Seminggu setelah Bapak memberikan kabar baik pada Pak Hendra, mereka sekeluarga datang lagi ke rumah untuk melamarku. Bapak dan Ibu mengundang keluarga besar kami untuk menyambut kedatangan Pak Hendra sekeluarga.
Aku berada di dalam kamarku bersama Ayu dan sepupuku, Mba Dian. Hari ini aku didandani oleh Mba Dian. Dia merias wajahku dan menyanggul rambutku. Aku mengenakan baju gamis warna pink dengan hiasan brokat. Kebetulan Mba Dian adalah perias pengantin. Dia memberikan jasa makeup gratis untuk acara lamaranku dan juga di hari pernikahan. Kata Mba Dian, ini adalah hadiah pernikahan yang bisa diberikannya. Alhamdulillah terima kasih, Mba Dian.
Aku bisa mendengar suara gelak tawa orang-orang dari balik pintu. Apa salah satu suara tawa itu milik Arman? Sebelumnya aku hanya melihat wajahnya di foto dan hari ini kami akan bertemu.
Ibu masuk ke dalam kamarku. Ibu membawaku keluar untuk menemui para tamu. Di ruangan yang sudah ditata rapi untuk acara lamaran, banyak orang yang sudah berkumpul. Aku tertunduk malu saat semua mata memandangku. Apakah riasanku cantik atau jelek? Aku tidak suka menjadi pusat perhatian. Membuatku tegang saja.
Aku duduk di sebelah Bapak. Bapak mengenakan kemeja batik yang warnanya serasi dengan gamis yang dipakai oleh Ibu. Aku duduk diapit oleh Bapak dan Ibu.
Bapak memperkenalkan satu per satu anggota keluarga Pak Hendra. Aku sudah bertemu Ibu Rosa, Daniel, dan Tamara sebelumnya. Hari ini aku baru bertemu dengan Pak Hendra dan istrinya. Pak Hendra terlihat baik dan murah senyum. Sedangkan istrinya, entahlah apa ini hanya perasaanku saja, tapi cara dia memandangku terasa tidak ramah.
Pandangan mataku mencari sosok Arman. Apa dia tidak datang? Aku tidak menemukannya di antara para tamu.
"Nda, Nak Arman tidak bisa datang," ujar Bapak, seolah tahu aku sedang mencari calon suamiku.
"Arman tidak bisa datang. Karena dia masih karyawan baru, jadi belum bisa ambil cuti. Jadi kami mewakilinya untuk acara lamaran ini," Pak Hendra menjelaskan.
Karyawan baru? Bukankah Pak Hendra yang memiliki perusahaan? Kenapa tidak bisa memberikan cuti pada anaknya? Atau Arman tidak bekerja di perusahaan ayahnya?
Dan akhirnya acara lamaran berlangsung tanpa kehadiran Arman. Aku sangat kecewa tidak bisa bertemu dengan Arman dan berkenalan dengannya. Mungkin kami akan bertemu di acara pernikahan kami. Semoga saja ...
***
Hari-hari berlalu, tanpa terasa hari pernikahanku akan digelar besok. Suasana rumah menjadi ramai. Beberapa pekerja dekorasi pernikahan sedang sibuk menghias rumah kami, yang akan dijadikan tempat acara. Untuk cateringnya, kami dibantu oleh para tetangga dan anggota keluarga lainnya. Bapak sudah menyiapkan halaman belakang kami untuk menjadi area dapur umum. Kamarku juga sudah dihias dengan nuansa warna pink. Aku suka dengan dekorasinya. Kamarku seketika berubah seperti kamar seorang putri kerajaan. Dan besok aku akan menjadi Putri Sehari.
***
Malam ini aku tidak bisa tidur. Aku memikirkan acara pernikahanku besok. Semoga acaranya lancar.
Ibu Rosa tidak ingin menunda terlalu lama pernikahanku dengan Arman. Jadi saat acara lamaran, Bu Rosa meminta pernikahan dilangsungkan 2 bulan kemudian. Walaupun rasanya terlalu cepat bagiku, tapi Bapak menyanggupinya.
