Share

7. Kunci Dua Pintu

Author: Kimrana
last update Last Updated: 2023-08-09 23:49:34

Ada dua hal saat ini yang Arika takutkan dan cemaskan. Nasibnya malam ini harus melayani nafsu Dokter Rein dan juga kemungkinan manusia di dalam ruang bawah tanah itu.

Sepanjang hari dia menuruti perintah Dokter Rein untuk tidak melakukan pekerjaan berat. Namun bukan karena dia ingin badannya fit, namun karena perasaannya yang terlalu resah memikirkan semua hal menakutkan itu.

Sampai malam hari tiba, Dokter Rein pun kembali dari kliniknya. Arika menatap dari jendela ruang tamu ke arah luar saat mobil Rein berhenti dan terparkir di depan rumahnya.

Jantungnya mulai bergemuruh. Sebisa mungkin Arika bersikap biasa untuk dapat menyambut Dokter Rein.

Dokter Rein membuka pintu rumahnya. Arika memasang senyumnya. Terlalu berat untuk dilakukan bibirnya yang gemetar takut. Namun dia menyadari sesuatu, bila dia begini Dokter Rein bisa curiga. Dia mulai melupakan semua ketakutannya.

"Kamu pasti lelah," kata Arika mengambil tas kerja Dokter Rein.

"Yah. Harusnya aku bisa pulang lebih cepat dari ini. Tetapi ada keadaan darurat, jadi aku harus tangani dulu," jawab Dokter Rein merangkul pundak Arika sambil berjalan ke kamarnya.

"Apa yang aku dengar benar. Anda Dokter yang baik. Bahkan saat ada yang membutuhkan, anda rela pulang terlambat demi pasien darurat," sahut Arika.

"Hahaha," Dokter Rein tertawa.

"Semua dokter akan melakukan hal yang sama Arika. Karena itu sudah menjadi bagian dari tugas kami," jawab Dokter Rein.

"Hm..., begitu ya." jawab Arika.

"Anda mau saya siapkan air hangat di bathtub atau mandi shower?" tanya Arika.

Dokter Rein menaruh lengannya di pinggang Arika dan memutar tubuh depan Arika hingga menempel kepadanya.

"Sepertinya berendam akan lebih mengasyikan bukan?"bisiknya menyatukan kedua dahi mereka.

Arika melihat bibir Dokter Rein saat berbicara. Tanpa dia sadari dia menggigit bibir bawahnya sendiri. Bersikap sensual yang membuat Dokter itu malah terlihat semakin bergairah.

Arika menelan salivanya, "baiklah. Akan aku siapkan," kata Arika bergegas ke kamar mandi setelah menaruh tas kerja Dokter Rein di single sofa yang bersandar dekat pintu kamarnya.

"Bagus, gadis penurut!" gumamnya menatap Arika dari belakang.

Dia mulai membuka jam tangan yang dia kenakan.

"Biar aku bantu," kata Arika membantu Dokter Rein melepas kancing kemejanya satu persatu.

Dokter Rein menatap Arika lembut sambil tersenyum. Arika mendongak dan ikut tersenyum.

"Ini bahkan sudah sangat menggairahkan untukku," bisiknya mencium bibir Arika.

Bathtub siap dengan air hangat di dalamnya, mereka pun berendam bersama di sana.

"Aku ingin membuat kamu selalu merasa nyaman sebelum kita melakukannya. Karena aku tidak ingin membuatmu tertekan. Aku ingin kamu menikmati semua itu," ungkap Dokter Rein berbisik di telinga Arika yang kini bersandar di dadanya.

"Dokter Rein benar-benar begitu baik, dia bahkan memikirkan sampai sedetail itu. Apa mungkin dia bisa bersikap kejam? Aku rasa nggak." pikir Arika meruntuhkan keraguannya akan sifat tersembunyi Dokter Rein.

"Apa yang dikatakan orang-orang benar. Mungkin dia nggak sempurna dan memiliki kekurangan tetapi dia bukan orang yang jahat," sambung pikiran Arika.

