Malam itu di dalam kamarku, aku memberanikan diri untuk menelpon Mas Bram. Aku mendengar suara dering telpon menyambung. Belum ada jawaban. Apa Mas Bram sudah tidur? Tapi sekarang masih jam 8 malam. Apa iya sudah tidur?
Tut ... tut ... tut ... sambungan telpon terputus. Tidak ada jawaban. Mungkin dia sudah tidur. Apa besok saja aku menelponnya? Apa aku harus coba sekali lagi? Iya, akan kucoba sekali lagi.
Kembali kudengar suara dering telpon menyambung, "1 ... 2 ... 3 ...," aku mulai menghitung dalam hati.
"Halo?"
"Halo, Mas Bram?" jantungku seketika berdegup kencang mendengar suaranya.
"Maaf baru Mas angkat telponnya, Nda. Barusan Mas di luar kamar,"
"Iya, Mas. Gak papa. Aku ... ganggu gak, Mas?" jawabku sembari duduk di atas ranjangku
"Gak, Nda. Ada apa?"
"Anu ... gini, Mas. Ada yang mau ... Manda bicarakan,"
"Kok suara Manda terdengar serius? Ada masalah ya?"
"Bu ... bukan ....," aduh aku jadi bingung mau mulai darimana bicaranya.
"Be-begini, Mas. Mas Bram, Manda mau tahu. Apa ... Mas Bram ... men ... men ....," aku mendadak jadi gagap.
"Tanya saja, Nda. Manda mau tanya apa? Gak perlu takut gitu,"
Aku menghembuskan nafas panjang. Mataku mulai berkaca-kaca. Tenang, Manda. Tenang. Kamu pasti bisa. Kamu harus bisa.
"Apa ... Mas Bram mencintai Manda?"
"Kok tiba-tiba bertanya begitu?" suara Mas Bram terdengar kaget.
"Iya? ... apa jawaban, Mas?"
"Iya, Mas mencintai Manda,"
Aku lega mendengar jawabannya. Satu lagi pertanyaan. Semoga jawabannya juga iya.
"Mas ... apa Mas ... mau menikahi Manda?"
"Apa?"
"Mas mau menikahi Manda, kan?" ulangku.
Diam. Tidak ada jawaban. Apa aku salah bertanya? Apa yang dipikirkan Mas Bram sekarang?
"Mas ....," panggilku lirih.
"Kenapa Manda bertanya seperti itu? Mas jadi bingung menjawabnya," ujarnya dengan nada pelan.
"Manda perlu tahu, Mas,"
"Nda, Mas belum memikirkan soal menikah. Mas masih kuliah. Mas juga belum bekerja. Saat ini kita jalanin dulu aja hubungan kita. Masalah pernikahan bisa kita bicarakan setelah kita benar-benar siap"
Apa yang kutakutkan akhirnya kudengar. Jawaban yang ingin aku hindari. Aku tidak menyalahkan Mas Bram. Jika aku berada di posisi Mas Bram, pasti aku akan bingung jika mendadak ditanyakan soal pernikahan. Ternyata ... inilah akhirnya.
"Mas Bram, maaf ... sudah membuat Mas bingung. Manda mengerti kok," aku mencoba menahan tangisku.
"Manda gak marah, kan?"
"Gak, Mas. Manda gak marah. Sebenarnya Manda menelpon Mas Bram ... karena Manda akan segera menikah,"
"Menikah?!"
"Ada yang melamar Manda, Mas. Manda harus memberi jawaban ke mereka besok. Karena itu, Manda menelpon Mas Bram. Jika Mas Bram mau menikahi Manda, Manda akan menolak lamaran itu. Jika tidak, Manda akan menerimanya,"
Diam lagi. Tak ada suara. Aku berharap Mas Bram mau merubah jawabannya dan berkata ... iya Nda, Mas akan menikahimu.
"Jadi ... Manda mau berpisah?"
" Sebenarnya ... Manda tidak mau berpisah, Mas. Tapi Manda gak punya pilihan,"
Ayolah, Mas Bram. Lakukanlah sesuatu. Tolong, bantu Manda untuk mempertahankan hubungan kita.
"Kalau begitu, tolak lamaran itu," pinta Mas Bram.
"Manda tidak bisa menolaknya, Mas,"
"Kenapa? Manda, tidak percaya sama Mas Bram? Manda meragukan cinta Mas?"
"Manda tidak ragu, Mas. Tapi ... Bapak dan Ibu menginginkan kepastian. Manda tidak bisa apa-apa, Mas,"
"... larilah,"
"Apa?"
"Tinggalkan rumah. Datanglah ke Mas!"
"A-apa?" aku terkejut mendengar permintaan Mas Bram.
"Jika Manda mencintai Mas, tinggalkan saja rumah. Tolak lamaran itu. Datanglah ke Mas!" ucap Mas Bram dengan nada suara meninggi.
"Ba-bagaimana bisa ... Mas menyuruh Manda berbuat seperti itu?"
"Jika orang tua Manda tidak memberi kita pilihan lain, Manda juga harus melakukan hal yang sama pada mereka," ucap Mas Bram dengan ketus.
