"Non ... Non Manda ...," samar-samar aku mendengar suara memanggilku. Kubuka mataku perlahan. Seseorang berdiri di depanku.
"Jam berapa ini?" tanyaku dengan sedikit malas.
"Jam 6 pagi, Non," jawabnya.
Aku bangun perlahan dari tidurku. Mataku masih setengah terbuka. Kenapa badanku sakit semua? Aku melihat ke sekeliling. Ini dimana? Aku terperanjat begitu aku menyadarinya. Ya ampun! Aku tertidur di sofa teras belakang.
"Gimana ini?!" seketika aku berlari masuk ke dalam rumah. Aduuh, sudah pagi. Kenapa aku bisa tertidur di luar? Bagaimana jika ada yang melihatku?
"Lho, Manda? Kamu darimana?" aku berpapasan dengan Kak Tamara.
"Ah ... i-itu ... Manda dari teras belakang, Kak," jawabku dengan gugup.
"Sedang apa di teras belakang sepagi ini?" selidik Kak Tamara.
"I ... itu ...," aku menoleh ke belakang dan aku melihat orang yang membangunkanku sedang berdiri di belakangku, "Manda ... abis olahraga, Kak,"
"Kenapa kamu masih memakai baju yang semalam?" Kak Tamara menatapku dengan bingung.
"Manda ... gak bawa baju olahraga, Kak. Jadi ... pake baju ini. Ta-tanya saja sama dia .... Iya, kan?" aku memberi isyarat pada orang itu untuk mendukung ceritaku.
"Ah ... i-iya, Non Tamara. Nona Manda abis olahraga di teras belakang," jawabnya dengan nada gugup.
"Oo, gitu," untung Kak Tamara percaya, "Apa Arman sudah bangun?"
"Ini mau Manda bangunkan,"
"Oke," ujar Kak Tamara, lalu pergi meninggalkan kami berdua. Aku bisa bernafas lega sekarang.
"Makasih ya," ucapku pada orang itu, "Tolong jangan beritahu siapa-siapa kalau aku tertidur di belakang," pintaku dengan cemas.
"Iya Non. Jangan khawatir," jawabnya sambil tersenyum.
"Namamu siapa?"
"Kiki, Non. Saya pembantu di rumah ini,"
"Makasih ya, Ki,"
Lalu aku segera berjalan naik ke lantai atas. Aku membuka pintu kamarku perlahan. Aku berpikir mungkin Mas Arman sedang tidur. Ternyata aku salah. Mas Arman sudah berpakaian rapi. Dia memakai baju olahraga lengkap dengan sepatunya. Mas Arman sedang mengikat tali sepatu ketsnya ketika aku masuk ke dalam kamar.
Mas Arman menatapku. Pasti dia akan bertanya dimana aku tidur semalam. Sebelum dia bertanya, sebaiknya aku jelaskan terlebih dulu.
"Mas ....," belum sempat aku menjelaskan, Mas Arman pergi begitu saja meninggalkan kamar.
Apa dia tidak penasaran di mana aku tidur semalam? Atau dia marah padaku karena aku tidak masuk ke dalam kamar?
"Mas Arman ....," aku segera menyusulnya.
Mas Arman menghentikan langkahnya lalu berbalik ke arahku.
"Semalam ... maaf. Manda tertidur di luar," ujarku menjelaskan.
Mas Arman hanya diam seolah dia tidak peduli dengan penjelasanku.
"Tolong, siapkan baju ganti untukku. Aku akan olahraga sebentar," pintanya, kemudian pergi meninggalkanku.
Benar-benar dingin sikapnya padaku. Hanya itu saja yang dia katakan? Apa tidak ada rasa bersalah ketika membanting pintu di depan mukaku semalam? Mas Arman ... aku ini istrimu.
***
Pagi itu setelah semuanya selesai sarapan, kami berkumpul di depan rumah. Kak Daniel dan Kak Tamara beserta anak-anaknya akan mengantarkan Mas Arman ke bandara. Aku ingin ikut mengantar, tapi Mas Arman tidak mengijinkanku. Katanya, setelah dari bandara, Kak Daniel akan mengantarkan pulang anak istrinya ke rumahnya. Kak Daniel memiliki rumah sendiri, jadi dia dan keluarganya tidak tinggal bersama kami di sini. Jika aku ikut, malah merepotkan Kak Daniel, harus membawaku kembali kemari.
"Semoga cucuku ini sampai ke tujuan dalam keadaan sehat dan selamat," ucap Nenek sambil memeluk Mas Arman.
"Aamiin," jawab Mas Arman.
