Share

Perjodohan

Karena pernyataan cinta Mas Bram, membuatku tidak bisa tidur nyenyak semalam. Aku memikirkan jawaban apa yang harus kusampaikan padanya. Sebenarnya aku senang sekali karena ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.

Aku meminta pendapat Ayu tentang masalahku ini. Ayu sangat girang mendengarnya. Dia menyuruhku untuk menerima Mas Bram.

"Apa aku pantas untuk Mas Bram?" tanyaku dengan ragu.

"Ya ampun, Nda. Apanya yang gak pantas?! Kalau Mas Bram sudah bilang suka, berarti dia pikir kamu pantas untuknya,"

"Tapi ....,"

"Gak ada tapi-tapian! Terima, Nda. Atau nanti kamu akan menyesal," desak Ayu.

Setelah berpikir panjang, akhirnya aku memutuskan untuk menemui Mas Bram. Sehari sebelum dia kembali ke Yogya, kami janjian bertemu di alun-alun. Kami duduk di bawah pohon beringin yang rindang. Dan di sanalah, aku menerima cinta Mas Bram.

***

Dua minggu kemudian ....

"Assalamu'alaikum," ucapku ketika memasuki rumah.

"W*'alaikumsalam," jawab Bapak dan Ibu dari ruang tamu.

"Kok pulangnya telat, Nda? Udah mau maghrib," tanya Ibu.

"Iya, Bu. Tadi diajak Ayu ke toko aksesoris dulu," jawabku setelah mengecup punggung tangan Bapak dan Ibu.

"Nda, Bapak dan Ibu ada kabar baik buatmu," ucap Ibu dengan raut wajah gembira.

"Kabar apa, Bu?" tanyaku penasaran.

"Nanti saja ceritanya. Bentar lagi adzan Maghrib. Abis sholat Maghrib, kita baru bicara," ujar Bapak.

Ada apa ya? Ibu terlihat gembira sekali, sedangkan raut wajah Bapak tampak serius. Ini kabar baik atau buruk sebenarnya?

***

Aku sedang merapikan mukena dan sajadahku, ketika Ibu masuk ke dalam kamarku.

"Sudah sholatnya?" tanya Ibu dengan tersenyum senang.

Aku mengangguk. Lalu Ibu menarik tanganku dengan lembut. Ibu membawaku ke ruang tengah, dimana Bapak sedang duduk sambil merokok menunggu kami. Ibu menggiringku duduk di sebelahnya.

"Ada yang mau Bapak dan Ibu sampaikan sama kamu, Nda," ujar Bapak setelah mematikan putung rokoknya di dalam asbak, "Tadi Pak Hendra dan Mas Daniel datang ke rumah,"

"Pak Hendra?" tanyaku.

"Itu lho, Nda. Anaknya Ibu Rosa," jawab Ibu mengingatkanku.

"Tujuan mereka ke sini karena mereka ingin menjalin hubungan keluarga dengan kita," ucap Bapak kemudian.

"Hubungan keluarga? Maksudnya?" tanyaku yang masih belum mengerti arah pembicaraan Bapak.

"Mereka ingin melamarmu,"

Sontak aku terkejut. Apa aku tidak salah dengar. Melamarku?

"Ibu dan Bapak juga sama kagetnya denganmu, Nda. Kita sampai gak bisa berkata-kata," ujar Ibu dengan nada riang, "Alhamdulillah ada keluarga kaya raya yang menginginkanmu jadi mantunya,"

"Bu, jangan berlebihan seperti itu. Kasih Manda kesempatan buat bicara," tegur lembut Bapak.

"Mau bicara apalagi, Pak. Manda pasti terima," jawab Ibu dengan yakin, "Iya kan, Nda?" Ibu menatapku dengan penuh harap.

Bagaimana ini? Ibu kelihatan bahagia sekali. Sedangkan Bapak ... aku tidak tahu apa yang dipikirkan Bapak. Apa Bapak juga senang sama seperti Ibu? Lidahku mendadak kelu. Aku tidak bisa bicara. Aku bingung.

"Nda, apa kamu mau menerima lamaran ini?" tanya Bapak pelan.

"P ... Pak, Manda ... ti-tidak bisa,"

"Apa!?" seketika raut keceriaan Ibu hilang.

"Pak ... Bu ... ma-maaf ... Manda tidak bisa menerima lamaran ini," jawabku dengan terbata-bata. Aku tahu jawabanku ini pasti mengecewakan Bapak dan Ibu.

"Kenapa tidak bisa?"

"Bu, tenanglah. Biar Manda menjelaskan dulu," ucap Bapak dengan pelan.

"Nda, kenapa kamu menolak? Apa ada orang yang kamu sukai?" tanya Bapak dengan lembut padaku.

Aku mengangguk sambil menundukkan kepala.

"Siapa?" tanya Bapak.

"Mas Bram, Pak,"

"Bram? Bram anaknya Pak Bambang Kades itu?" tanya Ibu ingin lebih yakin.

Aku mengangguk.

"Apa kalian berpacaran?" tanya Ibu penuh selidik.

Sekali lagi aku mengangguk.

"Sejak kapan?"

