Share

Janji Sebelum Rasa
Janji Sebelum Rasa
Author: Nyi Ratu

Bab 1

Author: Nyi Ratu
last update Last Updated: 2025-09-10 18:51:36

“Sial!” pekiknya sambil menendang ban sepeda motornya yang kempes.

Jalanan sepi. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Motor yang dikendarai seorang pemuda mogok di tengah jalan. Ban motornya kempes.

Dia merogoh saku celananya, mengambil ponsel.

“Halo, Tam. Cepetan datang ke Jl. Melati 10, ban motorku kempes.” Rayhan langsung menyuruh sahabatnya menjemput begitu panggilan terhubung. Tanpa menunggu jawaban, dia mematikan telepon.

Pemuda yang sedang sial itu bernama Rayhan Pradipta Putra. Seorang pengusaha muda yang tampan dan mandiri. Orang yang dia hubungi adalah Adhitama Rahardja, sahabat setianya sejak kecil. Mereka berdua merintis usaha dari nol hingga sukses tanpa campur tangan orang tua, yang kebetulan juga pengusaha sukses.

Rayhan menunggu sambil duduk di atas motor. Samar-samar dia mendengar teriakan minta tolong. Dia pun bangkit dari duduknya.

“Tolong… tolong!”

“Ada yang minta tolong, tapi di mana?” gumamnya, mencari asal suara.

“Tolong… tolong…!” terdengar lagi suara perempuan.

“Benar, ‘kan, suara cewek minta tolong. Kayaknya dari sana,” gumamnya lagi. Rayhan berlari ke arah suara itu. Ternyata, seorang gadis cantik hendak dilecehkan oleh tiga pemuda.

“Hey!” teriak Rayhan. Ketiga pemuda itu menoleh ke arahnya.

Rayhan langsung menghajar ketiga pemuda itu tanpa ampun. Perkelahian tak terelakkan. Rayhan yang menguasai bela diri, dengan mudah mengalahkan ketiga pemuda mabuk itu. Mereka lari ketakutan.

Rayhan menghampiri gadis itu. Baju bagian depan gadis itu sudah robek. Rayhan terkesiap. Tanpa sadar, dia menelan ludahnya. Ini kali pertama dia melihat pemandangan seperti itu.

“Dia terlihat mempesona,” batinnya.

Rayhan merasa gugup. Gadis yang ditolongnya itu memeluk dan menangis. “Terima kasih, kamu sudah menyelamatkan aku,” ucapnya lirih. Isak tangisnya masih terdengar. Rayhan membalas pelukan gadis itu untuk menenangkannya.

‘Kenapa aku deg-degan begini?’ batin Rayhan. Jantungnya berdebar kencang saat gadis itu memeluknya.

Mereka masih berpelukan saat beberapa warga datang. “Hey! Apa yang kalian lakukan!” teriak seorang pria berusia empat puluhan.

“Jangan berbuat mesum di sini! Dasar anak muda tidak punya moral!” hardik pria berkumis tebal.

“Kami tidak melakukan apa-apa, Pak. Saya hanya menolong dia yang hendak dilecehkan oleh pemuda yang mabuk,” jelas Rayhan.

Saat gadis itu hendak berbalik untuk menjelaskan kesalahpahaman, Rayhan melarangnya. Dia justru mempererat pelukannya.

“Diam dan jangan berbalik! Aku tidak mau mereka melihatnya,” bisik Rayhan.

Anindira Putri, nama gadis berusia dua puluh tahun itu, hanya mengerutkan dahi. Dia bingung dengan ucapan Rayhan, namun tidak membantah. Dia terus memeluk Rayhan.

“Kalian masih saja mengelak!” sergah pria berkumis tebal.

“Ayo kita bawa ke rumah Pak RT saja, biar Pak RT yang mengurus masalah ini!” seru warga lain.

“Tunggu sebentar, Pak. Kami janji akan ikut,” pinta Rayhan. Dia melepaskan pelukannya dan melepas jaketnya untuk dipakaikan pada gadis itu.

“Tunggu, Pak!” teriak Tama, berlari menghampiri mereka. “Ada apa ini?” tanyanya saat sudah berhadapan dengan Rayhan dan para warga.

“Kamu siapa?” tanya seorang bapak paruh baya.

