"Assalamu'alaikum," ucapku ketika memasuki rumah bersama Adi
"W*'alaikumsalam," sahut dari dalam rumah.
"Ini anak saya yang pertama, Amanda," ujar Bapak memperkenalkan.
Di ruang tamu berkumpul Bapak, Ibu, Surya dan 3 orang tamu yang belum aku pernah temui. Seorang wanita tua yang mungkin berumur sekitar 60 tahunan, duduk berdampingan dengan seorang wanita muda. Lalu di kursi satunya lagi, duduk sendirian seorang pria muda. Gaya pakaian mereka terlihat seperti orang kota yang kaya. Mewah tapi tidak norak.
"Nda, ayo salim," ucapan Bapak membuyarkan perhatianku. Aku mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan wanita tua ini.
"Anakmu cantik, Wirjo," pujinya yang seketika membuatku tersipu malu.
"Bu Rosa bisa saja," ujar Bapak sembari tertawa kecil.
Ooh, jadi namanya ibu Rosa. Apa dia yang dipanggil Adi dengan sebutan Nenek? batinku.
"Itu cucuku, Daniel. Dan ini istrinya, Tamara," ucap Ibu Rosa memperkenalkan. Aku menyalami mereka satu per satu.
"Duduk sini di sebelah Nenek," pinta Ibu Rosa. Aku menurutinya.
"Nenek ini teman Simbahmu. Dulu sewaktu masih muda, Nenek juga tinggal di desa ini," cerita Ibu Rosa.
"Ibu Rosa asli sini?" tanyaku.
"Jangan panggil Ibu. Panggil saja Nenek,"
"I-iya, Nek," jawabku sedikit canggung.
"Iya, Nenek asli sini. Kemudian orang tua Nenek membawa Nenek pindah ke Jakarta,"
"Sudah bertahun-tahun Nenek tidak pulang ke kampung halaman. Nenek juga baru mendengar Simbahmu sudah meninggal. Sayang sekali, Nenek tidak bisa bertemu dengan teman baik Nenek," Ibu Rosa terlihat sedih dan kecewa.
Tamara memegang bahu Nenek Rosa seolah memberinya semangat. Nenek Rosa menengok ke arahnya sembari tersenyum.
"Maaf, Bu Rosa. Saya tidak mengabari Ibu soal meninggalnya Mak. Saya tidak tahu nomer telepon Bu Rosa. Saya tidak tahu harus menghubungi ke mana," ucap Bapak.
"Tidak apa-apa, Wirjo,"
"Nenek, jangan sedih. Saya yakin teman Nenek senang melihat Nenek berkunjung ke sini," Daniel, cucu Bu Rosa mencoba menghiburnya. Kami semuapun mengiyakan.
"Amanda, kerja di mana?" tanya Tamara mengalihkan topik pembicaraan.
"Di usaha rumahan cemilan, Mba," jawabku.
"Di bagian produksi?"
"Iya,"
"Usianya berapa sekarang?" tanyanya lagi.
"19 tahun,"
"Beda 6 tahun dengan Arman," ujar Nenek Rosa menimpali.
"Arman cucu bungsu Nenek," ujar Tamara menjelaskan.
"Arman masih di luar negeri. Lulus SMA, dia kuliah di Amerika. Dan sekarang bekerja di sana," Nenek Rosa menambahkan. Dari cara Nenek Rosa bercerita, sepertinya Arman ini cucu kesayangannya. Tersirat kebanggaan dalam nada bicaranya.
Kemudian pembicaraanpun bergulir. Kami bercerita soal keluarga kami, dan Nenek Rosa bercerita soal keluarganya. Nenek Rosa memiliki seorang putra bernama Hendra Hadiwijaya dan menantu bernama Andien. Dari pernikahan putranya, Nenek Rosa memiliki 2 orang cucu, Daniel dan Arman. Daniel menikah dengan Tamara, lalu memiliki 3 orang anak. Sedangkan Arman belum menikah.