"Bu, tenang sedikit,"

"Ibu gak bisa tenang, Pak. Manda baru saja menolak lamaran dari keluarga Pak Hendra gara-gara Bram. Ibu perlu tahu bagaimana hubungan mereka," ujar Ibu dengan nada suara agak meninggi.

"Bu, Manda dan Mas Bram baru jadian 2 minggu yang lalu. Kami saling suka," jawabku pelan, mencoba tidak memancing emosi Ibu.

"Ya ampun, Nda. Baru jadian aja udah percaya sama Bram. Kamu yakin Bram bakal melamar kamu?" desak Ibu.

"Bu, kalau soal itu Manda gak tahu,"

"Ya berarti gak jelas hubungan kalian. Sekarang Bram ada di Yogya, kamu di sini. Trus kalian berpacaran jarak jauh. Mau sampai kapan hubungan kalian seperti ini? Sementara sekarang ada yang lebih jelas. Ada yang mau melamarmu,"

"Bu, Manda mohon beri kesempatan Manda dan Mas Bram menjalani hubungan kami," pintaku. Mataku mulai berkaca-kaca.

"Nda, Bapak dan Ibu menyayangimu. Bapak dan Ibu menginginkan yang terbaik buatmu. Ada pemuda dari keluarga baik-baik dengan status sosial tinggi ingin memperistrimu. Masa depanmu akan lebih baik bersamanya, Nda. Kesempatan langka ini jangan disia-siakan," ucap Ibu dengan nada suara yang tak lagi tinggi.

"Bu, tapi Manda tidak mengenal pemuda itu. Bagaimana bisa Manda menikahinya?" suaraku bergetar menahan tangis.

Ibu membelai lembut rambutku, "Nda, cinta bisa dibangun setelah menikah. Banyak perempuan yang mengenal dan mencintai suaminya setelah menikah. Kamu gak perlu khawatir soal itu,"

"In syaa Allah Arman akan menjadi suami yang baik untukmu, Nda," ucap Bapak.

Aku tidak bisa lagi membendung kesedihanku. Air mataku mulai menetes membasahi pipi. Bapak dan Ibupun terdiam melihatku menangis.

"Begini saja, Nda," ucap Bapak setelah menghela nafas panjang, "Kamu percaya sama Bram?"

"Pak ... ?" protes Ibu dengan lirih.

Bapak mengangkat jari telunjuknya, memberi isyarat pada Ibu untuk diam.

"Bapak akan memberimu kesempatan. Tanyakan pada Bram, kemana hubungan kalian akan berlanjut. Jika Bram serius denganmu, minta dia melamarmu. Bapak akan memberimu waktu 2 hari. Sama seperti waktu yang diberikan oleh Pak Hendra kepada Bapak," ujar Bapak dengan tegas.

"Ta-tapi, Pak ....," aku merasa keberatan dengan permintaan Bapak.

"Jika Bram serius, maka Bapak akan membatalkan perjodohanmu dengan Arman. Jika tidak ada jawaban dari Bram, maka kamu harus menerima lamaran ini,"

Setelah memberi syarat yang tegas, Bapak dan Ibu bangkit dari kursinya lalu meninggalkanku sendirian di ruang tengah. Bapak dan Ibu tidak memberiku kesempatan untuk menolak syarat yang mereka ajukan. Tangisku kembali pecah. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

***

"Apa?! 2 hari?" pekik Ayu.

Hari ini aku janjian bertemu dengan Ayu di warung bakso langganan kami. Aku menceritakan soal lamaran dan persyaratan yang diminta Bapak.

"Syarat yang Bapakmu minta itu berat, Nda. Kalian baru jadian 2 minggu. Masa Bram udah disuruh melamarmu,"

"Kata Bapak, jika Mas Bram mencintaiku, dia pasti mau melamarku,"

"Kalau gak mau?"

Pertanyaan Ayu membuat keyakinanku langsung menciut. Aku jadi tidak punya nyali untuk bertanya pada Mas Bram.

"Waktu itu aku menyuruhmu menerima Bram. Itu sebelum Arman melamarmu. Sekarang situasinya rumit. Mau gak mau kamu harus memilih. Arman atau Bram,"

"Aku gak kenal Arman. Bagaimana sifatnya, kepribadiannya. Apa aku bisa mencintainya. Sedangkan Mas Bram, aku mengenalnya sejak masih sekolah. Aku menyukainya. Tapi aku belum tahu apa hubungan kami akan berlanjut ke pernikahan," ujarku dengan perasaan galau.

"Aku bukannya membela orang tuamu, Nda. Tapi apa yang dikatakan oleh mereka ada benarnya. Jika ada yang lebih pasti di depan mata, kenapa harus mengejar yang belum pasti,"

Aku terdiam sejenak. Aku sependapat dengan Ayu. Bapak dan Ibu memikirkan masa depanku. Mereka peduli padaku. Aku tidak mau mengecewakan mereka. Jadi, aku akan melakukannya.

"Aku akan menelpon Mas Bram," ujarku kemudian, "Tidak ada pilihan lain. Aku harus tahu jawabannya. Entah aku akan sedih atau senang mendengarnya. Aku sudah siap,"

***

Mohon suppornya ya dear readers 😊 follow cerita ini, klik like, dan tinggalkam jejak di komen.. Makasih

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status