"Mas kita harus berhenti melakukan ini sebelum pernikahan," ucap Dinda dengan suara yang sedikit gemetar.
"Aku nggak mau kita melanggar lebih jauh. Kita harus sama-sama kuat dan menumpahkannya nanti setelah kita menikah," tambahnya. Leo menunduk, merasa bersalah dan malu. "Kamu benar, Sayang. Aku minta maaf, aku seharusnya nggak minta itu sama kamu. Ini salahku," balas Leo pelan. Dinda mengangguk,“Yang penting kita sudah sama-sama mengerti. Aku hanya ingin kita menikah dengan hati yang bersih, tanpa ada rasa penyesalan" Leo menyalakan kembali mobil dan melanjutkan perjalanan dengan hati yang lebih tenang meski ada beban yang masih tersisa. Malam itu, meskipun mereka telah melakukan sesuatu yang tak mereka rencanakan, ada perasaan saling memahami yang mendalam di antara mereka. Keduanya berjanji dalam hati untuk menjaga hubungan ini sebaik mungkin hingga tiba saatnya mereka resmi menjadi suami istri. Setelah beberapa saat di perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah Dinda. Hujan gerimis masih terus turun, membuat suasana malam terasa semakin dingin. Leo dan Dinda bergegas masuk ke dalam rumah, menggigil sedikit karena dinginnya udara di luar. Begitu masuk ke dalam rumah, Dinda langsung menunjukkan perhatiannya kepada Leo. "Kak, kamu kelihatan lelah banget. Aku buatin teh panas, ya?" tawarnya dengan senyum lembut. Leo hanya mengangguk sambil tersenyum, berusaha menyingkirkan pikiran tentang apa yang terjadi di dalam mobil tadi. Meskipun hatinya masih sedikit berat, melihat perhatian Dinda membuatnya merasa lebih tenang. Mereka duduk di ruang tamu, menikmati kehangatan rumah yang kontras dengan dinginnya udara di luar. Sementara Dinda sibuk di dapur, Bu Mela muncul dari ruang dalam, tersenyum melihat kedekatan mereka. "Kalian kelihatan cocok sekali," ucap Bu Mela sambil mendekati Leo. Leo tersenyum kikuk, merasa sedikit canggung di depan Bu Mela setelah apa yang ia alami tadi di mobil bersama Dinda. Namun, ia berusaha tetap tenang dan sopan. Setelah beberapa saat, Dinda kembali dengan dua cangkir teh panas dan duduk di sebelah Leo. "Ini, Sayang. Biar kamu hangat," ujar Dinda sambil menyerahkan cangkir itu. Leo menerima teh itu dengan senyum hangat,"Terima kasih, Sayang" Bu Mela memperhatikan mereka sejenak sebelum berkata,"Leo, di luar hujan, sudah malam juga, terus kamu kelihatan sangat lelah. Kenapa nggak menginap saja di sini malam ini? Lebih aman daripada kamu harus pulang dalam keadaan seperti ini" Leo ragu sejenak, merasa tidak enak hati. "Aduh, aku merasa nggak enak, Bu... Takut merepotkan," ujar Leo. Namun, Bu Mela segera menenangkannya. "Nggak usah khawatir. Kamu bisa tidur di kamar tamu. Lagipula, Dinda juga setuju, kan, Sayang?" Bu Mela menoleh ke arah putrinya. Dinda mengangguk setuju, menunjukkan rasa peduli yang tulus kepada tunangannya,"Iya, Mas. Menginap aja di sini. Aku nggak pengen kamu sakit karena kelelahan. Ingat pernikahan kita hanya menghitung hari" Leo merasa hatinya sedikit lega mendengar itu, meski masih ada rasa canggung. "Baiklah, kalau begitu saya terima tawarannya, Bu. Tapi maaf jika aku merepotkan ibu sama Dinda," ucap Leo sambil melirik Dinda yang tersenyum malu. Bu Mela tertawa kecil,"Tentu saja tidak, Leo. Kamu kan sudah ibu anggap anak ibu juga" Leo mengangguk, merasa sedikit lebih tenang meski hatinya masih dipenuhi berbagai perasaan. Dalam hatinya, dia senang bisa lebih dekat dengan Dinda, meski tetap berusaha menjaga jarak sesuai dengan komitmen mereka. Malam itu, Leo merasa nyaman meskipun hatinya masih terguncang oleh kejadian sebelumnya. Dinda memastikan bahwa dia mendapat tempat tidur yang nyaman di kamar tamu, dan setelah semuanya beres, mereka berdua mengucapkan selamat malam. Leo berbaring di tempat tidur, matanya memandang langit-langit kamar sambil merenungkan kejadian hari ini. Perasaan campur aduk memenuhi pikirannya, antara rasa cinta yang mendalam untuk Dinda, rasa bersalah atas kejadian di mobil, dan perasaan aneh yang ia rasakan saat berada dekat dengan Bu Mela. Malam itu, meski tubuhnya lelah, pikirannya tetap terjaga, dipenuhi dengan harapan untuk masa depan yang akan segera datang, namun juga dengan keraguan dan kebimbangan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Leo terbangun dari tidurnya saat mendengar suara pintu kamar terbuka perlahan. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu koridor. