Share

Ini Memalukan

Penulis: Olivia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-03 17:41:30

Pagi itu, Sevi membuka mata dengan berat. Layar ponselnya menyala terang, menampilkan deretan notifikasi chat kantor. Grup tim sibuk membicarakan deadline, atasannya menanyakan progres, bahkan beberapa email masuk sudah menunggu balasan. “Saya masih sakit, izin istirahat hari ini.”

Tanpa menunggu balasan, ia taruh ponsel kembali di meja samping ranjang. Kaos longgarnya terasa lembap di bagian dada, lapisan tisu yang ia selipkan sejak semalam sudah basah menempel di kulit. Sensasi nyeri samar muncul setiap kali ia mengubah posisi tidur. Ia mendesah frustasi, menarik kaosnya ke depan, menatap noda samar yang semakin jelas.

Dengan langkah gontai, Sevi menyeret tubuh ke meja kerja kecil di sudut kamar. Ia menyalakan laptop, bukan untuk bekerja, melainkan mencari jawaban.

Ketikannya pertama: “minum susu keluar ASI padahal belum hamil”.

Hasil pencarian memenuhi layar. Forum ibu muda, artikel medis, thread anonim. Ia membaca satu per satu dengan mata yang mulai perih. Semuanya sama—membicarakan kehamilan, obat hormonal, atau penyakit tertentu. Tidak ada satupun yang menyebut susu. Tidak ada jawaban untuk keanehan yang dialaminya.

Ia mengganti kata kunci dengan tangan gemetar: “prolaktin food stimulant”.

Klik. Sebuah jurnal P*F terbuka. Bahasa ilmiahnya kaku, tapi kalimat demi kalimat menusuk. Penelitian itu membahas senyawa tanaman tertentu yang bisa memicu hormon produksi ASI bahkan tanpa adanya kehamilan. Sevi membaca pelan, tapi detak jantungnya semakin cepat. Jika benar… kalau senyawa itu ada di dalam BerryStraw?

Tangannya refleks meraih botol kosong di meja. Labelnya sederhana, desain mencolok dengan gambar stroberi segar. Tapi tidak ada pabrik jelas, tidak ada izin edar, hanya nama “BerryStraw – Limited Edition”. Semakin lama ia menatapnya, semakin aneh rasanya. Botol itu seperti produk bayangan—murah, asing, tapi entah kenapa semalam begitu menggoda hingga ia menghabiskan dua botol sekaligus.

“Kenapa aku bisa sebodoh ini…” desisnya, hampir seperti menyalahkan diri sendiri.

Sore hari, udara kamar makin gerah meski kipas menyala kencang. Kaos tipisnya kembali lembap, menempel erat di kulit. Sensasi hangat yang muncul sejak pagi bukannya mereda—justru semakin menguasai tubuhnya. Sevi terduduk di sofa, lututnya ditekuk, laptop terbuka di pangkuan. Setiap kali ia mencondongkan badan, rasa penuh di dadanya membuatnya meringis.

Ia sudah membuka dua belas tab browser. Marketplace, akun-akun pecinta susu, grup anonim di forum-forum kecil. Namun hasilnya sama. Tidak ada yang pernah mendengar BerryStraw. Produk itu seperti hantu—seolah tidak pernah benar-benar ada di dunia nyata.

Frustrasi, Sevi mengetik pertanyaan di forum anonim.

“Ada yang pernah dengar susu BerryStraw – Limited Edition? Efek samping aneh, please share.”

Ia menunggu. Menyegarkan halaman berulang kali, sambil sesekali mengusap dadanya yang kembali basah. Tubuhnya seperti sedang melawan logika: antara nyeri, hangat, dan sensasi aneh yang membuatnya semakin sulit berpikir jernih.

Detik demi detik terasa lambat. Langit di luar jendela mulai meredup, oranye sore berubah kelam. Lampu kamar menyala pucat, hanya layar laptop yang terang, memantulkan wajah Sevi yang pucat dan lelah.

Lalu notifikasi muncul. Satu balasan.

“Emang iya? Ini novel apa emangnya kalau iya? Mau link bacaannya dong?”

Sevi menatap layar, matanya membesar. Jemarinya langsung dingin, meski tubuhnya masih diliputi panas. Itu bukan jawaban yang ia tunggu—justru terdengar seperti ejekan. Ia menutup bibir dengan telapak tangan, menahan gemuruh jantungnya.