Nenek Rosa memperlihatkan foto Arman yang tersimpan di dalam ponselnya, "Ini Arman. Tampan, kan?"
Mataku terbelalak melihat foto pemuda itu. Ini bukan ganteng lagi. Tapi ganteng banget. Wajah bak seorang pangeran. Badan atletis dan tinggi. Kulit putih bersih. Rambut hitam legam. Sorot mata yang tajam. Aku tidak menemukan ada cacat sedikitpun di dalam fotonya.
"Sepertinya Manda gak bisa berkedip melihat foto Arman," ujar Tamara menggodaku.
Mereka menertawakanku. Seketika wajahku memerah. Aku tertunduk malu. Dasar Manda. Jaga mata dong.
Tak terasa hari sudah mulai gelap. Nenek dan kedua cucunya pamit pulang. Bapak dan Ibu menawari mereka untuk menginap di rumah. Tapi Daniel menolak secara halus. Dia beralasan sudah membooking hotel. Sebelum pergi, Nenek Rosa meminta Daniel untuk memotretku bersama Nenek. Kata Nenek Rosa, foto ini sebagai kenang-kenangan. Kami mengantarkan mereka keluar rumah.
Sopir pribadi mereka sudah bersiap di dekat mobil. Dia membukakan pintu belakang mobil untuk Nenek Rosa dan Tamara. Daniel duduk di sebelah sopir pribadinya. Kemudian perlahan mobil mereka berlalu meninggalkan rumah kami.
***
Suara notifikasi ponselku berbunyi ketika aku baru saja melipat mukenaku setelah sholat Maghrib. Aku melirik layar ponselku yang menyala. AYU. Pasti dia penasaran dengan tamu tadi.
"Ada apa, Yu?" aku membalas chat whatsappnya.
"Siapa tamu tadi, Nda?"
"Temen Simbahku dari Jakarta,"
"Orang kaya ya? Keliatan banget dari mobilnya. Tadi aku sempet mengintip dari jendela rumahku 😁,"
"Jangan suka mengintip. Ntar timbilan lho 😝,"
"Mereka mau ngapain?"
"Silaturahmi,"
"Silaturahmi atau silaturahmi? 🤭,"
"Beneran silaturahmi 😑,"
"Masa cuman silaturahmi? Pasti ada maksud lain. Firasatku bilang ada udang dibalik bakwan 🧐,"
"Iiihh, udah ah. Aku mau bantu ibu nyiapin makan malam. Sambung besok lagi 😒,"
"Eh, jangan dulu dong, Nda 😮,"
Aku meletakkan ponselku di ranjang. Tidak akan selesai kalau aku meladeni rasa penasaran Ayu. Pasti akan bertanya terus. Biarin saja dia uring-uringan sampai pagi. He he he
***
Mohon dukungannya ya readers 😊 Ikuti cerita ini, klik like, dan tinggalkan jejak di komentar. Makasih
Rasa penasaran Ayu belum juga hilang. Aku masih diinterogasinya soal Nenek Rosa dan keluarganya. Aku sudah menceritakan semua tentang mereka sebatas yang aku tahu saja. Tapi dasar Ayu. Penjelasanku belum cukup memuaskan keingintahuannya."Nda! Lihat ini!" pekik Ayu yang mengagetkanku. Aku sampai tersedak es teh yang sedang aku minum. Ayu memperlihatkan artikel online di ponselnya."Apaan sih, Yu! Basah nih bajuku," gerutuku sambil menunjuk bajuku yang terkena tumpahan teh."Ini lho. Udah ketemu. Ini kan orangnya?"Aku melihat foto di artikel online itu. Dibawah foto tersebut, tertulis nama Hendra Hadiwijaya, Presdir Wijaya Group."Ini bukan?!" tanya Ayu dengan antusias."Gak tahu," jawabku santai. Aku mengambil tissue untuk membersihkan bajuku yang basah."Lho kok gak tahu?""Gak tahu, Ayuuuuu. Nenek Rosa gak memperli
