LOGIN“Maksudku, bukannya aku nggak bisa makan pedes sama sekali,” ujarku, berusaha tetap tenang padahal jantungku berdebar keras seperti genderang perang. “Maksimal sebulan sekali, aku selalu makan pedes kalau lagi kepengen banget.”
Kebohongan yang pertama membuatku merasa bersalah hingga menghantui berkali-kali. Tapi setelah kebohongan itu terus berlanjut, lama-lama aku jadi terbiasa. Bahkan mungkin di masa depan nanti, aku tak akan didera perasaan gugup jika ingin berbohong lagi.
“Kamu suka makan seblak di mana? Biar aku anterin.” Javran menatapku hangat. Sepertinya dia sudah percaya.
“Emangnya kamu bisa makan seblak?” tanyaku, penasaran.
“Aku belum pernah nyoba. Tapi kayaknya bisa,” balasnya, ragu-ragu. “Kalau kamu suka, aku pasti juga suka.”
“Kamu harus nyobain dulu baru bisa bilang begitu.” Tanpa sadar aku tertawa melihat kelakuan Javran yang super polos. “Nanti aku pesenin yang biasa aku makan. Tapi kalau emang nggak bisa ketelen, jangan dipaksain, oke?”
Javran menatapku singkat, kemudian tersenyum tipis dan mengangguk. “Oke.”
Lima belas menit kemudian, kami tiba di sebuah kedai seblak prasmanan. Aku belum pernah ke sini, tapi karena tempatnya ramai, jadi kupikir makanannya juga akan enak. Rasanya excited sekali menunggu pesanan seblakku datang. Seblak yang kubuat sendiri di kosan tidak se-enak seblak di sini. Kurang nampol bumbunya karena cuma pakai cabe bubuk.
“Mata kamu berbinar-binar.” Javran menatapku dengan senyum. “Kamu suka banget ya sama seblak?”
“Iya, udah dua tahun puasa seblak khas negera tercinta,” balasku. “Biasanya aku cuma makan makanan instan atau beli jadi di supermarket. Kadang cuma makan nasi sama sayur.”
“Kalau begitu, kamu harus makan sepuasnya hari ini.”
Aku mengangguk berulang kali. Tak lama, pesanan kami datang. Aku langsung mengambil satu suapan kuah, dan berdecak karena rasanya sangat enak. Bumbunya medok dan rasa kencur-nya pas. Pedas-nya nampol, sesuai seleraku. Jadi aku tak menunggu waktu lama untuk menghabiskan semangkuk seblak dengan aneka toping kesukaanku.
Tapi saat melihat Javran, aku menutup mulut menahan tawa.
Javran baru makan seperempat mangkuk, tapi wajahnya sudah memerah, sementara dahi dan lehernya banjir keringat. Javran juga sudah menghabiskan gelas kedua es jeruknya.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau kalau nggak bisa makan terlalu pedes? Tahu gitu kan aku pesenin level satu atau yang nggak pedes sama sekali,” ujarku, sambil mengulurkan tisu agar dia bisa menyeka keringatnya.
Javran menggunakan tisu itu untuk mengusap bibirnya yang memerah.
“Nggak usah maksa makan kalau nggak bisa. Nanti malah diare,” lanjutku lagi.
Aku hampir lupa kalau Javran adalah Tuan muda yang sejak kecil hidupnya selalu bersih dan tertata. Jangankan masuk ke kedai seblak. Jajan cilok, telur gulung sama cakwe di pinggir jalan dia pasti belum pernah. Lidahnya sudah terbiasa dengan makanan enak yang dimasak oleh koki-koki profesional.
Lihat saja sekarang.
Penampilan Javran yang full barang branded enggak cocok sama kursi plastik ala hajatan di kedai ini.
“Maaf, kayaknya aku nggak bisa kalau disuruh makan seblak lagi.” Javran meminum es-nya lagi sampai tandas. “Tapi kalau kamu pengin makan, aku nggak keberatan buat nemenin kamu.”
Aku tersenyum.
Di masa depan nanti, setelah Naura sembuh, sudah tidak ada yang akan memaksanya makan seblak seperti hari ini. Hidup Javran akan penuh dengan gaya hidup sehat dan teratur seperti kebiasaan Naura selama ini.
