Share

Janji Suci Yang Terbagi
Janji Suci Yang Terbagi
Penulis: Ukhty Ijah

Prolog

Namaku Amanda Kusumo. Umurku 19 tahun. Aku anak pertama dari 3 bersaudara. Bapakku bernama Wirjo Kusumo dan ibuku bernama Ningsih. Aku memiliki 2 adik laki-laki bernama Surya dan Adi. Kami tinggal di sebuah rumah sederhana dengan luas 90 m2. Rumah ini adalah rumah warisan dari Simbah.

Di halaman belakang rumah yang tidak terlalu luas, Bapak beternak ayam petelur. Telur-telur yang dipanen sebagian dijual ke pasar dan sebagian lagi ditetaskan. Selain beternak di rumah, Bapak juga mengabdi di sebuah Sekolah Menengah Pertama sebagai seorang guru.

Ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Di tengah kesibukan mengurus rumah dan keluarga, ibu juga membuka warung kelontong kecil di depan rumah.

Adikku Surya seorang siswa Sekolah Teknik Mesin kelas 1, sementara Adi masih duduk di kelas 4 Sekolah Dasar.

Setahun yang lalu, aku lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan jurusan tata boga. Jurusan ini sesuai dengan hobiku yang suka membuat kue dan roti. Sekarang aku bekerja di sebuah home industri yang memproduksi cemilan khas daerah.

***

Sore itu, aku berjalan bersama sahabatku, Ayu. Kami bekerja di tempat yang sama. Rumah kami berseberangan, makanya kami selalu berangkat dan pulang kerja bersama. Aku dan Ayu bersahabat sejak kami masih SD. Ayu adalah gadis yang ceria dan dia suka bicara. Selalu ada saja topik yang dibicarakannya. Jika dia sudah bicara, kadang tidak bisa direm. Aku hanya mendengarkan dan sesekali menyahutnya. Berjalan seperti ini bersama Ayu, jarak rumah dan tempat kerja yang jauh tidak terasa melelahkan.

Kami berdiri di tepi jalan menunggu angkot yang lewat. Tak berapa lama, angkot yang kami tunggu pun datang. Aku memberi isyarat dengan tangan untuk menghentikannya. Aku dan Ayu segera naik. Kami duduk bersebelahan di kursi paling ujung.

"Baru pulang, Nda?" tanya seorang pemuda yang duduk di seberangku.

"Eh, Mas Bram," sapaku sedikit terkejut. Aku tidak melihatnya sewaktu masuk ke dalam angkot, "Darimana, Mas?" tanyaku basa basi.

"Dari rumah teman," jawabnya dengan tersenyum, "Kebetulan kita satu angkot," Mas Bram adalah kakak kelasku sewaktu SMP. 

"Apa kabar, Nda?"

"Alhamdulillah baik, Mas. Mas Bram, apa kabar?"

"Alhamdulillah baik juga, Nda,"

"Kok cuma Manda yang ditanyain kabarnya? Aku di sini lho," sindir Ayu.

"Eh iya, ada Ayu. Apa kabar, Yu?" sapa Mas Bram dengan ramah.

"Baik, Mas," jawab Ayu dengan tersenyum kecut.

"Mas Bram, masih kuliah di Yogya?" tanyaku.

"Iya, masih. Sekarang lagi libur semester. Jadi Mas pulang kemari," Mas Bram adalah mahasiswa jurusan teknik informatika di sebuah universitas di Yogyakarta.

"Kok gak naik motor dari rumah temannya, Mas Bram?" tanya Ayu.

"Motornya lagi di bengkel. Masih aku servis,"

"Mas Bram, kapan-kapan main dong ke rumah Manda. Dulu Mas sering main ke rumah Manda," ujar Ayu dengan nada menggoda.

Segera aku sikut pinggang Ayu. Aku menatapnya dengan tatapan kesal. Ayu hanya meringis.

"Eh, iya. Nanti ... Mas Bram main ke sana," jawabnya dengan sedikit terbata, "Boleh kan, Nda?"

"Boleh, Mas," jawabku dengan tertunduk malu. Seketika suasana menjadi canggung. Ini gara-gara Ayu. Aku bisa melihat senyum nakal Ayu. Dia melirik padaku. Aku kembali menyikut pinggangnya.

Ada alasan kenapa Ayu sengaja melakukan itu. Dia tahu aku menyukai Mas Bram sejak masih SMP. Sampai saat inipun aku masih menyukainya. Bisa dikatakan, Mas Bram cinta pandangan pertamaku. Tapi aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Bukannya tidak berani, tapi aku sadar diri.

Mas Bram berasal dari keluarga yang kaya. Bapaknya adalah juragan di desa kami. Beliau memiliki beberapa hektar sawah dan perkebunan. Bapak Mas Bram juga menjabat sebagai Kepala Desa kami. Selain itu, Mas Bram adalah mahasiswa. Sedangkan aku berasal dari keluarga sederhana dan hanya lulusan SMK.

***

Setelah 15 menit di dalam angkot, akhirnya kami sampai di depan gapura desa. Kamipun berpamitan dengan Mas Bram. Rumah Mas Bram masih berjarak 1 km lagi dari tujuan kami. Aku dan Ayu melanjutkan perjalanan kami menuju ke rumah.

"Duuh, senangnya yang barusan ketemu lagi sama idolanya," ujar Ayu menggodaku.

"Apaan, sih?" ujarku tersipu malu.

"Aku gak paham sama kalian berdua. Sama-sama saling suka, tapi gak ada satupun yang berani bicara,"

"Mas Bram gak menyukaiku, Yu," sangkalku.

"Eh siapa yang bilang dia gak menyukaimu. Aku tahu dia suka. Kamu gak bisa lihat bagaimana Mas Bram menatapmu, caranya dia bicara denganmu, sikapnya padamu. Masa kamu gak peka sih?"

"Pakar cinta mulai bicara," godaku.

"Pakar cinta yang gak punya pacar," gerutunya.

Kami saling melirik. Lalu kamipun tertawa.

Jarak dari gapura desa menuju ke rumahku sekitar 5 menit berjalan kaki. Setibanya di sana, aku melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam terparkir di depan rumahku. Ada tamu siapa? batinku. Sama sepertiku, Ayu juga penasaran dengan pemilik mobil mewah itu.

"Mba," panggil Adi dari belakangku. Wajahnya terlihat senang.

"Darimana, Di?" tanyaku.

"Dari warung, Mba. Adi abis beli jajan yang banyak," ujarnya sambil menunjukkan isi plastik kreseknya.

"Kok jajannya banyak banget, Di? Uangnya ditabung dong," tegurku.

"Uang Adi ditabung kok . Tadi Adi dikasih uang jajan sama Nenek,"

"Nenek?" ucapku dan Ayu hampir bersamaan.

"Nenek siapa, Di?" tanyaku.

"Temennya Simbah,"

Mohon dukungannya ya readers 😊 Ikuti cerita ini, klik like, dan tinggalkan jejak di komentar. Makasih

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Indah Indrayani
Makin penasaran
goodnovel comment avatar
Izza Robby
bagus sekali siipppppp0pppppp
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status