Share

Bab 2

Author: Nyi Ratu
last update Last Updated: 2025-09-10 18:52:04

"Aku enggak mau menikah, Mi," ucap Rey tegas begitu ia turun dari mobil. Ia menolak mentah-mentah rencana pernikahan mendadak dengan gadis yang baru saja ditemuinya.

"Maaf, Mami enggak dengar kamu bilang apa," balas Riyanti, mengabaikan protes putranya. Ia malah sibuk menggandeng tangan Anin dan mengajaknya masuk ke rumah.

"Siapa nama kamu?" tanya Riyanti lembut, sambil mengelus rambut Anin.

"Anin, Tante," jawab Anin sopan, menunduk malu. Ia merasa canggung karena semua orang di tempat ini menganggapnya dan Rey melakukan perbuatan tidak senonoh.

"Jangan panggil Tante, panggil Mami saja, ya! Sebentar lagi 'kan kamu jadi menantu Mami," kata Riyanti riang, semakin mengelus rambut Anin.

"Ada apa, Pak RT memanggil Mami?" tanya Papi Bagus, yang baru pulang dari luar kota dan sedang tidak enak badan. Ia tidak ikut ke rumah Pak RT tadi.

"Pak RT kasih kita menantu, Pi!" jawab Mami Riyanti, bersemangat.

"Menantu?" Papi Bagus mengernyitkan dahi, bingung. "Menantu apa?"

"Menantu. Istri buat Rey," jawab Riyanti, santai. Berbeda dengan orang tua lain yang mungkin marah, ia malah terlihat bahagia.

"Pak RT mau jodohin anaknya sama Rey?" Papi Bagus masih belum paham. "Bicara yang jelas, Mi. Jangan setengah-setengah."

"Tadi itu, Rey dan Anin dipergoki warga berbuat tak senonoh di taman. Terus mereka dibawa ke rumah Pak RT. Ya sudah, Mami bilang saja mau menikahkan mereka berdua biar enggak dihakimi warga," jelas Riyanti panjang lebar.

"Enggak begitu, Mi! Rey cuma menolong dia dari tiga preman kampung. Mami sama saja kayak warga itu, suka memfitnah! Dosa, Mi!" sanggah Rey kesal.

"Mami bilang warga yang pergoki kalian, tapi Mami tetap percaya sama kamu."

"Papi juga percaya sama kamu," timpal Pak Bagus sambil menepuk bahu Rey. "Kamu anak baik dan bertanggung jawab, jadi kamu harus menikahi pacarmu."

"Aku enggak berbuat apa-apa, Pi! Kenal juga enggak." Rey terus membela diri, sementara Anin hanya diam menunduk.

"Enggak kenal, kok main peluk-pelukan?" Mami Riyanti melirik Rey, tersenyum jahil.

"Rey cuma menenangkan dia yang terus menangis," jawab Rey, makin frustrasi.

"Sudah, jangan berdebat lagi. Papi percaya Rey enggak berbuat apa-apa." Papi Bagus menoleh pada Anin. "Nak, nama kamu siapa?"

Anin mengangkat kepala, menatap Papi Bagus. "Anin, Om."

"Apa Rey melakukan sesuatu yang merugikanmu?" tanya Papi Bagus, memastikan. Ia ingin mendengar cerita dari kedua sisi.

"Rey menolong saya dari kejaran preman. Kalau enggak ada Rey, entah bagaimana nasib saya." Anin menatap Rey dengan tulus. "Saya sangat berterima kasih kepadanya."

"Papi percaya sama kalian." Papi Bagus tersenyum lega. Anak-anaknya tidak seperti yang dituduhkan warga.

Pria paruh baya itu lantas menelepon seseorang. "Siapkan pernikahan untuk Rey, besok!" perintahnya tegas, lalu langsung menutup panggilan.

"Pi...!" Rey memprotes, tidak habis pikir. Ia kira sang Papi mendukungnya, ternyata pernikahan itu tidak bisa dihindari.

"Sudah, tenang saja. Walau mendadak, Papi akan siapkan resepsi besar-besaran. Besok, kamu harus menikah," kata Papi Bagus, tersenyum. Ia tahu ini adalah kesempatan untuk 'menjebak' Rey dalam sebuah pernikahan.

