LOGIN
“Sial!” pekiknya sambil menendang ban sepeda motornya yang kempes.
Jalanan sepi. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Motor yang dikendarai seorang pemuda mogok di tengah jalan. Ban motornya kempes.
Dia merogoh saku celananya, mengambil ponsel.
“Halo, Tam. Cepetan datang ke Jl. Melati 10, ban motorku kempes.” Rayhan langsung menyuruh sahabatnya menjemput begitu panggilan terhubung. Tanpa menunggu jawaban, dia mematikan telepon.
Pemuda yang sedang sial itu bernama Rayhan Pradipta Putra. Seorang pengusaha muda yang tampan dan mandiri. Orang yang dia hubungi adalah Adhitama Rahardja, sahabat setianya sejak kecil. Mereka berdua merintis usaha dari nol hingga sukses tanpa campur tangan orang tua, yang kebetulan juga pengusaha sukses.
Rayhan menunggu sambil duduk di atas motor. Samar-samar dia mendengar teriakan minta tolong. Dia pun bangkit dari duduknya.
“Tolong… tolong!”
“Ada yang minta tolong, tapi di mana?” gumamnya, mencari asal suara.
“Tolong… tolong…!” terdengar lagi suara perempuan.
“Benar, ‘kan, suara cewek minta tolong. Kayaknya dari sana,” gumamnya lagi. Rayhan berlari ke arah suara itu. Ternyata, seorang gadis cantik hendak dilecehkan oleh tiga pemuda.
“Hey!” teriak Rayhan. Ketiga pemuda itu menoleh ke arahnya.
Rayhan langsung menghajar ketiga pemuda itu tanpa ampun. Perkelahian tak terelakkan. Rayhan yang menguasai bela diri, dengan mudah mengalahkan ketiga pemuda mabuk itu. Mereka lari ketakutan.
Rayhan menghampiri gadis itu. Baju bagian depan gadis itu sudah robek. Rayhan terkesiap. Tanpa sadar, dia menelan ludahnya. Ini kali pertama dia melihat pemandangan seperti itu.
“Dia terlihat mempesona,” batinnya.
Rayhan merasa gugup. Gadis yang ditolongnya itu memeluk dan menangis. “Terima kasih, kamu sudah menyelamatkan aku,” ucapnya lirih. Isak tangisnya masih terdengar. Rayhan membalas pelukan gadis itu untuk menenangkannya.
‘Kenapa aku deg-degan begini?’ batin Rayhan. Jantungnya berdebar kencang saat gadis itu memeluknya.
Mereka masih berpelukan saat beberapa warga datang. “Hey! Apa yang kalian lakukan!” teriak seorang pria berusia empat puluhan.
“Jangan berbuat mesum di sini! Dasar anak muda tidak punya moral!” hardik pria berkumis tebal.
“Kami tidak melakukan apa-apa, Pak. Saya hanya menolong dia yang hendak dilecehkan oleh pemuda yang mabuk,” jelas Rayhan.
Saat gadis itu hendak berbalik untuk menjelaskan kesalahpahaman, Rayhan melarangnya. Dia justru mempererat pelukannya.
“Diam dan jangan berbalik! Aku tidak mau mereka melihatnya,” bisik Rayhan.
Anindira Putri, nama gadis berusia dua puluh tahun itu, hanya mengerutkan dahi. Dia bingung dengan ucapan Rayhan, namun tidak membantah. Dia terus memeluk Rayhan.
“Kalian masih saja mengelak!” sergah pria berkumis tebal.
“Ayo kita bawa ke rumah Pak RT saja, biar Pak RT yang mengurus masalah ini!” seru warga lain.
“Tunggu sebentar, Pak. Kami janji akan ikut,” pinta Rayhan. Dia melepaskan pelukannya dan melepas jaketnya untuk dipakaikan pada gadis itu.
“Tunggu, Pak!” teriak Tama, berlari menghampiri mereka. “Ada apa ini?” tanyanya saat sudah berhadapan dengan Rayhan dan para warga.
“Kamu siapa?” tanya seorang bapak paruh baya.
“Saya temannya, Pak,” jawab Tama, menunjuk Rayhan. Dia baru sadar ada seorang gadis yang memeluk Rayhan. “Dia siapa, Rey?”
