LOGINGym sore itu nyaris kosong. Musik dari speaker nyaris tenggelam oleh sunyi. Cahaya senja dari jendela kaca panjang menyorot ke lantai, meninggalkan bayangan alat-alat beban yang seolah mengintai dari kejauhan. Hanya ada Mey, dan Rafael.
Peluh masih mengalir pelan di pelipis Mey, tubuhnya baru saja selesai latihan. Tapi bukan lelah yang kini menguasai tubuhnya—melainkan gugup, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa penasaran. Rafael berdiri di hadapannya, masih mengenakan kaos training ketat dan celana pendek gym, tubuhnya tampak mengilat di bawah lampu. “Masih kuat?” suara Rafael rendah, serak, ada jeda aneh di ujung kalimatnya. Mey menelan ludah. “Enggak tahu... mungkin iya.” Dia mendekat. Gerakannya lambat, tapi jelas. Tidak ada lagi jarak formal antara mereka. Dan ketika Rafael menyentuh pinggang Mey—bukan untuk koreksi postur, bukan juga karena alasan latihan—semua peringatan dalam kepala Mey hilang seketika. Tangannya hangat. Mey bisa merasakan nafas Rafael di lehernya, terlalu dekat. Tanpa banyak kata, Rafael menariknya mendekat dan bibirnya menyentuh bibir Mey—awal yang lembut, tapi dengan intensitas yang langsung menyambar. Ciuman itu dalam, basah, penuh tekanan, seolah menahan semua yang selama ini mereka pendam. Tangan Rafael menjelajah ke punggungnya, turun ke bawah, memegang bokong Mey dan menariknya menempel sepenuhnya ke tubuhnya. Mey bisa merasakan bagian paling keras dari Rafael menekan ke perut bawahnya—panas, tegang, menuntut. Dia mengeluh pelan di antara ciuman, napasnya memburu. Rafael membalikkan tubuhnya, mendorong Mey pelan ke cermin besar di dinding gym. Tangannya menyibak legging ketat Mey ke bawah, hanya sampai pertengahan paha. Ia jongkok, wajahnya tepat di antara paha Mey yang kini terbuka sedikit, dan tanpa basa-basi, lidahnya menyapu bagian paling sensitif dari Mey. “Ast—Raf...” Mey menggigit bibir, kedua tangannya menahan ke dinding. Kakinya lemas seketika. Rafael terus menjilat, lambat tapi dalam, sesekali menghisap bagian atas yang paling membuat Mey mengerang pelan. Bunyi lembap dan desahan lembut bercampur jadi satu di ruangan yang kosong itu. Setiap gerakan lidah Rafael seperti tahu persis di mana letak kegilaan Mey bersembunyi. Ketika Mey hampir mencapai puncaknya, Rafael berdiri. Wajahnya basah, matanya liar. Tanpa berkata apa-apa, dia menurunkan celana training-nya dan melepaskan bagian yang dari tadi menegang keras. Mey melihatnya. Besar. Tegang. Menantang. Dia memegang leher Mey dan mencium lagi bibirnya dengan kasar, lalu membalik tubuhnya menghadap cermin. Dengan satu dorongan, Rafael masuk ke dalamnya dari belakang—panas, basah, dan dalam. “Aaahh—” suara Mey pecah. "Shh... liat diri kamu,” Rafael berbisik di telinganya, satu tangan menahan pinggangnya, satu lagi memegang dagunya agar ia melihat bayangan mereka di cermin. Gerakan Rafael cepat, dalam, dan keras. Setiap hentakan membuat dada Mey bergetar. Pinggulnya terbentur cermin setiap kali Rafael menghantam dari belakang. Ia menggigit bibir, tubuhnya seperti meleleh, tapi tak bisa berhenti menerima semuanya. “Suka ya dibikin begini di tempat kayak gini?” bisik Rafael, kasar, tapi napasnya bergetar. Mey hanya bisa mengangguk dengan mata nyaris tertutup. Dirinya seperti dilebur, bukan