Pagi itu, Sevi membuka mata dengan berat. Layar ponselnya menyala terang, menampilkan deretan notifikasi chat kantor. Grup tim sibuk membicarakan deadline, atasannya menanyakan progres, bahkan beberapa email masuk sudah menunggu balasan. “Saya masih sakit, izin istirahat hari ini.”
Tanpa menunggu balasan, ia taruh ponsel kembali di meja samping ranjang. Kaos longgarnya terasa lembap di bagian dada, lapisan tisu yang ia selipkan sejak semalam sudah basah menempel di kulit. Sensasi nyeri samar muncul setiap kali ia mengubah posisi tidur. Ia mendesah frustasi, menarik kaosnya ke depan, menatap noda samar yang semakin jelas.
Dengan langkah gontai, Sevi menyeret tubuh ke meja kerja kecil di sudut kamar. Ia menyalakan laptop, bukan untuk bekerja, melainkan mencari jawaban.
Ketikannya pertama: “minum susu keluar ASI padahal belum hamil”.
Hasil pencarian memenuhi layar. Forum ibu muda, artikel medis, thread anonim. Ia membaca satu per satu dengan mata yang mulai perih. Semuanya sama—membicarakan kehamilan, obat hormonal, atau penyakit tertentu. Tidak ada satupun yang menyebut susu. Tidak ada jawaban untuk keanehan yang dialaminya.
Ia mengganti kata kunci dengan tangan gemetar: “prolaktin food stimulant”.
Klik. Sebuah jurnal P*F terbuka. Bahasa ilmiahnya kaku, tapi kalimat demi kalimat menusuk. Penelitian itu membahas senyawa tanaman tertentu yang bisa memicu hormon produksi ASI bahkan tanpa adanya kehamilan. Sevi membaca pelan, tapi detak jantungnya semakin cepat. Jika benar… kalau senyawa itu ada di dalam BerryStraw?
Tangannya refleks meraih botol kosong di meja. Labelnya sederhana, desain mencolok dengan gambar stroberi segar. Tapi tidak ada pabrik jelas, tidak ada izin edar, hanya nama “BerryStraw – Limited Edition”. Semakin lama ia menatapnya, semakin aneh rasanya. Botol itu seperti produk bayangan—murah, asing, tapi entah kenapa semalam begitu menggoda hingga ia menghabiskan dua botol sekaligus.
“Kenapa aku bisa sebodoh ini…” desisnya, hampir seperti menyalahkan diri sendiri.
Sore hari, udara kamar makin gerah meski kipas menyala kencang. Kaos tipisnya kembali lembap, menempel erat di kulit. Sensasi hangat yang muncul sejak pagi bukannya mereda—justru semakin menguasai tubuhnya. Sevi terduduk di sofa, lututnya ditekuk, laptop terbuka di pangkuan. Setiap kali ia mencondongkan badan, rasa penuh di dadanya membuatnya meringis.
Ia sudah membuka dua belas tab browser. Marketplace, akun-akun pecinta susu, grup anonim di forum-forum kecil. Namun hasilnya sama. Tidak ada yang pernah mendengar BerryStraw. Produk itu seperti hantu—seolah tidak pernah benar-benar ada di dunia nyata.
Frustrasi, Sevi mengetik pertanyaan di forum anonim.
“Ada yang pernah dengar susu BerryStraw – Limited Edition? Efek samping aneh, please share.”
Ia menunggu. Menyegarkan halaman berulang kali, sambil sesekali mengusap dadanya yang kembali basah. Tubuhnya seperti sedang melawan logika: antara nyeri, hangat, dan sensasi aneh yang membuatnya semakin sulit berpikir jernih.
Detik demi detik terasa lambat. Langit di luar jendela mulai meredup, oranye sore berubah kelam. Lampu kamar menyala pucat, hanya layar laptop yang terang, memantulkan wajah Sevi yang pucat dan lelah.
Lalu notifikasi muncul. Satu balasan.
“Emang iya? Ini novel apa emangnya kalau iya? Mau link bacaannya dong?”
