Share

Jangan Remehkan Aku, Mas!
Jangan Remehkan Aku, Mas!
Author: QueenSel

Bab 1 Cerita Bohong Tentangku

“Mas, minta uang! Popok dan susu Aira udah habis,” pintaku.

“Apa? Aku kan sudah kasi kamu uang seminggu yang lalu, apa itu belum cukup?” jawab Mas Rendy dengan nada tegasnya.

“Kamu kasi aku 300 ribu, Mas. Itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok.”

“Kamu ini kalau belanja jangan boros, itu aku kasi kamu jatah untuk sebulan!”

Dengan reflek, aku langsung mengerutkan kening mendengar pernyataan Mas Rendy. Bukan karena aku tak bersyukur, tetapi nominal uang segitu memang hanya cukup untuk beberapa hari saja. Belum lagi memenuhi kebutuhan anak.

“Mas, itu hanya cukup untuk dua hari, belum lagi kebutuhan Aira. Kamu kan tahu kalau sekarang bahan pokok itu naik dan kamu kasi aku uang 300 ribu untuk sebulan? Ke mana gaji kamu semuanya?” protesku.

Kali ini aku benar-benar geram pada Mas Rendy. Sudah cukup lama aku sabar menghadapi sikapnya seperti itu yang selalu memberiku uang bulanan hanya beberapa persen saja dari gajinya.

“Aku juga punya kebutuhan lain, Mira. Aku mau nongkrong sama teman-teman aku!” jawabnya tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.

“Apa? Nongkrong? Jadi, kamu lebih mementingkan nongkrong daripada kehidupan anak dan istrimu di rumah? TEGA KAMU, MAS!”

Aku benar-benar tidak bisa lagi menahan tangisku, air mataku mengalir begitu saja dan terus menatap Mas Rendy dengan tatapan tajam. Aku masih tak habis pikir, ternyata masih ada pria yang belum bisa sepenuhnya bertanggung jawab terhadap anak dan istrinya.

“Ya makanya kamu bantuin aku cari uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, kamu di rumah malah duduk manis gak ngelakuin apa-apa. Gak guna banget gelar sarjana kamu.”

Ya, ini adalah perkataan yang sering aku dapatkan dari Mas Rendy tiap kali kami berdebat masalah uang. Dia selalu menyangkut pautkan pendididkan terakhirku dengan pekerjaan. Padahal, ini juga bukan kemauanku.

Aku dulu sempat bekerja di sebuah perusahaan, namun aku mengalami kecelakaan sehingga kakiku sempat mengalami patah tulang. Hal itu yang membuat aku harus mendapatkan perawatan intensif dan mau tidak mau resign dari pekerjaanku.

Hal ini juga didukung oleh ibu mertuaku yang berjanji akan membantu perekonomian keluarga kami, namun sampai saat ini belum ada bukti nyata. Ketika aku kekurangan, aku malah mendapat tatapan sinis dan merendahkanku.

Maka dari itu, aku selalu meminta uang pada orang tuaku. Setidaknya, aku tidak mendapat ejekan dari orang tuaku sendiri.

Meskipun nominalnya tidak begitu banyak, tetapi bisa memenuhi kebutuhan anakku, Aira.

“Aira masih balita, Mas. Kalau aku kerja, siapa yang bakalan jagain dia?” jawabku sambil menatap wajah lugu anakku yang saat ini berada dalam pangkuanku.

“Kamu kan bisa titip ke ibu. Kamu juga udah sembuh malah gak cari kerja, sok kaya banget. Kamu ngandelin duit ibuku? Aku kadang iri sama temanku yang memiliki istri pekerja, perekonomiannya malah terbantu,” jelas Mas Rendy panjang lebar.

“Aku gak pernah ngandelin duit ibu kamu, Mas. Aku juga udah berusaha cari lowongan kerja, tetapi belum dapat juga,” jawabku dengan lirih.

“Alah, gak guna banget jadi istri!” ucapnya lagi dan berlalu begitu saja meninggalkan kamar.

Air mataku langsung jatuh tanpa kusadari, ucapan Mas Rendy begitu menyayat. Tetapi, aku masih berusaha tegar saat melihat tatapan lugu dari anak semata wayangku.

“Kuat ya, Mira. Ini udah biasa kamu dengar dari Mas Rendi, kan?” ucapku yang berusaha mensugesti agar tidak menangis histeris.

Setelah itu, aku langsung menindurkan Aira di tempat tidurnya lalu berjalan menuju tempat tidur. Aku meraih ponsel dan melihat saldo rekeningku yang hanya terisisa dua puluh ribu. Semua gaji yang aku tabung dulu kini telah habis.

