Home / Rumah Tangga / Jangan Menolakku / 4. Dimas dan Hendra

Share

4. Dimas dan Hendra

Author: Jana Indria
last update Last Updated: 2024-03-07 01:43:24

Pukulan tangan Dimas, yang sebelumnya tak pernah Hendra duga, kini tepat bersarang di pelipisnya, hingga membuat ia terjatuh dari sofa yang belum sempat ia duduki lagi tadi.

Belum sempat berdiri sempurna. Dimas kembali menyerang perut Hendra dengan tendangan kaki kanannya. Hingga membuat Papa kandung dari Evan itu kembali mencium lantai. Sempurna!

Sangat mudah bagi Dimas, pemegang sabuk hitam karate ini untuk mengalahkan lawannya. apalagi lawan yang tak mempunyai dasar tentang pembelaan diri.

Hendra dengan susah payah bangkit dan duduk kembali di kursinya. Sambil terus memegangi perut yang mungkin kerasa sangat sakit.

"Bajingan, kamu Dimas!" ujar Hendra, matanya terpejam sambil  menyandarkan punggungnya. Mungkin untuk mengurangi sakit di bagian perut.

"Bajingan?!" ejek Dimas sambil kembali duduk di sofa.

"Aku kasih tahu kamu, siapa yang bajingan di antara kita!!?" Dimas menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kirinya. Matanya menatap tajam Hendra.

"Aku tahu, kamu pasti sudah mengira siapa yang membantu Bastian dan Mieke menikah? Namun apa alasanmu, dengan tak berperasaan, kau guna-guna istriku, kau hancurkan rumah tanggaku dengan Sinta. Kau tak terima, Mieke lebih memilih Bastian yang miskin daripada kamu yang punya segalanya-"

Dimas tiba tiba menghentikan ucapannya, lelaki itu terlihat tak se semangat di awal.

"Kamu punya segalanya, Hen. Kamu gagah dan tampan, kamu kaya, banyak orang yang menghormatimu! Tapi sayangnya kamu nggak punya hati!"

Dimas berkata sambil menahan emosi, pandangan mata itu memerah dan tajam seakan ingin merobek robek laki laki yang berdiri di depannya, sangat fokus pada lawannya.

"Di mana kamu, saat Sinta yang mulai menyayangimu dengan hati, perempuan yang dengan guna guna mampu kau rebut, malah kau biarkan bersusah payah sendirian, saat melahirkan anak kalian? Atau pada saat dia meregang nyawa?"

Ada getaran kesedihan dalam nada suara Dimas yang tak bisa disembunyikan. Mengingat perempuan yang paling dia cintai dan masih bertahta di hatinya walaupun sudah tak ada lagi di antara mereka.

Bayangan masa lalu saat dia menemani mantan istrinya melahirkan, berlari memutar satu persatu di kepalanya.

"Tapi yang satu hal yang tak bisa kuterima, perlakuanmu pada Evan. Dia anakmu, darah dagingmu. Salah apa dia hingga cintanya kau hancurkan? Hanya karena Nilla anak dari Mieke, wanita yang telah menolak cintamu. Tidakkah kau merasa bersalah telah membunuh Mieke dan Bastian dengan sengaja menabrakkan mobilmu pada warung mereka?"

Kaget nampak jelas di raut muka Hendra, seperti tak percaya Dimas mengetahui segalanya. Namun itu hanya sesaat, karena kini wajah itu kembali datar dalam diam.

Entah apa yang sedang di rasakan oleh lelaki berpenampilan bois itu, dari awal hanya menunjukkan raut datar, walau sesekali terlihat mengerutkan kening, Namun itu hanya sesaat.

"Aku juga tahu, bagaimana dengan begitu tak berperasaannya Nilla kau ancam untuk putus dari Evan. Papa macam apa kamu?"

Dimas menggenggam ke dua tangannya, menahan amarah.

"Lepaskan, Evan. Biar aku yang akan menjaganya. Kan kucintai dia seperti anakku sendiri."

