Share

Pernyataan Cinta Mas Bram

Rasa penasaran Ayu belum juga hilang. Aku masih diinterogasinya soal Nenek Rosa dan keluarganya. Aku sudah menceritakan semua tentang mereka sebatas yang aku tahu saja. Tapi dasar Ayu. Penjelasanku belum cukup memuaskan keingintahuannya.

"Nda! Lihat ini!" pekik Ayu yang mengagetkanku. Aku sampai tersedak es teh yang sedang aku minum. Ayu memperlihatkan artikel online di ponselnya.

"Apaan sih, Yu! Basah nih bajuku," gerutuku sambil menunjuk bajuku yang terkena tumpahan teh.

"Ini lho. Udah ketemu. Ini kan orangnya?"

Aku melihat foto di artikel online itu. Dibawah foto tersebut, tertulis nama Hendra Hadiwijaya, Presdir Wijaya Group.

"Ini bukan?!" tanya Ayu dengan antusias.

"Gak tahu," jawabku santai. Aku mengambil tissue untuk membersihkan bajuku yang basah.

"Lho kok gak tahu?"

"Gak tahu, Ayuuuuu. Nenek Rosa gak memperlihatkan foto anaknya,"

Ayu tampak kecewa mendengar jawabanku hingga dia memanyunkan bibirnya.

"Oh ya, nama cucunya Bu Rosa sapa? Kemaren kan dia datang,"

"Daniel Hadiwijaya,"

Ayu langsung mencari soal Daniel di sosial media. Jari telunjuknya bergerak naik turun menyentuh layar ponselnya.

"Ini bukan? Kemaren aku gak terlalu jelas melihat wajahnya," sekali lagi Ayu menunjukkan ponselnya.

Aku mengangguk.

"Berarti betul, Nda. Dia ini anaknya Hendra Hadiwijaya di foto pertama tadi itu. Konglomerat ini, Nda,"

Aku melanjutkan makan siangku. Seperti biasanya, aku dan Ayu istirahat makan di warung langganan kami, yang letaknya bersebelahan dengan tempat kerja. Menu kali ini yang aku santap adalah sepiring nasi dengan lauk sayur sop, tempe tahu goreng, dan sambal. Ini saja sudah membuatku kenyang.

"Nda, cucu keduanya yang di luar negeri siapa namanya?"

"Mau apa? Kan kamu udah tahu siapa Hendra Hadiwijaya,"

"Kan belum komplit, Nda. Tadi baru bapak sama anak pertamanya,"

"Cckk," decakku, "Namanya Arman,"

Jari jemari Ayu dengan cepat bergerilya lagi di dunia maya.

"OMG!!!" teriak Ayu dengan mata terbelalak. Teriakan Ayu membuat seisi warung menoleh pada kami. Duh, Ayu ini bikin malu aja.

"Yu, jangan teriak! Semua orang melihat ke kita," tegurku sambil berbisik.

Ayu tampak tak peduli. Dia terus mengagumi foto Arman yang ditemukannya di sosial media, "Ganteng banget, Nda. Ini sih super model. Coba lihat, Nda,"

Aku melirik ke ponsel Ayu. Seketika wajahku memerah. Arman memang ganteng. Walau hanya fotonya saja, sudah membuatku tersipu malu.

"Kalau aku gak bakal nolak, Nda. Terima aja,"

"Terima? Maksudnya?"

"Eaalah. Perjodohanmu sama Arman,"

"Husstt. Ngawur!" aku memukul bahu Ayu, "Siapa yang mau dijodohkan? Kan sudah kubilang tadi, mereka cuma silaturahmi ke rumah,"

"Gak mungkinlah cuma silaturahmi. Pasti ada sesuatu. Buktinya kemaren kamu ditunjukkan fotonya Arman,"

"Ya kan Nenek Rosa cerita sambil menunjukkan foto. Apa salahnya?"

"Feelingku bilang pasti ada maksud lain,"

"Terserah ah, Yu. Capek bicara sama kamu," gerutuku. Aku melahap lagi nasiku.

***

Aku berbaring santai di ranjangku sambil bermain ponsel. Aku membuka akun F******kku. Membaca beberapa status teman-teman F******k. Sebagian ada yang kukomentari, sebagian hanya kubaca saja. Tiba-tiba wajah Arman terbayang di pikiranku. Wajah ganteng itu tidak bisa kulupakan.

Aku mencoba mengetik nama Arman di fitur pencarian F******k. Siapa tahu dia punya akun di F******k. Beberapa nama muncul di pencarian. Aku melihat foto-foto profil nama itu. Ada yang memasang foto wajah, tapi ada yang tidak. Jari telunjukku menggulir layar ponselku ke atas. Akun yang tidak memasang foto profil wajah, aku buka. Aku baca detail profilnya. Bukan ini, bukan ini, bukan ini. Tidak ada satupun yang cocok dengan Arman yang aku maksud. Apa dia tidak memiliki akun F******k? Mungkin dia punya I*******m?

