Share

Bab 2 Seperti Pengemis

Aku masih tidak menyangka ibu mertuaku akan berlaku seperti itu padaku. Padahal, aku sudah membantunya sewaktu kesusahan dulu, tetapi kenapa sekarang dia tidak membantuku disaat kesusahan seperti ini?

Apa dia cuma pencitraan di depan Mas Rendy? Aku sangat kecewa dalam hati, padahal saat ini aku sedang butuh uang untuk memenuhi kebutuhan Aira, anakku. Aku memilih duduk sejenak di tepi tempat tidur dengan pandangan kosong dan tanpa kusadari, air mataku bergulir begitu saja.

"Terus, aku harus bagaimana sekarang? Susu dan popok Aira sudah habis."

Aku terus menatap wajah lugu anakku yang sedang tertidur pulas. Hingga tak berapa lama kemudian, aku memutuskan untuk menghampiri ibu mertuaku. Dengan terpaksa aku menurunkan gengsiku.

Langkahku semakin kupercepat saat melihat ibu mertuaku duduk santai di ruang keluarga menikmati acara televisi.

"Semoga saja Ibu mau memberikan uang itu lagi. Kalau memang harus dipinjam, gak apa-apa. Nanti setelah Mas Rendy gajian aku bayar," ucapku dengan nada pelan.

Belum sempat aku berbicara, tetapi ibu mertuaku langsung menatapku dengan tatapan sinis seolah ingin memakanku saja. Namun, aku masih berusaha untuk tidak peduli hal itu demi kebutuhan anakku.

"Kamu mau apa? Di dapur masih banyak piring kotor," ucapnya dengan nada sinis.

"Iya, Bu. Aku akan bersihkan."

Agar lebih sopan dalam meminta sesuatu, aku pun memutuskan untuk duduk di kursi kecil yang tak jauh darinya. Dengan gayaku yang lugu dan terkesan seperti pengemis, aku merendah di hadapannya.

"Maaf, Bu. Aku mau minta tolong sama Ibu."

"Minta tolong apa? Langsung aja pada intinya, aku lagi malas ngomong sama kamu," jawabnya tanpa menatapku sedikitpun.

"Aku butuh uang untuk kebutuhan Aira, Bu. Kalau memang Ibu keberatan, aku akan ganti uang Ibu setelah Mas Randy gajian. Yang penting saat ini aku bisa beli susu dan popok untuk Aira, Bu," ucapku panjang lebar dengan muka memohon.

Ibu mertuaku hanya terdiam seribu bahasa sambil mencomot cemilan yang ada di depannya. Ia sama sekali tidak menganggap kehadiranku di sini karena hanya sibuk dengan aktivitasnya. Sedangkan adik iparku, sedari tadi hanya diam dan menatapku dengan tatapan sinis.

Cukup lama aku tidak mendapat respon, namun aku tidak menyerah demi memenuhi kebutuhan anakku.

"Bu, bisa, kan? Aku mohon, Bu!"

"Mau duit? MAKANYA KERJA!"

"Enak aja main minta. Kamu pikir cari duit itu gampang? Awas ya kalau kamu sampai ngadu sama Rendy kalau Ibu ambil lagi uang itu, Ibu tidak segan-segan mengusir kamu dari rumah ini," ucapnya lagi dengan nada mengancam sambil menunjuk ke arahku.

Aku hanya bisa menunduk dan menangis dalam hati. Mau bagaimana lagi?

Menangis meraung-raung di depannya tidak membuat dia kasihan padaku. Yang ada, mereka malah menghardikku habis-habisan. Dengan berat hati, aku pun bergegas berdiri dari dudukku dan berjalan menuju kamar.

Namun, saat berada di tengah jalan, tiba-tiba saja adik iparku berteriak dan berkata, "Mbak, masakin kita makanan dong. Kita lapar nih."

"Tapi, aku mau ke rumah ibuku dulu buat minta uang. Kasihan Aira bangun tidur susunya udah habis," jawabku yang masih berusaha tenang.

"Kamu nih ya, kalau disuruh tuh jangan ngelawan. CEPAT SANA MASAK!" teriak ibu mertuaku dan diiringi tawa kemenangan dari adik iparku.

Aku memilih untuk mengalah saja dan memutuskan untuk membuatkan mereka makanan. Mau sekuat apapun aku melawan mereka juga sama sekali tidak ada gunanya. Yang terpenting, ada satu hal yang aku pendam dalam diriku.

