Share

Bab 3: Lembaran Baru

Saat tersadar dari mimpinya yang panjang, Trisha merasakan tangan kanannya mencengkeram seprai, memelintirnya sampai buku-buku jarinya terasa sakit. Dia merasa terlepas dari pikirannya sendiri. Terperangkap tak berdaya dalam tubuhnya sendiri.

Dengan tubuh menggigil, Trisha membuka matanya yang masih bengkak. Napasnya memburu cepat. Jantungnya berpacu. Dia menatap nanar keadaan sekelilingnya yang tampak putih dan buram.

Dia masih berada di rumah sakit, bersama wanita tua itu lagi.

"Akhirnya kamu sadar juga. Kamu mengalami mimpi buruk, ya?"

Trisha menelan ludah yang terasa pahit. Dia memberi isyarat untuk minta minum dengan tangannya yang lemah. Wanita itu langsung menyodorkan segelas air putih.

Dengan suara parau, Trisha menguatkan diri bertanya pada wanita itu. "Siapa Anda, Nyonya? Bagaimana saya bisa berada di sini?"

Wanita itu tersenyum dan berkata, "Namaku Greta Florence. Kamu lupa apa yang terjadi padamu?"

Trisha mengangguk lemah.

"Malam itu, kebetulan aku pulang larut malam dengan sopir yang mengendarai mobilku. Tiba-tiba kamu muncul entah dari mana, mencoba menghentikan mobil. Sebelum mobil berhenti, kamu sudah jatuh pingsan dan berbaring tak bergerak, bermandikan darah. Awalnya aku mengira itu kecelakaan lalu lintas sehingga aku langsung menghubungi pihak rumah sakit terdekat, khawatir nyawamu tak tertolong!"

Greta menatap gadis itu dengan lembut. "Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi padamu malam itu?"

Trisha tidak menjawab. Dia hanya menatap wajah Greta tanpa banyak bicara.

Saat menatap wanita tua itu, entah bagaimana Trisha merasakan ada kekuatan ajaib yang tak terlihat bergerak dan berhimpun jauh di dalam dirinya. Kekuatan itu menjernihkan otaknya hingga bersih bagaikan air bening.

Dia memperhatikan rambut abu-abu Greta yang dipenuhi uban. Wanita tua yang cantik ini berparas bule dengan sedikit jejak kecantikan oriental. Matanya memancarkan kebaikan dan ketulusan, sekaligus kepedihan.

Ada masa lalu pahit yang coba dia tutupi di balik kebaikan hatinya.

Penolakan.

Pengkhianatan.

Tipu Muslihat.

Kematian.

Mendadak berbagai kilasan fragmen kehidupan Greta terpampang jelas di penglihatannya secara kasatmata.

Trisha tertegun sesaat.

Ketika terbangun tadi, dia merasa ada yang berbeda. Sesuatu dalam dirinya telah berubah. Dia tahu itu sejak dia membuka mata. Sesuatu terasa aneh. Ada yang tidak beres. 

Inilah tepatnya ketika kemampuan istimewanya bangkit kembali dari masa hibernasi panjang ... ataukah mungkin itu kutukan baginya.

Entah mengapa kemampuan yang dimilikinya sejak lahir dan harus terkubur selama masa penderitaan dan keterpurukannya bersama Arthur, kini muncul kembali seolah-olah membanjirinya.

Tidak seperti kebanyakan orang yang harus melewati berbagai ritual dan proses yang rumit supaya bisa membaca pikiran orang lain, dia tidak pernah mempelajari kemampuan ini. Dia terlahir dengan kemampuan ini dan tidak seorang pun yang tahu. Semuanya terjadi begitu saja, semudah membalikkan telapak tangan.

Dia bertanya-tanya. Ada apa dengan dirinya? Mengapa kemampuannya membaca kehidupan orang jadi lenyap tiba-tiba saat dia bersama Arthur? Seandainya dia bisa menggunakan kemampuannya dengan membaca pikiran Arthur lebih awal sebelumnya, tragedi pahit yang telah dialaminya tidak akan pernah menimpanya.

Melihat Trisha tetap diam saja, Greta sepertinya paham bahwa gadis itu belum siap atau enggan membicarakannya.

"Baiklah, aku harus pulang dulu. Oh ya, adakah teman atau keluargamu yang bisa kuhubungi?"

