Beranda / Romansa / Jangan Pegang, Coach / Bab 2 : Keringat Dan Ketegangan

Share

Bab 2 : Keringat Dan Ketegangan

Penulis: Mey_Lee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-29 23:35:39

Jarum jam dinding di gym menunjukkan angka 07.03 , saat Mey melangkah masuk. Gym masih cukup sepi. Lampu-lampu putih terang memantul di lantai yang baru di pel. Udara masih segar, belum tercampur bau keringat banyak orang.

Rafael sudah ada di sana. Duduk di lantai, menyusun dumbell dengan santai. Kaosnya menempel di punggung, basah sedikit, entah karena latihan atau memang baru datang lebih dulu.

"Telat yaaaa?. " katanya sambil menengok ke arah Mey.

Mey mengangkat alis. "Macet."

Nggak ada penjelasan panjang. Nggak perlu. Rafael pun nggak nanya lebih jauh. Dia hanya berdiri sambil menepuk-nepuk tangannya., lalu menunjuk ke arah stretching.

"Yuk, pemanasan dulu. "

Latihan pagi itu berjalan nyaris tanpa obrolan. Tapi bukan hening yang nyaman. Mey nggak merasa diinterogasi, nggak dituntut jadi ceria. Dia hanya perlu mengikuti irama tubuhnya, dan Rafael tetap ada, mengawasi dari jarak yang pas ngasih instruksi seperlunya, kadang menyemangati saat repetisi terasa berat.

"Masih bisa. Aku tahu kamu bisa. " katanya setiap kali Mey mulai melambat.

Ayo... satu lagi. Yap, good. Satu lagi..sip, mantap. "

Aneh. 

Tapi entah kenapa suara Rafael, lembut tapi tegas itu terasa lebih menenangkan dibanding semua nasehat rumah tangga yang pernah dia dengar. Suara yang nggak menggurui. Tapi juga nggak basa-basi.

Begitu latihan selesai., mereka duduk di lantai, menyeka keringat. Kaca pintu masuk dibiarkan terbuka sedikit, membiarkan udara pagi masuk pelan-pelan. Sunyi, tapi menyenangkan. Ada jeda yang cukup untuk nafas, tanpa harus bicara.

Lalu, tiba-tiba Rafael bertanya. " Kamu udah nikah? "

Mey menoleh. Pertanyaan itu kayak lemparan bola yang nggak disangka. 

" Udah. " jawab Mey. Lalu jeda. " Tapi rasanya...kayak hidup bareng orang asing sekarang. "

Rafael mengangguk pelan. Diam sejenak. Lalu berkata. " Kadang aku juga ngerasa...tinggal serumah sama seseorang yang bahkan nggak tahu makanan favoritku. Aneh ya. "

Mey menatapnya. Matanya jernih, tapi lelah.

"Aku nggak bisa kasih saran." lanjut Rafael. "Tapi kalau kamu capek.. Istirahat dulu. "

Ada sesuatu di kalimat itu yang bikin dada Mey menghangat. Bukan karena manis. Tapi karena tulus. Nggak dibuat-buat.

"Aku datang kesini karena aku butuh ruang buat nggak jadi istri. " kata Mey akhirnya.

Kalimat itu keluar begitu saja. Nggak direncanakan. Tapi juga nggak bisa ditarik lagi.

Dia hanya mengangguk. Lalu berdiri, mengambil botol minum milik Mey yang tadi di taruh di pinggir matras. Dia menyerahkannya dengan satu tangan.

"Minum dulu. " katanya pelan. " Baru cerita kenapa kamu kelihatan lelah.. dan bukan cuma karena angkat beban. "

Mey menerima botol itu. Minum sedikit. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat.

Ada perasaan yang asing. Tapi akrab. Seolah tubuhnya mengingat sesuatu yang dulu pernah ada. Dulu, sebelum semua jadi kaku dan formal.

---

Di rumah, Mey membuka lemari. Menatap pakaian-pakaian yang tergantung rapi, tapi sudah lama tidak disentuh siapa-siapa. Sudah lama tak ada tangan suaminya menyentuh punggungnya. Sudah lama tak ada pelukan saat malam tiba. Bahkan ucapan "selamat tidur" pun sudah menjadi barang langka.