Sevi menatap layar, matanya membesar. Jemarinya langsung dingin, meski tubuhnya masih diliputi panas. Itu bukan jawaban yang ia tunggu—justru terdengar seperti ejekan. Ia menutup bibir dengan telapak tangan, menahan gemuruh jantungnya.
“Please…” bisiknya, suara parau.
Namun kalimat itu hanya bergema di kepalanya sendiri.
Sevi menutup laptop, bersandar ke sofa. Tapi tubuhnya kembali mengkhianati. Rasa penuh di dadanya makin menjadi, seakan menuntut dilepaskan. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, frustrasi pada sensasi yang seharusnya tidak ia rasakan.
Di meja kecil, botol kosong BerryStraw berdiri tegak, refleksi cahaya lampu membuat label merah mudanya semakin mencolok. Sevi menatapnya lama, napasnya tersengal.
“Kenapa harus aku?” bisiknya lagi, lebih lirih, lebih rapuh.
Di luar, hujan tipis mulai turun. Suara rintiknya menyusup ke kamar, tapi tidak cukup menutupi degup jantung dan denyut tubuh Sevi yang kian menuntut.
Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya-tanya… apakah ada seseorang di balik semua ini—seseorang yang sengaja membuat tubuhnya begini.
Pagi itu, Sevi bangun dengan tubuh masih gemetar. Setiap kali menutup mata, ia bisa merasakan lagi bibir Arlan menyentuh kulitnya—terlalu nyata untuk disebut mimpi. Dada Sevi berdenyut, lembap, meninggalkan rasa hangat yang membuatnya ingin menjerit Sejak kejadian malam itu, dunia Sevi terasa runtuh. Layar komputer di depannya penuh huruf, tapi matanya hanya menangkap simbol kosong. Setiap kedipan membawa kembali kilasan memori—kilasan yang seharusnya ia singkirkan, namun terus datang seperti ombak menghantam karang. Jantungnya berdetak tak karuan tiap kali pintu ruangan Arlan terbuka. Bahkan suara langkah sepatu di koridor cukup membuatnya menahan napas. Ia mencoba menipu diri, pura-pura tak pernah ada apa-apa. Namun denyut gugup di dadanya selalu mengkhianati. Pernah terlintas untuk menyerahkan surat resign. Tapi kenyataan pahit segera menabrak logika, Pekerjaan ini adalah impiannya, dan pekerjaan bergaji layak yang sesuai minat tidak mudah dicari. Semua kenyamanan yang ia bangun
Suasana kantor malam itu begitu sunyi. Hanya dengungan pendingin ruangan dan bunyi jarum jam dinding yang sesekali terdengar. Lampu neon berpendar dingin, memantulkan cahaya putih pucat ke meja-meja kerja yang sebagian besar sudah kosong.Sevi masih duduk di balik meja, menatap layar komputer dengan mata panas. Jemarinya mengetik cepat, menyusun laporan analisis sampel yang gagal. Seharusnya bisa dikerjakan besok, tapi deadline mendesak.Di lantai itu, hanya ada satu orang lain—Arlan, bosnya. Cahaya lampu meja pria itu tampak redup dari balik pintu kaca yang setengah terbuka. Sesekali terdengar suara kertas dibalik atau kursi digeser.Sevi mencoba fokus, tapi tubuhnya mengkhianati. Dada kirinya nyeri, seakan ditarik dan ditekan. Ia menyesuaikan posisi, tapi rasa sakit justru makin menusuk. Napasnya tersengal, jari otomatis mengusap bagian itu pelan. Sekejap, nyeri bercampur sensasi hangat yang membuatnya menggigit bibir.Ia tahu betul penyebabnya. Sejak kemarin, tubuhnya memproduksi c