Anin tetap diam seribu bahasa. Ia tidak berani bicara jika Rey belum menyuruhnya.

"Akhirnya... enggak lama lagi kita bakal gendong cucu!" Mami Riyanti bersorak bahagia, seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.

"Assalamualaikum," ucap seorang pria setelah diantar pelayan ke ruang tamu.

"Waalaikumsalam," jawab semua orang serentak.

"Mahendra?" Papi Bagus terkejut melihat sosok yang dikenalnya itu.

"Pak Bagus, senang bisa bertemu lagi dengan Anda," Mahendra menjabat tangan papi Rey.

"Kakak!" Anin langsung berdiri dan memeluk kakaknya. Tangisnya pecah di dada bidang Mahendra.

"Kamu kenapa?" tanya Mahendra sambil mengusap rambut Anin.

"Silakan, Nak. Duduk dulu!" Papi Bagus mempersilakan Mahendra duduk. "Nanti saya jelaskan."

"Maaf, Pak, sebenarnya ada apa? Kenapa adik saya ada di sini?" tanya Mahendra bingung, melihat kondisi adiknya yang sembab.

Papi Bagus menceritakan semua kesalahpahaman itu, termasuk rencana pernikahan Anin dan Rey, lalu memperkenalkan anak dan istrinya.

"Tapi, Pak, Rey enggak melakukan apa-apa kepada Anin. Saya rasa dia enggak perlu bertanggung jawab," kata Mahendra, memeluk adiknya. "Adik saya juga belum tentu setuju."

"Ini demi kebaikan mereka, Nak Mahendra," bujuk Papi Bagus panjang lebar.

"Baiklah, Pak. Saya setuju dengan rencana Bapak," putus Mahendra. Ia percaya Rey berasal dari keluarga baik-baik, dan adiknya akan aman di sini.

"Kak... aku masih muda, aku enggak mau menikah sekarang! Aku juga enggak kenal dia!" Anin akhirnya bersuara setelah kedatangan kakaknya.

"Anin, Kakak enggak bisa terus jagain kamu. Keluarga Pak Bagus adalah keluarga baik-baik. Mereka akan sayang sama kamu seperti anak sendiri. Kakak tenang kalau kamu menikah dengan anaknya Pak Bagus," bujuk Mahendra, mengusap rambut adiknya.

"Tapi, Kak... aku belum siap menikah," Anin masih menolak.

"Maaf, Tante, apa Tante bisa menerima sikap Anin yang absurd? Dia gadis konyol, tingkahnya mungkin bisa bikin Tante sakit kepala setiap hari," kata Mahendra, cemas.

"Kakak!" protes Anin, malu.

"Mami malah suka, Anin cocok banget sama Rey," ujar Mami Riyanti sambil melirik putranya, tersenyum.

"Cocok apanya?" protes Rey.

"Tenang saja, Nak. Kamu enggak usah khawatir, tantemu bisa atasi semuanya," Papi Bagus tersenyum, melirik istrinya.

Mami Riyanti jauh lebih absurd dari calon menantunya. Dulu, ia yang mengajak Papi Bagus menikah karena Papi Bagus terlalu pendiam dan dingin. Sikap itu kini menurun pada putranya.

Mereka pun membahas rencana pernikahan yang akan diadakan besok sore. Hanya keluarga dan kerabat terdekat yang diundang, sesuai permintaan Rey dan Anin.

"Baiklah, Pak. Saya pulang dulu," pamit Mahendra.

"Jangan pulang, Nak! Kalian bermalam di sini saja. Ini sudah jam satu malam, terlalu larut," pinta Mami Riyanti.

"Kamu juga baru pulang dari luar kota, kan? Pasti lelah. Istirahat di sini saja!" tambah Pak Bagus.

"Enggak apa-apa, Pak. Kami pulang saja. Kami enggak mau merepotkan," tolak Mahendra halus.

"Kalian akan jadi keluarga kami. Saya enggak pernah merasa direpotkan," kata Pak Bagus. "Menginaplah. Anggap saja ini rasa terima kasih saya atas pertolonganmu."

"Bi, siapkan kamar untuk mereka," Mami Riyanti menyuruh pelayannya.

