Home / Romansa / Jangan Pegang, Coach / Bab 8 : Batas yang Terlampaui

Share

Bab 8 : Batas yang Terlampaui

Author: Mey_Lee
last update Huling Na-update: 2025-08-05 15:12:39

Gym sore itu nyaris kosong. Musik dari speaker nyaris tenggelam oleh sunyi. Cahaya senja dari jendela kaca panjang menyorot ke lantai, meninggalkan bayangan alat-alat beban yang seolah mengintai dari kejauhan. Hanya ada Mey, dan Rafael.

Peluh masih mengalir pelan di pelipis Mey, tubuhnya baru saja selesai latihan. Tapi bukan lelah yang kini menguasai tubuhnya—melainkan gugup, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa penasaran. Rafael berdiri di hadapannya, masih mengenakan kaos training ketat dan celana pendek gym, tubuhnya tampak mengilat di bawah lampu.

“Masih kuat?” suara Rafael rendah, serak, ada jeda aneh di ujung kalimatnya.

Mey menelan ludah. “Enggak tahu... mungkin iya.”

Dia mendekat. Gerakannya lambat, tapi jelas. Tidak ada lagi jarak formal antara mereka. Dan ketika Rafael menyentuh pinggang Mey—bukan untuk koreksi postur, bukan juga karena alasan latihan—semua peringatan dalam kepala Mey hilang seketika.

Tangannya hangat. Mey bisa merasakan nafas Rafael di lehernya, terlalu dekat. Tanpa banyak kata, Rafael menariknya mendekat dan bibirnya menyentuh bibir Mey—awal yang lembut, tapi dengan intensitas yang langsung menyambar. Ciuman itu dalam, basah, penuh tekanan, seolah menahan semua yang selama ini mereka pendam.

Tangan Rafael menjelajah ke punggungnya, turun ke bawah, memegang bokong Mey dan menariknya menempel sepenuhnya ke tubuhnya. Mey bisa merasakan bagian paling keras dari Rafael menekan ke perut bawahnya—panas, tegang, menuntut. Dia mengeluh pelan di antara ciuman, napasnya memburu.

Rafael membalikkan tubuhnya, mendorong Mey pelan ke cermin besar di dinding gym. Tangannya menyibak legging ketat Mey ke bawah, hanya sampai pertengahan paha. Ia jongkok, wajahnya tepat di antara paha Mey yang kini terbuka sedikit, dan tanpa basa-basi, lidahnya menyapu bagian paling sensitif dari Mey.

“Ast—Raf...” Mey menggigit bibir, kedua tangannya menahan ke dinding. Kakinya lemas seketika.

Rafael terus menjilat, lambat tapi dalam, sesekali menghisap bagian atas yang paling membuat Mey mengerang pelan. Bunyi lembap dan desahan lembut bercampur jadi satu di ruangan yang kosong itu. Setiap gerakan lidah Rafael seperti tahu persis di mana letak kegilaan Mey bersembunyi.

Ketika Mey hampir mencapai puncaknya, Rafael berdiri. Wajahnya basah, matanya liar. Tanpa berkata apa-apa, dia menurunkan celana training-nya dan melepaskan bagian yang dari tadi menegang keras.

Mey melihatnya. Besar. Tegang. Menantang.

Dia memegang leher Mey dan mencium lagi bibirnya dengan kasar, lalu membalik tubuhnya menghadap cermin. Dengan satu dorongan, Rafael masuk ke dalamnya dari belakang—panas, basah, dan dalam.

“Aaahh—” suara Mey pecah.

"Shh... liat diri kamu,” Rafael berbisik di telinganya, satu tangan menahan pinggangnya, satu lagi memegang dagunya agar ia melihat bayangan mereka di cermin.

Gerakan Rafael cepat, dalam, dan keras. Setiap hentakan membuat dada Mey bergetar. Pinggulnya terbentur cermin setiap kali Rafael menghantam dari belakang. Ia menggigit bibir, tubuhnya seperti meleleh, tapi tak bisa berhenti menerima semuanya.

“Suka ya dibikin begini di tempat kayak gini?” bisik Rafael, kasar, tapi napasnya bergetar.