Mereka masih tinggal serumah. Tapi rasanya seperti tinggal di planet yang beda. Obrolan hanya terjadi saat perlu. Nada suara suaminya dingin. Jawabannya pendek-pendek. Bahkan pertanyaan soal sabun mandi bisa berubah jadi debat. Entah sejak kapan semuanya berubah. Atau... mungkin memang begitulah dia sebenarnya.

Mey mendesah. Bukan marah. Tapi lelah.

Dia duduk di pinggir tempat tidur. Mengambil ponsel. Membuka platform laman pink.

Dia masuk ke akun gym story terbaru yang baru saja di unggah. Video singkat Rafael sedang menyusun barbell. Suaranya nggak terdengar. Tapi senyum tipisnya tetap ada. Di latar, pelatih lain tertawa. Tapi Rafael hanya fokus.

Mey menonton videonya terlalu lama. Tatapan Rafael yang tenang, gerakannya yang teratur, cara dia menggenggam barbell seperti sesuatu yang dia jaga, bukan sekedar alat olahraga.

Mey cepat-cepat menutup story itu. Bukan karena malu. Tapi karena dadanya mulai sesak.

Mey mengingat kembali momen tadi pagi, saat Rafael duduk di sebelahnya. Saat mereka hanya diam, tapi tidak terasa sepi. Saat tangannya nyaris menyentuh lengan Mey. Nafasnya makin berat, bukan karena lari, tapi mungkin.. karena hal lain yanh belum mereka ucapkan.

Mey menggigit bibirnya.

Dia tahu ini bukan soal jatuh cinta. Dia tidak sedang jatuh cinta.

Tapi mungkin... dia sedang merasa dilihat lagi. Dihargai lagi. Dianggap ada lagi. Setelah terlalu lama diam, ada bayangan tak bersuara di rumahnya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 74 : Social Proof

    Kamis Sore – Kantor LondonSeharian energi di kantor agak lain. Nggak ada yang blak-blakan bilang apa-apa, tapi vibe-nya kebaca. Beberapa kolega lempar komentar ringan kayak, “Wah, kalian makin kompak ya,” atau “Dynamic partnership-nya udah enak banget dilihat.”Mey cuma senyum diplomatis. Rafael jawab santai, “Ya, sinkronisasi kerjaan kita memang target dari awal.”Tapi mereka sama-sama tau: orang bisa ngerasain energi. Dan sekarang, energinya beda.Jam 3 sore – Ruang MeetingMereka lagi bahas follow-up kontrak Garuda. Di tengah diskusi, salah satu staff nyeletuk, “Kalau boleh jujur, approach kalian tuh udah kayak udah bertahun-tahun tandem bareng. Jarang ada partner bisnis yang klik kayak gini.”Mey lempar senyum profesional. “Syukurlah kalau kelihatan gitu. Itu berarti struktur partnership kita jalan.”Tapi dalam hati, dia tahu “klik” yang orang lihat jauh lebih dalam daripada sekadar bisnis.Jam 5 sore – Coffee B

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 73 : Integration

    Kamis Pagi – 7 AM – Flat MeyMey kebangun pas cahaya matahari nyusup lewat tirai tipis. Rafael masih tidur di sampingnya, satu tangan melingkar di pinggang, napasnya tenang di tengkuknya.Semalam bukan cuma soal “domestic experiment.” Itu kayak breakthrough. Nggak cuma fisik, tapi juga emosional. Untuk pertama kali, mereka bener-bener nggak nahan apa pun.Oh, jadi gini rasanya integration.“Morning,” suara Rafael serak, setengah sadar.“Morning.”Dia nyium pelan bahu Mey. “How do you feel?”“Complete. Kayak semua pieces akhirnya nyatu.”“No regrets?”“Nggak ada. Kamu?”“Cuma nyesel kenapa baru sekarang.”Mey ketawa tipis. “Mungkin memang waktunya harus pas. Kita juga mesti siap dulu buat sampai ke titik ini.”“Yeah, maybe.”Mereka diem sebentar, tapi heningnya enak. Bukan awkward.“Raff?” Mey manggil.“Mmm?”“Aku pengen pastiin semalam itu b