hanya oleh tubuh Rafael, tapi juga oleh cara Rafael memperlakukannya—liar, haus, tapi tetap tahu batas agar dia tak pecah. --- Ketika semua selesai, Rafael masih memeluk Mey dalam diam. Napas mereka mulai melambat, tapi dada mereka masih berdetak cepat. Ia mencium dahi Mey, pelan, hangat, dan sangat manusiawi. “Maaf ya,” katanya lirih. “Jangan minta maaf. Aku juga pengen.” Mereka berdua tahu, setelah ini semua akan berubah. Tapi untuk sementara, dalam keheningan gym sore itu, mereka memilih untuk saling diam dan saling mengerti. Dalam pelukan yang tak lagi hanya sekadar fisik, tapi juga batin. Mereka tidak tahu akan jadi apa setelah ini, tapi satu hal yang pasti ,malam itu, batas mereka bukan lagi tentang bisa atau tidak. Tapi tentang mau atau tidak mengakui apa yang selama ini sudah tumbuh diam-diam. ---Pagi itu di apartemen Kemang. Mey bangun duluan. Rafael masih tidur, nafasnya masih pelan. Mey liat wajah Rafael sebentar, ada garis lelah di dahi, bahkan waktu tidur. Pelan-pelan, Mey keluar ke balkon, bawa kopi, duduk di kursi yang semalam mereka duduki. Udara Jakarta masih tenang, langit mulai terang. Tiga hari. Cuma tiga hari sebelum Mey berangkat. Tiga hari buat mereka 'figure this out'. Tapi gimana caranya? Dari mana mulainya?. Pintu balkon terbuka pelan. Rafael keluar, rambut berantakan dan mata masih sembab. "Pagi," suara Rafael serak. Mey menoleh, tersenyum. "Pagi. Mau kopi?" "Udah ada?" Mey ngangkat mug kedua yang udah disiapin dari tadi. Rafael senyum kecil, ambil, terus duduk di kursi sebelah Mey. Mereka diam beberapa saat. Nggak awkward, tapi berat "Aku udah mikir," kata Rafael akhirnya. "Soal kemarin." "Aku juga." "Dan aku mau usul sesuatu." Mey menoleh, "Apa?" "Mulai hari ini sampai minggu. Kita pakai waktu cuma buat kita berdua. No work. N
Rafael bangun lebih pagi dari biasanya. Alarm bunyi jam 5, dia langsung bangun, mandi cepat dan siap-siap buat site visit. Mey masih setengah sadar waktu Rafael keluar dari kamar mandi. "Udah mau berangkat?" tanya Mey dengan suara serak. "Iya. Meeting sama kontraktor jam enam. Sorry ya, kalau ganggu tidur kamu." "Nggak papa. Hati-hati ya." "Will do." Rafael nyium kening Mey sebentar sebelum berangkat. Setelah suara pintu tertutup, apartemen langsung berasa sepi lagi. Mey bengong sebentar, terus ngambil HP. Ada email dari Emma yang belum sempat dia balas. Mey ngetik pelan: Emma, I'm in. When do you need me there? Lima menit kemudian, balasan dari Emma pun masuk: Perfect. Flight Monday next week. I'll send the details. Thanks, Mey. You're lifesaver. Mey taruh HP-nya di meja, ngeliat ke langit-langit. Ada rasa lega yang seolah-olah udah mutusin sesuatu yang benar, tapi tetap kerasa nyesek. Mey tarik nafas panjang, "Aku belum bilang ke Rafael." gumamnya pelan. Sementara i
Mey kebangun jam setengah enam. Rafael masih tidur di sofa dengan posisi yang sama kayak semalam. Laptop Rafael masih nyala, belum di matikan, tapi layarnya udah gelap. Mey ambil selimut dikamar, buat nutup tubuh Rafael pelan-pelan sebelum ke dapur bikin kopi. Sambil nunggu air panas, Mey buka HP-nya. Dan liat email masuk dari Emma. Subject: Singapore Side. Need Your Input. Mey, We're expanding our wellnes modul to two new corporate clients in Singapore. I need a senior person to handle