Share

3. Nilla

Author: Jana Indria
last update Last Updated: 2024-03-07 01:02:40

Evan pun mengikuti isyarat gerakan kepala pak Dimas. Dan ternyata tepat di hadapannya dengan jarak sekitar lima meteran, Nilla, sedang memangku seorang anak kecil yang lucu dengan gaun hijab kecilnya.

Dan tepat di sisinya pula, ada seorang lelaki dengan penampilan sederhana, berkaca mata, ikut bercanda. Mereka bertiga terlihat sangat bahagia.

****

Beberapa tahun yang lalu ....

"Belum pulang, Van? Bukankah kau sudah mulai dari semalam, kan? Pulanglah, kau juga butuh istirahat," ujar Pak Dimas--lelaki separuh baya, yang bermurah hati memberikan Evan pekerjaan--sambil menepuk bahu kanan Evan.

"Siap, Pak. Semalam, dan sesiang nanti, saya yang tugas, menggantikan Dito."

"Jangan terlalu ngoyo bekerja, kalo kamu sakit, uangnya bakal habis buat berobat. Sekarang lebih mahal biaya obatnya dari pada uang yang kau terima buat menggantikan si Dito." 

"Siap, Pak!" jawab Evan, dengan tubuh tegap, dan tangan di dahi memberikan tanda hormat. 

Pak Dimas terlihat menggeleng beberapa kali, membuang nafas, dan berbalik sambil menepuk bahu Evan beberapa kali.

"Aku masuk dulu, kalo ada yang kau butuhkan, jangan sungkan menghubungiku."

Pak Dimas kemudian berlalu, meninggalkan pos jaga di depan kantor bank terbesar di kota ini.

Evan yang mendengar pesan pak Dimas, terdiam. Matanya terlihat basah. Pak Dimas adalah penolong hidupnya.

Semenjak pertengkaran dengan Papanya, Evan membulatkan tekad untuk menikahi perempuan pilihannya tanpa bantuan dari sang Papa. Sudah banyak surat lamaran yang ia kirim. Namun tak satu pun yang berhasil.

Untunglah dia bertemu dengan Pak Dimas,  yang pada saat itu mencari bantuan karena mobilnya mogok di perjalanan. Sebagai tanda terima kasih, akhirnya Evan di angkat sebagai satpam di kantor yang mempercayakan perengkrutan karyawan out sourching-nya kepada perusahaan milik Pak Dimas.

"Bagaimana kerjanya? Aman kan?!" Nilla bertanya sambil meletakkan dua bungkusan dan dua botol minuman mineral di meja depan kursi yang Evan duduki. Siang itu, seperti biasa dia mengantarkan nasi pada lelaki yang berjanji akan menikahinya itu.

Evan tersenyum, membiarkan si gadis yang di cintainya mengoceh di depannya tanpa ada niatan untuk menyela, perempuan cantik itu terus berucap sambil sibuk menyiapkan makan siang untuk Evan.

"Mas Albi ke mana, Bang?" Matanya meneliti di sekitar pos jaga. Mencari orang yang bernama Albi, teman piket Evan hari ini.

"Kamu cantik, Dik."

Mendengar pujian yang di lontarkan oleh Evan, tiba tiba Nilla tertegun, berhenti mencari, dia menatap lelaki yang baru saja membuat pipinya blushing.

"Kamu, cakep banget," jawab Nilla, bibirnya tersenyum. Sambil menundukkan, malu.

Terpancar bahagia di wajah kedua muda-mudi itu, hingga timbul senyum pula di bibir Pak Dimas yang memperhatikan mereka sejak Nilla datang dari lobi kantor.

****

"Belum pulang, Pak?" tanya Evan, sore itu ketika waktu sudah menunjukkan jam kantor usai.

Pak Dimas tersenyum sambil menepuk bahu kiri Evan.

"Sini, sini duduk bersama, ada yang ingin kutanyakan."

Pak Dimas merangkul bahu Evan dan menuntunnya duduk di kursi kayu panjang, di bawah jendela pos jaga.