“Saya temannya, Pak,” jawab Tama, menunjuk Rayhan. Dia baru sadar ada seorang gadis yang memeluk Rayhan. “Dia siapa, Rey?”

“Dia–” ucapan Rayhan dipotong oleh pria berkumis tebal.

“Nanti saja, jelaskan di rumah Pak RT,” selanya. Mereka semua menuju rumah Pak RT, diikuti Tama.

Sesampainya di rumah Pak RT, warga menjelaskan tuduhan mereka.

“Nama kamu siapa?” tanya Pak RT santun, menunjuk Rayhan.

“Nama saya Rayhan, Pak,” jawabnya sopan.

“Rayhan Pradipta Putra,” sahut Tama. Dia sengaja menyebut nama belakang Rayhan, agar Pak RT tahu siapa yang sedang diadili. Bagus Pradipta, ayah Rayhan, dikenal dermawan dan sering menyumbang warga kampung.

Pak RT terdiam sejenak. “Baiklah, Rayhan, tolong kamu panggil orang tuamu ke sini!” suruhnya. “Kamu, siapa namamu?” tanyanya pada Anin.

Rayhan menyuruh Tama menghubungi ibunya.

“Nama saya Anin, Pak,” jawab Anin sopan sambil menunduk.

“Panggil orang tuamu kemari!” perintah Pak RT dengan lembut.

“Orang tua saya sudah meninggal, saya tinggal berdua dengan kakak saya,” lirih Anin, menyeka air matanya.

“Panggil kakakmu kemari,” kata Pak RT, suaranya melembut.

Anin mengangguk dan segera mengirimkan pesan pada kakaknya.

Rayhan mengusap punggung Anin untuk menenangkannya. Anin kembali memeluknya, menangis di dada bidangnya.

Tama heran melihat sikap Rayhan yang biasanya dingin pada wanita, tiba-tiba bersikap hangat pada Anin.

Tidak butuh waktu lama bagi Riyanti Pradipta untuk tiba di rumah Pak RT.

Riyanti menatap Rayhan. ‘Apa benar ini putraku yang dingin, tiba-tiba memeluk erat seorang perempuan cantik?’ gumamnya dalam hati.

“Silakan duduk, Bu!” Pak RT membuyarkan lamunannya.

“Iya, Pak.” Riyanti duduk di hadapan Pak RT.

“Begini, Bu. Anak Ibu tertangkap basah oleh warga saya, sedang melakukan hal yang tidak senonoh terhadap gadis ini,” jelas Pak RT, menyampaikan laporan warga.

“Tenang, Pak. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Saya janji besok akan menikahkan mereka. Tolong jangan sampai pihak luar tahu masalah ini! Pak RT juga akan saya undang ke pernikahan anak saya. Datanglah besok di pernikahan anak-anak saya,” ucap Riyanti santun.

“Mi! Aku enggak melakukan apa pun, aku cuma menolong dia yang hendak dilecehkan,” protes Rayhan.

“Kami percaya, Sayang.” Riyanti mengusap pundak Rayhan.

“Kalau Mami percaya, terus kenapa Mami mau menikahkan aku dengan wanita yang belum aku kenal?” tanya Rayhan.

“Karena Mami pengin banget punya menantu,” sorak Riyanti kegirangan.

“Aku enggak mau dipaksa menikah dengan gadis yang belum aku kenal,” tolak Rayhan tegas, tanpa melepaskan pelukannya pada Anin.

“Enggak kenal, tapi kok peluk-pelukan?” sindir Riyanti sambil terkekeh.

Mendengar sindiran itu, Rayhan dan Anin langsung melepaskan pelukan mereka. Keduanya tampak salah tingkah.

Pak RT menengahi, "Masalah ini saya anggap selesai. Terima kasih sudah melapor ke saya dan tidak main hakim sendiri. Sekarang, biar masalah ini diselesaikan baik-baik oleh keluarga mereka."

Seorang bapak berkumis tebal ikut menasihati, "Lain kali, jangan pacaran di jalanan. Hargailah perempuan, seperti kamu menghargai ibumu sendiri. Jangan permalukan dia, apalagi kalau cuma mempermainkannya."

"Iya benar!" sahut warga lain, "Kalau berani berbuat, harus berani bertanggung jawab! Jangan cuma mau enaknya aja, giliran ketahuan malah bilang enggak kenal!"

