Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya aku tiba di rumah Mas Arman.
Rumah putih yang besar. Halaman depan rumahnya juga sangat luas. Area parkir mobilnya bisa muat sampai 10 mobil lebih. Tamannya cantik dan terawat rapi.
"Ayo, Manda," ajak Kak Tamara. Dia mengapit lenganku, mengajak masuk ke dalam rumah.
Aku tercengang begitu masuk ke dalam. Waaah, apa ini mimpi? Rumahnya seperti istana. Desain rumahnya bergaya Eropa dengan nuansa warna putih. Aku tidak pernah membayangkan akan masuk ke istana seperti ini. Apa di sinikah aku akan tinggal?
"Manda," panggilan Nenek membuyarkan lamunanku.
"Iya, Nek?" sahutku.
"Kamu istirahatlah di kamarmu. Kamu pasti capek," ujar Nenek, "Arman, antar istrimu ke kamar," pintanya pada Mas Arman, yang sedang menggandeng tangannya.
"Iya, Nek. Sekarang Arman antar Nenek dulu. Nenek kan capek juga," ujar Mas Arman dengan lembut.
"Nenek biar sama aku saja," Kak Tamara segera mengambil alih.
"Dik Arman, ayo bawa istrinya masuk ke kamar," ujar Kak Tamara dengan nada menggoda.
Aku bisa melihat raut wajah Mas Arman yang tampak tak suka dengan 'tugas' yang diberikan. Dia tersenyum kecut pada Kak Tamara.
"Ayo, aku antar ke kamar," ujarnya dengan nada yang malas.
"Hmmm, tasku masih di dalam mobil,"
"Nanti akan diantar oleh pembantu. Ayo," ajaknya.
Mas Arman berjalan di depanku. Tidak seperti pengantin baru yang mesra dan bergandengan tangan, kami seperti 2 orang asing yang saling menjaga jarak.
Kamar tidurku ada di lantai 2. Mas Arman membukakan pintu kamar lalu mempersilakanku masuk. Kamar yang luas dengan desain minimalis modern dan nuansa warna hitam putih. Kamar ini terkesan sangat maskulin.
Aku duduk di tepi tempat tidur busa, mencoba merasakan empuk dan nyamannya tempat tidur ini. Spreinya pun halus dan warnanya soft.
"Kamu istirahatlah," ujar Mas Arman yang masih berdiri di dekat pintu kamar.
"Mas Arman, mau kemana?"
"Ada yang perlu kukerjakan di bawah. Oh ya, di lemari ada beberapa baju yang bisa kamu pakai. Kak Tamara membelikannya untukmu,"
"Iya, baiklah,"
Mas Arman keluar dari kamar sambil menutup pintu. Aku mendekati lemari pakaian untuk melihat-lihat isinya. Kak Tamara baik sekali. Dia membelikan ini semua untukku. Pakaiannya cantik-cantik, warnanya juga aku suka, bahannya pun halus. Pasti ini mahal harganya? Aku harus mengucapkan terima kasih pada Kak Tamara.
***
Malampun tiba. Aku sudah membersihkan diri dan berganti pakaian. Aku sedang berbaring di tempat tidur sambil bermain ponsel.
"Manda?" suara Kak Tamara memanggilku dari balik pintu.
"Iya, Kak?" aku segera berlari membukakan pintu.
"Kita makan malam, yuk?" ajaknya.
"Iya, kak," aku mengikuti Kak Tamara keluar. Dia merangkul bahuku.
"Kak, makasih ya untuk bajunya. Mas Arman bilang Kak Tamara yang beli," ucapku tulus.
"Iya, sama-sama. Kamu suka?"
"Iya, Kak. Manda suka,"
"Baguslah. Kapan-kapan kita belanja berdua ya,"
"Iya, kak,"
***
Semua anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan. Kak Tamara menyuruhku duduk di samping Mas Arman.
"Ayo, kita mulai makan. Manda, kamu jangan sungkan, ya. Makan yang enak," ujar Papa Hendra dengan ramah.
"Iya, Pa," jawabku.
Lalu kamipun mulai makan. Ada beberapa sajian menu yang terhidang di meja makan. Aku bingung mau ambil yang mana dulu. Kelihatannya enak-enak semua. Aku melihat semua anggota keluarga makan dengan menggunakan sendok dan garpu. Aku tidak terbiasa makan seperti itu. Lebih nyaman makan dengan tangan saja, kecuali untuk makanan berkuah.