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 72 : Eksperimen Domestik

    Rabu Sore - 6:30 PM - Flat Mey, LondonMey sibuk beres-beres flat dengan energi setengah gugup yang nggak dia kira bakal muncul. Rafael udah pernah main ke sini sebelumnya, tapi malam ini beda. Malam ini mereka sepakat nyobain sesuatu yang lebih nyata: domestic experiment.Flat Mey lebih kecil dibanding punya Rafael, tapi jauh lebih personal. Buku-buku berantakan tapi tertata, tanaman di jendela, print art di dinding, bantal sofa yang warnanya nggak nyambung tapi anehnya cocok. Tempat yang jelas-jelas nunjukin siapa Mey, bukan tempat yang dibuat buat “ngeselin tamu.”Jam tujuh pas, bel bunyi.“Hey,” Rafael muncul di pintu bawa wine sama paper bag gede. “I brought supplies.”Mey ngangkat alis. “Supplies apa?”“Bahan masakan buat dinner, dessert, sama wine biar ada alasan buat toast sukses partnership kita.”Kepala Mey geleng. “Kamu nggak harus repot gitu—”“Justru pengen. Lagian aku penasaran sama skill dapur kam

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 71 : Profesional dan Pengakuan

    Selasa Malam – 7 PM – Restoran Central LondonMey datang lima menit lebih awal. Dress navy yang rapi tapi tetap elegan, rambut ditata simpel, polished tapi nggak ribet. Malam ini penting—pertama kali dia datang ke client dinner bukan sebagai support staff, tapi sebagai partner.Rafael udah nunggu di bar area. Dark suit, aura authoritative banget. Begitu lihat Mey, dia senyum—kombinasi antara bangga secara profesional dan personal.“You're perfect,” katanya pelan.“Business-appropriate?”“Business-appropriate dan confident. Persis yang kita butuhin malam ini.”Mr. Suharto dan Mrs. Chen dari Garuda muncul tepat waktu. Rafael dan Mey berdiri berdampingan, presenting diri mereka sebagai satu tim yang solid."Good evening," Rafael extend hand untuk handshake. "Thank you for making time to this follow-up discussion.""Our pleasure," Mr. Suharto respond. "And Ms. Mey, delighted to see you again.""Th

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 70 : Antara Pekerjaan dan Perasaan

    Senin Pagi - 8:30 AM - Kantor Bersama LondonMey sengaja datang lima menit lebih awal dari Rafael. Dia butuh waktu buat settle dulu sebelum ngetes gimana dinamika baru mereka di kantor.Kopi udah ready, laptop nyala, dokumen Garuda follow-up rapi di meja. Mode kerja: on.Rafael masuk dengan kemeja navy andalannya. Langkahnya percaya diri, tapi tatapannya lain—hangat, ada familiar vibe yang cuma mereka berdua ngerti.“Pagi,” katanya, suaranya biasa, tapi ada sesuatu di baliknya.“Pagi. Kopi udah siap.”“Thanks.”Interaksi kelihatan profesional, tapi di bawah permukaan ada subtext yang cuma mereka rasa. Persis kayak yang mereka omongin weekend kemarin.Rafael duduk, nyalain laptop. Tapi beberapa kali nyuri pandang ke Mey, kasih senyum kecil yang jelas-jelas bukan senyum standar kantor.“Agenda hari ini?” dia balik ke mode bisnis.“Refinement Garuda presentation, call sama Singapore project jam du

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 69 : Weekend Bareng

    11 AM – Tesco Grocery Store“Kamu suka susu yang mana?” Rafael nanya sambil megang dua karton di lorong dairy.“Full-fat. Hidup terlalu singkat buat pura-pura suka skimmed.”“Ok. Aku ambil yang almond milk .”Mey ketawa. “Nggak ada yang salah sih sama almond milk, tapi jelas bukan buat kopi. Dan aku tau itu buat perform body kamu kan?”“Correct.”Mereka muter-muter toko dengan lancar banget. Nggak ada drama soal merek, nggak ada debat panjang. Rafael otomatis ambil bagian sayur-buah, Mey fokus ke barang-barang kering. Kayak udah terbiasa aja.“Dinner nanti malam?” Mey nanya waktu mereka sampai di bagian daging. “Masak sendiri atau pesan aja?”“Liat dulu kemampuan masak kamu seberapa, selama nggak sama aku.”“Lumayan sih, asal jangan disuruh fancy.”“Aku juga sama. Bisa pasta, tumisan simpel, atau grill standar.”“Pasta kedengeran oke. Saus merah atau putih?”“Merah dulu. Saus

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status