LOGIN
Mey datang ke gym bukan karena pengen langsing atau ngejar goals badan ideal. Bukan juga karena dia suka olahraga. Jauh dari itu. Gym cuma pelariannya, tempat buat narik nafas sebentar, jauh dari rumah yang makin lama, makin asing. Tempat dimana dia bisa pura-pura sibuk sambil dengerin musik keras-keras dan ga di tanya suami. "Kamu kenapa sih?"
Pagi itu Mey datang lebih awal dari biasanya. Langit masih kelabu, udara masih dingin. Rambutnya setengah kering habis mandi, dan dia pakai tanktop abu-abu yang mulai pudar warnanya. Legging hitam favorit, sepatu training yangvudah agak belel. Nggak niat tampil. Nggak mikir akan ketemu siapapun. Tapi begitu masuk, matanya langsung berpapasan dengan seseorang. Bukan orang yang asing banget. tapi juga bukan wajah yang biasa dia lihat di gym ini. "Pagi, Kak. Mau latihan apa hari ini? " Suara cowok. Dalam, tapi santai. Nggak sok akrab, tapi cukup bikin kepala Mey refleks menoleh. Tinggi, pakai kacamata bening, bahu lebar. Kaos hitam pas badan yang melekuk seluruh otot di tubuhnya, celana training gelap, dan ada name tag tergantung di dada kanannya bertuliskan Rafael. Mey cuma melirik, lalu jawab sekenanya. "Nggak tahu, liat mood. Bisa aja langsung pulang kalau males. " Rafael ketawa. Nggak keras tapi tulus. Kaya beneran ketawa karena lucu, bukan karena basa-basi. "Aku Rafael, pelatih pengganti selama dua bulan ke depan. Kalau butuh bantuan untuk latihan, tinggal bilang aja. " Mey cuma angguk. Nggak sopan? Mungkin. Tapi hari itu energinya nggak cukup buat basa-basi. "Nah liat dari histori kamu, program latihannya cukup konsisten, lho. Lumayan rajin. " "Karena itu pelarian. " ceplos Mey, tanpa mikir. Rafael menoleh. " Apa? " " Nggak. Maksudnya, kerjaanku fleksibel, jadi bisa atur waktu. " kata Mey buru-buru. Dia nggak nanya lebih lanjut. Cuma senyum tipis dan angguk. Latihan mereka di mulai. Push up, plank, shoulder press, semua gerakan di jalani tanpa banyak bicara. Tapi Rafael kayak tahu kapan harus bantu. Kapan diam. Kapan kasih handuk kecil, waktu keringat mulai netes dari dagu. "Tiap kamu angkat beban, kayak ada yang pengen kamu tahan. Tapi bukan soal beban latihan. " katanya tiba-tiba. Mata Mey membulat. Lalu ia menggeleng pelan. "Nggak. Tapi iya. " Lagi-lagi Rafael nggak nanya apa-apa. Nggak coba korek cerita. Tapi dari cara dia lihat Mey, ada rasa ngerti. Dan entah kenapa, itu cukup bikin bahu Mey sedikit turun. Agak lebih ringan. --- Setelah latihan, Mey duduk lama di ruang ganti. Nafas sudah stabil, tapi hatinya belum. Ponsel di tangan vibrate pelan. Pesan masuk dari suaminya. "Jangan lupa bayar listrik. Bulan ini udah dibayar belum? " Nggak ada kata "selamat pagi." Nggak ada "lagi apa?". Nggak ada "kamu capek?". Cuma satu kalimat. Dingin dan fungsional. Mey tatap layar ponsel itu lama. Terus, tanpa balas, dia mematikan layar dan memasukan ponsel ke tas. Dia nggak marah. Nggak nangis juga. Tapi itu justru yang bikin aneh, karena biasanya hal kaya gini, bisa bikin hatinya remuk. Tapi hari ini...dia cuma diam. Keluar dari gym, langkah kakinya beda. Lebih pelan, tapi juga lebih ringan. Nggak