"Meski demikian, lalu apa yang ada di ruang bawah tanah sana?" pikirnya lagi.

"Apa ada yang kamu pikirkan Arika?" tanyanya mengusap lengan Arika dengan ujung jari telunjuknya.

Arika menggeleng.

"Nggak ada Dokter Rein." jawab Arika.

"Ahhh Dokter," Arika mendesa saat Dokter Rein mulai melancarkan aksi pemanasannya sebelum berlanjut ke inti.

Malam berlalu begitu lama bagi Arika dalam cengkraman Dokter Rein. Malam penyiksaan namun juga terasa nikmat baginya.

Pagi datang, entah apakah Arika pingsan atau dia hanya tertidur kelelahan. Sampai Dokter Rein telah siap dengan pakaian kerjanya Arika masih terpejam di atas tempat tidurnya.

Dokter Rein tersenyum melihat Arika. Dengan lembut dia mengecup pipi Arika.

Arika terperanjat kaget, terduduk langsung dari tidurnya. Jemarinya mencengkram kuat selimut yang menutupi dadanya yang terbuka.

"Ampuni aku Dokter Rein, maaf...," racau Arika dengan napas tersengal-sengal.

"Arika!" Dokter Rein duduk disebelah Arika dan memeluknya.

"Kamu baik-baik saja?"

"Ah..., iya Dokter. Maafkan aku. Aku terlambat bangun."

"Nggak apa-apa. Aku yang harusnya minta maaf telah membangunkan kamu. Kamu pasti sangat lelah kan?" tanya dengan lembut.

"Tidurlah lagi. Aku sudah menyiapkan sarapan dan makan siang untukmu di dapur. Hangatkan lagi saja kalau kamu mau makan. Aku harus ke klinik sekarang." pesannya.

"Baik," Arika mencoba turun dari tempat tidur namun sesuatu di bawah perutnya terasa perih dan nyeri.

"Ah...," Rintihnya.

"Kamu jangan bangun." katanya merangkul Arika dari depan.

"Makanannya aku bawa ke sini saja ya. Agar kamu tidak perlu turun,"

"Nggak Dokter, jangan! Biar aku ke dapur nanti," jawab Arika memegang lengan Dokter Rein.

"Baiklah kalau itu mau mu. Aku harus berangkat. Berbaringlah!" Dokter Rein membantu Arika berbaring di atas tempatnya. Wajah Arika meringis kesakitan saat itu.

"Sampai nanti Arika!" Dokter Rein mengecup kening Arika dan berbalik menuju pintu. Tanpa Arika sadari Dokter Rein yang membelakanginya tersenyum licik sambil keluar dari kamar.

"Bagaimana aku bisa mencari tahu kalau begini keadaannya?" pikir Arika memegangi antara pahanya.

"Ah...putikku rasanya mau copot. Aku ingin pergi saja dari sini. Dia begitu baik namun di sisi lain dia pun menyiksaku," tambah pikirannya.

"Tetapi aku juga masih membutuhkannya untuk melanjutkan hidupku. Inikah yang disebut hidup bagaikan dua sisi mata uang?"

Arika terpejam dengan sendirinya setelah lelah menangis. Ketika dia bangun hari sudah menjelang sore.

"Tidurku lama sekali," gumamnya seraya menurunkan kedua kakinya secara perlahan dari atas tempat tidur.

"Berendam air hangat pasti bisa meredakan nyeri selangkanganku,"

Ketika tengah berendam, Arika mulai berpikir, mencari cara agar bisa masuk ke dalam ruangan bawah tanah itu.

"Untuk membuktikan dugaanku salah tentang Dokter Rein aku harus bisa mengetahui isi ruang bawah tanah itu,"

"Dan hanya ada satu cara agar bisa masuk yaitu menemukan kunci dua pintu itu."

Selesai mandi dia mengambil kumpulan kunci rumah yang terikat menyatu di dalam laci nakasnya. Itu adalah kunci yang dipegang Arika. Oleh Dokter Rein dia diserahi duplikat kunci rumah ini. Sementara kunci asli dipagang oleh Dokter Rein.