"Kabarin kami setelah sampai di sana," ucap mama mertuaku sambil memeluk anaknya.
"Iya, Ma. Pasti,"
"Pa ....," Mas Arman menjabat tangan Papa untuk berpamitan.
"Hati-hati di jalan," ucap Papa.
"Iya, Pa,"
Mas Arman melewati aku. Dia tidak berpamitan padaku. Sepertinya aku yang harus menyalaminya.
"Mas ....," panggilku ketika Mas Arman akan membuka pintu mobil.
Aku mendekatinya. Aku meraih tangan kanannya. Kukecup punggung tangan Mas Arman.
"Sampai jumpa lagi, Mas," ucapku sembari tersenyum.
Mas Arman terdiam sejenak. Lalu mengangguk dan membalas senyumanku. Aku senang sekali. Ini pertama kalinya Mas Arman tersenyum padaku.
Beberapa orang sedang sibuk di dapur. Aku mengenal salah satunya, Kiki. Sepertinya mereka belum melihat kehadiranku."Ha-halo ....," sapaku.Mereka semua menoleh."Non Manda, ada yang bisa kami bantu?" seorang wanita setengah baya bergegas menghampiriku."Tidak, aku tidak perlu apa-apa. Aku merasa bosan saja karena tidak melakukan apa-apa. Ada yang bisa aku bantu di sini?" aku menawarkan tenagaku."Oh ... tidak ada Non. Kami bisa mengerjakannya sendiri. Sudah tugas kami," wanita ini menolakku secara halus."Kita belum berkenalan. Nama ibu siapa?""Nama saya Sari, Non. Di sini biasa dipanggil Bi Sari," jawabnya memperkenalkan diri. Lalu dia mulai memperkenalkan masing-masing pembantu lainnya.Ada satu wajah yang tidak asing bagiku, "Santi?" tanyaku.Dia menjawabku sambil menunduk. Ternyata aku tida
Aku keluar dari kamar Nenek ketika berpapasan dengan Mama mertuaku."Sedang apa?" tanyanya dengan nada sedikit ketus."Abis mengantarkan Nenek buat istirahat siang, Ma," jawabku."Ikut Mama. Ada yang mau Mama bicarakan," perintahnya.Aku mengangguk dan mengikutinya. Mama Andien duduk di sofa ruang keluarga. Aku berdiri menunggunya bicara."Kenapa berdiri? Duduk," perintahnya.Aku segera menurutinya. Aku takut pada Mama mertuaku ini. Sejak pertama kali kami bertemu, Mama Andien tidak pernah menunjukkan sikap ramah padaku."Besok Nenek mau mengadakan acara makan siang dengan tetangga di sini. Mama juga mengundang beberapa teman Mama. Nenek ingin memperkenalkanmu pada mereka,"Aku diam dan hanya mendengarkan Mama Andien bicara."Mama hanya ingin memperingatkanmu. Mereka yang diundang ini adalah para
Tak terasa hari ini pernikahanku sudah berusia 2 tahun. Selama 2 tahun ini banyak hal yang sudah terjadi. Aku masih tinggal bersama mertuaku dan Nenek. Mas Arman masih berada di Amerika. Dia belum pernah pulang sejak kepergiannya waktu itu. Selalu ada alasan dia belum bisa kembali ke rumah.Selama 2 tahun inipun, kami jarang berkomunikasi. Mas Arman tidak pernah menghubungiku, dan aku juga tidak berani menghubunginya karena aku takut ditolak. Kami hanya mengobrol ketika Mas Arman sedang video call-an dengan Nenek, di ponsel milik Nenek. Obrolan kamipun hanya sekedar bertegur sapa dan basa-basi saja. Walaupun kami tidak pernah membuat kesepakatan sebelumnya, tapi saat di dekat Nenek, kami bersikap seolah-olah pernikahan kami baik-baik saja.Selama 2 tahun ini juga, aku mengisi hari-hariku dengan mengikuti beberapa kursus. Papa Hendra mendaftarkanku di kelas baking. Menurut Papa, aku punya bakat membuat roti dan kue. Karena itu, Papa ingin aku