Setelah acara lamaran waktu itu, aku belum pernah bertemu Arman. Bahkan saling bersapa lewat telepon atau chat saja tidak pernah. Padahal waktu itu Tamara sudah meminta nomor ponselku untuk diberikan pada Arman. Begitu juga sebaliknya. Tamara memberikan nomor ponsel Arman padaku. Aku tidak tahu kenapa Arman sama sekali tidak menghubungiku. Apa dia tidak penasaran dengan calon istrinya ini? Masa harus aku duluan yang mulai menelponnya?
Aku membuka galeri di ponselku. Kupandangi wajah Arman. Aku tidak menyangka pria seganteng ini akan menjadi suamiku. Aku tidak pernah berpikir akan menjadi istri dari seorang Pangeran. Aku sadar diri. Siapa aku yang berani bermimpi setinggi itu? Tapi Allah begitu baik. DIA menghadiahkanku seorang pria, yang bahkan tidak berani aku gapai dalam mimpi. Semoga pernikahan kami langgeng dan aku bisa menjadi istri yang baik untuknya.
***
"Dia datang!" seru Ayu tiba-tiba ketika masuk ke dalam kamarku.
Aku, Mba Dian dan asistennya menoleh ke arah Ayu hampir bersamaan.
"Siapa?" tanyaku.
"Armaaann," Ayu menyebut namanya dengan riang.
Aku terperanjat mendengarnya. Tanpa sadar aku langsung beranjak dari kursi, dan hendak berlari keluar kamar.
"Ndaa, mau kemana?! Riasanmu belum selesai," tegur Mba Dian.
Aku lupa kalau aku sedang didandani oleh Mba Dian. Karena mendengar Arman datang, aku jadi tidak sabar ingin menemuinya. Aku meringis malu. Mba Dian bertolak pinggang sambil menggelengkan kepalanya. Dan Ayu hanya menertawaiku.
Akhirnya selesai juga riasanku. Ternyata riasan pengantin itu lama dan ribet. Harus pakai ini dan itu. Walaupun hanya duduk saja, rasanya badanku sudah capek. Aku mengenakan kebaya pengantin putih. Rambutku disanggul dengan hiasan bunga melati di atasnya. Tema riasan dan bajuku adalah pengantin Jawa.
Cantik! Aku memandangi wajahku di cermin. Apa ini beneran aku? Bukan wajah orang lain yang tertukar, kan? Sepertinya aku harus belajar memakai makeup dengan Mba Dian. Dia pandai sekali merias.
***
Acara ijab kabul akan dimulai. Ibu dan Bibiku membawaku ke tempat acara. Dari kejauhan aku bisa melihat punggung Arman. Dia memakai setelan jas berwarna putih. Arman duduk berhadapan dengan Bapak dan Penghulu. Di samping kanan kirinya ada Daniel dan Pamanku sebagai saksi pernikahan.
Aku duduk di sebelah Arman. Akhirnya aku bisa melihat wajah Arman dari dekat. Aku mencuri pandang ke arahnya. Lebih ganteng aslinya. Tapi dia sama sekali tidak menoleh ke arahku. Apa dia pemalu?
"Bisa kita mulai acaranya?" Pak penghulu meminta ijin.
Bapak mengangguk. Dan acara ijab kabul pun dimulai. Jantungku berdegup kencang ketika mendengar suara Arman untuk pertama kalinya, mengucapkan ijab kabulnya. Aku meneteskan air mata ketika mengaminkan do'a setelah ijab kabul. Air mata kebahagiaan. Lega rasanya acara puncak berjalan dengan khidmat dan lancar.