"Apa mungkin salah satu kunci ini ada kunci ruang bawah tanah?" tanpa menunggu lama dengan langkah perlahan Arika turun kelantai dasar.

Dia menuju ke ruang bawah tanah dan mencoba satu persatu kunci yang diserahkan kepadanya. Namun sayangnya tidak ada satupun kunci yang cocok dan bisa membuka pintu ruangan tersebut. Itu menandakan kunci itu tidak ada di antara kunci yang dia pegang.

"Sial..., nggak ada kuncinya di sini!" geram Arika dengan kesal.

"Lalu di mana kunci ruangan ini disembunyikan Dokter Rein?" tanyanya seraya menaiki anak tangga ruang bawah tanah.

"Apa itu ada di kunci yang dipegang Dokter Rein. Mungkin saja. Aku harus bisa mendapatkan kunci itu tanpa ketahuan olehnya." rencananya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janda Tawanan Dokter Reinhard   34. Pasangan Normal

    Rein berjalan mendekat, membawa dua cangkir teh hangat. Uapnya menari lembut di bawah cahaya lampu gantung yang kekuningan. Arika menerimanya tanpa banyak bicara, lalu duduk bersisian di sofa ruang tengah.Hangat. Hening. Nyaman.Namun di dalam hatinya, sebuah pertanyaan perlahan muncul ke permukaan.Kenapa Rein bisa berubah? Kenapa hari ini terasa berbeda?Apa yang membuatnya seperti ini—manusiawi, ramah, hampir… lembut?Tapi Arika tidak mengatakannya.Ia hanya menatap uap dari tehnya, membiarkan pertanyaan itu tenggelam perlahan dalam diam.Ia takut jika kata-kata itu keluar, semuanya akan berubah kembali.Dia ingin menikmati malam ini saja. Walau hanya sebentar. Walau hanya semalam.“Aku senang hari ini,” gumam Arika akhirnya, lebih kepada dirinya sendiri.Rein melirik ke arahnya, senyum tipis terbit di wajahnya. “Aku juga,” balasnya pelan.Mereka terdiam lagi. Tapi keheningan kali

  • Janda Tawanan Dokter Reinhard   33. Oppa di Taman Bermain

    Tiba-tiba pikiran Arika mengingat ucapan Rein barusan yang masih menggema di kepala Arika. Sebuah kalimat yang mungkin tidak terkesan ada keanehan :"Itu bukan dia. Pria itu masih hidup setidaknya sekarang. Dan entah apa dia akan melapor atau tidak."Arika seperti menangkap sebuah clue, 'setidaknya sekarang'. Kata-kata itu terlalu ambigu. Terlalu berbahaya dan mengandung makna.Arika menyingkap selimut dan bangkit dari tempat tidur. Jantungnya berdegup keras saat kakinya menyentuh lantai. Ia melangkah cepat menuju pintu, lalu menuruni tangga satu per satu, menuju ruang yang paling tak ingin ia lihat pagi ini—ruang bawah tanah.Langkah Rein terdengar tak jauh di belakang, namun alih-alih cemas, ia terdengar... ringan. Seolah sedang mengamati anak kecil yang penasaran."Masih penasaran?" suaranya lembut, seperti sedang menggodanya.Arika tak menggubris. Dia menuruni tangga ke ruang bawah tanah sementara Rein tetap menanti di atas. Tangan Arika gemetar saat membuka pintu ruang bawah tana