"Kamu mau makan apa?" tanya Mas Arman.
"Oohh ... hmmmm ... aku ambil ayam goreng saja,"
Mas Arman mengambilkan sepotong ayam goreng untukku.
"Mau sayur?" tanyanya lagi.
"Tidak, ini saja. Makasih," jawabku.
Tidak ada sambal ya? Kalau di rumah menu sambal wajib ada. Kami semua penyuka pedas, terutama Bapak dan aku. Aku jadi kangen ....
***
Selepas makan malam, kami berkumpul di ruang keluarga. Suara canda tawa anak-anak Kak Tamara membuat ceria suasana malam ini. Mereka bercanda dan bermain bersama dengan Mas Arman. Satu lagi sifat yang kutahu dari Mas Arman, dia menyukai anak-anak.
"Besok kamu terbang jam berapa, Man?" tanya Kak Daniel.
"Aku ambil penerbangan pagi, Kak. Jam 9 harus nyampe bandara," jawab Mas Arman, yang masih asyik bercanda dengan ponakan kecilnya.
"Seharusnya kamu ambil cuti lebih panjang, Man. Kalian baru nikah. Belum mengadakan resepsi. Belum juga bulan madu," ujar Nenek menimpali.
"Maaf, Nek. Arman belum bisa ambil cuti panjang. Arman masih karyawan baru di sana,"
"Kalau kamu bekerja di perusahaan Papa, kamu gak perlu khawatir soal cuti. Resiko bekerja dengan orang lain ya seperti itu," ujar Papa dengan nada sedikit sinis.
"Aku mau mencari pengalaman di luar, Pa. Lagipula aku gak mau selalu tergantung pada Papa. Aku ingin belajar mandiri. Seharusnya Papa bangga denganku," jawab Mas Arman dengan santai.
"Sepertinya pengertian mandiri bagimu dan Papa itu berbeda. Papa beruntung, Daniel tidak sama sepertimu,"
Lalu suasana mendadak menjadi hening dan canggung. Kenapa aku merasa hubungan Papa dan Mas Arman tidak begitu akur? Seperti ada jarak di antara mereka. Aku melihat raut wajah semua orang di sini berubah menjadi serius. Aku ... merasa tidak nyaman dengan situasi ini.
"Ayo, anak-anak Mami. Kita tidur. Sudah malam nih," suara Kak Tamara memecahkan keheningan sesaat. Kak Tamara menggiring anak-anaknya untuk masuk ke dalam kamar.
"Aku mau bantu Tamara menidurkan anak-anak," Kak Daniel beralasan, lalu menyusul anak istrinya.
"Bu, ayo aku antar ke kamar," ajak mama mertuaku menggandeng Nenek untuk meninggalkan ruang keluarga.
"Papa, istirahat juga yuk," mama mertuaku juga mengajak suaminya untuk ikut serta.
Tinggallah aku dan Mas Arman berdua di ruang keluarga. Hening lagi. Aku melihat Mas Arman hanyak duduk terdiam. Wajahnya murung. Apa dia kecewa dengan perkataan Papa? Apa aku harus menghiburnya? Tapi apa yang harus kukatakan?
Tiba-tiba Mas Arman beranjak pergi tanpa berkata-kata. Aku segera menyusulnya. Kami naik ke lantai atas. Mas Arman membuka pintu kamar. Aku terkejut saat tiba-tiba pintu kamar dibanting agak keras di depan mukaku. Apa Mas Arman tidak tahu aku berada di belakangnya? Apa aku boleh masuk ke kamar? Aduuh, kenapa jadi begini? Sekarang aku harus bagaimana?
Suasana rumah sudah sepi. Semua orang masuk ke dalam kamar masing-masing. Dan aku masih berada di luar. Lebih baik aku tidak masuk ke dalam dulu. Mungkin Mas Arman butuh waktu sendiri. Sebaiknya aku turun ke bawah lagi.
***
Aku duduk di tepi kolam renang, di halaman belakang rumah. Sebagian kakiku aku rendam di dalam air. Malam ini cerah. Bintang-bintang terlihat jelas di langit. Aku duduk menikmati dinginnya air di kaki sambil memandang taman.