Rayhan hanya diam menelan semua omelan warga. Ia tidak ingin membantah atau melawan. Ia cuma ingin segera pulang dan menyelesaikan masalahnya dengan tenang di rumah. Sementara itu, di sudut ruangan, Tama menahan senyum melihat sahabatnya dimarahi habis-habisan oleh warga.

Setelah para warga bubar, Riyanti mengajak Rayhan dan Anin pulang. Ia berpamitan kepada Pak RT. "Baiklah, Pak. Kami pamit, ya."

Riyanti, Tama, Rayhan, dan Anin pergi meninggalkan rumah Pak RT.

"Besok, kalian harus menikah," perintah Riyanti dengan tegas, saat mereka sudah berada di luar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 20

    “Tama,” gumam Rey. Ia melihat Tama, Rani, Anin, dan laki-laki yang kemarin mengantar Anin pulang sedang mengobrol dan sesekali mereka tertawa terbahak-bahak, entah apa yang mereka bicarakan.Hati Rey sakit melihat itu semua, hatinya sakit melihat istrinya tertawa bahagia dengan laki-laki lain, dan juga sahabatnya sejak kecil yang tega tidak mau membantunya membuntuti Anin, padahal dia tahu tempat nongkrong Anin selama ini.Rey tidak menemui Anin, dia hanya memperhatikan Anin dari kejauhan. Niatnya menyusul Anin memang hanya ingin melihat kalau istrinya baik-baik saja.Rey tidak tahu harus berbuat apa kalau dia menghampiri istri dan sahabatnya. Rey sadar kenapa Tama tidak membantunya, karena selama ini, dia sudah keterlaluan pada Anin.Tyas menghampiri Anin. “Nin, suami lo ada di kafe ini,” bisik Tyas. Anin dan Tyas saling pandang.“Kak, Mbak, aku masuk dulu ya, ada kerjaan sebentar.” Anin pamit pada Tama dan Rani. Tama dan Rani tersenyum menganggukkan kepalanya.Anin melirik Bang Rizk

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 19

    “Pagi, istriku,” sapa Rey pada Anin saat berpapasan dengannya yang baru selesai mandi. Tapi Anin tidak menanggapi, ia masuk ke kamar mandi begitu saja dan bersikap dingin pada Rey. Tidak seperti biasanya yang selalu menggoda Rey.“Dia masih marah, aku harus sabar. Aku sendiri yang menyalakan api kemarahan itu, aku juga yang harus memadamkannya.” Rey tersenyum menyemangati dirinya sendiri, ia tidak akan patah semangat untuk memperbaiki hubungannya dengan Anin.Rey duduk di sofa kamarnya, menunggu Anin untuk turun dan sarapan bersama.Anin keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap: celana jeans yang robek sedikit di bagian paha atasnya dan blus hitam yang memperlihatkan belahan dadanya.Anin duduk di sofa, berhadapan dengan suaminya. Rey susah payah menelan ludah saat Anin membungkuk untuk memakai sepatunya. Gunung kembarnya terlihat menyembul keluar.“Nin, kamu mau ke mana?” tanya Rey pelan, dia takut Anin marah padanya.“Bukan urusanmu, urus saja dirimu sendiri,” jawabnya ketus.

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 18

    “Nin, gue pulang duluan ya, gue ada perlu mendadak.” Tyas mengambil tasnya. “Bang Rizky, Mbak Rani, aku pulang duluan ya,” pamit Tyas pada semuanya.“Ah gue tahu, lo pasti mau ketemu si bucin Farel. Apalagi besok mau ditinggalin ke Bandung,” seru Anin tersenyum meledek Tyas.“Sok tahu lo.” Tyas mencubit pipi Anin dan lari keluar kafe.“Bangke lo!” hardik Anin sambil mengusap-usap pipinya.Tama masuk ke kafe, dia mencari-cari keberadaan istrinya. Bibirnya tersenyum saat orang yang dicarinya sedang asyik bercanda dengan Anin.“Hai semuanya,” sapa Tama pada istri dan teman-temannya.“Maaf ya, Nin. Mbak ngundang suami mbak ke sini, soalnya tadi mbak naik taksi. Jadi, mbak minta dijemput sama Mas Tama.”“Enggak apa-apa, malah bagus, Kak Tama bisa merekomendasikan kafeku pada karyawan Kak Tama, iya ’kan, Kak?” Anin tersenyum dan menaikkan alisnya sebelah. Tama terlihat bingung.“Kafe ini milik Anin dan temannya yang bernama Tyas.” Rani menjawab kebingungan suaminya.Tama membelalakkan matan