***
Sesampainya di rumah, Mama Melati langsung menghampiriku untuk mengobrol soal acara ngunduh mantu minggu depan. Aku iyakan saja semua pendapat-nya dan memilih untuk percaya. Setelah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku pamit ke atas untuk mandi.
Tapi saat membuka pintu kamar, aku berpapasan dengan Javran yang baru keluar dari kamar mandi. Dia hanya memakai handuk putih sebatas pinggang—dengan bagian atas yang terbuka, menampilkan otot perut dan bisep yang sempurna.
Harusnya aku menundukkan pandangan, tapi….
Kenapa mataku seolah dipaku agar tidak melepaskan tatapan dari otot-otot itu?
Astaga, Naima. Dia itu adik iparmu!
“Kenapa keluar cuma pake handuk? Kan semua pakaian ada di walkin closet,” ujarku, setelah berhasil mengendalikan diri. Aku pura-pura duduk di depan meja rias dan membersihkan wajahku.
“Aku kelupaan belum ambil body lotion di koperku. Tapi tiba-tiba kamu masuk dan liat aku lagi setengah telanja ng.” Bukannya lanjut membuka lemari, Javran malah berdiri di belakangku. Tatapan kami bertemu di pantulan cermin. “Kenapa? Kamu malu liatnya? Aku bisa tunjukin lebih banyak kalau kamu mau.”
Kepalaku langsung tertunduk. Jari-jariku saling meremas gugup. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Javran bisa bertingkah semesum ini. Ke mana perginya Javran yang polos dan nggak doyan seblak tadi?
“Ak… aku baru datang bulan tadi pagi, jadi…” kugigit bibir bawahku kuat. “Jadi nggak bisa…”
Javran terkekeh kecil dan mencium pipiku. Lalu bibirnya menjelajah ke sisi telinga, lanjut ke bagian leher. Hangat napasnya saat menyentuh kulitku membuat jantungku berdebar keras. Hatiku dipenuhi perasaan was-was, sekaligus gugup. Aroma sabun yang menguar dari tubuhnya membuat otakku mendadak beku.
“Jadi aku harus puasa seminggu lagi?” ujar Javran, dengan nada kecewa. “Kamu bener-bener lagi nguji kesabaranku.”
Satu minggu lagi.
Aku hanya harus bertahan satu minggu lagi di rumah ini.
Dengan sisa kewarasanku, aku menepuk lengan Javran beberapa kali dan tersenyum ringan padanya. “Lima tahun aja kamu bisa nunggu. Masa seminggu aja nggak bisa, sih?”
Kali ini Javran berhasil mencuri kecupan kilat di bibirku. “Kayaknya aku harus mandi lagi.”
Aku tidak paham kenapa Javran harus mandi lagi. Jadi aku hanya menatap punggungnya yang mulai menjauh. Kuusap bibir yang baru saja dikecup Javran, tiba-tiba merasa sangat berdosa.
**
Keesokan harinya, Javran sudah harus berangkat bekerja. Katanya dia juga harus lembur hari ini. Karena cabang di Jakarta masih baru—dan sudah harus ditinggal untuk acara ngunduh mantu serta bulan madu selama tiga minggu ke depan, jadi Javran harus menyelesaikan beberapa hal yang tidak bisa dia kontrol dari jarak jauh.
Pagi-pagi sekali, Mama Melati sudah menyiapkan bekal untuk dibawa Javran ke kantor. Kebetulan Papa Tomi juga ikut ke kantor, jadi Mama menyiapkan dua kotak.
Aku—yang tidak berpikir sama sekali soal bekal—hanya bisa berterima kasih pada Mama.
“Nyiapin bekal nggak wajib, Sayang. Mama cuma lagi gabut aja, dan suka masak. Ke depannya kalau kamu malas atau sibuk, biarin Javran makan di kantor aja. Di kantor kan juga ada kantin, deket juga sama resto.” Mama mengusap lenganku seolah mengetahui rasa bersalahku. “Lagain kamu kan nggak boleh kecapean.”
“Iya, Ma.”
“Mama bener. Aku nggak keberatan delivery atau makan di kantin,” Javran menimpali. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Ada senyum di ujung bibirnya. “Tugas kamu cuma dampingin aku sampai maut memisahkan. Itu aja.”
Sebelum berangkat ke kantor, Javran mengecup puncak kepalaku, lalu bibirku—entah untuk keberapa kalinya hari ini.