Malam ini hanya aku dan Mas Arman yang menemani Nenek di rumah sakit. Kami duduk berseberangan. Jarak kami hanya dipisahkan oleh ranjang yang ditiduri Nenek. Kami duduk dalam keheningan.Mas Arman menatap Nenek dengan sorot mata kesedihan. Tangannya mengenggam tangan Nenek. Aku hanya bisa menatapnya. Menatap suamiku yang sudah lama tidak pulang. Mas Arman tampak sehat. Aku ingin sekali menanyakan kabarnya. Tapi aku tidak berani. Sejak pertama masuk ke kamar ini, dia bahkan tidak melihatku. Seolah-olah aku ini tak ada."Apa ada masalah di rumah?" suara Mas Arman memecahkan keheningan."... Tidak ada, Mas," aku senang akhirnya Mas Arman mengajakku bicara, walaupun dia sama sekali tidak menoleh ke arahku."Bagaimana Nenek bisa terkena serangan jantung?""Manda juga tidak tahu, Mas. Hari itu Nenek terlihat sehat dan ceria seperti biasanya. Tiba-tiba malam itu, Nenek tidak sadar
"Pak Hendra, kami sekeluarga turut berduka atas meninggalnya Bu Rosa. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran, dan Almarhummah dimaafkan segala dosanya dan diberi tempat yang terbaik di surga," ucap Bapak pada Papa."Aamiin. Terima kasih, Pak Wirjo,""Maaf, Pak Hendra. Kami tidak bisa datang tepat waktu untuk pemakaman Bu Rosa,""Tidak apa, Pak Wirjo. Bapak sekeluarga sudah datang ke sini saja, sudah cukup bagi kami,"Bapak datang bersama Ibu, Surya, Adi, Ayu, dan teman Bapak. Mereka baru saja tiba siang ini. Bapak mencarter mobil untuk ke Jakarta. Karena Bapak tidak bisa menyetir, Bapak mengajak temannya untuk membawa mobil."Kalian pasti lelah setelah perjalanan jauh. Sebaiknya istirahat dulu,""Maaf merepotkan Pak Hendra,""Tidak sama sekali, Pak Wirjo. Kita ini satu keluarga. Tidak perlu sungkan,""Mand
Acara tahlilan malam kedua Nenek sudah usai. Para tamu satu per satu pulang meninggalkan rumah ini.Mas Arman belum juga kembali sejak pagi tadi. Ke mana kamu, Mas? Apa semuanya baik-baik saja?Wanita itu juga masih di sini. Dia bahkan tidak turun ke bawah, untuk menghadiri acara tahlilan ini."Kak Tamara," panggilku pelan."Iya?""Tadi pagi ada tamu yang datang ke rumah. Seorang wanita. Apa Kak Tamara sudah bertemu dengannya?""Tamu? Siapa? Aku tidak melihatnya dari tadi," ujar Kak Tamara penasaran."Manda juga tidak kenal, Kak. Dia sudah bertemu Mama. Terus Mama membawanya ke atas. Sejak itu, Manda tidak melihatnya lagi,""Coba nanti aku tanya Mama,""Kak, boleh minta tol
Sayup-sayup telingaku mendengar suara kicau burung di luar jendela kamar. Kubuka mataku perlahan. Dengan sedikit mengantuk, aku memaksakan badanku untuk bangun. Aku melihat ke arah jam dinding. Pukul 6 pagi. Lalu pandanganku beralih ke sofa, tempat Mas Arman tidur. Mataku terbuka lebar, ketika aku tidak melihatnya di sana."Mas? Mas Arman?" panggilku.Mungkin Mas Arman ada di dalam kamar mandi. Tapi tak ada jawaban. Aku segera merogoh saku gamisku, mencari kunci kamar."Kuncinya? Di mana kuncinya? Apa Mas Arman yang mengambilnya?" ujarku dengan panik.Aku bergegas keluar kamar untuk mencari suamiku. Semula aku berniat memeriksa ke dalam kamar wanita itu, tapi aku mengurungkannya. Segera kulari ke bawah."Kiki," panggilku ketika melihat Kiki berada di bawah anak tangga."Iya, N
POV AUTHORSarah tersenyum puas, ketika melihat raut wajah Manda yang sedih."Apa?! Apa yang barusan Papa dengar? Dia bilang, dia istrimu?" Papa Hendra bangkit dari duduknya."Papa, tenanglah dulu," pinta Mama Andien sambil mengelus dada suaminya."Mama, dengar tadi yang dia katakan,""Iya, Pa. Makanya Papa tenang dulu. Arman akan jelaskan semuanya nanti,""Mama tidak kaget? Mama sudah tahu semua ini?!" tukas Papa Hendra sembari mengerutkan keningnya.Mama Andien terdiam dan seketika panik."Arman, kenapa kamu diam? Katakan yang sebenarnya," desak Kak Tamara dengan nada marah."... iya, benar. Sarah istriku," jawab Arman sambil menundukkan pandangan matanya.