas yang dia keluarkan dari dalam tas.Krincing....Kumpulan kunci terjatuh saat Dokter menarik sebuah berkas lainnya."Itu kunci aslinya. Dia menaruhnya di tas." inner Arika."Itu berkas-berkas apa Dokter?" tanya Arika."Oh ini, ini dokumen untuk perpanjangan kontrak sewa gedung klinik dan izin prakteknya." jawab Dokter Rein membuka kacamata bacanya."Apa kamu masih sakit?" tanya Dokter Rein."Sedikit nyeri. Tapi aku sudah bisa beraktivitas. Jangan khawatir," jawab Arika menyunggingkan senyumannya."Jangan menungguku, masih ada yang harus aku kerjakan. Pergilah tidur duluan," kata Dokter Rein memasukkan kembali berkas-berkasnya."Baiklah, anda nggak keberatan aku tidur duluan?" tanya Arika."Nggak. Tidurlah dulu. Kamu pasti lelah kan setelah semalam," jawabnya menunjuk dari jauh area sensitif Arika dengan pandangannya. Wajah Arika bersemu merah.Dengan perlahan dia
Krinciiing....Krinciiing....Suara gemerincing dua buah kunci beradu terdengar dari ambang pintu. Mereka berdua terkejut. Mata mereka terbelalak, menoleh ke arah yang sama, ke pintu masuk ruang bawah tanah.Sebuah tangan panjang berbalut lengan kemeja, terjulur di mulut pintu memegang dua buah kunci di jemarinya. Dokter Rein menampakan dirinya. Tersenyum lebar dan mengerikan."Ck...," decak Dokter Rein memasang wajah kecewa memasuki ruangan.Jantung Arika berdegup kencang. Tubuhnya gemetar diliputi ketakutan. Begitupun wanita di kursi itu. Mata suram mereka berdua bertemu, memperlihatkan ketakutan yang sama."Kamu pikir aku tidak ingat untuk membawa kunci itu? Kamu salah, aku sengaja membiarkanmu membawanya." kata Dokter Rein tersenyum sinis sambil mencengkram dagu Arika."Kenapa ini harus ketahuan secepat ini?" tanya Dokter Rein kecewa."Aku masih ingin bermain dengan kalian," tambahnya beralih memandang wanita di atas kursi pasien.Merasa dalam bahaya, Arika mencoba lari kabur dari r
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, itu menjadi malam panjang dan mengerikan bagi Arika. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana seseorang mati dengan cara mengenaskan.Dengan tangan kaki terikat di kursi, dia tidak dapat melawan dan menolong ketika perlahan Dokter itu mencabut nyawa wanita di kursi pasien dengan kejam.Rintihan dan ratapan wanita itu terdengar memilukan di hatinya. Sesekali matanya terpejam tatkala Dokter Rein melakukan hal kejam kepada wanita itu. Namun dengan terpaksa dia harus membuka matanya atas ancaman Dokter Rein sebelumnya.Setelah meregang nyawa, Dokter Rein memasukan potongan tubuh wanita itu kedalam plastik sampah. Di dalam garasinya, dia memasukan kantung sampah itu ke dalam bagasi mobilnya. Lewat tengah malam dan keadaan sepi dia membawa mobilnya ke bukit jauh dari sana. Di sana dia mengubur begitu dalam mayat tersebut dalam tanah.Sementara masih di dalam ruangan bawah tanah. Menanti Dokter Rein datang,
Arika berjalan dari berbelanja. Mengenakan sweater rajut berwarna putih dengan kerah turtleneck untuk menutupi kiss mark nya. Arika berjalan dengan senyum di wajahnya."Seenggaknya saat aku keluar dan berbincang dengan para penjual yang begitu ramah bisa membuatku terhibur dari sesaknya hidupku bersama Dokter Rein. Karena kebaikan Dokter Rein pula, mereka bisa memperlakukan aku dengan begitu hormat dan baik." pikir Arika yang sambil menjinjing kantung belanjaannya.Dari kejauhan matanya yang berbinar melihat wanita yang waktu itu dia lihat, tengah berdiri di tempat yang sama memandangi ke arah rumah Dokter Rein."Wanita itu lagi? Siapa sebenarnya dia?" tanya hati Arika begitu penasaran."Nggak...nggak..., terakhir kali rasa penasaran ku membawa diriku kepada mimpi buruk. Sebaiknya aku nggak ikut campur lagi." pikirnya lagi.Wanita itu berbalik sedih dan pergi meninggalkan rumah Dokter Rein. Arika memandanginya yang perlahan menghilang dari pandangannya. Dia pun masuk ke dalam rumah Do