“Please…” bisiknya, suara parau.

Namun kalimat itu hanya bergema di kepalanya sendiri.

Sevi menutup laptop, bersandar ke sofa. Tapi tubuhnya kembali mengkhianati. Rasa penuh di dadanya makin menjadi, seakan menuntut dilepaskan. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, frustrasi pada sensasi yang seharusnya tidak ia rasakan.

Di meja kecil, botol kosong BerryStraw berdiri tegak, refleksi cahaya lampu membuat label merah mudanya semakin mencolok. Sevi menatapnya lama, napasnya tersengal.

“Kenapa harus aku?” bisiknya lagi, lebih lirih, lebih rapuh.

Di luar, hujan tipis mulai turun. Suara rintiknya menyusup ke kamar, tapi tidak cukup menutupi degup jantung dan denyut tubuh Sevi yang kian menuntut.

Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya-tanya… apakah ada seseorang di balik semua ini—seseorang yang sengaja membuat tubuhnya begini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Sulutan Emosi

    Arlan mencondongkan tubuh ke depan, tangan bertumpu pada meja, tatapannya menusuk. “Sekali lagi kalian sebut nama Sevi dengan cara kayak tadi,” katanya perlahan, “kalian bakal berurusan bukan cuma sama aku… tapi dengan pengacara dan polisi.”Ia tak ingin menarik perhatian lebih dari ini, setelah memberikan peringatan, ia membalikkan badan dan mencoba fokus pada kue yang masih disiapkan. Nama nya pun dipanggil, kue yang ia inginkan akhirnya selesai, ia menoleh sekilas sebelum benar-benar berjalan keluar, salah satu dari dua lelaki itu tiba-tiba berdiri. Kursinya terseret kasar, matanya menyala penuh tantangan.“Heh! Lo kira lo siapa, ngancem-ngancem orang di tempat umum?!” suara lelaki itu menggelegar.Arlan mengerutkan alis. Ia tidak punya waktu untuk ini. Sevi sedang menunggunya.“Aku udah bilang yang perlu aku bilang,” balas Arlan datar. “Urusan selesai.”Namun lelaki itu melangkah cepat, berdiri hanya satu jengkal dari wajah Arlan.“Atau lo cuma berani ngomong doang? Gimana kalo k

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Obsesi yang Menjadi Luka

    Ruang interogasi sore itu terasa jauh lebih sunyi daripada biasanya. Hanya ada Arlan, duduk diam di balik meja lebar berwarna gelap, dan Alya, yang kini terlihat begitu rapuh dengan tangan terborgol dan mata sembab.Sejenak, mereka hanya saling menatap dalam hening yang mana itu lebih jujur daripada percakapan apa pun selama bertahun-tahun.Alya akhirnya bicara lebih dulu.“Lan…” suaranya pecah, napasnya pendek. “Aku tahu kamu nggak mau ketemu aku. Tapi terima kasih… karena kamu tetap datang.”Arlan menggeleng pelan. “Aku datang karena kita harus menyelesaikan ini, Al.”Alya tersenyum getir. Senyum kecil yang tampak seperti usaha terakhir seseorang untuk tetap terlihat kuat.Lalu ia membuka semua.“Aku sayang kamu, Lan,” katanya lirih. “Sejak dulu. Sejak kita masih sekolah. Sejak Papa kamu sering manggil aku ke rumah, sejak Mama kamu selalu bilang aku kayak anak sendiri. Aku tumbuh di rumah kamu. Aku tumbuh dengan anggapan bahwa suatu hari… kamu pasti milih aku.”Air mata Alya kembali

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Salah Paham

    Sidang kedua hari itu berlangsung di ruang persidangan yang lebih besar, lebih ramai, dan jauh lebih menegangkan dibanding sidang pertama. Semua tersangka hadir termasuk para petinggi perusahaan Berrystraw, tim riset ilegal, serta satu nama yang membuat suasana menjadi ganjil sejak awal, Alya.Sevi duduk di kursi saksi cadangan, tepat di belakang Arlan. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tangannya menggenggam ujung blazernya dengan erat, sementara matanya mengikuti setiap pergerakan jaksa dan terdakwa.Ketika para tersangka masuk satu per satu, Sevi tetap menunduk. Namun begitu Alya muncul, langkahnya pelan, tangan terborgol di depan, rambutnya diikat seadanya, wajah tanpa riasan… suasana seketika berubah.Semua tatapan tertuju padanya.Termasuk Arlan.Arlan menatap Alya lama bukan dengan amarah, bukan dengan dendam, melainkan… iba.Perasaan yang timbul saat kenangan bertahun-tahun menyeruak masuk ke dalam kepalanya.Alya kecil yang dulu selalu mengikuti di belakangnya.Al