Kalau sendirian seperti ini, aku jadi teringat pada Bapak, Ibu, Surya, dan Adi. Aku merindukan mereka. Rindu kebersamaan kami. Aku juga merindukan Ayu. Rindu celotehannya. Mataku mulai berkaca-kaca saat mengingat semua itu. Andaikan saja mereka di sini saat ini ....
"Non ... Non Manda ...," samar-samar aku mendengar suara memanggilku. Kubuka mataku perlahan. Seseorang berdiri di depanku."Jam berapa ini?" tanyaku dengan sedikit malas."Jam 6 pagi, Non," jawabnya.Aku bangun perlahan dari tidurku. Mataku masih setengah terbuka. Kenapa badanku sakit semua? Aku melihat ke sekeliling. Ini dimana? Aku terperanjat begitu aku menyadarinya. Ya ampun! Aku tertidur di sofa teras belakang."Gimana ini?!" seketika aku berlari masuk ke dalam rumah. Aduuh, sudah pagi. Kenapa aku bisa tertidur di luar? Bagaimana jika ada yang melihatku?"Lho, Manda? Kamu darimana?" aku berpapasan dengan Kak Tamara."Ah ... i-itu ... Manda dari teras belakang, Kak," jawabku dengan gugup."Sedang apa di teras belakang sepagi ini?" selidik Kak Tamara."I ... itu ...," aku menoleh ke belakang dan aku melihat orang
Beberapa orang sedang sibuk di dapur. Aku mengenal salah satunya, Kiki. Sepertinya mereka belum melihat kehadiranku."Ha-halo ....," sapaku.Mereka semua menoleh."Non Manda, ada yang bisa kami bantu?" seorang wanita setengah baya bergegas menghampiriku."Tidak, aku tidak perlu apa-apa. Aku merasa bosan saja karena tidak melakukan apa-apa. Ada yang bisa aku bantu di sini?" aku menawarkan tenagaku."Oh ... tidak ada Non. Kami bisa mengerjakannya sendiri. Sudah tugas kami," wanita ini menolakku secara halus."Kita belum berkenalan. Nama ibu siapa?""Nama saya Sari, Non. Di sini biasa dipanggil Bi Sari," jawabnya memperkenalkan diri. Lalu dia mulai memperkenalkan masing-masing pembantu lainnya.Ada satu wajah yang tidak asing bagiku, "Santi?" tanyaku.Dia menjawabku sambil menunduk. Ternyata aku tida
Aku keluar dari kamar Nenek ketika berpapasan dengan Mama mertuaku."Sedang apa?" tanyanya dengan nada sedikit ketus."Abis mengantarkan Nenek buat istirahat siang, Ma," jawabku."Ikut Mama. Ada yang mau Mama bicarakan," perintahnya.Aku mengangguk dan mengikutinya. Mama Andien duduk di sofa ruang keluarga. Aku berdiri menunggunya bicara."Kenapa berdiri? Duduk," perintahnya.Aku segera menurutinya. Aku takut pada Mama mertuaku ini. Sejak pertama kali kami bertemu, Mama Andien tidak pernah menunjukkan sikap ramah padaku."Besok Nenek mau mengadakan acara makan siang dengan tetangga di sini. Mama juga mengundang beberapa teman Mama. Nenek ingin memperkenalkanmu pada mereka,"Aku diam dan hanya mendengarkan Mama Andien bicara."Mama hanya ingin memperingatkanmu. Mereka yang diundang ini adalah para
Tak terasa hari ini pernikahanku sudah berusia 2 tahun. Selama 2 tahun ini banyak hal yang sudah terjadi. Aku masih tinggal bersama mertuaku dan Nenek. Mas Arman masih berada di Amerika. Dia belum pernah pulang sejak kepergiannya waktu itu. Selalu ada alasan dia belum bisa kembali ke rumah.Selama 2 tahun inipun, kami jarang berkomunikasi. Mas Arman tidak pernah menghubungiku, dan aku juga tidak berani menghubunginya karena aku takut ditolak. Kami hanya mengobrol ketika Mas Arman sedang video call-an dengan Nenek, di ponsel milik Nenek. Obrolan kamipun hanya sekedar bertegur sapa dan basa-basi saja. Walaupun kami tidak pernah membuat kesepakatan sebelumnya, tapi saat di dekat Nenek, kami bersikap seolah-olah pernikahan kami baik-baik saja.Selama 2 tahun ini juga, aku mengisi hari-hariku dengan mengikuti beberapa kursus. Papa Hendra mendaftarkanku di kelas baking. Menurut Papa, aku punya bakat membuat roti dan kue. Karena itu, Papa ingin aku