"Kamu, sudah empat bulan kerja di sini kan, jadi bagaimana? Sudah terkumpul berapa dana yang buat nikahan?" tanya Pak Dimas. Tanpa memandangi orang yang di ajaknya bicara, lelaki separuh baya itu malah fokus menatap jalan yang penuh dengan hilir mobil dan sepeda motor.

"Alhamdulillah sudah terkumpul lumayan, Pak. Insya Allah,  rencananya bulan depan, saya mau lamar sekalian nikah dengan Nilla. Yaa .... Sederhana, asalkan sah," jawab Evan dengan wajah yang terlihat lelah Namun bahagia.

"Alhamdulillah--"

Tiba-tiba deru sepeda motor, memutus ucapan Pak Dimas.

"Nilla!" jerit Evan dengan suara tertahan. Hingga tanpa sadar melangkah pergi mendekati kekasihnya, hingga terlupa pamit pada pak Dimas.

Nilla, turun dari sepeda motor dengan muka sembab dan masih basah karena air mata. Dia langsung  melangkah ke arah Evan.

"Kita ... putus--"

Dengan tersengal-sengal, Nilla mengucapkan kata itu.

"Putus?! Kenapa, ada apa? Jangan membuatku berpikir yang bukan-bukan. Kita sudah berjuang bersama, Sayang. Kita sudah ada di depan pintu, selangkah lagi kita sah. SAH!"

Dengan emosi, Evan menjawab ucapan Nilla. Di peluknya tubuh wanitanya dengan erat.

"Lepas!" sentak Nilla, sambil melepaskan badannya dengan paksa dari rengkuhan Evan.

"Aku tidak mencintaimu ... aku benci,  BENCI!"

Dengan emosi, Nilla berucap sambil terisak. Berpaling dan berlari menuju tempat orang tadi yang masih menunggunya di atas sepeda motor.

Tertegun Evan mendengar ucapan Nilla. Matanya menatap nanar memandangi Nilla yang menjauh dari pandangan.

Pak Dimas pun segera pergi meninggalkan pos jaga dengan diam-diam. Membiarkan Evan yang tergugu melihat kepergian kekasihnya.

****

"Mungkin Nilla sudah menemukan kebahagiannya, Van. Dan Sekarang waktunya kamu yang harus memilih, bertahan atau melepas?" ujar pak Dimas sambil menatap lekat lekat pria tampan di depannya, pria yang merupakan duplikat dari perempuan yang di cintainya.

Ucapan pak Dimas, seperti mampu membuat Evan kembali ke dunianya.

"Ya ... saya paham, Pak!" jawab Evan yang menepis bayangan masa lalunya saat bersama Nilla.

"Dan, apa pilihanmu?" kejar pak Dimas.

"Saya akan mencoba bertahan, karena niat baik pasti akan menjadi baik pula hasilnya."

"Itu benar, ya ... kau benar. Segala sesuatunya tergantung dari niatnya."

Tampak senyum lebar menghiasi bibir pak Dimas.

"Lalu apa rencanamu setelah ini, akan tetap tinggal bersama dengan mertuamu, atau mau memperkenalkan istrimu pada Papamu dan tinggal bersamanya, atau ...?"

Pak Dimas memberikan isyarat dengan bahunya, saat menggantung pilihan yang ia ucapkan untuk Evan.

Evan tertawa saat mendengar pilihan terakhir yang pak Dimas ucapkan. Memperkenalkan pada sang Papa, dan menetap di sana. Itu sangat tidak pernah berani ia bayangkan.

Evan teringat pada janji yang ia ucapkan di depan rumahnya, bahwa tak akan kembali lagi kalau bukan orang yang dia kenal bernama Papa yang memanggil.

****

Kilas lalu

"Ada angin apa yang membuatmu mau datang ke rumahku, Dimas?" .

Seorang pria dengan penampilan flamboyan, menyambut tamu yang baru saja diantarkan oleh salah seorang satpam yang bertugas menjaga. Pagi itu.

"Tak usah basa-basi yang memuakkan, Hen. Kapan kamu berhenti menyakiti perasaan anakmu sendiri? Apa kau lupa kalau yang mengalir di badannya itu adalah darahmu!"