Pagi itu, Sevi membuka mata dengan berat. Layar ponselnya menyala terang, menampilkan deretan notifikasi chat kantor. Grup tim sibuk membicarakan deadline, atasannya menanyakan progres, bahkan beberapa email masuk sudah menunggu balasan. “Saya masih sakit, izin istirahat hari ini.”Tanpa menunggu balasan, ia taruh ponsel kembali di meja samping ranjang. Kaos longgarnya terasa lembap di bagian dada, lapisan tisu yang ia selipkan sejak semalam sudah basah menempel di kulit. Sensasi nyeri samar muncul setiap kali ia mengubah posisi tidur. Ia mendesah frustasi, menarik kaosnya ke depan, menatap noda samar yang semakin jelas.Dengan langkah gontai, Sevi menyeret tubuh ke meja kerja kecil di sudut kamar. Ia menyalakan laptop, bukan untuk bekerja, melainkan mencari jawaban.Ketikannya pertama: “minum susu keluar ASI padahal belum hamil”.Hasil pencarian memenuhi layar. Forum ibu muda, artikel medis, thread anonim. Ia membaca satu per satu dengan mata yang mulai perih. Semuanya sama—membicara
Seiring hari-hari berlalu, Sevi mulai menjalani rutinitas yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar menghangatkan kontrakannya, ia terbangun oleh rasa nyeri di dadanya. Sensasi itu seperti alarm alami yang memaksanya bangun, meski matanya masih berat.Langkah pertama yang ia lakukan bukan lagi menyeduh kopi, melainkan mengambil pompa ASI dari meja dan memulai proses memompa. Cairan yang keluar tetap beraroma manis strawberry—samar, tapi jelas. Kadang ia tersenyum kecut melihat botol kecil itu terisi, seolah tubuhnya kini menjadi pabrik kecil yang memproduksi sesuatu yang tak pernah ia pesan.“Parah… jadi kayak sapi perah,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah itu, barulah ia bersiap berangkat kerja. Malam harinya, ia mencoba membatasi konsumsi susu strawberry. Ia tahu, semakin banyak ia minum, semakin “produktif” tubuhnya esok hari. Tapi membatasi bukan berarti berhenti—setiap tegukan tetap menjadi godaan yang sulit ia tolak.Di kantor, Sevi mas
Pagi itu, Sevi terbangun dengan rasa nyeri yang lebih menusuk di bagian dadanya dibandingkan hari sebelumnya. Ia sudah terbiasa menahan sedikit rasa sakit, hidup di kota besar memang membuat seseorang terbiasa berkompromi dengan ketidaknyamanan, tetapi kali ini, rasa nyeri itu membuatnya sulit bernapas dalam-dalam. Setiap gerakan, bahkan sekadar mengangkat tangan, membuat dadanya seperti ditarik dari dalam.Ia duduk di tepi ranjang, mencoba mengatur napas. Cairan hangat mulai merembes lagi, membasahi kaos tipis yang ia kenakan. Sevi menatap noda basah itu dan menghela napas panjang. Tangisnya mulai pecah."Aku nggak mungkin maksain diri ke kantor kalau keadaannya seperti ini," batinnya. Ini aneh.Tangannya meraih ponsel di nakas. Ia memilih izin sakit untuk mengecek ke dokter mengenai kondisinya.Rumah sakit cukup ramai saat Sevi tiba. Tangannya menggenggam erat kertas nomor antrean, 17. Ia menunggu dengan kepala tertunduk, berharap tidak ada yang mengenalinya. Satu per satu nama dip
Sevi terbangun dengan rasa lengket di area dadanya. Awalnya ia mengira itu hanya keringat karena cuaca panas. Namun saat jemarinya menyentuh, terasa basah. Ia tercekat, lalu buru-buru masuk ke kamar mandi.Di depan cermin, pandangannya membeku. Dari dadanya, cairan putih kekuningan merembes pelan. Ia menekan sedikit, rasa nyeri menjalar, dan cairan itu keluar lebih deras.“Apa-apaan ini…?” bisiknya, panik.Jantungnya berdebar tak beraturan. Ia belum pernah hamil. Siklus haidnya normal. Ia bahkan belum pernah disentuh. Jadi kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini? Ingatannya langsung melayang ke malam sebelumnya—dua botol susu stroberi edisi terbatas BerryStraw – Limited Edition yang ia habiskan. Rasanya lebih segar, lebih manis dari biasanya. Terlalu manis.Sevi terduduk di tepi ranjang, memegangi dadanya yang berdenyut, antara nyeri dan sensasi panas yang tak ia pahami. Ia mencoba menenangkan diri, tapi waktu tak berpihak padanya. Ia tetap harus berangkat kerja. Dengan pasrah, ia menutu