muter lagu, nggak buka medsos. Jalan aja, ngelewatin trotoar yang basah sisa hujan semalam. Mey tahu, luka di hatinya nggak akan sembuh dalam semalam. Tapi pagi itu, ada yang berubah. Bukan banyak, tapi cukup buat bikin dia sadar. Dia ga sepenuhnya sendiri. Mungkin Rafael cuma pelatih pengganti. Mungkin dia cuma peka karena trained to be so. Tapi caranya nggak menghakimi, nggak sok tahu, dan nggak mencoba jadi hero.. justru bikin Mey bisa tarik nafas sedikit lebih panjang. Dan itu, untuk hari seperti ini, sudah lebih dari cukup.Mey kebangun karena cahaya pagi nyelinap masuk lewat tirai apartemen Kemang. Rafael masih tidur, tangannya masih melingkar di pinggangnya. Mey nggak langsung gerak, cuma diam di situ, menikmati kehangatan dan kedekatan yang rasanya baru balik lagi setelah lama hilang.Tadi malam terasa seperti sesuatu yang lama Mey butuhkan.Bukan cuma soal fisik tapi juga batin. Mereka nyambung lagi di level yang lebih dalam.Rafael bergerak sedikit, matanya mulai terbuka."Morning," bisiknya."Morning.""Sleep well?""Very."Rafael senyum tipis, nyium bahu Mey pelan."Good."Mereka tetap di kasur lebih lama dari biasanya. No rush. No alarm. Cuma cahaya pagi dan diam yang nyaman."Hari ini hari terakhir," kata Mey pelan."Iya. Besok kamu packing, lusa kamu terbang.""Nervous?""Sedikit... tapi lebih lebih tenang sekarang. Setelah dua hari ini."Mey angguk, "Me too."
Pagi itu di apartemen Kemang. Mey bangun duluan. Rafael masih tidur, nafasnya masih pelan. Mey liat wajah Rafael sebentar, ada garis lelah di dahi, bahkan waktu tidur. Pelan-pelan, Mey keluar ke balkon, bawa kopi, duduk di kursi yang semalam mereka duduki. Udara Jakarta masih tenang, langit mulai terang. Tiga hari. Cuma tiga hari sebelum Mey berangkat. Tiga hari buat mereka 'figure this out'. Tapi gimana caranya? Dari mana mulainya?. Pintu balkon terbuka pelan. Rafael keluar, rambut berantakan dan mata masih sembab. "Pagi," suara Rafael serak. Mey menoleh, tersenyum. "Pagi. Mau kopi?" "Udah ada?" Mey ngangkat mug kedua yang udah disiapin dari tadi. Rafael senyum kecil, ambil, terus duduk di kursi sebelah Mey. Mereka diam beberapa saat. Nggak awkward, tapi berat "Aku udah mikir," kata Rafael akhirnya. "Soal kemarin." "Aku juga." "Dan aku mau usul sesuatu." Mey menoleh, "Apa?" "Mulai hari ini sampai minggu. Kita pakai waktu cuma buat kita berdua. No work. N
Rafael bangun lebih pagi dari biasanya. Alarm bunyi jam 5, dia langsung bangun, mandi cepat dan siap-siap buat site visit. Mey masih setengah sadar waktu Rafael keluar dari kamar mandi. "Udah mau berangkat?" tanya Mey dengan suara serak. "Iya. Meeting sama kontraktor jam enam. Sorry ya, kalau ganggu tidur kamu." "Nggak papa. Hati-hati ya." "Will do." Rafael nyium kening Mey sebentar sebelum berangkat. Setelah suara pintu tertutup, apartemen langsung berasa sepi lagi. Mey bengong sebentar, terus ngambil HP. Ada email dari Emma yang belum sempat dia balas. Mey ngetik pelan: Emma, I'm in. When do you need me there? Lima menit kemudian, balasan dari Emma pun masuk: Perfect. Flight Monday next week. I'll send the details. Thanks, Mey. You're lifesaver. Mey taruh HP-nya di meja, ngeliat ke langit-langit. Ada rasa lega yang seolah-olah udah mutusin sesuatu yang benar, tapi tetap kerasa nyesek. Mey tarik nafas panjang, "Aku belum bilang ke Rafael." gumamnya pelan. Sementara i