Suatu saat, ketika aku sudah bisa bekerja dan punya uang sendiri, aku akan meninggalkan rumah ini, kalau bisa meninggalkan Mas Rendy juga. Aku sungguh tidak tahan tinggal di rumah yang seperti neraka ini. Mereka memperlakukanku seperti seorang pembantu, padahal aku adalah menantu di rumah ini.

Kini, air mataku tak mampu kubendung lagi. Hatiku sungguh hancur mendapat perlakuan seperti ini, padahal aku sudah rela meninggalkan keluargaku yang begitu menyayangiku demi hidup bersama mereka.

"Sakit banget ya Allah. Tolong berikan hamba kekuatan menghadapi ini semua, hamba yakin di depan sana akan ada hal-hal yang jauh lebih indah untukku, makanya engkau memberiku cobaan yang begitu besar. Hiks ... hiks ... hiks ..."

Sambil memasak, aku juga menangis. Aku harus memutar otak sekarang demi memenuhi kebutuhan hidup anakku, kebutuhanku masih bisa ditunda, sedangkan anakku tidak demikian.

Setelah beberapa menit bergelut di dapur, akhirnya makanan buatanku jadi juga. Dengan cepat aku menuangkannya ke dalam mangkuk karena sejak tadi ibu mertua dan adik iparku sudah memanggil dengan suara melengking khas penghuni neraka.

"Lama banget sih, udah kayak siput aja yang masak," hardik adik iparku dan langsung duduk di kursi meja makan bersama ibu mertuaku.

Aku hanya menghela nafas dan memilih untuk tidak menanggapi ucapan mereka. Tanpa sepatah kata, aku langsung meninggalkan mereka dengan rasa kesal yang bercampur aduk dengan rasa marah.

Aku terus berjalan mondar-mandir di dalam kamar memikirkan caranya mendapatkan uang. Aku juga malu karena baru-baru sudah meminta uang pada orang tuaku, aku kasihan pada mereka yang sampai saat ini masih menanggung bebanku, padahal mereka juga mendapatkan keuntungan dari warungnya saja.

"Sebaiknya aku cari pekerjaan aja deh. Gak enak minta terus sama ibu. Terserah pekerjaan apapun itu asalkan halal dan bisa menghasilkan uang," gumamku dan segera bersiap-siap.

Ya, aku memutuskan untuk bekerja apa saja yang penting bisa menghasilkan uang dan selama pekerjaan itu halal.

Setelah selesai berpakaian, aku langsung mengambil Aira yang sedari sudah bangun sejak tadi dan membawanya keluar kamar. Mungkin, ibu mertuaku tidak keberatan jika menjaga Aira.

Aku melihat ke meja makan dan ternyata mereka sudah selesai makan, namun seperti biasa, piring kotornya tetap saja berada di atas meja yang berarti mengharapkan aku yang membersihkannya.

"Bu, tolong jagain Aira bentar ya. Aku mau ke luar dulu."

"Sekalian belanja kebutuhan dapur! Pakai uang dari ibumu saja!" jawab ibu dengan santainya sambil mengambil alih Aira dariku.

Aku hanya diam dan menghela nafas panjang, tanpa sepatah kata aku langsung meninggalkan mereka. Namun, baru saja aku melangkahkan kaki, adik iparku kembali menghentikanku.

"Eits, sebelum pergi, Mbak bersihin dulu deh piring bekas kita makan. Kalau bukan Mbak yang bersihkan, siapa lagi? Aku gak mau tangaku ini kotor, baru perawatan kuku soalnya," jelasnya panjang lebar.

Lagi-lagi aku hanya diam dan menuruti ucapannya. Meskipun aku kesal, tetapi aku tetap mengerjakannya karena kalau tidak, justru masalahnya akan semakin merambat ke mana-mana yang nantinya tetap aku yang disalahkan.

***

Aku terus berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain menawarkan diri untuk mencari pekerjaan. Aku mengesampingkan rasa gengsi dan egoku demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. 

Sampai pada akhirnya, aku singgah di sebuah rumah yang terbilang cukup mewah. Ini adalah rumah yang kesekian kalinya aku kunjungi. Aku menghela nafas sejenak agar bisa lebih tenang ketika berhadapan langsung dengan sang pemilik rumah. Bagaimana tidak, sebelum-sebelumnya aku mendapat penolakan dengan kata-kata tajam dari mulutnya. 

Tok ... tok ... tok ... 

Kuketuk pintu itu dengan pelan dan berharap pemilik rumahnya ada di dalam dan segera keluar. Saat aku hendak mengetuk pintu lagi, tiba-tiba saja pintu rumah itu terbuka dan menampakkan wanita berusia renta di sana. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status