Mey hanya bisa mengangguk dengan mata nyaris tertutup. Dirinya seperti dilebur, bukan hanya oleh tubuh Rafael, tapi juga oleh cara Rafael memperlakukannya—liar, haus, tapi tetap tahu batas agar dia tak pecah.

---

Ketika semua selesai, Rafael masih memeluk Mey dalam diam. Napas mereka mulai melambat, tapi dada mereka masih berdetak cepat. Ia mencium dahi Mey, pelan, hangat, dan sangat manusiawi.

“Maaf ya,” katanya lirih.

“Jangan minta maaf. Aku juga pengen.”

Mereka berdua tahu, setelah ini semua akan berubah. Tapi untuk sementara, dalam keheningan gym sore itu, mereka memilih untuk saling diam dan saling mengerti. Dalam pelukan yang tak lagi hanya sekadar fisik, tapi juga batin.

Mereka tidak tahu akan jadi apa setelah ini, tapi satu hal yang pasti ,malam itu, batas mereka bukan lagi tentang bisa atau tidak. Tapi tentang mau atau tidak mengakui apa yang selama ini sudah tumbuh diam-diam.

---

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 9 : Cinta yang Tersembunyi Dibalik Nama Profesional

    Ruangan gym itu seakan punya aroma yang sama setiap sore, bau keringat bercampur parfum maskulin, dengan musik beat pelan yang terus diputar dari speaker di sudut dinding. Tapi sore ini, rasanya semua lebih intens. Entah karena Mey datang lebih awal, atau karena ia sengaja ingin memastikan apakah Rafael benar-benar sibuk melatih orang lain, bukan sekadar alasan untuk menjauh. Mey berdiri di depan cermin besar, pura-pura merapikan tali sepatunya, padahal dari sudut matanya, ia mengamati Rafael yang sedang menjelaskan gerakan pada klien wanita di treadmill. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Bukan cemburu, tapi lebih pada perasaan aneh: perasaan memiliki, padahal mereka tidak pernah benar-benar mengikatkan apa pun. Seolah tahu sedang diperhatikan, Rafael menoleh. Tatapan mereka bertemu sebentar. Mey buru-buru menunduk, pura-pura sibuk memeriksa ponselnya. Ia bisa merasakan detak jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Tak lama kemudian, Rafael menghampi

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 8 : Batas yang Terlampaui

    Gym sore itu nyaris kosong. Musik dari speaker nyaris tenggelam oleh sunyi. Cahaya senja dari jendela kaca panjang menyorot ke lantai, meninggalkan bayangan alat-alat beban yang seolah mengintai dari kejauhan. Hanya ada Mey, dan Rafael.Peluh masih mengalir pelan di pelipis Mey, tubuhnya baru saja selesai latihan. Tapi bukan lelah yang kini menguasai tubuhnya—melainkan gugup, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa penasaran. Rafael berdiri di hadapannya, masih mengenakan kaos training ketat dan celana pendek gym, tubuhnya tampak mengilat di bawah lampu.“Masih kuat?” suara Rafael rendah, serak, ada jeda aneh di ujung kalimatnya.Mey menelan ludah. “Enggak tahu... mungkin iya.”Dia mendekat. Gerakannya lambat, tapi jelas. Tidak ada lagi jarak formal antara mereka. Dan ketika Rafael menyentuh pinggang Mey—bukan untuk koreksi postur, bukan juga karena alasan latihan—semua peringatan dalam kepala Mey hilang seketika.Tangannya hangat. Mey

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 7 : Lelah yang Mengarah ke Rafael

    Hujan turun sejak sore. Udara di rumah dingin, tapi bukan dingin yang menyenangkan. Dingin ini terasa seperti jarak—tebal, dingin, dan menempel di dinding. Mey duduk di ujung ranjang, menatap pintu kamar yang setengah terbuka. Dari luar terdengar suara suaminya menelepon seseorang, nada suaranya datar tapi sesekali diselingi tawa kecil yang jarang ia dengar lagi jika berbicara dengan Mey. Rasanya seperti ada lubang di dadanya. Bukan karena cemburu, tapi karena menyadari ia sudah lama berhenti jadi alasan seseorang tersenyum. Beberapa menit kemudian, sebuah percakapan kecil meledak menjadi pertengkaran. Kata-kata kasar meluncur, tuduhan-tuduhan yang menusuk. Mey tidak membalas banyak, tapi setiap kalimat yang masuk seperti menampar sisi dirinya yang sudah rapuh. Ia akhirnya memilih mundur. Masuk ke kamar mandi, mengunci pintu. Duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air mata mengalir, tapi tanpa suara.

