Bagas teringat nomor W******p Alana dan ia mencoba memberikan pesan singkat kepada Alana. Didalam isi pesan tersebut, Bagas menuliskan bahwa ia menanyakan apakah Alana juga diajak ke mixue oleh Dewi?
Setelah mengirim pesan singkat, Bagas memutuskan untuk tidur sejenak. Matanya dipejamkan dan tidak lama terdengar pesan masuk yang membuat kedua bola mata pemuda itu membuka, "Hai Bagas, kebetulan aku diajak kok" balas Alana lewat pesan. Lalu Bagas mencoba menawarkan diri untuk membonceng Alana, awalnya Alana menolak tawarannya namun akhirnya Alana mengiyakan ajakannya tersebut. Mereka janjian untuk ketemuan di jam tujuh malam, "Tapi jangan jemput di depan rumahku, cukup kita ketemuan di tempat yang tadi aku turun dari motor kamu” tulis Alana di pesan tersebut. Sebenarnya ada rasa penasaran, namun Bagas memilih untuk tidak memikirkan hal yang belum tentu benar, "Paling tidak, malam ini aku bisa barengan bersama dia" gumamnya pelan. Alana menaruh ponselnya ke atas kasur dan menoleh kearah lemari yang telah sudah tua. Alana menghampiri lemari itu dan membukanya. “Aku tidak mempunyai pakaian bagus untuk aku kenakan nanti malam” gumamnya pelan. “Ah, tapi aku ini lumayan bisa menjahit pakaian, siapa tahu aku bisa memodifikasi beberapa pakaian ini agar terlihat lebih cantik” gumamnya. Sore itu, Alana berusaha menjahit dan memodifikasi pakaian-pakaian tersebut dengan bahan dan alat seadanya. Menjahitnya pun tidak menggunakan mesin jahit akan tetapi menggunakaan keahlian tangannya sendiri dengan jarum jahit yang telah dipasang benang. Keringat dikeningnya mulai bercucuran namun ia tetap fokus mengerjakan jahitannya. Jam telah menunjukkan pukul enam sore dan akhirnya usaha Alana berhasil dengan menghasilkan pakaian yang unik. Alana tidak henti-hentinya berucap syukur kepada tuhan yang maha esa yang telah membantunya. Alana melirik jam di ponselnya dan segera mandi dengan langkah cepat, sementara Bagas sudah selesai berpakaian rapih dan hanya tinggal menjemput Alana. Sebelum berangkat, Bagas tidak lupa berpamitan kepada papa dan mamanya, orang tua Bagas sangat menyayangi Bagas yang menjadi anak satu-satunya harapan orang tuannya. “Sayang, nanti pulangnya jangan larut malam ya” kata Dinda, mama dari Bagas. “Ah, Mama ini... Kalaupun menginap izinkan saja... Toh, dia itu laki-laki jadi aman” kata Broto, Papa dari Bagas. Bagas melirik jam di tangannya,. “Pa, Ma, Bagas berangkat dulu... Daaa!” serunya. Di lain sisi, Alana menyisir rambut panjangnya yang hitam berkilau. Tatapannya sesaat terpaku pada cermin. "Aku harus segera ke tempat itu, tempat di mana Bagas menungguku," gumamnya pelan. Ia melirik ke arah pintu kamar, memastikan keadaan di luar tenang. Jika Mamanya tahu, pasti ia akan dilarang keluar. Dengan hati-hati, Alana membuka pintu, melangkah tanpa suara. Sesampainya di ruang tamu, ia menahan napas. Rumah masih sunyi. Tanpa ragu lagi, ia menyelinap keluar, berharap orang tuanya tak menyadari kepergiannya. Di tempat yang telah disepakati, Alana melihat sosok Bagas berdiri menunggu. Dengan sedikit berlari, ia mendekatinya dan memanggil, "Bagas!" teriaknya. Bagas menoleh, senyumnya merekah saat melihat Alana. Ia melambaikan tangan, memberi