LOGIN"Anin, jangan kayak anak kecil lagi, kamu 'kan sudah mau menikah. Nanti calon suamimu cemburu," kata Mahendra, khawatir orang lain berpikiran yang tidak baik. Mahendra memang selalu memanjakan dan melimpahkan kasih sayang untuk adiknya. Ia bahkan tidak mau menikah sebelum Anin menikah.
"Di dunia ini, aku cuma punya Kakak. Kakak segalanya buatku. Aku enggak mau Kakak kenapa-kenapa," Anin menangis tersedu-sedu.
"Sudah, jangan nangis lagi! Masa mau jadi pengantin mukanya sembab. Ayo kita istirahat," ajak Mahendra.
"Pak Bagus, Tante, kami istirahat dulu, ya," pamit Mahendra.
"Panggil Papi saja!" Pak Bagus menepuk pundak Mahendra.
"Panggil aku Mami juga, ya! Anggap saja Mami ini ibumu sendiri. Sekarang kalian istirahat!" Mami Riyanti menyuruh asisten rumah tangganya mengantar kakak-beradik itu ke kamar.
"Mi... masa Mami mau nikahin aku sama anak manja kayak dia? Dia pasti akan sangat merepotkan, Mi," protes Rey setelah Anin dan Mahendra pergi.
"Kelihatannya Anin anak yang baik. Kakaknya juga baik. Tadi siang, Mahendra menolong Papi ketika dihadang perampok," kata Papi Bagus. "Kamu enggak lihat muka calon kakak iparmu babak belur? Itu karena dia menolong Papi."
"Terus Papi nyuruh aku nikahin adiknya buat balas budi?" tanya Rey. "Aku juga sudah menolong adiknya."
"Rey, jangan membantah lagi!" Papi Bagus mulai marah. "Sejak kapan kamu jadi pembangkang seperti ini?"
"Tapi, Pi..." Ucapan Rey terpotong oleh Mami Riyanti.
"Kenapa Papi enggak bilang sama Mami kalau Papi dirampok?"
"Maaf. Papi lupa." Pak Bagus beranjak dari duduknya. "Ayo kita istirahat."
Rey berjalan gontai menuju kamarnya. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menuruti perintah orang tuanya.
Pagi itu, kediaman keluarga Pradipta tampak sibuk. Ruangan untuk acara ijab kabul dihias, sementara yang lain sibuk menyiapkan pakaian untuk acara nanti sore. Mereka bekerja serba mendadak karena acara pernikahan yang dipercepat.
Mami Riyanti memanggil seorang pemilik butik gaun pengantin ternama bernama Jesi, yang masih muda tapi karyanya sudah terkenal. "Tolong pilihkan kebaya terbaik untuk menantu saya," pinta Mami Riyanti.
Jesi terpukau dengan kecantikan calon mempelai wanita, Anin. "Menantu Tante sangat cantik, pakai baju apa pun pasti bagus," pujinya.
Dalam waktu singkat, semua persiapan sudah beres. Kebaya pengantin untuk Anin, baju Rey, dan pakaian untuk semua anggota keluarga telah siap.
Sore harinya, tepat pukul empat, ijab kabul dimulai. Acara berlangsung intim, hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat. Dari pihak Anin, hanya ada Papa Herman, Mama Marisa, sang kakak, dan sahabatnya, Ayuningtyas.
Anin terlihat memesona dalam balutan kebaya putih. Meski riasan wajahnya minimalis, kecantikan alaminya tetap terpancar. Siger khas Sunda menghiasi kepalanya, dan untaian bunga melati yang harum membuat penampilannya semakin sempurna. Dengan tubuh ramping dan anggun, Anin terlihat begitu menawan.
"Nin, lo cantik banget. Sempurna," puji Tyas sambil mengacungkan jempolnya, takjub melihat sahabatnya.
"Kita kabur aja, yuk! Aku enggak mau nikah sama dia. Kenal juga enggak," bisik Anin, masih ragu.
"Gila! Kamu mau kecewain Kakak? Kapan Kakak minta sesuatu sama kamu? Dia itu sempurna banget sebagai seorang kakak. Dia bisa jadi orang tua sekaligus sahabat. Dia bahkan rela menunda pernikahannya sampai kamu menikah dengan laki-laki baik," kata Tyas, kesal.