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 6 : Diam yang Mengerti

    Keesokan malamnya, rumah terasa terlalu sempit untuk Mey. Televisi menyala di ruang tengah, tapi suaranya cuma jadi latar kosong. Ponsel di meja tak berbunyi, tapi justru keheningan itu membuat pikirannya semakin bising. Sejak pelukan kemarin malam, ada sesuatu yang berbeda di tubuhnya. Bukan sekadar hangatnya pelukan itu, tapi sensasi yang menempel lama, seolah setiap inci kulitnya masih mengingat tekanan lengan Rafael di bahunya.Ia mencoba membaca, lalu menonton sesuatu, tapi pikirannya selalu melayang ke arah yang sama. Pada akhirnya, dia menyerah. Ditariknya jaket tipis dari gantungan, lalu keluar rumah tanpa tujuan jelas… atau mungkin tujuannya sudah jelas sejak awal.Jam di dasbor mobil menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit saat Mey memarkir di depan gym. Tempat itu hampir kosong. Dari luar, hanya terlihat sedikit cahaya keluar dari sela tirai. Saat ia masuk, suara musik pelan menyambut, bercampur bau familiar—aroma campuran karet matras, besi, dan sedikit wangi keringat yan

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 5 : Pelukan yang Tak Disengaja

    Hujan deras mengguyur kota malam itu. Air memantul di aspal, lampu-lampu jalan buram tertutup butiran hujan yang jatuh tanpa jeda.Mey berdiri di depan jendela, memandang ke luar dengan pikiran yang penuh. Notifikasi transaksi hotel itu masih membekas di kepalanya. Nama hotelnya, jamnya, keterangan “couple only” yang menampar langsung ke ulu hati. Rasanya perih, tapi anehnya... matanya kering.Bukannya ingin menangis, yang Mey rasakan justru sesak. Kayak ada beban yang makin berat kalau ia tetap berada di rumah.Tanpa banyak pikir, ia ganti pakaian, pakai hoodie abu-abu, dan keluar rumah. Bukan untuk ke minimarket, bukan juga untuk sekadar jalan. Kakinya membawa ke satu-satunya tempat yang bisa membuatnya bernapas.Jam dinding gym sudah menunjukkan pukul hampir sepuluh malam saat Mey tiba. Biasanya jam segitu suasana sudah sepi. Tapi lampu di dalam masih menyala. Ia mendorong pintu, dan seperti sudah bisa ditebak, Rafael ada di sana.Dia sedang menyeka alat treadmill, earphone menggan

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 4 : Nafas yang Tertahan.

    Sudah beberapa minggu sejak Mey dan Rafael mulai saling lempar candaan disela latihan. Awalnya, semua terasa biasa saja. Seperti hubungan pelatih dan klien pada umumnya. Tapi sejak Rafael mulai bawain handuk bersih sebelum sesi dimulai, atau mengingatkan Mey buat minum dari botol minum favoritnya, semuanya jadi terasa...beda. Hari itu gym agak sepi. Musik instrumental mengalun pelan, mengisi ruang di antara alat-alat berat dan bayangan mereka yang memantul samar di kaca besar. Rafael berdiri tak jauh dari Mey. Tapi cukup dekat untuk bikin jantung Mey berdetak sedikit lebih cepat."Udah minum? " tanya Rafael sambil menyodorkan botol air dinginnya."Udah sih..tapi makasih, " jawab Mey, tangannya menerima botol itu sambil, tanpa sadar, menahan nafas. Jari mereka sempat bersentuhan sebentar. Mey tertawa kecil. " Gila ya...dulu aku mikir gym tuh tempat bising, keringetan, dan capek banget. Tapi sekarang malah kerasa kayak...tempat buat nenangin diri. ""Karena kamu udah nemuin ritmemu se

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status