Trisha segera minta secarik kertas dan pena, lalu menuliskan nama atasannya beserta nomor telepon kantornya yang masih dia hafal di luar kepala.

"Ini nama atasan tempat saya bekerja."

Kemudian Trisha menambahkan nomor telepon Janice, sahabatnya. "Ini sahabat saya. Thanks sebelumnya, Nyonya."

"Oke, nggak apa-apa. Akan segera kuhubungi mereka. Besok aku akan mengunjungimu lagi. Beristirahatlah. Jaga dirimu baik-baik."

"Tunggu sebentar!" Trisha menatap wanita itu dengan penuh harap dan berkata, "Nyonya, kumohon jangan ada polisi ataupun media pers, please. Hanya itu permintaanku. Maaf sudah merepotkan."

Wanita itu menatap Trisha dengan bimbang, kemudian berkata, "Baiklah, aku mengerti."

"Thanks untuk semuanya, Nyonya."

Wanita tua itu mengangguk dan keluar dari kamar.

Para pengunjung datang dan pergi silih berganti, yang paling sering adalah Greta dan ketiga sahabatnya. Beberapa rekan sekerjanya juga datang. Mereka tersenyum, bersikap ramah, dan peduli. Takut padanya lebih tepatnya. Namun mereka berkasak-kusuk tentang kondisi kesehatannya di lorong rumah sakit, mencecarnya dengan banyak pertanyaan secara terang-terangan, keinginan basa-basi untuk membantu meredakan ketegangannya.

Terkadang rumah sakit bisa menjadi penjara tersendiri.

Namun Greta memang sangat membantu. Kendati dia mulai jarang berkunjung sejak Trisha mulai membaik, wanita tua itu lebih sering duduk diam menemaninya, tanpa mengatakan apa-apa di setiap kunjungannya. Kehadiran dan kehangatannya saja sudah begitu menenangkan. Semua yang perlu mereka katakan sudah ada di ruangan itu bersama mereka.

Ketiga sahabatnya tentu yang paling membantu dan mendukungnya. 

Keyra Jovanka seperti biasa tidak banyak bicara, tidak menuntut, berjalan masuk ke ruangan dengan senyum malu-malu dan perhatian yang tenang untuknya. Dia berbicara dengan lemah lembut tentang apa yang terjadi di tempat kerjanya, dan tidak menanyakan bagaimana keadaan Trisha karena itu sudah terlihat jelas.

Janice Mirelle seorang social butterfly yang biasanya heboh dan berceloteh dengan riuh mendadak jadi gadis pendiam, canggung, dan berhati-hati bicara. Namun pada akhirnya, sifatnya yang blak-blakan membuatnya tidak bisa menahan diri untuk menghibur mereka semua dengan leluconnya.

Victor Lim, seperti biasa tetap kalem dan tenang, selalu berhati-hati dalam berbicara, terlihat sangat peduli dan paling mengkhawatirkan keadaannya. Dia membawakan ponsel dan nomor baru supaya Trisha bisa berkomunikasi dengan mereka, tanpa menanyakan bagaimana ponsel lamanya bisa hilang.

Ketiga sahabatnya mendesak agar dia segera pindah ke apartemen baru. Sebenarnya itu hanya dalih mereka saja. Trisha tahu betul bahwa mereka peduli dan penuh perhatian padanya. Apa pun tragedi yang terjadi pada Trisha, sekalipun dia tetap bungkam sampai saat itu, mereka tidak ingin dia bersinggungan kembali dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya.

Sementara itu, Greta membantu mencarikan apartemen tipe studio dengan harga yang cukup terjangkau untuk Trisha di kawasan Tanjong Pagar, dengan pemandangan laut yang menakjubkan. Ini tipe tempat tinggal yang ideal untuk Trisha setelah sebelumnya tinggal di flat HBD atau rumah susun padat penduduk di kawasan Chinatown.

Dunia masih berputar di luar sana; dia hanya perlu menunggu sampai dia siap untuk menghadapinya lagi.

***

Buk … Buk … Buk!

Lalu terdengar suara lengkingan wanita di tengah malam.

Apa yang terjadi?

Apakah baru saja terjadi gempa yang mengguncang hebat?

Dalam keadaan linglung, Trisha seketika terjaga dari tidurnya, panik dan bingung ketika menatap nanar sekeliling ruangan yang tampak asing. Kotak-kotak besar berserakan di lantai. Beberapa koper besar yang belum sempat dibuka. Pigura-pigura yang disandarkan pada dinding. Buku-buku yang bertebaran di atas meja kerjanya.