Ada senyum tipis yang ditunjukkan oleh Hendra, yang tak dimas ketahui saat mendengar apa yang di ucapkan.

Dimas berdiri dan melangkah keluar. Namun tiba-tiba terhenti di depan pintu, dan berbalik.

"Bila nanti, ada sesuatu yang menimpa Evan dan Nilla. Aku yang akan membunuhmu. Ingat itu, Hendra!" ucap Dimas sebelum berlalu pergi dari rumah besar itu.

Tanpa Hendra dan Dimas sadari. Dari balik pintu yang terbuka tiba tiba, Evan sedang menatap lantai dengan ke dua tangan terkepal.

Dengan mata memerah, Evan keluar dari balik pintu, melangkah perlahan melewati Papanya yang ia sadar pasti sedang melihat ke arahnya walau sama sama, dalam diam.

Evan juga merasa tak perlu melihat bagaimana ekspresi lelaki yang selama ini selalu kontra dengannya, terkejut atau tidak, nyatanya selama mereka hidup bersama di rumah ini, tetapi Evan merasa tak punya kenangan berarti.

Evan tetap melangkah perlahan menaiki tangga, sambil memegang sebuah tas ransel yang berada di punggungnya. Menuju ke kamar pribadi yang sudah hampir enam bulan tidak ia datangi.

Tak ada yang berubah di setiap inci kamar pribadinya itu, semuanya terlihat sama dan selalu bersih.

Ya! Sejak pertengkaran besar antara dia dan Papanya, yang baru ia tahu tadi jawaban dari semua masalah yang ia hadapi. Evan memilih untuk keluar dari rumah besar ini dan memilih melanjutkan hidupnya dengan sederhana, sangat sederhana malah.

Dendam Papanya pada orang orang yang di anggap memisahkan dirinya dengan perempuan yang di cintainya, tanpa mau tahu apakah perempuan itu juga mencintai dirinya atau tidak.

Semua bermula dari rasa, begitu pun yang Evan rasakan saat ini, karena rasa pada Nilla.

Mampu membuat seorang King Evan Aizaer yang notabene adalah seorang pewaris tunggal dari kerajaan PT. Drabara Jaya --Sebuah perusahaan yang sudah sangat terkenal namanya dalam bidang pertambangan.

Yang terbiasa hidup terjamin, kini di paksa harus mampu hidup berdikari sendiri, menjadi seorang satpam.

Di bukanya pintu kamar hingga terdengar deritnya halus.

Kemudian dia melangkah, masuk ke dalam dan langsung menuju ke lemari besi di sebelah kanan tempat tidurnya. Di buka dan di masukkannya semua kertas kertas dan uang yang ia keluarkan dari dalam lemari itu, ke dalam tas yang sudah ia siapkan.

Setelah menganggap selesai dengan kepentingannya. Evan kembali melangkah keluar kamar. Tampak Papanya masih duduk di tempat yang sama, seperti saat dia masuk ke dalam kamar pribadinya tadi. Namun, kini dengan mata terpejam.

"Papa, aku minta maaf atas segala kekuranganku selama menjadi anakmu, aku juga meminta maaf untuk Mama yang mungkin juga sudah amat menyusahkan mu. Aku tahu, nggak bakalan bisa seorang Evan Aizaer yang bekerja hanya sebagai satpam untuk mengembalikan uang yang selama ini sudah kau kucurkan untukku. Tolong ikhlaskan."

Evan mengulurkan kedua tangannya hendak mengambil tangan kanan milik Papanya yang kini sedang menatapnya dengan tatapan yang tak bisa di jelaskan.

"Aku akan pergi, agar tidak lagi memberatkan Papa dengan segala kemauanku yang selalu bertentangan denganmu, maafkan aku, Pa," ujarnya sambil berusaha memeluk lelaki yang masih bertahan dama diam, tak bersuara.

Walau tanpa reaksi dari orang yang sudah ia pamitin dan ia peluk, Namun sepertinya Evan yakin kalau sekarang Papanya pasti akan sangat bahagia karena tidak perlu lagi melihat wajahnya, wajah dari anak yang sebenarnya tidak di inginkan.