Setengah berusaha memendam emosi, Dimas menatap mata si tuan rumah.

"Hahahahaha ...."

Bukannya menjawab, pria yang bernama Hendra malah tertawa keras sekali.

"Sejak kapan kau perduli dengan apa yang kulakukan? Evan anakku, tak ada hubungannya denganmu." sinis Hendra menjawab sambil membalas tatapan Dimas.

"Darahku memang tidak mengalir di badannya, tapi kau lupa. Darah Sinta,  perempuan yang paling kucintai, ada di nadi Evan."

"Ooo ... jadi kau masih mencintai istriku yang sudah mati itu? Kasihan sekali kamu, Dimas!" ejek Hendra, sambil memalingkan badan hendak kembali duduk ke kursi kebesarannya yang berlapis emas.

Bruuugh!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Menolakku    Tebakan Mamanya Rara

    Evan kembali melangkah sendirian ke rumah sakit, tampak olehnya Mama dan Ayah yang duduk di sisi ranjang tempat Rara berbaring. "Sudah kembali, Van?" tanya Mama saat mereka mendengar bunyi pintu yang di buka oleh Evan. "Iya, Ma." jawab Evan yang dengan senyum khasnya mendekati mereka dan mencium punggung tangan keduanya dengan Takzim."Kamu bawa apa?" tanya Mama yang melihat salah satu tangan Evan sedang menenteng sebuah kresek yang lumayan besar bentuknya."Aku bawa makanan untuk ayah dan mama, takutnya ayah dan mama tidak keluar karena menjaga Rara."Evan memberikan kresek warna hitam dengan logo wajah bapak tua itu pada mama. Kemudian menghampiri Rara yang memejamkan matanya. Tanpa bersuara lagi, pak Ali dan istrinya bangun dari kursinya dan melangkah mendekati ranjang kosong di sebelah ranjang pasien, yang menjadi fasilitas untuk kamar ber-vvip.Beliau berdua sepertinya sengaja memberikan Evan tempat untuk menemani Rara."Dia tidur, Van. Mungkin dia lelah karena nangis tadi."

  • Jangan Menolakku    Menikahlah

    "Aku merasa berdosa sekali telah beranggapan yang tidak tidak padamu, di masa lalu." ujar pak Dimas yang kembali terduduk di kursinya, wajahnya yang menunduk dengan pandangan nanar ke lantai."Ini terjadi karena ketiadaan kedua mertua kita, apalagi saat itu kak Bastian seperti tak lagi memperhatikan kedua adik perempuannya yang telah menginjak usia dewasa. Dia lebih memperhatikan Mieke karena saat itu cinta perempuan itu adalah segalanya bagi kak Bastian." jelas pak Hendra dengan mata menatap ke luar rumah seperti sedang mengingat kejadian kemarin."Apa maksudmu, Ndra?" tanya pak Dimas yang tak mengerti dengan penjelasan yang baru saja pak Hendra katakan "Ayah Nilla adalah kakak lelaki dan anak tertua dari keluarga istri kita. Namun Ayahnya Nilla yang awalnya sangat mencintai Mieke karena beranggapan cinta wanita itu tulus padanya, akhirnya berubah. Suatu ketika dia ingin tahu apakah Mieke akan tetap setia kepadanya atau berubah saat tahu kalau dia hanyalah seorang supir di keluarga

  • Jangan Menolakku    Dia Anakmu

    Di waktu yang sama .... Pak Dimas turun dari mobil dan berdiri tak jauh dari mobilnya, matanya menyapu dan menatap rumah asri di depannya, rumah sederhana dengan tembok berwarna biru, berpagar hanya sebatas pinggang orang dewasa. Dengan di dalamnya berjenis jenis tanaman berbeda disusun rapi dan indah. Tampaknya dia masih sangsi dengan apa yang di lihatnya, dia masih tak percaya, tangannya membuka ponsel yang sedari tadi ia genggam, di cocokkan nya lagi alamat yang ia dapat dari salah satu kaki tangannya. Dan alamat itu benar karena di tembok dekat pintu tertempel nama dan alamat lengkap, yang terbuat dari hiasan kayu. Sama seperti yang tertera di layar ponselnya. Pak Dimas melangkah mendekati pagar, dan membukanya dengan mudah karena ternyata tak terkunci. Dengan mata masih memperhatikan sekelilingnya. Pak Dimas melangkah masuk mendekati pintu rumah yang terdiri dari dua daun pintu bercat putih. Rumah yang sejuk dan nyaman. Angin bertiup dari segala arah. Dengan wangi b