“Dia–” ucapan Rayhan dipotong oleh pria berkumis tebal.
“Nanti saja, jelaskan di rumah Pak RT,” selanya. Mereka semua menuju rumah Pak RT, diikuti Tama.
Sesampainya di rumah Pak RT, warga menjelaskan tuduhan mereka.
“Nama kamu siapa?” tanya Pak RT santun, menunjuk Rayhan.
“Nama saya Rayhan, Pak,” jawabnya sopan.
“Rayhan Pradipta Putra,” sahut Tama. Dia sengaja menyebut nama belakang Rayhan, agar Pak RT tahu siapa yang sedang diadili. Bagus Pradipta, ayah Rayhan, dikenal dermawan dan sering menyumbang warga kampung.
Pak RT terdiam sejenak. “Baiklah, Rayhan, tolong kamu panggil orang tuamu ke sini!” suruhnya. “Kamu, siapa namamu?” tanyanya pada Anin.
Rayhan menyuruh Tama menghubungi ibunya.
“Nama saya Anin, Pak,” jawab Anin sopan sambil menunduk.
“Panggil orang tuamu kemari!” perintah Pak RT dengan lembut.
“Orang tua saya sudah meninggal, saya tinggal berdua dengan kakak saya,” lirih Anin, menyeka air matanya.
“Panggil kakakmu kemari,” kata Pak RT, suaranya melembut.
Anin mengangguk dan segera mengirimkan pesan pada kakaknya.
Rayhan mengusap punggung Anin untuk menenangkannya. Anin kembali memeluknya, menangis di dada bidangnya.
Tama heran melihat sikap Rayhan yang biasanya dingin pada wanita, tiba-tiba bersikap hangat pada Anin.
Tidak butuh waktu lama bagi Riyanti Pradipta untuk tiba di rumah Pak RT.
Riyanti menatap Rayhan. ‘Apa benar ini putraku yang dingin, tiba-tiba memeluk erat seorang perempuan cantik?’ gumamnya dalam hati.
“Silakan duduk, Bu!” Pak RT membuyarkan lamunannya.
“Iya, Pak.” Riyanti duduk di hadapan Pak RT.
“Begini, Bu. Anak Ibu tertangkap basah oleh warga saya, sedang melakukan hal yang tidak senonoh terhadap gadis ini,” jelas Pak RT, menyampaikan laporan warga.
“Tenang, Pak. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Saya janji besok akan menikahkan mereka. Tolong jangan sampai pihak luar tahu masalah ini! Pak RT juga akan saya undang ke pernikahan anak saya. Datanglah besok di pernikahan anak-anak saya,” ucap Riyanti santun.
“Mi! Aku enggak melakukan apa pun, aku cuma menolong dia yang hendak dilecehkan,” protes Rayhan.
“Kami percaya, Sayang.” Riyanti mengusap pundak Rayhan.
“Kalau Mami percaya, terus kenapa Mami mau menikahkan aku dengan wanita yang belum aku kenal?” tanya Rayhan.
“Karena Mami pengin banget punya menantu,” sorak Riyanti kegirangan.
“Aku enggak mau dipaksa menikah dengan gadis yang belum aku kenal,” tolak Rayhan tegas, tanpa melepaskan pelukannya pada Anin.
“Enggak kenal, tapi kok peluk-pelukan?” sindir Riyanti sambil terkekeh.
Mendengar sindiran itu, Rayhan dan Anin langsung melepaskan pelukan mereka. Keduanya tampak salah tingkah.
Pak RT menengahi, "Masalah ini saya anggap selesai. Terima kasih sudah melapor ke saya dan tidak main hakim sendiri. Sekarang, biar masalah ini diselesaikan baik-baik oleh keluarga mereka."
Seorang bapak berkumis tebal ikut menasihati, "Lain kali, jangan pacaran di jalanan. Hargailah perempuan, seperti kamu menghargai ibumu sendiri. Jangan permalukan dia, apalagi kalau cuma mempermainkannya."
"Iya benar!" sahut warga lain, "Kalau berani berbuat, harus berani bertanggung jawab! Jangan cuma mau enaknya aja, giliran ketahuan malah bilang enggak kenal!"