"Aku tidur di kamar Rey saja, Mi," ucap Tama, yang yakin Rey butuh teman untuk berbagi.

"Ya sudah, kalian istirahat sana!" Mami Riyanti mempersilakan mereka.

"Anin, kamu istirahat ya, Sayang. Nanti Mami antarkan baju tidur buat kamu," ujar Mami Riyanti lembut. Ia sangat bersyukur mendapat calon menantu secantik Anin, dan langsung terpikat sejak pandangan pertama.

"I-iya, Mi," jawab Anin terbata.

"Kak, kok muka Kakak lebam-lebam begini?" Anin mendekat, menciumi wajah kakaknya di depan Rey dan calon mertuanya. Ia baru menyadari wajah kakaknya penuh luka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 20

    “Tama,” gumam Rey. Ia melihat Tama, Rani, Anin, dan laki-laki yang kemarin mengantar Anin pulang sedang mengobrol dan sesekali mereka tertawa terbahak-bahak, entah apa yang mereka bicarakan.Hati Rey sakit melihat itu semua, hatinya sakit melihat istrinya tertawa bahagia dengan laki-laki lain, dan juga sahabatnya sejak kecil yang tega tidak mau membantunya membuntuti Anin, padahal dia tahu tempat nongkrong Anin selama ini.Rey tidak menemui Anin, dia hanya memperhatikan Anin dari kejauhan. Niatnya menyusul Anin memang hanya ingin melihat kalau istrinya baik-baik saja.Rey tidak tahu harus berbuat apa kalau dia menghampiri istri dan sahabatnya. Rey sadar kenapa Tama tidak membantunya, karena selama ini, dia sudah keterlaluan pada Anin.Tyas menghampiri Anin. “Nin, suami lo ada di kafe ini,” bisik Tyas. Anin dan Tyas saling pandang.“Kak, Mbak, aku masuk dulu ya, ada kerjaan sebentar.” Anin pamit pada Tama dan Rani. Tama dan Rani tersenyum menganggukkan kepalanya.Anin melirik Bang Rizk

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 19

    “Pagi, istriku,” sapa Rey pada Anin saat berpapasan dengannya yang baru selesai mandi. Tapi Anin tidak menanggapi, ia masuk ke kamar mandi begitu saja dan bersikap dingin pada Rey. Tidak seperti biasanya yang selalu menggoda Rey.“Dia masih marah, aku harus sabar. Aku sendiri yang menyalakan api kemarahan itu, aku juga yang harus memadamkannya.” Rey tersenyum menyemangati dirinya sendiri, ia tidak akan patah semangat untuk memperbaiki hubungannya dengan Anin.Rey duduk di sofa kamarnya, menunggu Anin untuk turun dan sarapan bersama.Anin keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap: celana jeans yang robek sedikit di bagian paha atasnya dan blus hitam yang memperlihatkan belahan dadanya.Anin duduk di sofa, berhadapan dengan suaminya. Rey susah payah menelan ludah saat Anin membungkuk untuk memakai sepatunya. Gunung kembarnya terlihat menyembul keluar.“Nin, kamu mau ke mana?” tanya Rey pelan, dia takut Anin marah padanya.“Bukan urusanmu, urus saja dirimu sendiri,” jawabnya ketus.

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 18

    “Nin, gue pulang duluan ya, gue ada perlu mendadak.” Tyas mengambil tasnya. “Bang Rizky, Mbak Rani, aku pulang duluan ya,” pamit Tyas pada semuanya.“Ah gue tahu, lo pasti mau ketemu si bucin Farel. Apalagi besok mau ditinggalin ke Bandung,” seru Anin tersenyum meledek Tyas.“Sok tahu lo.” Tyas mencubit pipi Anin dan lari keluar kafe.“Bangke lo!” hardik Anin sambil mengusap-usap pipinya.Tama masuk ke kafe, dia mencari-cari keberadaan istrinya. Bibirnya tersenyum saat orang yang dicarinya sedang asyik bercanda dengan Anin.“Hai semuanya,” sapa Tama pada istri dan teman-temannya.“Maaf ya, Nin. Mbak ngundang suami mbak ke sini, soalnya tadi mbak naik taksi. Jadi, mbak minta dijemput sama Mas Tama.”“Enggak apa-apa, malah bagus, Kak Tama bisa merekomendasikan kafeku pada karyawan Kak Tama, iya ’kan, Kak?” Anin tersenyum dan menaikkan alisnya sebelah. Tama terlihat bingung.“Kafe ini milik Anin dan temannya yang bernama Tyas.” Rani menjawab kebingungan suaminya.Tama membelalakkan matan