Malam ini hanya aku dan Mas Arman yang menemani Nenek di rumah sakit. Kami duduk berseberangan. Jarak kami hanya dipisahkan oleh ranjang yang ditiduri Nenek. Kami duduk dalam keheningan.Mas Arman menatap Nenek dengan sorot mata kesedihan. Tangannya mengenggam tangan Nenek. Aku hanya bisa menatapnya. Menatap suamiku yang sudah lama tidak pulang. Mas Arman tampak sehat. Aku ingin sekali menanyakan kabarnya. Tapi aku tidak berani. Sejak pertama masuk ke kamar ini, dia bahkan tidak melihatku. Seolah-olah aku ini tak ada."Apa ada masalah di rumah?" suara Mas Arman memecahkan keheningan."... Tidak ada, Mas," aku senang akhirnya Mas Arman mengajakku bicara, walaupun dia sama sekali tidak menoleh ke arahku."Bagaimana Nenek bisa terkena serangan jantung?""Manda juga tidak tahu, Mas. Hari itu Nenek terlihat sehat dan ceria seperti biasanya. Tiba-tiba malam itu, Nenek tidak sadar
"Pak Hendra, kami sekeluarga turut berduka atas meninggalnya Bu Rosa. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran, dan Almarhummah dimaafkan segala dosanya dan diberi tempat yang terbaik di surga," ucap Bapak pada Papa."Aamiin. Terima kasih, Pak Wirjo,""Maaf, Pak Hendra. Kami tidak bisa datang tepat waktu untuk pemakaman Bu Rosa,""Tidak apa, Pak Wirjo. Bapak sekeluarga sudah datang ke sini saja, sudah cukup bagi kami,"Bapak datang bersama Ibu, Surya, Adi, Ayu, dan teman Bapak. Mereka baru saja tiba siang ini. Bapak mencarter mobil untuk ke Jakarta. Karena Bapak tidak bisa menyetir, Bapak mengajak temannya untuk membawa mobil."Kalian pasti lelah setelah perjalanan jauh. Sebaiknya istirahat dulu,""Maaf merepotkan Pak Hendra,""Tidak sama sekali, Pak Wirjo. Kita ini satu keluarga. Tidak perlu sungkan,""Mand
Acara tahlilan malam kedua Nenek sudah usai. Para tamu satu per satu pulang meninggalkan rumah ini.Mas Arman belum juga kembali sejak pagi tadi. Ke mana kamu, Mas? Apa semuanya baik-baik saja?Wanita itu juga masih di sini. Dia bahkan tidak turun ke bawah, untuk menghadiri acara tahlilan ini."Kak Tamara," panggilku pelan."Iya?""Tadi pagi ada tamu yang datang ke rumah. Seorang wanita. Apa Kak Tamara sudah bertemu dengannya?""Tamu? Siapa? Aku tidak melihatnya dari tadi," ujar Kak Tamara penasaran."Manda juga tidak kenal, Kak. Dia sudah bertemu Mama. Terus Mama membawanya ke atas. Sejak itu, Manda tidak melihatnya lagi,""Coba nanti aku tanya Mama,""Kak, boleh minta tol
Sayup-sayup telingaku mendengar suara kicau burung di luar jendela kamar. Kubuka mataku perlahan. Dengan sedikit mengantuk, aku memaksakan badanku untuk bangun. Aku melihat ke arah jam dinding. Pukul 6 pagi. Lalu pandanganku beralih ke sofa, tempat Mas Arman tidur. Mataku terbuka lebar, ketika aku tidak melihatnya di sana."Mas? Mas Arman?" panggilku.Mungkin Mas Arman ada di dalam kamar mandi. Tapi tak ada jawaban. Aku segera merogoh saku gamisku, mencari kunci kamar."Kuncinya? Di mana kuncinya? Apa Mas Arman yang mengambilnya?" ujarku dengan panik.Aku bergegas keluar kamar untuk mencari suamiku. Semula aku berniat memeriksa ke dalam kamar wanita itu, tapi aku mengurungkannya. Segera kulari ke bawah."Kiki," panggilku ketika melihat Kiki berada di bawah anak tangga."Iya, N