Tyas melanjutkan, "Kakak sudah cukup umur untuk nikah, tapi dia rela menundanya karena takut kasih sayangnya sama kamu akan terbagi kalau dia punya istri." Tyas mencoba meyakinkan Anin agar tidak mengecewakan Mahendra, kakaknya.
Anin memeluk Tyas sambil menangis. "Maaf… aku enggak berpikir sampai ke sana. Makasih udah ngingetin. Kamu memang yang terbaik," ucapnya.
"Jangan nangis, nanti riasannya luntur," kata Tyas, melepaskan pelukan dan menyeka air mata Anin.
Seorang perias segera memperbaiki riasan Anin. "Udah, ya. Kuatkan hatimu. Bismillah aja, semoga semuanya lancar. Semoga nanti kalian bisa saling mencintai, aamiin." Tyas menguatkan.
Di tempat lain, Rey juga merasa sangat gugup, meskipun ini bukan pernikahan impiannya.
"Santai, Rey!" goda Tama, sahabatnya.
"Berisik! Sana, kamu aja yang nikah!" jawab Rey kesal.
"Kalau istriku kasih izin, sudah aku nikahin tuh si Anin. Cowok mana yang enggak tertarik sama dia. Udah cantik, bodinya keren. Aku jadi ngebayangin malam pertama sama dia," canda Tama.
"Sialan! Berani-beraninya kamu membayangkan yang tidak-tidak sama istriku!" Rey memukul bahu Tama.
"Calon istri, belum jadi istri," goda Tama lagi.
Rey menatap sinis dan segera pergi ke tempat akad karena Mami Riyanti sudah memanggilnya.
'Kenapa aku jadi segugup ini, ya?' batin Rey. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin membasahi keningnya.
"Mi, Rey ke belakang dulu ya," kata Rey.
"Ijab kabulnya mau dimulai," Mami Riyanti menarik tangan Rey.
"Mi, kalau Rey ngompol gimana? Kebelet nih," bujuk Rey.
"Ya sudah, cepat sana, jangan lama-lama." Mami Riyanti melepaskan tangan Rey.
Rey bergegas ke toilet dan tak lama kemudian kembali, lalu duduk di hadapan wali nikah Anin, yaitu kakak kandungnya, Mahendra Putra.
Acara ijab kabul pun dimulai. Mahendra menjabat tangan Rey yang terasa dingin dan berkeringat. Mahendra pun tampak gugup, keringat mengucur di pelipisnya.
'Aku kira aku aja yang gugup, ternyata calon kakak ipar juga gugup,' gumam Rey dalam hati.
Mahendra berucap tegas, "Ananda Rayhan Pradipta Putra bin Bagus Pradipta, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan adik kandung saya Anindira Putri binti Muhammad Dani dengan maskawin emas murni seratus gram, dibayar tunai."
Rey menjawab dengan mantap dalam satu tarikan napas, "Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Putri binti Muhammad Dani dengan maskawin emas murni seratus gram, dibayar tunai."
"Bagaimana para saksi, sah?" tanya penghulu.
"SAH!!!" jawab semua yang hadir serentak.
"Alhamdulillah…"
Anin dituntun mendekati Rey, suaminya yang sah. Rey sangat terpesona melihat kecantikan Anin. Jantungnya berdegup kencang saat Anin berada di hadapannya.
Rey merasakan getaran di tangannya ketika Anin mengulurkan jari untuk dipasangkan cincin. Cahaya senja menyinari mereka berdua.
Dengan tatapan lembut, Rey berkata, "Dengan cincin ini, aku akan selalu berada di sampingmu dalam suka dan duka."
Anin membiarkan Rey memasang cincin di jari manisnya. Suasana penuh kebahagiaan, keluarga dan teman-teman bersorak memberi selamat.
Anin mencium tangan suaminya, lalu Rey mengecup kening Anin. Setelah acara selesai, para kerabat pun pulang.
"Sayang, Mama sama Papa pulang dulu. Jangan lupa, nanti kalian pulang ke rumah Mama," kata Mama Marisa, memeluk Anin, putri angkatnya.