Dengan pasti, Evan melangkahkan kakinya keluar dan segera menaiki sepeda motor bekas yang baru saja di belinya dengan menggunakan uang tabungan yang awalnya untuk rencana menikah dengan Nilla.

Sebelum meninggalkan halaman, Evan kembali memandangi rumah yang sudah ia tempati sejak kecil, dengan tatapan nanar.

"Aku berjanji tidak akan datang bila bukan kau yang memanggilku untuk datang, Pa!" ucap Evan lirih, sesaat sebelum dia melajukan motornya.

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Menolakku    Tebakan Mamanya Rara

    Evan kembali melangkah sendirian ke rumah sakit, tampak olehnya Mama dan Ayah yang duduk di sisi ranjang tempat Rara berbaring. "Sudah kembali, Van?" tanya Mama saat mereka mendengar bunyi pintu yang di buka oleh Evan. "Iya, Ma." jawab Evan yang dengan senyum khasnya mendekati mereka dan mencium punggung tangan keduanya dengan Takzim."Kamu bawa apa?" tanya Mama yang melihat salah satu tangan Evan sedang menenteng sebuah kresek yang lumayan besar bentuknya."Aku bawa makanan untuk ayah dan mama, takutnya ayah dan mama tidak keluar karena menjaga Rara."Evan memberikan kresek warna hitam dengan logo wajah bapak tua itu pada mama. Kemudian menghampiri Rara yang memejamkan matanya. Tanpa bersuara lagi, pak Ali dan istrinya bangun dari kursinya dan melangkah mendekati ranjang kosong di sebelah ranjang pasien, yang menjadi fasilitas untuk kamar ber-vvip.Beliau berdua sepertinya sengaja memberikan Evan tempat untuk menemani Rara."Dia tidur, Van. Mungkin dia lelah karena nangis tadi."

  • Jangan Menolakku    Menikahlah

    "Aku merasa berdosa sekali telah beranggapan yang tidak tidak padamu, di masa lalu." ujar pak Dimas yang kembali terduduk di kursinya, wajahnya yang menunduk dengan pandangan nanar ke lantai."Ini terjadi karena ketiadaan kedua mertua kita, apalagi saat itu kak Bastian seperti tak lagi memperhatikan kedua adik perempuannya yang telah menginjak usia dewasa. Dia lebih memperhatikan Mieke karena saat itu cinta perempuan itu adalah segalanya bagi kak Bastian." jelas pak Hendra dengan mata menatap ke luar rumah seperti sedang mengingat kejadian kemarin."Apa maksudmu, Ndra?" tanya pak Dimas yang tak mengerti dengan penjelasan yang baru saja pak Hendra katakan "Ayah Nilla adalah kakak lelaki dan anak tertua dari keluarga istri kita. Namun Ayahnya Nilla yang awalnya sangat mencintai Mieke karena beranggapan cinta wanita itu tulus padanya, akhirnya berubah. Suatu ketika dia ingin tahu apakah Mieke akan tetap setia kepadanya atau berubah saat tahu kalau dia hanyalah seorang supir di keluarga

  • Jangan Menolakku    Dia Anakmu

    Di waktu yang sama .... Pak Dimas turun dari mobil dan berdiri tak jauh dari mobilnya, matanya menyapu dan menatap rumah asri di depannya, rumah sederhana dengan tembok berwarna biru, berpagar hanya sebatas pinggang orang dewasa. Dengan di dalamnya berjenis jenis tanaman berbeda disusun rapi dan indah. Tampaknya dia masih sangsi dengan apa yang di lihatnya, dia masih tak percaya, tangannya membuka ponsel yang sedari tadi ia genggam, di cocokkan nya lagi alamat yang ia dapat dari salah satu kaki tangannya. Dan alamat itu benar karena di tembok dekat pintu tertempel nama dan alamat lengkap, yang terbuat dari hiasan kayu. Sama seperti yang tertera di layar ponselnya. Pak Dimas melangkah mendekati pagar, dan membukanya dengan mudah karena ternyata tak terkunci. Dengan mata masih memperhatikan sekelilingnya. Pak Dimas melangkah masuk mendekati pintu rumah yang terdiri dari dua daun pintu bercat putih. Rumah yang sejuk dan nyaman. Angin bertiup dari segala arah. Dengan wangi b