  • Janda Tawanan Dokter Reinhard   32. Tawa Dalam Ketakutan

    Suara hujan tak berhenti. Menit-menit terus berlalu, tapi halaman laporan masih kosong. Jay menatap layar komputer yang redup. Pantulan bayangannya sendiri muncul samar. Ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri lagi. "Sejak kapan aku jadi seperti ini?" Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Bukan karena marah—tapi karena tak berdaya. Ia tahu prosedur. Ia tahu cara menyelidiki luka, membaca tanda-tanda kekerasan, mengejar kebenaran. Tapi malam ini, semua ilmunya lumpuh di hadapan satu tatapan mata. Tatapan Arika. Tatapan yang menyimpan seribu jeritan yang tak diucapkan. Tatapan yang dulu mengenalnya, kini nyaris tak bisa menatap balik. Tatapan yang terasa... minta tolong. 🎶 Jika kau merasa sepi… kembalilah ke tempat ku menanti… Lagu For Revenge-Serana mengalun. Dengan lirik yang senada dengan perasaan Jay malam ini. Jay memejamkan mata. "Apa kau bahagia, Ka?" "Apa kau aman…?" Pertanyaan-pertanyaan itu menggema, tak pernah terjawab. Dan sialnya, dia tah

  • Janda Tawanan Dokter Reinhard   31. Tetap Bersih

    Langkah Arika pelan, seakan jiwanya belum kembali ke tubuh. Ia masuk kembali ke ruangan Rein hanya untuk satu hal—mengambil tasnya. Tapi bahkan itu terasa berat. Tangannya sempat bergetar saat meraih pegangan tas, seolah benda itu pun ikut menolak disentuh.Namun sebelum sempat ia berbalik, tangan Rein menyergap pergelangannya. Kencang. Dingin. Seperti jerat.“Mau ke mana lagi kamu?” Suaranya rendah tapi tajam. Tak perlu teriak untuk terasa mengancam.Arika tak menjawab.Rein mendekat, wajahnya hanya sejengkal darinya. “Mau pergi lagi? Atau mengejar Jay?”“Bukan urusanmu,” sahut Arika, datar namun penuh api.Genggaman Rein mengencang. “Apa kamu mau dihukum lagi, huh?”“Hukum saja. Bunuh sekalian. Aku sudah tidak peduli!”Kata-kata itu meledak seperti bara dilempar ke minyak. Tatapan mereka saling mencengkram dalam keheningan yang membakar. Tidak ada yang bicara, tapi amarah, luka, dan kegilaan menari di udara.Lalu—klik.Pintu terbuka.Seorang pria berseragam putih masuk dengan wajah

  • Janda Tawanan Dokter Reinhard   30. Cinta Dalam Diam

    Masih di pagi yang sama, matahari menyusup pelan di antara celah tirai, membasuh kamar dengan cahaya hangat. Rein bersiap ke klinik. Memakai kemeja yang telah disiapkan Arika secara susah payah ditengah luka-lukanya. Dia duduk di sisi ranjang, menatap Arika yang masih berbaring dengan tubuh lemah namun tak lagi menolak. Tangan kekar namun halus itu mengusap kaki Arika dengan lembut. “Kau yakin tidak akan kembali ke klinik hari ini?” tanyanya pelan, seolah hanya memancing. Arika membuka mata, tak menghindar. “Nggak. Aku nggak mau, kalau kamu nggak keberatan.” Rein tersenyum tipis, tak membantah. “Baiklah, bila itu maumu. Tapi aku ingin memberitahu... hari ini Armelia punya jadwal kontrol. Giginya sakit.” Nama itu seketika menyalakan sesuatu dalam diri Arika. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit perlahan, mengabaikan perih yang masih terasa di tubuhnya. “Aku akan ke klinik.” Rein han

  • Janda Tawanan Dokter Reinhard   29. Rasa Tak Bernama

    Dalam percumbuan malam itu, tubuh Arika tak lagi terasa seperti miliknya. Tangisnya jatuh, tanpa suara, menetes bersama luka-luka merah yang baru saja tercipta di kulitnya. Sabuk itu menyisakan jejak, bukan hanya pada dagingnya—tapi jauh lebih dalam, di tempat di mana rasa percaya pernah hidup. Namun Dokter Rein tidak berhenti. Bermain nikmat dengan tubuh Arika melalui sentuhan-sentuhannya. Baginya, setiap rintihan Arika adalah Puisi penaklukan. Setiap getar dan jerit bagai pengakuan atas kekuasaan yang ia genggam sepenuhnya. Tak ada ruang untuk pembangkangan dalam dunianya. Bahkan cinta pun, bila pernah ada, telah disalibkan oleh harga dirinya. Dia memuaskan hasratnya kepada tubuh Arika yang tak berdaya dalam kungkungannya. Berkali-kali seolah tak ada ampunan untuk hukumannya. Arika mengerang, bukan lagi sekadar karena sakit, melainkan karena dirinya perlahan memudar di bawah cengkeraman laki-laki itu. Tapi tubuhnya... tu