"Mas ...! Manda tidak mau! Manda tidak mau membuat sedih Bapak dan Ibu. Manda tidak mau menjadi anak durhaka!" aku menolak dengan tegas.
"Jadi Manda mau terima begitu saja?! Manda mau berpisah dengan, Mas?!"
"Iya! Iya, Mas! Manda lebih pilih berpisah dengan Mas, daripada harus membuat malu Bapak dan Ibu! Manda tidak menyangka Mas Bram bisa bicara seperti itu. Manda kecewa sama Mas Bram," tak terasa air mataku menetes.
"Nda ... Mas minta maaf jika Mas sudah menyinggung perasaan Manda. Bukan itu maksud Mas," ucapan Mas Bram mulai melunak.
"Sudah, Mas Bram. Sampai sini saja kita," aku mengusap air mataku.
"Nda ...?"
"Makasih Mas sudah mencintai Manda. Tapi maaf ... hubungan kita harus berakhir sekarang. Selamat tinggal, Mas Bram," aku segera mematikan telponku.
Tega sekali Mas Bram menyuruhku berbuat begitu. Aku benar-benar kecewa. Mas Bram sudah berubah. Mas Bram yang dulu tidak akan berkata seperti itu.
Mungkin inilah jalan yang harus kuambil. Mungkin Mas Bram bukan pilihan yang baik bagiku.
Seminggu setelah Bapak memberikan kabar baik pada Pak Hendra, mereka sekeluarga datang lagi ke rumah untuk melamarku. Bapak dan Ibu mengundang keluarga besar kami untuk menyambut kedatangan Pak Hendra sekeluarga.Aku berada di dalam kamarku bersama Ayu dan sepupuku, Mba Dian. Hari ini aku didandani oleh Mba Dian. Dia merias wajahku dan menyanggul rambutku. Aku mengenakan baju gamis warna pink dengan hiasan brokat. Kebetulan Mba Dian adalah perias pengantin. Dia memberikan jasa makeup gratis untuk acara lamaranku dan juga di hari pernikahan. Kata Mba Dian, ini adalah hadiah pernikahan yang bisa diberikannya. Alhamdulillah terima kasih, Mba Dian.Aku bisa mendengar suara gelak tawa orang-orang dari balik pintu. Apa salah satu suara tawa itu milik Arman? Sebelumnya aku hanya melihat wajahnya di foto dan hari ini kami akan bertemu.Ibu masuk ke dalam kamarku. Ibu membawaku keluar untuk menemui para tamu. Di ruangan yan
Malam pun tiba. Aku sudah berganti pakaian dan menghapus riasanku. Aku hanya memoles wajahku dengan riasan yang ringan saja. Rambut panjangku sengaja ku urai. Baju tidur yang kukenakan adalah hadiah lamaran waktu itu. Baju tidur kimono berbahan sutra yang terkesan sangat mahal. Dan rasanya baju tidur ini terlihat sangat seksi. Aku tidak nyaman memakainya. Roknya terlalu pendek. Bagian bahu dan dadanya terbuka. Awalnya aku menolak memakainya, tapi Ibu memaksaku.Aku duduk di atas ranjangku yang dibungkus dengan sprei sutra berwarna putih tulang. Aku menunggu dengan gelisah di dalam kamar. Menunggu Mas Arman yang akan masuk ke sini. Membayangkan apa yang akan terjadi padaku malam ini, membuat pipiku merah merona.Tok ... tok ... suara pintu kamarku diketuk. Gagang pintu dibuka pelan. Mas Arman! Dia di sini. Seketika jantungku berdegup kencang. Keringat dingin membasahi badanku. Aku tidak berani menatapnya. Aku menundukkan kepalaku.&nbs
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya aku tiba di rumah Mas Arman.Rumah putih yang besar. Halaman depan rumahnya juga sangat luas. Area parkir mobilnya bisa muat sampai 10 mobil lebih. Tamannya cantik dan terawat rapi."Ayo, Manda," ajak Kak Tamara. Dia mengapit lenganku, mengajak masuk ke dalam rumah.Aku tercengang begitu masuk ke dalam. Waaah, apa ini mimpi? Rumahnya seperti istana. Desain rumahnya bergaya Eropa dengan nuansa warna putih. Aku tidak pernah membayangkan akan masuk ke istana seperti ini. Apa di sinikah aku akan tinggal?"Manda," panggilan Nenek membuyarkan lamunanku."Iya, Nek?" sahutku."Kamu istirahatlah di kamarmu. Kamu pasti capek," ujar Nenek, "Arman, antar istrimu ke kamar," pintanya pada Mas Arman, yang sedang menggandeng ta