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 17

    “Tam, kok lo tega sama gue?” Rey pindah duduk di depan meja kerja Tama.“Kalau urusan Anin, lo urus aja sendiri.” Tama masih memeriksa berkasnya tanpa menoleh pada Rey.“Kok lo lebih membela si Anin daripada gue?” sergah Rey tak terima sahabatnya lebih memilih orang yang baru dikenal daripada sahabatnya sejak kecil.“Gue enggak membela siapa pun, gue cuma enggak mau lo nyakitin hati Anin. Melihat dia, gue jadi ingat Alana, dia persis seperti Alana.” Tama tersenyum membayangkan adik perempuannya yang absurd seperti Anin. Tak terasa, air mata jatuh di pipinya, mengenang kembali kenangan bersama adik kesayangannya yang telah meninggalkannya lima tahun lalu.Rey yang melihat Tama bersedih karena ulahnya, merasa tidak enak hati. “Baiklah, gue enggak akan minta bantuan lo. Gue janji akan berusaha menerima Anin sebagai istri gue, tapi kasih gue waktu untuk bisa membuka hati gue untuknya.” Rey menepuk bahu Tama dan keluar dari ruangan.“Enggak sia-sia air mata gue.” Tama tersenyum sambil meny

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 16

    "Bang Rizky," gumam Tyas. Ia heran melihat Rizky sudah berada di kafe sepagi ini, bahkan sebelum kafe dibuka."Ada apa, As?" Anin melihat ke arah pandang Tyas, ia menyunggingkan senyum. "Itu artinya dia mau kerja di sini?" Anin menarik tangan Tyas untuk menghampiri Rizky."Pagi, Bang Rizky," sapa Anin ramah."Pagi, Nin." Rizky melirik Tyas. "Pagi, Yu." Rizky tersenyum manis pada Tyas. Rizky memang selalu memanggil Tyas dengan sebutan Ayu, karena nama lengkapnya Ayuningtyas.Anin memperhatikan tatapan Rizky pada Tyas yang terlihat berbeda. Ia merasa Rizky menyukai Tyas."Udah lama, Bang?" Anin dan Tyas duduk berdampingan di hadapan Rizky."Baru aja," jawab Rizky sambil tersenyum ramah. Sesekali ia menatap Tyas, dan Anin yang melihatnya semakin yakin bahwa Rizky menyukai Tyas.Tyas hanya menundukkan kepalanya, malu saat Rizky menatapnya. Entah apa yang ia rasakan, tetapi setiap kali pandangan mereka bertemu, ada desiran hangat di dalam tubuhnya."Ada apa, Nin? Kamu minta Abang datang ke

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 15

    Anin tidak bertanya lagi pada mertuanya soal adonan. Meskipun penasaran, ia hanya diam sambil mengiris bawang.Setelah masakan selesai, Mami Riyanti memanggil suaminya untuk makan malam, begitu juga Anin yang memanggil Rey.Mereka pun makan malam sambil mengobrol. Rey dan Anin terlihat salah tingkah, keduanya sama-sama malu dengan kejadian di kamar mandi. Tak ada yang mau membahas siapa yang benar dan salah, karena terlalu malu untuk berdebat soal hal yang bisa membuat jantung mereka melompat-lompat seperti bermain trampolin."Rey, lain kali kalau bikin adonan jangan di sembarang tempat. Kasihan Anin kesakitan kalau harus bikin adonan di lantai," celetuk Mami Riyanti."Uhuk... uhuk..." Rey dan Anin terbatuk-batuk mendengar ucapan Mami Riyanti.Mami Riyanti memberikan air minum pada menantunya, sementara Papi Bagus memberikan air minum pada Rey."Makannya pelan-pelan saja, memangnya kalian mau ke mana?" ujar Papi Bagus."Mau ngelanjutin bikin adonan, Pi," jawab Mami Riyanti.Anin dan R

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status