Aku segera membuka aplikasi Instagramku. Di fitur pencariannya aku mengetik nama Arman Hadiwijaya. Sekali lagi muncul beberapa nama. Aku lihat satu per satu akunnya. Ketemu! Ini dia Arman! Aku segera buka akunnya. Yahh, dikunci. Kenapa harus dikunci akunnya? Apa aku harus mengirimkan permintaan pertemanan padanya?

Belum sempat aku mengklik permintaan pertemanan, terdengar suara ketukan pintu di kamarku.

"Mba, ada yang mencari tuh di luar," kepala Surya nongol di balik pintu.

"Siapa?"

"Mas Bram,"

Hah? Mas Bram? Seketika aku bangun dari ranjangku. Aku melihat jam dinding di kamarku. Jam 8 malam.

"Mas Bramnya di mana?"

"Duduk di teras depan sama Bapak,"

"Bentar lagi Mba keluar,"

"Oke," ujar Surya, lalu dia keluar.

Aku merapikan rambut panjangku yang sedikit berantakan. Aku mengambil scrunchie untuk mengikat rambutku. Lalu aku berjalan keluar kamar menuju teras depan. Sayup-sayup aku mendengar Bapak dan Mas Bram sedang mengobrol.

"Mas Bram," sapaku.

Mas Bram seketika bangun dari kursi, "Nda," sapa baliknya.

"Ya udah Bapak masuk dulu. Sudah ada Manda di sini," ujar Bapak mempersilakan kami berdua untuk mengobrol.

"Duduk, Mas,"

"Eh, iya,"

Kami berduapun duduk di kursi masing-masing. Sejenak kami hanya terdiam. Sesekali saling menoleh, lalu tersenyum malu. Duh, kok suasananya jadi canggung seperti ini? Akhirnya aku memulai pembicaraan.

"Mas Bram darimana?"

"Dari rumah, Nda. Memang Mas Bram mau main ke sini. Mas menganggu Manda?"

"Gak kok, Mas. Tadi Manda cuma lagi santai aja di kamar,"

"Oooh,"

"Liburan semesternya masih lama, Mas?"

"Gak. 3 hari lagi Mas harus balik lagi ke Yogya,"

"Gimana kuliahnya, Mas? Lancar?"

"Alhamdulillah, Nda. Sejauh ini masih lancar,"

"Alhamdulillah,"

"Kos-kosanku gak jauh dari tempat kuliah. Jadi lumayan bisa menghemat ongkos jalan,"

"Teman-teman di kos gimana, Mas?"

"Alhamdulillah Mas bertemu dengan orang-orang baik,"

"Jaga diri ya, Mas. Jangan sampai masuk ke pergaulan yang salah,"

"Iya, Nda. In syaa Allah Mas jaga diri,"

Lalu kami terdiam lagi.

"Nda, Mas mau ngomong sesuatu sama Manda," ujar Mas Bram dengan nada lirih.

"Mau ngomong apa, Mas?"

"Gimana ya mulainya?" Mas Bram terlihat bingung. Dia mengusap-usap kedua tangannya di celana jeansnya.

"Mas ... Mas ... suka sama Manda," ucapnya dengan terbata-bata.

Seketika aku terkejut mendengar pernyataannya. Mas Bram menembakku?! Pipiku mendadak merah, badanku panas dingin, lidahku menjadi kelu. Apa ini rasanya jika ditembak seorang pria?

"Mas ... suka Manda sejak kita sekolah bersama. Tapi Mas gak berani bilang soal perasaan Mas sama Manda. Mas takut ditolak. Sekarang Mas memberanikan diri ke sini bertemu Manda, dan mengungkapkan perasaan Mas. Apa ... Manda ... mau menerima cinta Mas?" ucapnya dengan tersipu malu.

Aku menundukkan kepalaku, tidak berani melihat Mas Bram. Kedua tanganku kuremas. Aduuuh, apa yang harus kulakukan? Ini pertama kalinya aku berada di situasi seperti ini. Apa aku harus menjawabnya sekarang? Jawaban apa yang harus kukatakan? Ya Allah, tolong datangkan siapapun ke sini. Bantu aku keluar dari situasi ini.

"Nda, gak perlu menjawab sekarang kok," ucap Mas Bram kemudian. Mungkin dia melihatku yang tampak kebingungan. Alhamdulillah, untung dia peka.

"Manda, bisa jawab kalau Manda sudah siap. Mas akan tunggu kok,"

"I-iya, Mas. Maaf," akhirnya aku bisa memaksakan lidahku untuk berkata.

"Gak perlu minta maaf kok. Mas yang harusnya minta maaf karena mendadak bilang suka sama Manda,"

Aku hanya tersenyum malu sambil menundukkan kepala.

"Mas pamit pulang, Nda. Sudah malam," Mas Bram bangun dari kursinya. 

"Iya, Mas. Makasih sudah mampir," Aku juga ikut bangun.

"Sampaikan salam pada Bapak dan Ibu,"

"Iya, Mas. In syaa Allah,"

"Assalamu'alaikum," ucap Mas Bram berpamitan.

"W*'alaikumsalam," jawabku

***

Mohon dukungannya ya readers 😊 Ikuti cerita ini, klik like, dan tinggalkan jejak di komentar. Makasih

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status