"Non ... Non Manda ...," samar-samar aku mendengar suara memanggilku. Kubuka mataku perlahan. Seseorang berdiri di depanku."Jam berapa ini?" tanyaku dengan sedikit malas."Jam 6 pagi, Non," jawabnya.Aku bangun perlahan dari tidurku. Mataku masih setengah terbuka. Kenapa badanku sakit semua? Aku melihat ke sekeliling. Ini dimana? Aku terperanjat begitu aku menyadarinya. Ya ampun! Aku tertidur di sofa teras belakang."Gimana ini?!" seketika aku berlari masuk ke dalam rumah. Aduuh, sudah pagi. Kenapa aku bisa tertidur di luar? Bagaimana jika ada yang melihatku?"Lho, Manda? Kamu darimana?" aku berpapasan dengan Kak Tamara."Ah ... i-itu ... Manda dari teras belakang, Kak," jawabku dengan gugup."Sedang apa di teras belakang sepagi ini?" selidik Kak Tamara."I ... itu ...," aku menoleh ke belakang dan aku melihat orang
Beberapa orang sedang sibuk di dapur. Aku mengenal salah satunya, Kiki. Sepertinya mereka belum melihat kehadiranku."Ha-halo ....," sapaku.Mereka semua menoleh."Non Manda, ada yang bisa kami bantu?" seorang wanita setengah baya bergegas menghampiriku."Tidak, aku tidak perlu apa-apa. Aku merasa bosan saja karena tidak melakukan apa-apa. Ada yang bisa aku bantu di sini?" aku menawarkan tenagaku."Oh ... tidak ada Non. Kami bisa mengerjakannya sendiri. Sudah tugas kami," wanita ini menolakku secara halus."Kita belum berkenalan. Nama ibu siapa?""Nama saya Sari, Non. Di sini biasa dipanggil Bi Sari," jawabnya memperkenalkan diri. Lalu dia mulai memperkenalkan masing-masing pembantu lainnya.Ada satu wajah yang tidak asing bagiku, "Santi?" tanyaku.Dia menjawabku sambil menunduk. Ternyata aku tida
Aku keluar dari kamar Nenek ketika berpapasan dengan Mama mertuaku."Sedang apa?" tanyanya dengan nada sedikit ketus."Abis mengantarkan Nenek buat istirahat siang, Ma," jawabku."Ikut Mama. Ada yang mau Mama bicarakan," perintahnya.Aku mengangguk dan mengikutinya. Mama Andien duduk di sofa ruang keluarga. Aku berdiri menunggunya bicara."Kenapa berdiri? Duduk," perintahnya.Aku segera menurutinya. Aku takut pada Mama mertuaku ini. Sejak pertama kali kami bertemu, Mama Andien tidak pernah menunjukkan sikap ramah padaku."Besok Nenek mau mengadakan acara makan siang dengan tetangga di sini. Mama juga mengundang beberapa teman Mama. Nenek ingin memperkenalkanmu pada mereka,"Aku diam dan hanya mendengarkan Mama Andien bicara."Mama hanya ingin memperingatkanmu. Mereka yang diundang ini adalah para
Tak terasa hari ini pernikahanku sudah berusia 2 tahun. Selama 2 tahun ini banyak hal yang sudah terjadi. Aku masih tinggal bersama mertuaku dan Nenek. Mas Arman masih berada di Amerika. Dia belum pernah pulang sejak kepergiannya waktu itu. Selalu ada alasan dia belum bisa kembali ke rumah.Selama 2 tahun inipun, kami jarang berkomunikasi. Mas Arman tidak pernah menghubungiku, dan aku juga tidak berani menghubunginya karena aku takut ditolak. Kami hanya mengobrol ketika Mas Arman sedang video call-an dengan Nenek, di ponsel milik Nenek. Obrolan kamipun hanya sekedar bertegur sapa dan basa-basi saja. Walaupun kami tidak pernah membuat kesepakatan sebelumnya, tapi saat di dekat Nenek, kami bersikap seolah-olah pernikahan kami baik-baik saja.Selama 2 tahun ini juga, aku mengisi hari-hariku dengan mengikuti beberapa kursus. Papa Hendra mendaftarkanku di kelas baking. Menurut Papa, aku punya bakat membuat roti dan kue. Karena itu, Papa ingin aku
Malam ini hanya aku dan Mas Arman yang menemani Nenek di rumah sakit. Kami duduk berseberangan. Jarak kami hanya dipisahkan oleh ranjang yang ditiduri Nenek. Kami duduk dalam keheningan.Mas Arman menatap Nenek dengan sorot mata kesedihan. Tangannya mengenggam tangan Nenek. Aku hanya bisa menatapnya. Menatap suamiku yang sudah lama tidak pulang. Mas Arman tampak sehat. Aku ingin sekali menanyakan kabarnya. Tapi aku tidak berani. Sejak pertama masuk ke kamar ini, dia bahkan tidak melihatku. Seolah-olah aku ini tak ada."Apa ada masalah di rumah?" suara Mas Arman memecahkan keheningan."... Tidak ada, Mas," aku senang akhirnya Mas Arman mengajakku bicara, walaupun dia sama sekali tidak menoleh ke arahku."Bagaimana Nenek bisa terkena serangan jantung?""Manda juga tidak tahu, Mas. Hari itu Nenek terlihat sehat dan ceria seperti biasanya. Tiba-tiba malam itu, Nenek tidak sadar