  • Janda Tawanan Dokter Reinhard   28. Retakan Dari Dalam

    Pagi itu, klinik diselimuti aroma antiseptik dan suara detik jam dinding yang terdengar terlalu nyaring. Arika duduk di meja resepsionis menggantikan sementara suster yang sedang ke kamar mandi. Tubuhnya tampak biasa, tapi pikirannya masih tenggelam dalam sisa-sisa kata Rein malam sebelumnya. Seorang pasien wanita paruh baya menghampirinya, menanyakan soal jadwal pembersihan karang gigi. Arika tersenyum tipis, tapi bibirnya malah melontarkan kalimat yang membuat wanita itu terdiam: “Sudahkah Ibu berpikir kalau rasa sakit kadang perlu untuk tahu di mana titik lemahnya?” Wanita itu menatapnya aneh, mundur setengah langkah. Arika buru-buru membenarkan ucapannya, mencoba menggantinya dengan penjelasan jadwal, tapi keganjilan itu terlanjur menggantung di udara. "Oh...maaf...aku sedang teringat dialog drakor yang aku tonton. Untuk jadwalnya siang ini ya bu." jelasnya

  • Janda Tawanan Dokter Reinhard   27. Suara Dalam Kepala

    Sebuah suara berderak terdengar dari balik pintu ruang istirahat. Arika langsung berdiri. “Dokter Rein?” tanyanya, meski hatinya berharap bukan. Tapi yang muncul bukan Rein—melainkan salah satu suster senior, Bu Edna. “Oh, kau di sini, sayang,” ucapnya ramah, membawa nampan kecil berisi teh hangat. “Kau pasti lelah. Hari pertama pasti selalu begitu.” Arika memaksakan senyum. “Iya… masih menyesuaikan.” Bu Edna menaruh teh di meja, lalu duduk di hadapannya. Matanya menatap lekat, tapi bukan dengan rasa ingin tahu—lebih seperti… rasa iba yang terselubung. “Dulu, aku juga pernah melihat mata seperti matamu,” katanya pelan. “Mata… seperti apa maksudnya?” Arika nyaris berbisik. “Mata yang sedang mencari dirinya sendiri... di tempat yang tak memberi jawaban.” Seketika ruangan terasa dingin. Arika hendak bertanya lebih lanjut, tapi Dokter Rein muncul di amba

  • Janda Tawanan Dokter Reinhard   26. Diantara Dua Kesadaran

    Arika terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi leher dan dahinya. Matanya terbuka lebar menatap langit-langit kamar yang temaram. Dunia nyata terasa jauh, seolah ia masih tersangkut di dalam mimpi—mimpi yang tidak jelas, tapi menyisakan rasa sakit dan sesak.Ada suara... samar dan terputus-putus. Tawa anak-anak. Isakan. Teriakan. Lalu sunyi.Ia duduk perlahan. Tangannya gemetar. Dan saat matanya jatuh pada telapak tangannya sendiri, ia membeku.Kotor.Tangannya seperti habis mencengkeram tanah, atau debu... atau sesuatu yang lebih pekat. Tapi ia tidak ingat apa pun. Tidak ada luka, tidak ada rasa sakit—hanya kotoran samar yang lengket di sela-sela jarinya.Dengan langkah panik, Arika menuju kamar mandi. Lampu putih menyala terang dan memantulkan wajahnya di cermin.Dunia di sekelilingnya tampak nyata, tapi rasanya seperti lapisan tipis yang bisa sobek kapan saja. Udara pun terasa terlalu sunyi, terlalu bersih—tidak seperti di dalam mimpi itu.“Apa yang terjadi padaku…

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status