isyarat agar gadis itu segera menghampirinya. “Ini, pakai helmnya” ujar Bagas ketika Alana sudah mendekat. “Terimakasih” sahut Alana lembut. Alana pun memakai helm tersebut dan duduk di belakang Bagas. Sesampainya di tempat tujuan, rupanya acara sudah mulai dan hanya Bagas dan Alana yang belum datang. Ketika Bagas dan Alana sudah datang, teman-teman yang lainnya sangat terkejut hingga membuat Ayuna batuk saat meminum ice mixue. “Ayuna, kok Bagas barengan sih sama dia!” seru Anik yang tidak terima Bagas dekat-dekat dengan Alana. Hal itu juga serupa dengan Dewi, yang tidak menyangka bakalan seperti ini. Niatnya untuk mengolok-olok Alana, kini terkubur sia-sia hanya karena kedekatan Bagas terhadap Alana. Namun, demi mendapatkan hati Bagas, sang mantan pujaan hati, Dewi tetap bersikap ramah kepada Alana dan menyuruh Alana untuk mencari tempat duduk. “Eh, Alana.. duduklah cari tempat yang kosong” ujar Dewi. Alana mengangguk pelan dan mulai mencari tempat duduk yang masih kosong, Bagas hendak mengikuti Alana, namun Dewi meraih tangan Bagas dan mengatakan bahwa Bagas sudah disediakan tempat khusus untuknya. “Bagas, mau kemana? Aku sudah siapkan tempat khusus lohh buat kamu” ujar Dewi Namun Bagas yang melihat Alana duduk sendirian tentu ia tidak tega. Lalu Bagas memilih menghampiri Alana dibandingkan mengiyakan ajakan Dewi. “Dewi, apa ini mimpi kah?” tanya Pinkan yang tidak percaya melihat momen didepan matanya. Karena tidak percaya, Pinkan menyuruh Nesya untuk menampar pipi kirinya dan Nesya pun mengiyakan lalu sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Pinkan hingga memerah. Karena tamparan Nesya terlalu kuat, membuat Pinkan kesal dan tidak terima. Hingga, kedua cewek tersebut saling berantem. Melihat kesempatan ada di depan mata, Relandra yang sedari dulu begitu mengidolakan Dewi, kini berlagak menjadi super hero. Ia berusaha menarik hati Dewi melalui mererai keributan yang dilakukan oleh Pinkan dan Nesya, “Ciwi-ciwi cantik pasti pada ngerebutin gw hi... Hi! Tapi sayang, cintaku cuma untuk Dewi” celetuknya. “Cuihhh!!!” ketiga cewek tersebut meludah. “Nes, Pin... Kalian kamseupay banget sih! Mana ada cewek norak kek dia bisa bersanding dengan Bagas! Ha ha... Aku yakin, pasti Alana diam" ngehubungi Bagas dan ngemis minta baut di ajak!” ucap Dewi menyeringai. “Wah... Kalau kayak gini kita jangan diam saja!” sahut Pinkan. “Lalu, apa yang mesti kita lakukan?” tanya Dewi yang masih kebingungan. Nesya menyeringai, lalu berbisik di telinganya dan diikuti oleh Pinkan. “Ide bagus! Oh iya, Lo suka kan sama gw?” tanya Dewi menolehkan kepalanya ke arah Relandra. Dengan polosnya Relandra mengangguk, “Kalau begitu Lo mesti ngelakuin hal ini demi gw!” ucap Dewi ~ Malam itu juga, di kursi yang jauh, untuk pertama kalinya Alana menikmati rasanya berkumpul bersama teman-teman dan menikmati minuman enak seperti ice cream yang memang lagi digemari oleh banyak karangan terutama para kaum remaja. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Alana merasa hari ini sudah sangat malam dan meminta Bagas untuk mengantarkannya pulang, lalu mereka pun pulang lebih dulu dari teman-teman yang lain. Masih di tempat yang sama, Ayuna dan Anita saling bertatapan. “Kenapa Bagas malah dekat sama Alana? Apa Kamu tidak cemburu kah?” tanyanya, dengan tetap menatap wajah sahabatnya itu. “Uh... Aku rasa, Bagas hanya tidak ingin membuatnya merasa asing dan aku rasa hal yang dilakukan olehnya adalah wajar” ucap Ayuna, sembari tersenyum manis, “Aku harap dia pasti akan membantuku untuk semakin dekat dengannya” gumam Ayuna.Bagas mengusir kedua temannya agar tidak mengganggu kesehatan Alana. Sementara Alana tidak ingin Dewi melihatnya bersama dengan Bagas. Setelah Relandra dan Devano sudah keluar, Bagas menatap wajah Alana yang terlihat pucat pasi.“Kamu tunggu disini” ujar Bagas.Alana melihat Bagas tengah pergi, entah apa yang dilakukan Bagas? Alana tidak dapat berpikir lagi. Ia memutuskan untuk tidur agar tubuhnya segera stabil. Tidak lama kemudian, Bagas datang dengan membawa beberapa makanan.“Alana, bangun”Alana bangun dan Bagas tersenyum, “Kamu seperti ini karena belum sarapan pagi. Sekarang, kamu harus makan” ujar Bagas.Bagas mulai menyuapi Alana dengan bubur ayam. Alana yang sudah sangat lapar, terpaksa memakan bubur tersebut. “Ayo, makan lagi yang banyak” ujar Bagas yang kembali menyuapi Alana.Dari balik jendela, Relandra dan Devano mengintip kemesraan mereka. Sampai-sampai dibelakang mereka ada pak guru killer sedang memantaunya.“Sedang apa kalian?” tanya pak guru killer.Relandra dan Deva
Bagas mengusir kedua temannya agar tidak mengganggu kesehatan Alana. Sementara Alana tidak ingin Dewi melihatnya bersama dengan Bagas. Setelah Relandra dan Devano sudah keluar, Bagas menatap wajah Alana yang terlihat pucat pasi.“Kamu tunggu disini” ujar Bagas.Alana melihat Bagas tengah pergi, entah apa yang dilakukan Bagas? Alana tidak dapat berpikir lagi. Ia memutuskan untuk tidur agar tubuhnya segera stabil. Tidak lama kemudian, Bagas datang dengan membawa beberapa makanan.“Alana, bangun”Alana bangun dan Bagas tersenyum, “Kamu seperti ini karena belum sarapan pagi. Sekarang, kamu harus makan” ujar Bagas.Bagas mulai menyuapi Alana dengan bubur ayam. Alana yang sudah sangat lapar, terpaksa memakan bubur tersebut. “Ayo, makan lagi yang banyak” ujar Bagas yang kembali menyuapi Alana.Dari balik jendela, Relandra dan Devano mengintip kemesraan mereka. Sampai-sampai dibelakang mereka ada pak guru killer sedang memantaunya.“Sedang apa kalian?” tanya pak guru killer.Relandra dan Deva
Alana sudah hampir satu minggu tidak masuk sekolah. Kini, merupakan hari pertama ia mulai masuk sekolahnya lagi. Tidak ada hal yang berbeda pada lingkungan sekolah hanya saja ada yang sedikit berbeda dari rautan wajah teman-temannya. Terutama, Dewi yang terlihat tengah berbisik-bisik.Alana melirik Ayuna yang juga menatapnya. Alana berusaha tersenyum kearahnya. Tanpa disadari, Ayuna juga ikut membalas senyumannya. Terlintas sejenak kenangan mereka sewaktu SMP dulu. Canda dan tawa selalu mereka rasakan.Saat Alana termenung, tiba-tiba guru datang dan membuat lamunannya memudar. Pak guru Rahman sedikit kaget saat melihat Alana telah kembali. "Alana, saya dengar kamu sedang sakit. Apa sekarang kamu sudah membaik?" tanya pak Rahman selaku guru IPA."Iya, Pak. Saya sudah sembuh" ujar Alana dengan ramah."Syukurlah, Alana. Maafkan Bapak bila tidak sempat menengok keadaanmu" ujar pak Rahman."Tidak apa-apa, Pak" sahut Alana.Dewi melihat Alana waktu itu tentu tidak percaya kalau Alana tidak