Mey kebangun jam setengah enam. Rafael masih tidur di sofa dengan posisi yang sama kayak semalam. Laptop Rafael masih nyala, belum di matikan, tapi layarnya udah gelap. Mey ambil selimut dikamar, buat nutup tubuh Rafael pelan-pelan sebelum ke dapur bikin kopi. Sambil nunggu air panas, Mey buka HP-nya. Dan liat email masuk dari Emma. Subject: Singapore Side. Need Your Input. Mey, We're expanding our wellnes modul to two new corporate clients in Singapore. I need a senior person to handle the setup, which will take about 2-3 weeks on-the-ground. You're my first pick. Let me know if you're up for it. - Emma. Mey baca ulang. Dua sampai tiga minggu di Singapura. Artinya ninggalin Rafael pas lagi sibuk-sibuknya bangun RafFit studio. Waktunya... Nggak pas. Mey belum bales. Mey buka kalender dan liat jadwal Jakarta yang saling tabrakan. Nggak lama, Rafael muncul dari ruang tamu. Rambutnya acak-acakan, matanya masih setengah terbuka. "Pagi," kata Rafael dengan suara yang serak. "Pag
Alarm Rafael bunyi jam enam. Dia langsung matiin cepat, takut ganggu Mey yang masih tidur. Tapi, Mey udah kebangun dulu. "Pagi," sapa Mey pelan sambil buka mata. "Pagi. Sorry, volume alarm aku kegedean." "Nggak papa. Aku juga udah mau bangun." Rafael mandi lebih dulu, Mey nyiapin kopi. Rutinitas pagi yang udah jadi kebiasaan. Nggak banyak ngomong tapi nyaman. Sarapan mereka sederhana. Hanya roti panggang, telur dan kopi hitam. "Hari ini sibuk?" tanya Mey sambil ngunyah. "Lumayan. Ada site visit sama kontraktor jam sepuluh, terus lanjut meeting sama Gery soal revisi budget." "Sinta ikut?" tanya Mey lagi. Rafael diem sebentar. "Kayaknya iya. Dia kan lead marketing." Mey angguk. "I see." Rafael natap Mey serius. "Kamu nggak papa, kan?" "Yeah. Maksud aku... ini urusan kerjaan. Aku nggak boleh berharap kamu ngindarin dia." "Tapi kalau kamu nggak nyaman... " "Aku nyaman." potong Mey sambil senyum kecil. "Serius. Aku cuma masih menyesuaikan. Tapi aku percaya kamu." Rafael gengg
Senin pagi – Apartemen KemangMey bangun jam enam, tapi udah nggak bisa tidur lagi sejak jam lima. Pikirannya terus balik ke malam kemarin—nama Sinta di layar HP Rafael, cara dia cepat-cepat matiin notifikasi, dan jawaban "besok aja" yang terlalu... ringan.Dia keluar ke balkon, bawa kopi, duduk sambil lihat Jakarta yang mulai bangun. Langit masih kelabu, udara dingin, tapi ada sesuatu yang terasa berat pagi ini.*Aku nggak mau jadi orang yang insecure. Tapi kenapa rasanya ada yang nggak pas?* batin Mey.Rafael keluar beberapa menit kemudian, masih pakai kaos tidur, rambut acak-acakan."Udah bangun lama?" tanyanya sambil duduk di sebelah Mey."Sejam-an.""Nggak bisa tidur?""Bisa. Cuma... kepikiran."Rafael diam sebentar, sensing something. "Kepikiran apa?"Mey pause, mikir apakah mau nanya atau nggak. Akhirnya dia mutusin untuk jujur."Kemarin... Sinta chat kamu, kan?"Rafael