"Kamu telah berjanji bukan, tidak akan menyakiti putriku selama aku menurut kepadamu?" teriak Arika."Hasratku hanya ingin membunuh. Aku tidak pernah ingin menepati janjiku. Hahhaa...!""ARMELIAAA!!!!" jerit Arika terperanjat dari tidurnya. Matanya terbelalak, nafasnya terengah-engah, dan keringat bercucuran membasahi tubuhnya. Tanpa dikomandoi air mata terjun bebas dari kedua matanya.Lampu tidur di atas nakas menyala. Pria yang tidur disebelahnya terbangun dan segera duduk merangkul Arika."Ada apa Arika?" tanya Dokter Rein."Aku...aku...nggak apa-apa." jawab Arika mengusap air mata di pipinya."Kamu pasti bermimpi buruk. Sudah nggak apa-apa. Itu hanya mimpi. Kembalilah tidur." kata Dokter Rein merebahkan tubuh Arika dalam pelukannya."Apapun mimpi burukmu, itu bukan saja akan menjadi mimpi, cepat atau lambat mimpi itu akan menjadi kenyataan." seringai Dokter Rein seraya mengusap rambut halus Arika."Selama bersamamu mimpi buruk itu bisa saja menjadi kenyataan." pikir Arika.********
"Aku tahu, aku hanya tidak bisa tidur. Dari pada bingung, akhirnya aku membersih rumah." jawab Dokter Rein."Aku memiliki kejutan untukmu." kata Dokter Rein tersenyum misterius."Kejutan? Kejutan apa?" tanya Arika bingung."Ikut aku!" jemari panjang Dokter Rein merangkul pergelangan tangan Arika lalu menuntun Arika untuk berjalan mengikutinya.Senyum bahagia tidak terlepas dari wajah tampannya. Perasaan Arika mulai tidak enak. Jantungnya mulai berdentum kencang. Kupu-kupu memenuhi perutnya menimbulkan sensasi aneh di tubuhnya.Dokter Rein membawanya ke dapur dan melewatinya. Saat dia membuka pintu dapur, Arika sudah bisa menebak kemana dia akan membawanya. Ruang bawah tanah. Tetapi ada apa? Kejutan apa yang akan Dokter Rein berikan kepadanya. Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi otaknya. Di dalam hati dia komat kamit berdoa agar kejutan itu bukan seperti mimpinya waktu itu. Semoga kejutan itu bukan tentang Armelia ataupun keselamatan dirinya dan Armelia.Dugaan Arika mendekati kebenar
"Mohon maaf, tetapi saya tidak tahu. Dari dia keluar ruangan saya waktu itu saya belum bertemu dia lagi. Seharusnya jadwal dia periksa ulang masih minggu depan.""Begitu ya.""Tetapi saat sedang pengobatan, Kikiko sempat bercerita kalau dia sering bertengkar dengan kekasihnya. Untuk mengkonfirmasi bisa tanyakan kepada suster saya, dia juga mendengarkan cerita Nona Kikiko. Mungkin ini bisa menjadi petunjuk.""Oh baiklah kalau begitu. Kami mohon maaf telah mengganggu waktunya Dokter Rein." pamit Detektif itu."Tidak masalah."Di pasar...."Apa anda pernah melihat gadis ini?" beberapa polisi tengah menanyakan keberadaan gadis yang di culik Dokter Rein."Apa anda pernah melihat gadis ini?" tanya seorang polisi menyodorkan foto gadis di hadapan bibi Ivi."Nggak, saya nggak pernah melihatnya." jawab Bibi Ivi."Apa anda pernah melihatnya?" giliran Arika yang ditanya. Dengan tenang, Arika bisa menutupi kenyataan dia tahu dimana gadis itu berada sekarang."Nggak. Saya nggak pernah melihatnya."
"Aku tidak tahu, tetapi aku merasa beruntung walau memasuki kehidupan Dokter gila itu, aku menjadi orang yang dia percaya bukan menjadi korban seperti yang lain. Tetapi sampai kapan aku bisa bertahan di sisinya? Bagaimana kalau dia bosan dan menghabisi aku seperti yang lainnya?" pikir Arika tiba-tiba merasa sesak."Aku akan bersikap sebaik mungkin kepada Dokter itu. Dan memuaskan hasrat seksual nya. Ya, aku rasa itu kuncinya aku bisa terus bertahan." sambung pikirannya.Malam ini meski Arika merasa sudah sangat lelah namun Arika tidak dapat tidur. Arika terduduk dengan resah di kursi meja makan. Dia menyeruput kopi instan yang dia seduh beberapa saat yang lalu."Hufh...!" Dokter tampan itu memasuki dapur dengan kemeja dengan noda tanah. Rambut sisi depan yang panjang sedikit menjuntai menutupi matanya sebelum dia sibakkan kebelakang.Arika terkesiap, dia berdiri dengan tiba-tiba."Do-dok-ter telah kembali?" ucapnya terbata karena gugup."Yah...," jawabnya singkat seraya mengangkat cang