  • Jangan Menolakku    Om Tyo

    Evan sebenarnya tahu kalau Rara sudah sadar dan tidak sedang tertidur, dia pasti juga sudah sangat mengerti kalau kedua orangtuanya datang, Namun mungkin sedang tak ingin melakukan apa pun karena sedang kehilangan."Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Evan yang melangkah mendekati ranjang pembaringan Rara.Tak ada jawaban, bergerak pun tidak. Evan hanya bisa kembali mencium kening Rara, dan melihat sepintas mata dari istrinya yang masih terpejam. "Sabar ya Sayang, Allah masih ingin menguji kesabaran kita," bisiknya pas di telinga Rara.Pun saat Ayah dan Mama kembali masuk ke dalam ruangan itu, Rara masih tetap membatu. Hingga saat seorang Dokter yang di ikuti dua perawat perempuan masuk ke dalam kamar untuk pemeriksaan rutin pun, Rara masih tetap terdiam walau kini matanya tak lagi terpejam."Mbak, tetap semangat ya, jangan sedih terus, nanti kalau sedih terus susah sembuhnya." Nasehat bu Dokter sambil mengajak bercanda, Namun Rara masih tetap bergeming.Sampai rombongan Dokter it

  • Jangan Menolakku    Mereka Adalah

    Mendengar penjelasan dari sang Dokter, Evan hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat kuat, ada perasaan perih yang menyayat."Saya harap bapak tidak kecil hati, tolong berikan semangat buat istri bapak, karena biasanya perempuan yang baru saja kehilangan bayinya akan berubah menjadi wanita sensitif--gampang marah hanya kerana masalah masalah kecil," ujar Dokter perempuan itu dengan senyum perduli. "Apakah kami masih bisa punya anak lagi, Dok?" tanya Evan dengan wajah penuh harap. "Bisa! Tentu saja bisa, tidak ada kendala dengan rahim si ibu kok, pak," jawab Dokter dengan senyum yang menenangkan hati Evan."Yang penting sekarang adalah bagaimana cara bapak untuk menguatkan mental si ibu bahwa semua baik baik saja."Kembali Dokter memberikan pesan berharga buat Evan."Baik, Dok. Akan saya perhatikan semua yang dokter pesan. Terimakasih."Dokter perempuan separuh baya yang mengenakan hijab lebar itu hanya bisa tersenyum melihat ke kondisi Evan. Dan menganggukkan kepala mem

  • Jangan Menolakku    Maap

    "Ya, kamu benar. Maaf kalau selama ini ayah tidak pernah menceritakan pada kalian, tapi bukankah kalian sudah mengatakan bahagia atas pernikahan ini?"Rara tak menjawab pertanyaan ayahnya, malah kini dia berpaling ke arah Evan, yang kini juga tengah memandangnya."Apakah kamu bahagia hidup bersamaku, Mas?" Dengan wajah serius, Rara bertanya pada Evan yang menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum saat mendengar istrinya bertanya."Alhamdulillah, insya Allah selamanya, aku bakalan bahagia dan akan membahagiakanmu," jawab Evan dengan rona muka serius, memandang silih berganti Rara, dan kedua mertuanya."Aamiin aamiin." sahut semuanya dengan penuh keyakinan."Jadi pengin muda lagi aku, Ayah." ujar Mama, dengan muka merajuk sambil memeluk satu lengan Ayah dan menggelayutinya mesra. "Hahahaha!"Tentu saja sikap Mama membuat Evan dan Rara terkekeh spontan. "Sudah malam, apakah kalian masih kekeh untuk pulang malam, ini?""Mungkin ada baiknya bila kita menginap saja, besok setelah subuh k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status