Akhirnya dia terjaga penuh. Kamar tidur barunya, apartemen yang baru disewanya, dia mengingatkan dirinya sendiri seraya mencengkeram selimut tebal seperti barang berharganya, menghitung-hitung harta bendanya.

Bahkan dalam keadaan setengah tertidur, dia masih hafal jumlah harta bendanya yang tidak bernilai banyak itu.

Erangan dan rintihan wanita terdengar lagi, sesekali terdengar desisan dan lenguhan pria.

Ya ampun .…

Dengan kondisi tangan kiri masih dibalut gips, Trisha bersusah payah bangkit. Dia mengusap matanya, dan berbalik untuk menatap ke dinding di belakangnya, mulai memahami apa yang telah membangunkannya di tengah malam buta.

Tanpa sadar, tangannya yang masih mencengkeram selimut menarik perhatian Rocky, anjing Beagle pemberian Janice sebagai hadiah kepindahan Trisha, yang demi mendapat izin untuk membawanya serta ke sini, dia harus merayu-rayu si pemilik apartemen. Si pemilik apartemen akhirnya mengizinkan, dengan syarat anjing itu harus berada dalam kurungan sesering mungkin, terutama selama Trisha bepergian keluar. Syarat yang sangat mudah dan langsung disetujuinya.

Merundukkan kepalanya di bawah lengan Trisha dengan ketakutan, Rocky menuntut belaian darinya. Trisha membelainya dengan penuh kasih sayang seraya melihat sekeliling dan mengamat-amati ruangan barunya.

Apartemen barunya merupakan tipe studio standar dengan interior bergaya minimalis Skandinavia yang serba putih, berukuran kurang dari tiga puluh meter persegi—bahkan dengan pemandangan spektakuler! Di sisi kiri pintu terdapat kamar mandi dengan partisi dari kaca tebal, sedangkan dapur berada di sisi kanan dengan kitchen set mewah serba putih.

Kecuali lantai kamar mandi yang berwarna hitam dengan keramik dinding warna abu-abu muda, seluruh ruangan memiliki lantai marmer warna abu-abu. Terdapat sebuah sofa berwarna cokelat tua di depan rak televisi. Di sisi rak televisi, terdapat sebuah meja kerja kecil dan rak dinding berisi deretan buku yang baru separuh ditatanya.

Jika diperhatikan, sebenarnya ruangan itu memiliki fasilitas hidup yang lumayan lengkap. Tempat ini sangat ideal untuk menjadi tempat perlindungan yang nyaman untuknya.

Trisha baru saja pindah mulai pagi tadi. Sebagai seorang desainer interior, dia memiliki kebiasaan menata segala sesuatu secara cermat di hampir setiap celah ruangan. Itulah sebabnya butuh waktu lama untuk menata kembali barang-barang miliknya setelah kepindahannya ke sini.

Dia telah menghabiskan hari itu dengan mengusung barang-barangnya ke sini. Setelah berendam air hangat di bathtub, dia langsung naik ke tempat tidur dengan letih dan menikmati kenyamanan apartemen barunya, lalu lintas yang lengang di luar, dan musik yang meneduhkan.

Apartemen baruku, pikir Trisha puas saat dia tertidur dengan nyenyak, itulah sebabnya dia sangat terkejut saat terbangun tiba-tiba, dia menoleh jam di samping tempat tidurnya … pukul 01.15 pagi.

Dia menatap langit-langit dengan tatapan kosong, mencoba menenangkan diri, tetapi kembali terkejut saat tempat tidurnya bergetar, lebih tepatnya karena benturan ke dinding.

Yang benar saja?! Kemudian dia mendengar lengkingan wanita dengan sangat nyaring, kemudian terdengar jelas suara laki-laki yang mengerang dan melenguh puas.

Ah, astaga.

Mengerjapkan mata, Trisha merasa lebih terjaga sekarang dan sedikit terpana oleh apa yang jelas terjadi di kamar sebelah. Dia menatap Rocky, yang balas menatapnya dengan sepasang mata mungilnya. Jika dia tidak cukup lelah dan mengantuk, dia yakin melihat mata anjing itu mengerling padanya dengan jahil.

Selamat datang dunia baruku!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status