Karena pernyataan cinta Mas Bram, membuatku tidak bisa tidur nyenyak semalam. Aku memikirkan jawaban apa yang harus kusampaikan padanya. Sebenarnya aku senang sekali karena ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.Aku meminta pendapat Ayu tentang masalahku ini. Ayu sangat girang mendengarnya. Dia menyuruhku untuk menerima Mas Bram."Apa aku pantas untuk Mas Bram?" tanyaku dengan ragu."Ya ampun, Nda. Apanya yang gak pantas?! Kalau Mas Bram sudah bilang suka, berarti dia pikir kamu pantas untuknya,""Tapi ....,""Gak ada tapi-tapian! Terima, Nda. Atau nanti kamu akan menyesal," desak Ayu.Setelah berpikir panjang, akhirnya aku memutuskan untuk menemui Mas Bram. Sehari sebelum dia kembali ke Yogya, kami janjian bertemu di alun-alun. Kami duduk di bawah pohon beringin yang rindang. Dan di sanalah, aku menerima cinta Mas Bram.***
Malam itu di dalam kamarku, aku memberanikan diri untuk menelpon Mas Bram. Aku mendengar suara dering telpon menyambung. Belum ada jawaban. Apa Mas Bram sudah tidur? Tapi sekarang masih jam 8 malam. Apa iya sudah tidur?Tut ... tut ... tut ... sambungan telpon terputus. Tidak ada jawaban. Mungkin dia sudah tidur. Apa besok saja aku menelponnya? Apa aku harus coba sekali lagi? Iya, akan kucoba sekali lagi.Kembali kudengar suara dering telpon menyambung, "1 ... 2 ... 3 ...," aku mulai menghitung dalam hati."Halo?""Halo, Mas Bram?" jantungku seketika berdegup kencang mendengar suaranya."Maaf baru Mas angkat telponnya, Nda. Barusan Mas di luar kamar,""Iya, Mas. Gak papa. Aku ... ganggu gak, Mas?" jawabku sembari duduk di atas ranjangku"Gak, Nda. Ada apa?""Anu ... gini, Mas. Ada yang mau ... Manda bicarakan,"
Seminggu setelah Bapak memberikan kabar baik pada Pak Hendra, mereka sekeluarga datang lagi ke rumah untuk melamarku. Bapak dan Ibu mengundang keluarga besar kami untuk menyambut kedatangan Pak Hendra sekeluarga.Aku berada di dalam kamarku bersama Ayu dan sepupuku, Mba Dian. Hari ini aku didandani oleh Mba Dian. Dia merias wajahku dan menyanggul rambutku. Aku mengenakan baju gamis warna pink dengan hiasan brokat. Kebetulan Mba Dian adalah perias pengantin. Dia memberikan jasa makeup gratis untuk acara lamaranku dan juga di hari pernikahan. Kata Mba Dian, ini adalah hadiah pernikahan yang bisa diberikannya. Alhamdulillah terima kasih, Mba Dian.Aku bisa mendengar suara gelak tawa orang-orang dari balik pintu. Apa salah satu suara tawa itu milik Arman? Sebelumnya aku hanya melihat wajahnya di foto dan hari ini kami akan bertemu.Ibu masuk ke dalam kamarku. Ibu membawaku keluar untuk menemui para tamu. Di ruangan yan