Mama Marisa dan Papa Herman berpamitan dengan Mami Riyanti dan Papi Bagus. Mereka adalah keluarga satu-satunya Anin dan Mahendra, orang tua yang berjasa setelah kedua orang tua kandung mereka meninggal.
"Nin, aku pulang ya." Tyas memeluk sahabatnya.
"Kalau kamu pulang, aku enggak punya teman, As." Anin enggan berpisah.
"Kamu udah punya suami, Nin. Masa aku tidur sama pengantin baru? Nanti aku
ganggu malam pertama kalian," goda Tyas, membuat Anin tegang.
"Aku belum siap, As," bisik Anin, wajahnya pucat.
Beberapa minggu kemudian. “Sayang, perutmu besar banget.” Rey mengusap-usap perut sang istri.“Anak kita ‘kan dua,” jawab Anin, “Mama katanya mau ke sini. Dia mau nginep.” Anin mengusap-usap rambut sang suami yang sedang menempelkan kepala di perutnya.“Mereka gerak, Sayang. Mereka tahu aroma tubuh ayahnya yang ganteng ini,” ucap Rey sambil memegang perut Anin yang bergerak.“Mereka nggak mau dekat ayahnya yang bau belum mandi,” ucap Anin sambil memencet hidungnya.“Nggak mandi juga udah ganteng bingit,” sahut Rey sambil mencolek hidung sang istri.“Sudah sana mandi dulu!” Anin mendorong pelan suaminya untuk menjauh.“Entar dulu, Sayang. Aku ‘kan habis olahraga, masih keringetan.” Rey kembali mendaratkan bibirnya di perut sang istri.“Emangnya kamu nggak kerja?” tanya Anin sambil melirik jam dinding di hadapannya.“Mulai hari ini sampai kamu lahiran, aku kerja di rumah,” jawab Rey sambil tersenyum.“Masih seminggu lagi,” jawab Anin, “Terus kalau ada meeting gimana?” imbuhnya.“Itu ur
“Ada apa ini?” Rey bertanya, mendorong badannya menembus kerumunan orang yang memadati pintu depan.Anin berlutut di sebelah seorang pria. “Vin, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Anin, suaranya bergetar saat melihat goresan merah memanjang di lengan pria itu.“Ini ada apa, Sayang? Arvin kenapa?” Rey segera menghampiri. Matanya menyapu sekitar. Di sana, Beny terlihat sedang menggenggam erat pergelangan tangan seorang wanita. Tanpa basa-basi, Beny menarik lengan wanita itu ke belakang, lalu dengan cepat mengikatnya dengan tali.“Maaf, Bos, saya telat,” ucap Beny, napasnya memburu, raut wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam.“Bawa dia ke kantor polisi!” perintah Rey, suaranya dingin dan tegas.“Seperguruan nih sama Cintya,” ujar Rizky sambil menunjuk Momoy yang kini terikat.“Cintya siapa, Bang?” tanya Tyas, matanya membesar penuh rasa penasaran.Rizky terlihat gelagapan. “Nanti aku cerita, tapi sekarang aku mau bawa dulu nih kuntilanak ke kantor polisi.” Rizky segera mengalihkan perhat
Beberapa hari kemudian, Rey mengadakan syukuran rumah barunya. Semua tampak takjub melihat rumah baru Rey dan Anin.“Sayang, apa semua karyawanmu bakal datang ke sini?” tanya Anin.“Ya nggaklah, Sayang. Yang di sini aja yang aku undang, itu pun ada yang nggak bisa hadir,” jawab Rey, tangannya mencubit gemas pipi sang istri yang semakin membulat.“Iya, maksud aku juga gitu. Pegawai kantormu yang di sini.” Anin menepis tangan sang suami dari pipinya. “Sakit, tahu,” ucap Anin sambil mengusap-usap pipinya yang memerah.“Aku suka banget dekorasi rumahnya. Apalagi kamar ini.” Anin mengedarkan pandangan, matanya menyapu setiap sudut kamar yang terasa baru.“Biar kamu betah di kamar,” sahut Rey. Ia mendekat dan mengecup bibir Anin, hanya sekelebat.“Ih, Kak Rey!” protes Anin, bibirnya mengerucut. “Kok sebentar doang,” lanjutnya, wajahnya bersemu merah.Rey tertawa terbahak-bahak, suara tawanya mengisi ruangan. Ia memegang dagu Anin, menarik wajah itu mendekat, lalu kembali menempelkan bibirny