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 17

    “Tam, kok lo tega sama gue?” Rey pindah duduk di depan meja kerja Tama.“Kalau urusan Anin, lo urus aja sendiri.” Tama masih memeriksa berkasnya tanpa menoleh pada Rey.“Kok lo lebih membela si Anin daripada gue?” sergah Rey tak terima sahabatnya lebih memilih orang yang baru dikenal daripada sahabatnya sejak kecil.“Gue enggak membela siapa pun, gue cuma enggak mau lo nyakitin hati Anin. Melihat dia, gue jadi ingat Alana, dia persis seperti Alana.” Tama tersenyum membayangkan adik perempuannya yang absurd seperti Anin. Tak terasa, air mata jatuh di pipinya, mengenang kembali kenangan bersama adik kesayangannya yang telah meninggalkannya lima tahun lalu.Rey yang melihat Tama bersedih karena ulahnya, merasa tidak enak hati. “Baiklah, gue enggak akan minta bantuan lo. Gue janji akan berusaha menerima Anin sebagai istri gue, tapi kasih gue waktu untuk bisa membuka hati gue untuknya.” Rey menepuk bahu Tama dan keluar dari ruangan.“Enggak sia-sia air mata gue.” Tama tersenyum sambil meny

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 16

    "Bang Rizky," gumam Tyas. Ia heran melihat Rizky sudah berada di kafe sepagi ini, bahkan sebelum kafe dibuka."Ada apa, As?" Anin melihat ke arah pandang Tyas, ia menyunggingkan senyum. "Itu artinya dia mau kerja di sini?" Anin menarik tangan Tyas untuk menghampiri Rizky."Pagi, Bang Rizky," sapa Anin ramah."Pagi, Nin." Rizky melirik Tyas. "Pagi, Yu." Rizky tersenyum manis pada Tyas. Rizky memang selalu memanggil Tyas dengan sebutan Ayu, karena nama lengkapnya Ayuningtyas.Anin memperhatikan tatapan Rizky pada Tyas yang terlihat berbeda. Ia merasa Rizky menyukai Tyas."Udah lama, Bang?" Anin dan Tyas duduk berdampingan di hadapan Rizky."Baru aja," jawab Rizky sambil tersenyum ramah. Sesekali ia menatap Tyas, dan Anin yang melihatnya semakin yakin bahwa Rizky menyukai Tyas.Tyas hanya menundukkan kepalanya, malu saat Rizky menatapnya. Entah apa yang ia rasakan, tetapi setiap kali pandangan mereka bertemu, ada desiran hangat di dalam tubuhnya."Ada apa, Nin? Kamu minta Abang datang ke

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 15

    Anin tidak bertanya lagi pada mertuanya soal adonan. Meskipun penasaran, ia hanya diam sambil mengiris bawang.Setelah masakan selesai, Mami Riyanti memanggil suaminya untuk makan malam, begitu juga Anin yang memanggil Rey.Mereka pun makan malam sambil mengobrol. Rey dan Anin terlihat salah tingkah, keduanya sama-sama malu dengan kejadian di kamar mandi. Tak ada yang mau membahas siapa yang benar dan salah, karena terlalu malu untuk berdebat soal hal yang bisa membuat jantung mereka melompat-lompat seperti bermain trampolin."Rey, lain kali kalau bikin adonan jangan di sembarang tempat. Kasihan Anin kesakitan kalau harus bikin adonan di lantai," celetuk Mami Riyanti."Uhuk... uhuk..." Rey dan Anin terbatuk-batuk mendengar ucapan Mami Riyanti.Mami Riyanti memberikan air minum pada menantunya, sementara Papi Bagus memberikan air minum pada Rey."Makannya pelan-pelan saja, memangnya kalian mau ke mana?" ujar Papi Bagus."Mau ngelanjutin bikin adonan, Pi," jawab Mami Riyanti.Anin dan R

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status