Rayhan hanya diam menelan semua omelan warga. Ia tidak ingin membantah atau melawan. Ia cuma ingin segera pulang dan menyelesaikan masalahnya dengan tenang di rumah. Sementara itu, di sudut ruangan, Tama menahan senyum melihat sahabatnya dimarahi habis-habisan oleh warga.
Setelah para warga bubar, Riyanti mengajak Rayhan dan Anin pulang. Ia berpamitan kepada Pak RT. "Baiklah, Pak. Kami pamit, ya."
Riyanti, Tama, Rayhan, dan Anin pergi meninggalkan rumah Pak RT.
"Besok, kalian harus menikah," perintah Riyanti dengan tegas, saat mereka sudah berada di luar.
Beberapa minggu kemudian. “Sayang, perutmu besar banget.” Rey mengusap-usap perut sang istri.“Anak kita ‘kan dua,” jawab Anin, “Mama katanya mau ke sini. Dia mau nginep.” Anin mengusap-usap rambut sang suami yang sedang menempelkan kepala di perutnya.“Mereka gerak, Sayang. Mereka tahu aroma tubuh ayahnya yang ganteng ini,” ucap Rey sambil memegang perut Anin yang bergerak.“Mereka nggak mau dekat ayahnya yang bau belum mandi,” ucap Anin sambil memencet hidungnya.“Nggak mandi juga udah ganteng bingit,” sahut Rey sambil mencolek hidung sang istri.“Sudah sana mandi dulu!” Anin mendorong pelan suaminya untuk menjauh.“Entar dulu, Sayang. Aku ‘kan habis olahraga, masih keringetan.” Rey kembali mendaratkan bibirnya di perut sang istri.“Emangnya kamu nggak kerja?” tanya Anin sambil melirik jam dinding di hadapannya.“Mulai hari ini sampai kamu lahiran, aku kerja di rumah,” jawab Rey sambil tersenyum.“Masih seminggu lagi,” jawab Anin, “Terus kalau ada meeting gimana?” imbuhnya.“Itu ur
“Ada apa ini?” Rey bertanya, mendorong badannya menembus kerumunan orang yang memadati pintu depan.Anin berlutut di sebelah seorang pria. “Vin, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Anin, suaranya bergetar saat melihat goresan merah memanjang di lengan pria itu.“Ini ada apa, Sayang? Arvin kenapa?” Rey segera menghampiri. Matanya menyapu sekitar. Di sana, Beny terlihat sedang menggenggam erat pergelangan tangan seorang wanita. Tanpa basa-basi, Beny menarik lengan wanita itu ke belakang, lalu dengan cepat mengikatnya dengan tali.“Maaf, Bos, saya telat,” ucap Beny, napasnya memburu, raut wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam.“Bawa dia ke kantor polisi!” perintah Rey, suaranya dingin dan tegas.“Seperguruan nih sama Cintya,” ujar Rizky sambil menunjuk Momoy yang kini terikat.“Cintya siapa, Bang?” tanya Tyas, matanya membesar penuh rasa penasaran.Rizky terlihat gelagapan. “Nanti aku cerita, tapi sekarang aku mau bawa dulu nih kuntilanak ke kantor polisi.” Rizky segera mengalihkan perhat
Beberapa hari kemudian, Rey mengadakan syukuran rumah barunya. Semua tampak takjub melihat rumah baru Rey dan Anin.“Sayang, apa semua karyawanmu bakal datang ke sini?” tanya Anin.“Ya nggaklah, Sayang. Yang di sini aja yang aku undang, itu pun ada yang nggak bisa hadir,” jawab Rey, tangannya mencubit gemas pipi sang istri yang semakin membulat.“Iya, maksud aku juga gitu. Pegawai kantormu yang di sini.” Anin menepis tangan sang suami dari pipinya. “Sakit, tahu,” ucap Anin sambil mengusap-usap pipinya yang memerah.“Aku suka banget dekorasi rumahnya. Apalagi kamar ini.” Anin mengedarkan pandangan, matanya menyapu setiap sudut kamar yang terasa baru.“Biar kamu betah di kamar,” sahut Rey. Ia mendekat dan mengecup bibir Anin, hanya sekelebat.“Ih, Kak Rey!” protes Anin, bibirnya mengerucut. “Kok sebentar doang,” lanjutnya, wajahnya bersemu merah.Rey tertawa terbahak-bahak, suara tawanya mengisi ruangan. Ia memegang dagu Anin, menarik wajah itu mendekat, lalu kembali menempelkan bibirny