Aku dan Arman duduk bersanding di kursi pelaminan. Para tamu undangan datang silih berganti menyalami kami, memberikan ucapan selamat, dan mendoakan yang terbaik untuk kehidupan kami yang baru. Selama duduk bersebelahan, Arman sama sekali tidak menoleh ke arahku, bahkan mengajakku mengobrolpun tidak. Kami benar-benar seperti orang asing. Apakah Arman menyetujui pernikahan ini? Karena aku tidak melihat ada ekpresi bahagia di wajahnya. Raut wajahnya datar dan dingin. Semoga ini hanya perasaanku saja
Malam pun tiba. Aku sudah berganti pakaian dan menghapus riasanku. Aku hanya memoles wajahku dengan riasan yang ringan saja. Rambut panjangku sengaja ku urai. Baju tidur yang kukenakan adalah hadiah lamaran waktu itu. Baju tidur kimono berbahan sutra yang terkesan sangat mahal. Dan rasanya baju tidur ini terlihat sangat seksi. Aku tidak nyaman memakainya. Roknya terlalu pendek. Bagian bahu dan dadanya terbuka. Awalnya aku menolak memakainya, tapi Ibu memaksaku.Aku duduk di atas ranjangku yang dibungkus dengan sprei sutra berwarna putih tulang. Aku menunggu dengan gelisah di dalam kamar. Menunggu Mas Arman yang akan masuk ke sini. Membayangkan apa yang akan terjadi padaku malam ini, membuat pipiku merah merona.Tok ... tok ... suara pintu kamarku diketuk. Gagang pintu dibuka pelan. Mas Arman! Dia di sini. Seketika jantungku berdegup kencang. Keringat dingin membasahi badanku. Aku tidak berani menatapnya. Aku menundukkan kepalaku.&nbs
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya aku tiba di rumah Mas Arman.Rumah putih yang besar. Halaman depan rumahnya juga sangat luas. Area parkir mobilnya bisa muat sampai 10 mobil lebih. Tamannya cantik dan terawat rapi."Ayo, Manda," ajak Kak Tamara. Dia mengapit lenganku, mengajak masuk ke dalam rumah.Aku tercengang begitu masuk ke dalam. Waaah, apa ini mimpi? Rumahnya seperti istana. Desain rumahnya bergaya Eropa dengan nuansa warna putih. Aku tidak pernah membayangkan akan masuk ke istana seperti ini. Apa di sinikah aku akan tinggal?"Manda," panggilan Nenek membuyarkan lamunanku."Iya, Nek?" sahutku."Kamu istirahatlah di kamarmu. Kamu pasti capek," ujar Nenek, "Arman, antar istrimu ke kamar," pintanya pada Mas Arman, yang sedang menggandeng ta
"Non ... Non Manda ...," samar-samar aku mendengar suara memanggilku. Kubuka mataku perlahan. Seseorang berdiri di depanku."Jam berapa ini?" tanyaku dengan sedikit malas."Jam 6 pagi, Non," jawabnya.Aku bangun perlahan dari tidurku. Mataku masih setengah terbuka. Kenapa badanku sakit semua? Aku melihat ke sekeliling. Ini dimana? Aku terperanjat begitu aku menyadarinya. Ya ampun! Aku tertidur di sofa teras belakang."Gimana ini?!" seketika aku berlari masuk ke dalam rumah. Aduuh, sudah pagi. Kenapa aku bisa tertidur di luar? Bagaimana jika ada yang melihatku?"Lho, Manda? Kamu darimana?" aku berpapasan dengan Kak Tamara."Ah ... i-itu ... Manda dari teras belakang, Kak," jawabku dengan gugup."Sedang apa di teras belakang sepagi ini?" selidik Kak Tamara."I ... itu ...," aku menoleh ke belakang dan aku melihat orang
Beberapa orang sedang sibuk di dapur. Aku mengenal salah satunya, Kiki. Sepertinya mereka belum melihat kehadiranku."Ha-halo ....," sapaku.Mereka semua menoleh."Non Manda, ada yang bisa kami bantu?" seorang wanita setengah baya bergegas menghampiriku."Tidak, aku tidak perlu apa-apa. Aku merasa bosan saja karena tidak melakukan apa-apa. Ada yang bisa aku bantu di sini?" aku menawarkan tenagaku."Oh ... tidak ada Non. Kami bisa mengerjakannya sendiri. Sudah tugas kami," wanita ini menolakku secara halus."Kita belum berkenalan. Nama ibu siapa?""Nama saya Sari, Non. Di sini biasa dipanggil Bi Sari," jawabnya memperkenalkan diri. Lalu dia mulai memperkenalkan masing-masing pembantu lainnya.Ada satu wajah yang tidak asing bagiku, "Santi?" tanyaku.Dia menjawabku sambil menunduk. Ternyata aku tida