“Aku berangkat dulu, Sayang. Kamu baik-baik di rumah sama Mama ya,” ujarnya riang, sambil melambaikan tangan dan tersenyum lebar. “Tunggu aku pulang, Sayang!”
Setelah Papa Tomi dan Javran berlalu, suasana ruang makan langsung terasa sepi. Aku meraihi piring kotor di atas meja—hendak mencucinya—tapi perkataan Mama Melati membuatku membeku,
“Saya nggak tahu pelet apa yang kamu kasih ke Javran—sampai-sampai dia ngeluarin banyak uang untuk bayar hutang perusahaan keluargamu dan nyusahin dirinya sendiri.” Nada suara Mama terdengar dingin. “Jangan kamu pikir saya nggak tahu kondisi fisik kamu yang lemah dan penyakitan.”
Kupikir Mama Melati termasuk jajaran mertua langka yang menyayangi menantunya seperti anak mereka sendiri. Tapi rupanya, beliau tak jauh berbeda dengan tokoh antagonis yang sering kulihat dalam drama.
Pertanyaan Inara langsung terjawab saat Irgian menyebut gadis itu Kakak.“Kak, nggak usah lebay deh.” Irgian bahkan tidak beranjak dari posisi duduknya. “Nanti istriku ngira aku punya selingkuhan.”Cintya—kakak sulung Irgian—melompat ke arah Irgian dan mengguncang kedua bahunya. “Istriku kamu bilang?” matanya melotot seperti akan copot. “Kalau Mama sama Papa sampai tahu kamu diem-diem nikah di Bandung, kepala kamu pasti udah digantung di bawah pohon mangga! Apalagi aku sama Reksa belum nikah, tapi kamu yang paling bontot malah udah bertingkah.”Irgian adalah putra bungsu keluarga Atmaja—yang paling disayang dan dimanja. Semua anggota keluarganya—mulai dari ayah, ibu, hingga paman dan sepupu-sepupunya, semua berprofesi sebagai dokter spesialis. Keluarga Irgian bahkan memiliki rumah sakit swasta—yang cukup terkenal di beberapa kota. Tadinya Irgian tidak mau mengikuti jejak kakak dan orangtuanya jadi dokter. Tapi saat Naima bilang dia suka pria cerdas dan berprofesi sebagai dokter, Irgia
“Emangnya pernah, satu kali saja, Mama nganggep aku sebagai anak? Kapan Mama pernah benar-benar peduli sama aku? Bahkan sekarang, pasti Mama berharap aku yang mati gantiin Naura, kan?”Naima… sudah tidak punya harapan lagi untuk keluarga ini.Saat memutuskan untuk pergi tujuh bulan lalu, Naima sudah menganggap dirinya sebagai yatim piatu. Tapi meskipun Naima berusaha sekuat mungkin untuk tidak peduli, dia tetap tak berkutik saat mendengar kabar Naura sekarat.“Tutup mulut kamu!” Mama meninggikan nada suara. Sepasang mata itu memerah dipenuhi amarah. Bibirnya gemetar dan urat-urat lehernya menonjol. “Sejak kapan kamu berubah jadi pembangkang begini?”“Ma, aku udah capek.” Naima tersenyum ironi. “Aku udah capek berusaha dapetin kasih sayang dan perhatian Mama. Semua kepatuhan yang aku berikan ke Mama, pada akhirnya nggak ngubah apapun, kan? Cuma aku sendiri yang tersakiti sementara Mama nggak pernah nganggep aku sebagai bagian keluarga. Bahkan saat aku mutusin buat pergi, Mama sama se
Naura tidak tahu kalau Naima sedang hamil, karena Naima menutupi perutnya yang membuncit dengan pakaian lebar. Sengaja—agar Naura tidak bertanya dan berakhir dengan rasa curiga. Selain itu, Naima tak mau melibatkan Irgian lagi dalam huru-haranya dengan Naura.“Aku… minta maaf,” ujar Naura, dengan susah payah. Suaranya terdengar serak dan mengerikan. “Maaf karena udah ngambil Javran dari kamu, juga ngambil semua perhatian dan kasih sayang Mama dan Papa dari kamu…”“Sejak awal Javran emang tunangan kamu. Jadi kenapa kamu bilang kamu ngambil Javran dariku?”Kalau diingat-ingat lagi, Naura tak pernah membahas soal Naima yang menggantikan posisinya di meja akad, kan? Saat Javran menyeret Naima untuk minta maaf pada Naura waktu itu, Naura hanya menatap Naima dengan sorot penuh kerinduan, dan meminta Naima untuk tinggal lebih lama. Dia tak pernah menyalahkan Naima, atau bicara kejam padanya.Sebenarnya apa yang Naura pikirkan selama ini?“Sejak awal, aku emang nggak punya niat untuk nikah sa