Malam pun tiba. Aku sudah berganti pakaian dan menghapus riasanku. Aku hanya memoles wajahku dengan riasan yang ringan saja. Rambut panjangku sengaja ku urai. Baju tidur yang kukenakan adalah hadiah lamaran waktu itu. Baju tidur kimono berbahan sutra yang terkesan sangat mahal. Dan rasanya baju tidur ini terlihat sangat seksi. Aku tidak nyaman memakainya. Roknya terlalu pendek. Bagian bahu dan dadanya terbuka. Awalnya aku menolak memakainya, tapi Ibu memaksaku.Aku duduk di atas ranjangku yang dibungkus dengan sprei sutra berwarna putih tulang. Aku menunggu dengan gelisah di dalam kamar. Menunggu Mas Arman yang akan masuk ke sini. Membayangkan apa yang akan terjadi padaku malam ini, membuat pipiku merah merona.Tok ... tok ... suara pintu kamarku diketuk. Gagang pintu dibuka pelan. Mas Arman! Dia di sini. Seketika jantungku berdegup kencang. Keringat dingin membasahi badanku. Aku tidak berani menatapnya. Aku menundukkan kepalaku.&nbs
Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya aku tiba di rumah Mas Arman.Rumah putih yang besar. Halaman depan rumahnya juga sangat luas. Area parkir mobilnya bisa muat sampai 10 mobil lebih. Tamannya cantik dan terawat rapi."Ayo, Manda," ajak Kak Tamara. Dia mengapit lenganku, mengajak masuk ke dalam rumah.Aku tercengang begitu masuk ke dalam. Waaah, apa ini mimpi? Rumahnya seperti istana. Desain rumahnya bergaya Eropa dengan nuansa warna putih. Aku tidak pernah membayangkan akan masuk ke istana seperti ini. Apa di sinikah aku akan tinggal?"Manda," panggilan Nenek membuyarkan lamunanku."Iya, Nek?" sahutku."Kamu istirahatlah di kamarmu. Kamu pasti capek," ujar Nenek, "Arman, antar istrimu ke kamar," pintanya pada Mas Arman, yang sedang menggandeng ta
"Non ... Non Manda ...," samar-samar aku mendengar suara memanggilku. Kubuka mataku perlahan. Seseorang berdiri di depanku."Jam berapa ini?" tanyaku dengan sedikit malas."Jam 6 pagi, Non," jawabnya.Aku bangun perlahan dari tidurku. Mataku masih setengah terbuka. Kenapa badanku sakit semua? Aku melihat ke sekeliling. Ini dimana? Aku terperanjat begitu aku menyadarinya. Ya ampun! Aku tertidur di sofa teras belakang."Gimana ini?!" seketika aku berlari masuk ke dalam rumah. Aduuh, sudah pagi. Kenapa aku bisa tertidur di luar? Bagaimana jika ada yang melihatku?"Lho, Manda? Kamu darimana?" aku berpapasan dengan Kak Tamara."Ah ... i-itu ... Manda dari teras belakang, Kak," jawabku dengan gugup."Sedang apa di teras belakang sepagi ini?" selidik Kak Tamara."I ... itu ...," aku menoleh ke belakang dan aku melihat orang
Beberapa orang sedang sibuk di dapur. Aku mengenal salah satunya, Kiki. Sepertinya mereka belum melihat kehadiranku."Ha-halo ....," sapaku.Mereka semua menoleh."Non Manda, ada yang bisa kami bantu?" seorang wanita setengah baya bergegas menghampiriku."Tidak, aku tidak perlu apa-apa. Aku merasa bosan saja karena tidak melakukan apa-apa. Ada yang bisa aku bantu di sini?" aku menawarkan tenagaku."Oh ... tidak ada Non. Kami bisa mengerjakannya sendiri. Sudah tugas kami," wanita ini menolakku secara halus."Kita belum berkenalan. Nama ibu siapa?""Nama saya Sari, Non. Di sini biasa dipanggil Bi Sari," jawabnya memperkenalkan diri. Lalu dia mulai memperkenalkan masing-masing pembantu lainnya.Ada satu wajah yang tidak asing bagiku, "Santi?" tanyaku.Dia menjawabku sambil menunduk. Ternyata aku tida