Aku keluar dari kamar Nenek ketika berpapasan dengan Mama mertuaku."Sedang apa?" tanyanya dengan nada sedikit ketus."Abis mengantarkan Nenek buat istirahat siang, Ma," jawabku."Ikut Mama. Ada yang mau Mama bicarakan," perintahnya.Aku mengangguk dan mengikutinya. Mama Andien duduk di sofa ruang keluarga. Aku berdiri menunggunya bicara."Kenapa berdiri? Duduk," perintahnya.Aku segera menurutinya. Aku takut pada Mama mertuaku ini. Sejak pertama kali kami bertemu, Mama Andien tidak pernah menunjukkan sikap ramah padaku."Besok Nenek mau mengadakan acara makan siang dengan tetangga di sini. Mama juga mengundang beberapa teman Mama. Nenek ingin memperkenalkanmu pada mereka,"Aku diam dan hanya mendengarkan Mama Andien bicara."Mama hanya ingin memperingatkanmu. Mereka yang diundang ini adalah para
Tak terasa hari ini pernikahanku sudah berusia 2 tahun. Selama 2 tahun ini banyak hal yang sudah terjadi. Aku masih tinggal bersama mertuaku dan Nenek. Mas Arman masih berada di Amerika. Dia belum pernah pulang sejak kepergiannya waktu itu. Selalu ada alasan dia belum bisa kembali ke rumah.Selama 2 tahun inipun, kami jarang berkomunikasi. Mas Arman tidak pernah menghubungiku, dan aku juga tidak berani menghubunginya karena aku takut ditolak. Kami hanya mengobrol ketika Mas Arman sedang video call-an dengan Nenek, di ponsel milik Nenek. Obrolan kamipun hanya sekedar bertegur sapa dan basa-basi saja. Walaupun kami tidak pernah membuat kesepakatan sebelumnya, tapi saat di dekat Nenek, kami bersikap seolah-olah pernikahan kami baik-baik saja.Selama 2 tahun ini juga, aku mengisi hari-hariku dengan mengikuti beberapa kursus. Papa Hendra mendaftarkanku di kelas baking. Menurut Papa, aku punya bakat membuat roti dan kue. Karena itu, Papa ingin aku
Malam ini hanya aku dan Mas Arman yang menemani Nenek di rumah sakit. Kami duduk berseberangan. Jarak kami hanya dipisahkan oleh ranjang yang ditiduri Nenek. Kami duduk dalam keheningan.Mas Arman menatap Nenek dengan sorot mata kesedihan. Tangannya mengenggam tangan Nenek. Aku hanya bisa menatapnya. Menatap suamiku yang sudah lama tidak pulang. Mas Arman tampak sehat. Aku ingin sekali menanyakan kabarnya. Tapi aku tidak berani. Sejak pertama masuk ke kamar ini, dia bahkan tidak melihatku. Seolah-olah aku ini tak ada."Apa ada masalah di rumah?" suara Mas Arman memecahkan keheningan."... Tidak ada, Mas," aku senang akhirnya Mas Arman mengajakku bicara, walaupun dia sama sekali tidak menoleh ke arahku."Bagaimana Nenek bisa terkena serangan jantung?""Manda juga tidak tahu, Mas. Hari itu Nenek terlihat sehat dan ceria seperti biasanya. Tiba-tiba malam itu, Nenek tidak sadar
"Pak Hendra, kami sekeluarga turut berduka atas meninggalnya Bu Rosa. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran, dan Almarhummah dimaafkan segala dosanya dan diberi tempat yang terbaik di surga," ucap Bapak pada Papa."Aamiin. Terima kasih, Pak Wirjo,""Maaf, Pak Hendra. Kami tidak bisa datang tepat waktu untuk pemakaman Bu Rosa,""Tidak apa, Pak Wirjo. Bapak sekeluarga sudah datang ke sini saja, sudah cukup bagi kami,"Bapak datang bersama Ibu, Surya, Adi, Ayu, dan teman Bapak. Mereka baru saja tiba siang ini. Bapak mencarter mobil untuk ke Jakarta. Karena Bapak tidak bisa menyetir, Bapak mengajak temannya untuk membawa mobil."Kalian pasti lelah setelah perjalanan jauh. Sebaiknya istirahat dulu,""Maaf merepotkan Pak Hendra,""Tidak sama sekali, Pak Wirjo. Kita ini satu keluarga. Tidak perlu sungkan,""Mand