Jakarta.Kota yang sampai sekarang masih membuat Naima tak terbiasa. Apalagi rumah sakit ini, adalah rumah sakit yang sama dengan tempat Naura dirawat terakhir kali. Lokasi taman dimana Mama memarahi Naima habis-habisan pun masih sama bentuknya, tidak berkurang sama sekali.“Irgian! Kenapa kamu bisa di sini? Bandung gimana? Udah aman?” tanya seorang dokter muda, saat melihat Irgian yang berjalan di sisi Naima.“Lagi nganterin istri jengukin saudaranya,” balas Irgian, tanpa rasa canggung sama sekali.“Anjir kok gue nggak diundang?” tanyanya, dengan mata membulat tak percaya. Dia meninju bahu Irgian main-main. “Lo anggep gue apa, baji ngan?”Naima agak gugup mendengar ucapan pria bername-tag Candra itu. Dia melirik Javran yang ekspresinya tenang tanpa riak. Semoga saja Javran tak mendeteksi keanehan, atau Naima akan kesulitan memberikannya penjelasan.“Masa lo nggak tahu konsep intimate wedding sih?” Irgian tersenyum lebar. “Gue sama Inara sepakat cuma ngundang sodara dari kedua keluarg
“Kemarin gue ketemu sama Naima di Bandung.”Nyaris saja Javran tersedak es kopinya saat mendengar nama Naima disebut.Sudah berbulan-bulan Naima pergi tanpa jejak. Lalu Noah bilang Naima ada di Bandung? Bagaimana bisa? Dan kenapa? Ada perasaan tak nyaman yang tiba-tiba menyusup di hati Javran—perasaan yang hampir tak bisa didefinisikan. Mungkin… lega? Atau justru… rindu? Seluruh tubuh Javran mengkhianatinya. Dia seolah ingin terbang ke Bandung saat ini juga untuk menemui Naima dan memastikan gadis itu baik-baik saja.“Dia udah nikah sama Irgian, temen gue waktu SMA dulu,” lanjut Noah lagi—seketika membuat jantung Javran berhenti berdetak untuk sesaat. Javran tak salah dengar, kan?“Tahu dari mana kalau mereka udah nikah?” tanya Javran, berusaha tetap tenang.Meski hanya pernah bertemu satu kali, Javran masih mengingat Irgian si dokter magang yang Naima temui di rumah sakit. Apa saat bersandiwara dengannya, Naima memang sudah menjalin hubungan dengan Irgian? Tapi kenapa Naima tak melan
BAB 24.“Naima, kamu udah sadar? Gimana perasaan kamu? Apa ada yang sakit?”Baru bangun Naima langsung menemukan wajah Noah dan dicecari banyak pertanyaan. Naima berusaha duduk, dan menyadari kalau dia sedang berada di rumah sakit. Noah dengan sigap membantu memegangi lengan Naima.“Aku udah baik-baik aja kok,” balas Naima, tersenyum. “Makasih karena udah nolongin aku dan bawa aku ke rumah sakit. Kebetulan banget kita bisa ketemu di tangga apartemen itu, di antara sekian banyak tempat.”Noah tersenyum ceria. “Kalau kita bisa ketemu kayak gini, itu berarti tandanya jodoh.”Naima buru-buru mengatakan kebohongan, dengan nada diselipi canda, “Tapi aku udah nikah. Gimana bisa berjodoh? Kamu nggak liat perutku udah besar begini?”Noah terdiam—beberapa saat. “Kalau kamu punya suami, kenapa aku nggak nemuin nomornya di kontak darurat ponsel kamu?”Mata Naima melebar. “Kamu buka ponselku?”Noah mengangguk. Tatapan matanya lurus menatap Naima. “Aku nggak bermaksud buat ngintip privasimu. Tadi k