the setup, which will take about 2-3 weeks on-the-ground. You're my first pick. Let me know if you're up for it. - Emma. Mey baca ulang. Dua sampai tiga minggu di Singapura. Artinya ninggalin Rafael pas lagi sibuk-sibuknya bangun RafFit studio. Waktunya... Nggak pas. Mey belum bales. Mey buka kalender dan liat jadwal Jakarta yang saling tabrakan. Nggak lama, Rafael muncul dari ruang tamu. Rambutnya acak-acakan, matanya masih setengah terbuka. "Pagi," kata Rafael dengan suara yang serak. "Pag
Alarm Rafael bunyi jam enam. Dia langsung matiin cepat, takut ganggu Mey yang masih tidur. Tapi, Mey udah kebangun dulu. "Pagi," sapa Mey pelan sambil buka mata. "Pagi. Sorry, volume alarm aku kegedean." "Nggak papa. Aku juga udah mau bangun." Rafael mandi lebih dulu, Mey nyiapin kopi. Rutinitas pagi yang udah jadi kebiasaan. Nggak banyak ngomong tapi nyaman. Sarapan mereka sederhana. Hanya roti panggang, telur dan kopi hitam. "Hari ini sibuk?" tanya Mey sambil ngunyah. "Lumayan. Ada site visit sama kontraktor jam sepuluh, terus lanjut meeting sama Gery soal revisi budget." "Sinta ikut?" tanya Mey lagi. Rafael diem sebentar. "Kayaknya iya. Dia kan lead marketing." Mey angguk. "I see." Rafael natap Mey serius. "Kamu nggak papa, kan?" "Yeah. Maksud aku... ini urusan kerjaan. Aku nggak boleh berharap kamu ngindarin dia." "Tapi kalau kamu nggak nyaman... " "Aku nyaman." potong Mey sambil senyum kecil. "Serius. Aku cuma masih menyesuaikan. Tapi aku percaya kamu." Rafael gengg
Senin pagi – Apartemen KemangMey bangun jam enam, tapi udah nggak bisa tidur lagi sejak jam lima. Pikirannya terus balik ke malam kemarin—nama Sinta di layar HP Rafael, cara dia cepat-cepat matiin notifikasi, dan jawaban "besok aja" yang terlalu... ringan.Dia keluar ke balkon, bawa kopi, duduk sambil lihat Jakarta yang mulai bangun. Langit masih kelabu, udara dingin, tapi ada sesuatu yang terasa berat pagi ini.*Aku nggak mau jadi orang yang insecure. Tapi kenapa rasanya ada yang nggak pas?* batin Mey.Rafael keluar beberapa menit kemudian, masih pakai kaos tidur, rambut acak-acakan."Udah bangun lama?" tanyanya sambil duduk di sebelah Mey."Sejam-an.""Nggak bisa tidur?""Bisa. Cuma... kepikiran."Rafael diam sebentar, sensing something. "Kepikiran apa?"Mey pause, mikir apakah mau nanya atau nggak. Akhirnya dia mutusin untuk jujur."Kemarin... Sinta chat kamu, kan?"Rafael
Minggu pagi – Apartemen KemangSuara hujan tipis di luar jadi alarm paling damai pagi itu.Mey kebangun duluan. Rafael masih tidur di sebelah, napasnya tenang, wajahnya lembut, nggak ada lagi garis tegang yang beberapa hari ini sering muncul.Mey bangun pelan, jalan ke dapur, bikin sarapan simpel: scrambled eggs, roti panggang, dan kopi hitam.Dia cuma pengen hari ini tenang. Slow. Tanpa notifikasi, tanpa rapat, tanpa rencana besar.Setengah jam kemudian Rafael bangun, rambutnya berantakan, jalan ke dapur sambil nyengir.“Wah, ada sarapan. Aku ulang tahun, ya?”“Nggak,” jawab Mey, balik badan dan nyandarin diri ke pelukannya. “Cuma pengen aja. Kita jarang punya pagi kayak gini.”“True. Biasanya jam segini aku udah buka laptop.”“Makanya, hari ini full rest mode.”Rafael ketawa pelan. “Deal.”Mereka makan sambil dengerin suara hujan.Diamnya bukan dingin, tapi damai.Yang kayak nyembuhin dari