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Menantu

    Rumah keluarga Arlan sore itu terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu-lampu kecil yang menggantung di sepanjang lorong memancarkan cahaya lembut, sementara aroma sup ayam buatan sang ibu perlahan mengisi setiap sudut. Sevi duduk di meja makan, sedikit ragu, namun tersenyum ketika ibu Arlan menaruh semangkuk sup di depannya.“Coba ini, Sev. Mama masak sendiri,” ujar sang ibu sambil menepuk bahu Sevi pelan. “Kamu kelihatan capek sejak persidangan tadi.”Sevi mengangguk kecil. Tenggorokannya terasa kering, tetapi sapaan lembut itu membuatnya merasa jauh lebih hangat daripada sebelumnya. Ia mengambil sendok, meniup perlahan, dan mencicipinya. Rasanya ringan, gurih, dan menenangkan.“Enak, Tante,” katanya pelan.“Panggil Mama aja,” koreksi sang ibu lembut, tersenyum hampir terlalu manis.Sevi tersedak sedikit mendengar panggilan itu. Sementara di sofa belakang mereka, Arlan yang sedang mengeringkan rambut usai mandi hanya melirik, bibirnya melengkung kecil.“Ma… mama” Sevi menunduk, wajah

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Tekanan di Ruang Sidang

    Pagi itu, langit Jakarta tampak kelabu, seolah ikut menahan napas bersama ratusan orang yang berlalu-lalang di halaman gedung pengadilan negeri. Beberapa wartawan tampak mempersiapkan kamera, petugas keamanan yang mengatur garis pembatas, dan deru kendaraan hukum yang sesekali melintas.Di antara keramaian itu, Arlan berdiri tegap mengenakan setelan hitam sederhana. Tatapannya lurus ke depan, namun jemarinya sedikit mengepal, tanda bahwa ia menahan gelombang kecemasan yang sulit ia redam.Di sampingnya, Sevi berdiri dengan rok selutut dan kemeja putih. Wajahnya pucat, lebih pucat dari biasanya. Saat suara beberapa wartawan mulai memanggil nama Arlan, tangannya bergetar.Arlan meraih jemari Sevi dengan tenang, ia menggenggamnya.“Nggak papa,” bisiknya lembut. “Aku di sini.”Sevi menelan ludah, mengangguk pelan. “Aku… aku cuma takut suasananya...”Arlan menoleh, menatapnya penuh keyakinan. “Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirin. Suara kamu itu penting.”Kata-kata itu membuat dada Sevi

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Penyesalan yang Terlambat

    Malam itu, langit tampak berat. Awan menggumpal di atas kota, dan lampu-lampu apartemen Alya memantulkan cahaya lembut ke dinding putih yang kini terasa terlalu sunyi.Ia duduk di kursi dekat jendela, menatap ke luar. Dari ketinggian lantai sepuluh, dunia tampak kecil, mobil lalu lalang, pejalan kaki dengan payung, dan di kejauhan lampu merah yang berkelip seperti nadi kota yang tak pernah berhenti berdetak.Namun bagi Alya, semua itu terasa hampa.Telepon genggamnya bergetar di meja. Ia melihat nama pengirimnya Unknown.Unknown (22.09) : “Target masih bersama Arlan. Proses pengawasan tahap dua dimulai malam ini.”Alya menatap layar itu lama. Jari-jarinya gemetar sebelum akhirnya ia mengetik pelan,Anda (22.09) : “Nggak perlu. Hentikan semua. Mulai malam ini.”Ia menekan send, lalu meletakkan ponsel itu jauh dari dirinya. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar berhenti.Hening kembali merambat.Di dalam dadanya, ada kekosongan yang sulit dijelaskan, bukan amarah, bukan pula iri, tapi s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status