Wina menerima tumpukan uang dari Alexander dengan mata berbinar. Jemarinya bergetar saat menyentuh lembar demi lembar, seolah tak percaya pada keberuntungan yang tiba-tiba datang menghampirinya.“Ah… begini dong, Tuhan,” gumamnya sambil tersenyum puas. “Kalau ngasih rezeki, jangan setengah-setengah. Biar hidup nggak susah terus.”Dengan mata berbinar dan senyum yang tak bisa disembunyikan, Wina memeluk uang itu seperti harta karun yang akhirnya kembali ke pelukannya. Tak ada rasa peduli dari mana uang itu berasal, atau apa konsekuensinya.Di sisi lain, Alana terbangun dengan tubuh terasa nyeri, terutama di bagian bawah. Dahi berkerut, ia perlahan menarik selimut—Lalu jantungnya serasa berhenti.Noda merah membekas di seprai putih. Matanya membelalak. Napasnya tercekat. Panik menjalari tubuhnya.“Apa yang... terjadi…?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.Seketika, sebuah suara dingin menghantam keheningan dari balik pintu kamar.“Kamu sudah tidak perawan lagi, Alana.”Itu suara Ale
Terdengar suara klakson mobil dari depan halaman rumah, hati Alana seketika resah, ia menebak bahwa suara mobil tersebut berasal dari suara mobil Alexander yang sudah sampai ke rumah. Alana menghela nafas, lalu mencoba keluar dari pintu kamar tidur untuk melihat situasi di ruang tamu. Alana melihat Wina begitu hangat menyambut kedatangan Alexander dengan seribu senyuman termanis.“Tuan Alexander sangat tampan dan gagah!” puji Wina kepada Alexander.“Terimakasih, Wina!” ujar Alexander dengan puas akan pujian tersebut.Menyadari putrinya tengah mengintip, Wina pun berkata, “Alana, ngapain kamu berdiri saja disitu? Ayo kemarilah dan beri salam sama Tuan Alexander!” perintahnya dengan nada mengatur.Alana menunduk pasrah, menahan gelombang rasa yang sulit dijelaskan. Dengan langkah pelan, ia mendekati mama dan Alexander yang tengah berdiri berdampingan. Wajahnya datar, namun matanya menyiratkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Begitu pandangannya jatuh pada Alana, sorot mata Alexa
Di dalam kamar ber-AC yang dipenuhi aroma parfum mahal, Anik berdiri di depan cermin besar dengan tatapan kosong.Ponselnya berkedip. Notifikasi dari grup chat bertuliskan “Target: Alana” baru saja muncul. Anik membuka pesan itu dengan jari yang bergetar, bukan karena takut—melainkan karena marah."Maaf Bos, temanmu kabur karena ada cowok yang bantuin."Anik menutup ponsel dengan cepat dan melemparkannya ke atas kasur. Ia berjalan mondar-mandir dengan langkah cepat, seperti menahan sesuatu yang mendidih dalam dirinya.“Bagaimana bisa gagal? Aku udah pastikan semua rapi,” gumamnya sendiri, giginya bergemeletuk karena emosi. Pandangan matanya tertumbuk pada foto yang menempel di papan gabus—foto Ayuna, tersenyum polos di tengah taman sekolah. ia teringat awal-awal pertemanannya bersama Ayuna. Saat itu…Matahari pagi menyelinap masuk lewat jendela kaca ruang kelas, memantulkan cahaya hangat ke lantai, tapi suasananya justru terasa dingin dan mencekam. Di sudut ruangan, Dewi dan dua sahab