“Apaan sih, Yang? Ngagetin aja!” sahut Anin. Gigitan buah kedondong muda yang separuhnya sudah masuk ke mulut mendadak terhenti.“Cuci dulu!” titah Rey. Ia melangkah cepat menghampiri sang istri.“Ini udah di cuci,” jawab Anin. Matanya kembali menatap kedondong, lalu ia melanjutkan makannya dengan gerakan rahang yang lahap.“Kamu belum makan.” Rey mengambil buah kedondong yang tinggal sepotong dari tangan istrinya.“Ini lagi makan,” jawab Anin, bibirnya maju beberapa senti karena kedondongnya dirampas sang suami.Bi Inah datang menghampiri Rey. “Den, ini kopinya sama pisang goreng. Bibi juga buatin buat Non Anin, Non Tyas, dan Den Rizky.”“Iya, Bi, terima kasih. Taruh aja di meja sana.” Rey menunjuk meja bundar di bawah pohon mangga.“Iya, Den,” jawab Bi Inah.“Mami bawa masuk ya buahnya.” Mami Riyanti masuk, tangannya menenteng keranjang anyaman penuh buah-buahan yang baru saja mereka petik.“Iya, Mi,” jawab Anin dan Tyas serentak.“Sayang, ayo kita duduk dulu.” Rey menarik lembut pe
"Kamu kenapa, Rey? Seperti habis kesetrum?" Mami Riyanti bertanya, matanya melebar tak percaya melihat penampilan putranya. Rambut Rey mencuat ke segala arah, tak beraturan seperti sarang singa jantan yang marah."Gara-gara si Momoy." Rey menggumam, suaranya terdengar jengkel. Ia melewati sang Mami tanpa menoleh sedikit pun dan langsung menghilang ke dalam kamar mandi."Kapan si Momoy datang ke sini?" Mami Riyanti meninggikan suara, namun yang didapat hanya keheningan dari balik pintu kamar mandi. Mami Riyanti mendengus kesal. Ia melangkah masuk, menggerutu pelan, "Tidak sopan! Masa Maminya ditinggal begitu aja."Ia menghampiri ranjang, di mana Anin masih terlelap. Mami Riyanti tersenyum hangat, menatap wajah menantunya yang damai. Terima kasih ya Allah, sudah mengirimkan bidadari ke dalam keluargaku, batin Mami Riyanti, sambil mengusap lembut rambut Anin.Anin mengerjap, kelopak matanya terasa berat. Ia menyipitkan mata, mencoba fokus pada sosok di sampingnya. "Mami," suaranya serak,
Anin memasuki rumah, ia langsung merebahkan tubuhnya ke kasur. Sebuah helaan napas panjang yang terdengar berat keluar dari bibirnya. Baru saja ia dan Rey, suaminya, pulang setelah berkeliling kota demi mengantar undangan syukuran rumah baru mereka, dimulai dari kediaman Arvin."Bersih-bersih dulu," suara Rey tegas. Ia mendekat, meraih tangan Anin, lalu dengan lembut membantu istrinya duduk. "Setelah itu baru tidur.""Kak, aku capek banget, please, lima menit aja, mau rebahan dulu," rengek Anin, suaranya melengking manja. Sejak kehamilan ini, energi Anin seolah menguap, bahkan rutinitas seperti mandi pun sering ia lewatkan, puas dengan hanya sekali sehari.Rey menggeleng kecil, namun senyum geli tak bisa ia sembunyikan. Tanpa banyak bicara, ia mengangkat tubuh Anin. Ia menurunkannya tepat di depan wastafel kamar mandi. Setelah Anin mencuci muka dan menggosok gigi, Rey menyentuh kancing-kancing blus istrinya, membukanya satu per satu. Ia kembali menggendong Anin yang kini hanya dibalut