Semua karena aku gunakan untuk biaya rumah sakitku dulu, selain itu digunakan untuk biaya pengobatan ibu mertuaku sewaktu jatuh sakit.

Serumah mertua dengan adik ipar seperti tinggal dalam neraka saja. Bagaimana tidak, tiap kali aku mengeluh masalah biaya dapur, ibu mertukaku malah mengabaikan dan menatapku dengan tatapan sinis.

Ingin rasanya aku protes karena semuanya seolah aku yang menanggung beban hidup mereka, namun di sisi lain juga percuma karena tidak ada yang bisa membelaku di rumah ini. Mas Rendi? Dia malah ikut menyalahkanku dan membela mereka.

Aku hanya menghela nafas dengan kasar dan memutuskan ke dapur membuatkan susu untuk Aira. Namun, saat aku melalui kamar ibu mertuaku, aku mendengar percakapan Mas Rendy dengan ibunya.

“Makanya aku pusing nih, Bu. Si Mira kerjaannya minta duit mulu, padahal aku sudah beri dia sejuta beberapa hari yang lalu, eh sekarang minta lagi katanya gak cukup,” ucap Mas Rendy dari dalam kamar ibunya.

Deg …

Seketika jantungku seolah berhenti berdetak mendengar pernyataan tidak benar dari suamiku sendiri. Aku menghentikan langkahku dan menyimak obrolan mereka.

Hatiku benar-benar hancur mendengarnya. Sejak kapan Mas Rendi memberiku uang satu juta? Apa dia sengaja membuat cerita bohong supaya aku terlihat semakin hina di mata ibunya?

“Oh ya? Padahal kebutuhan dapur, listrik dan lainnya juga Ibu yang tanggung. Kenapa malah merasa kurang?” kata ibu mertuaku.

Mataku semakin membelalak tak terima dengan ucapan mereka. Sejak kapan ibu menanggung biaya dapur? Ia hanya menangung biaya listrik dan air saja. Sedangkan kebutuhan dapur, sama sekali tidak ada. Maka dari itu aku selalu meminta pada orang tuaku, meskipun terlihat memalukan, tetapi mau bagaimana lagi?

“Tuh kan, dia belanja apaan sih sampai boros kayak gitu? Mana popok dan susu Aira udah habis, dan saat ini aku udah gak punya pegangan lagi,” keluh Mas Rendy lagi pada ibunya.

“Ya sudah, ini Ibu ada uang lima ratus ribu. Berikan pada istrimu untuk kebutuhan Aira, selebihnya untuk kebutuhan dapur. Ibu lihat beras dan yang lainnya juga udah habis.”

Aku hanya menghela nafas kasar dan memilih meninggalkan tempat itu sebelum mereka tahu kalau aku menguping pembicaraannya. Aku berjalan ke dapur dengan perasaan yang tak enak. Aku masih tak habis pikir dengan ibu mertuaku yang begitu royal di depan suamiku, sedangkan ketika tidak ada Mas Rendy, uang seribunya saja sulit untuk diberikan.

Setelah selesai membuat susu, aku kembali ke kamar dan melihat Mas Rendy di sana tengah bermain dengan Aira.

“Kamu belum berangkat juga, Mas?” tanyaku basa-basi seolah tidak terjadi apa-apa.

“Baru mau. Ini uang dari ibu untuk beli kebutuhan Aira dan kebutuhan dapur. Usahakan semuanya cukup!” jawab Mas Rendy sambil memberikan uang dengan muka datarnya.

Aku pun menerimanya, tetapi belum membuka uang yang terlipat itu.

“Aku berangkat. Kamu makan duluan aja, sepertinya aku lembur nanti malam,” ucapnya dengan nada dingin.

“Iya, Mas.”

Saat aku hendak meraih tangannya hendak bersalaman, Mas Rendy berlalu begitu saja dan mengabaikan tanganku, padahal aku hanya ingin mencium punggung tangannya. Hatiku kembali tersayat, tetapi aku masih berusaha memaklumi hal itu.

Aku hanya menghela nafas panjang dan berusaha untuk menguatkan kembali hatiku. Namun, saat aku hendak menyimpan uang pemberian Mas Rendy, tiba-tiba saja ibu mertuaku datang dan merebut uang itu.

Aku langsung tersentak kaget dan menatapnya dengan tatapan bingung.

“Ibu, kenapa uangnya diambil? Itu kan Ibu sendiri yang kasih untuk kebutuhan Aira,” ucap Mira.

“Ini uang aku, jadi mau-mau aku juga dong. Kamu mau uang? Makanya KERJA!” hardiknya dan berlalu begitu saja meninggalkan kamarku sambil membawa uang itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status