“Apaan sih, Yang? Ngagetin aja!” sahut Anin. Gigitan buah kedondong muda yang separuhnya sudah masuk ke mulut mendadak terhenti.“Cuci dulu!” titah Rey. Ia melangkah cepat menghampiri sang istri.“Ini udah di cuci,” jawab Anin. Matanya kembali menatap kedondong, lalu ia melanjutkan makannya dengan gerakan rahang yang lahap.“Kamu belum makan.” Rey mengambil buah kedondong yang tinggal sepotong dari tangan istrinya.“Ini lagi makan,” jawab Anin, bibirnya maju beberapa senti karena kedondongnya dirampas sang suami.Bi Inah datang menghampiri Rey. “Den, ini kopinya sama pisang goreng. Bibi juga buatin buat Non Anin, Non Tyas, dan Den Rizky.”“Iya, Bi, terima kasih. Taruh aja di meja sana.” Rey menunjuk meja bundar di bawah pohon mangga.“Iya, Den,” jawab Bi Inah.“Mami bawa masuk ya buahnya.” Mami Riyanti masuk, tangannya menenteng keranjang anyaman penuh buah-buahan yang baru saja mereka petik.“Iya, Mi,” jawab Anin dan Tyas serentak.“Sayang, ayo kita duduk dulu.” Rey menarik lembut pe
"Kamu kenapa, Rey? Seperti habis kesetrum?" Mami Riyanti bertanya, matanya melebar tak percaya melihat penampilan putranya. Rambut Rey mencuat ke segala arah, tak beraturan seperti sarang singa jantan yang marah."Gara-gara si Momoy." Rey menggumam, suaranya terdengar jengkel. Ia melewati sang Mami tanpa menoleh sedikit pun dan langsung menghilang ke dalam kamar mandi."Kapan si Momoy datang ke sini?" Mami Riyanti meninggikan suara, namun yang didapat hanya keheningan dari balik pintu kamar mandi. Mami Riyanti mendengus kesal. Ia melangkah masuk, menggerutu pelan, "Tidak sopan! Masa Maminya ditinggal begitu aja."Ia menghampiri ranjang, di mana Anin masih terlelap. Mami Riyanti tersenyum hangat, menatap wajah menantunya yang damai. Terima kasih ya Allah, sudah mengirimkan bidadari ke dalam keluargaku, batin Mami Riyanti, sambil mengusap lembut rambut Anin.Anin mengerjap, kelopak matanya terasa berat. Ia menyipitkan mata, mencoba fokus pada sosok di sampingnya. "Mami," suaranya serak,
Anin memasuki rumah, ia langsung merebahkan tubuhnya ke kasur. Sebuah helaan napas panjang yang terdengar berat keluar dari bibirnya. Baru saja ia dan Rey, suaminya, pulang setelah berkeliling kota demi mengantar undangan syukuran rumah baru mereka, dimulai dari kediaman Arvin."Bersih-bersih dulu," suara Rey tegas. Ia mendekat, meraih tangan Anin, lalu dengan lembut membantu istrinya duduk. "Setelah itu baru tidur.""Kak, aku capek banget, please, lima menit aja, mau rebahan dulu," rengek Anin, suaranya melengking manja. Sejak kehamilan ini, energi Anin seolah menguap, bahkan rutinitas seperti mandi pun sering ia lewatkan, puas dengan hanya sekali sehari.Rey menggeleng kecil, namun senyum geli tak bisa ia sembunyikan. Tanpa banyak bicara, ia mengangkat tubuh Anin. Ia menurunkannya tepat di depan wastafel kamar mandi. Setelah Anin mencuci muka dan menggosok gigi, Rey menyentuh kancing-kancing blus istrinya, membukanya satu per satu. Ia kembali menggendong Anin yang kini hanya dibalut