  • Jangan Menolakku    Om Tyo

    Evan sebenarnya tahu kalau Rara sudah sadar dan tidak sedang tertidur, dia pasti juga sudah sangat mengerti kalau kedua orangtuanya datang, Namun mungkin sedang tak ingin melakukan apa pun karena sedang kehilangan."Apa kau ingin makan sesuatu?" tanya Evan yang melangkah mendekati ranjang pembaringan Rara.Tak ada jawaban, bergerak pun tidak. Evan hanya bisa kembali mencium kening Rara, dan melihat sepintas mata dari istrinya yang masih terpejam. "Sabar ya Sayang, Allah masih ingin menguji kesabaran kita," bisiknya pas di telinga Rara.Pun saat Ayah dan Mama kembali masuk ke dalam ruangan itu, Rara masih tetap membatu. Hingga saat seorang Dokter yang di ikuti dua perawat perempuan masuk ke dalam kamar untuk pemeriksaan rutin pun, Rara masih tetap terdiam walau kini matanya tak lagi terpejam."Mbak, tetap semangat ya, jangan sedih terus, nanti kalau sedih terus susah sembuhnya." Nasehat bu Dokter sambil mengajak bercanda, Namun Rara masih tetap bergeming.Sampai rombongan Dokter it

  • Jangan Menolakku    Mereka Adalah

    Mendengar penjelasan dari sang Dokter, Evan hanya bisa menggenggam jari tangannya sendiri kuat kuat, ada perasaan perih yang menyayat."Saya harap bapak tidak kecil hati, tolong berikan semangat buat istri bapak, karena biasanya perempuan yang baru saja kehilangan bayinya akan berubah menjadi wanita sensitif--gampang marah hanya kerana masalah masalah kecil," ujar Dokter perempuan itu dengan senyum perduli. "Apakah kami masih bisa punya anak lagi, Dok?" tanya Evan dengan wajah penuh harap. "Bisa! Tentu saja bisa, tidak ada kendala dengan rahim si ibu kok, pak," jawab Dokter dengan senyum yang menenangkan hati Evan."Yang penting sekarang adalah bagaimana cara bapak untuk menguatkan mental si ibu bahwa semua baik baik saja."Kembali Dokter memberikan pesan berharga buat Evan."Baik, Dok. Akan saya perhatikan semua yang dokter pesan. Terimakasih."Dokter perempuan separuh baya yang mengenakan hijab lebar itu hanya bisa tersenyum melihat ke kondisi Evan. Dan menganggukkan kepala mem

  • Jangan Menolakku    Maap

    "Ya, kamu benar. Maaf kalau selama ini ayah tidak pernah menceritakan pada kalian, tapi bukankah kalian sudah mengatakan bahagia atas pernikahan ini?"Rara tak menjawab pertanyaan ayahnya, malah kini dia berpaling ke arah Evan, yang kini juga tengah memandangnya."Apakah kamu bahagia hidup bersamaku, Mas?" Dengan wajah serius, Rara bertanya pada Evan yang menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum saat mendengar istrinya bertanya."Alhamdulillah, insya Allah selamanya, aku bakalan bahagia dan akan membahagiakanmu," jawab Evan dengan rona muka serius, memandang silih berganti Rara, dan kedua mertuanya."Aamiin aamiin." sahut semuanya dengan penuh keyakinan."Jadi pengin muda lagi aku, Ayah." ujar Mama, dengan muka merajuk sambil memeluk satu lengan Ayah dan menggelayutinya mesra. "Hahahaha!"Tentu saja sikap Mama membuat Evan dan Rara terkekeh spontan. "Sudah malam, apakah kalian masih kekeh untuk pulang malam, ini?""Mungkin ada baiknya bila kita menginap saja, besok setelah subuh k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status