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat sosok Bu Mela, calon mertuanya, melangkah masuk dengan perlahan. Pakaian daster yang dikenakan Bu Mela begitu tipis dan menggoda, menampilkan siluet tubuhnya yang montok dengan sangat jelas. Leo menelan ludah, merasa campuran antara kaget dan kebingungan. "Bu... Ada apa ini?" tanya Leo dengan suara serak, mencoba tetap tenang meski pikirannya kacau balau. Bu Mela hanya tersenyum tipis, senyum yang membawa aura misterius sekaligus menggoda. Dia duduk di tepi ranjang, sangat dekat dengan Leo, membuat udara di sekitarnya terasa semakin panas. "Leo, aku nggak bisa tidur. Rasanya dingin sekali malam ini," bisiknya, matanya menatap Leo dengan pandangan yang sulit diartikan. Leo merasakan tubuhnya kaku, pikirannya berputar-putar mencari alasan untuk memahami situasi ini. "Tapi, Bu. ini nggak benar," jawab Leo dengan suara terbata-bata, matanya menatap Bu Mela dengan cemas. Namun, Bu Mela mengangkat tangan, menaruhnya di bibir Leo, membuat Leo terdiam seketika. "Ssstt... Jangan khawatir, Leo. Ini hanya antara kita berdua," ucap Bu Mela dengan nada lembut namun tegas. "Aku hanya butuh sedikit kehangatan. Kamu bisa membantuku, kan?" imbuhnya dengan suara menggoda. Leo merasa semakin bingung dan terjebak. Di satu sisi, dia tahu betapa salahnya situasi itu, dia mencintai Dinda dan tidak ingin mengkhianatinya. Tapi di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan desakan Bu Mela, terutama dengan ancaman yang sudah disampaikan sebelumnya. Jantungnya berdebar kencang, dan dia merasa terjebak di antara kewajibannya kepada Dinda dan tekanan dari Bu Mela. "Bu... Aku... Aku nggak bisa..." Leo berusaha keras menolak, tapi suaranya terdengar lemah bahkan bagi dirinya sendiri. Bu Mela mendekat, wajahnya semakin dekat dengan wajah Leo. "Jangan bilang nggak bisa, Leo. Aku tahu kamu bisa. Kamu hanya perlu... membantu aku sebentar saja." Bu Mela menatap dalam-dalam Leo menutup matanya, merasa benar-benar terjebak dan tidak tahu harus berbuat apa. Bu Mela kini berada sangat dekat dengannya, napasnya terasa hangat di kulit Leo. Tangan Bu Mela mulai bergerak ke arah dada Leo, memberikan sentuhan lembut yang membuat Leo semakin bingung dan takut. Namun, di tengah semua itu, pikiran Leo terbayang wajah Dinda, wanita yang dia cintai dan yang ingin dia habiskan hidupnya bersama. Itu memberinya kekuatan untuk berbicara meski suaranya masih bergetar. "Bu, aku mohon, kita berhenti sampai di sini. Aku... aku nggak bisa mengkhianati Dinda," ucap Leo penuh harap. Bu Mela menatap Leo dengan pandangan yang sulit ditebak, seolah mempertimbangkan sesuatu. Lalu, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia perlahan menarik diri, meski masih tersenyum tipis. "Kamu benar-benar mencintai Dinda, ya?" tanyanya dengan nada lembut namun penuh makna. Leo mengangguk perlahan, berusaha menenangkan diri,"Iya, Bu. Aku benar-benar mencintainya. Dan aku ingin menjaga hubungan ini tetap suci sampai kami menikah" Bu Mela memandang Leo dengan tatapan yang tajam sebelum akhirnya berdiri dari ranjang. "Baiklah, Leo. Aku menghargai kejujuran dan keteguhan hatimu," ucap Bu Mela dengan nada yang lebih dingin. "Tapi ingatlah... apapun yang terjadi malam ini, aku tetap memegang kendali atas masa depan pernikahan kalian. Jika kamu tidak memberikan jatah malam untukku, semuanya akan aku batalkan!" tambahnya merasa sedikit kecewa. Leo hanya bisa mengangguk tanpa berkata apa-apa, masih dalam keadaan syok. Bu Mela kemudian keluar dari kamar dengan langkah perlahan, meninggalkan Leo yang masih terguncang dengan apa yang baru saja terjadi. Setelah pintu tertutup, Leo terbaring di tempat tidur dengan perasaan campur aduk, lega karena tidak menyerah pada godaan, tapi juga takut akan konsekuensi yang mungkin terjadi setelah ini. Dia tahu, mulai saat ini, hubungannya dengan Bu Mela akan berubah, dan dia harus lebih berhati-hati dalam mengambil setiap langkah ke depannya. "Aku memang menyukai tubuhnya yang molek, tapi aku takut Dinda mengetahui apa yang aku lakukan dengan ibunya," gumam Leo kebingungan, di satu sisi dia juga merasakan hasratnya bangkit ketika membayangkan tubuh bu Mela yang tadi hanya memakai daster tipis dan benar-benar sangat menggoda. *****Leo dengan penuh cinta memeluk tubuh Dinda yang kini telah sah menjadi istrinya. Kali ini Dinda pun pasrah dengan apa yang dilakukan Leo. Ketika Leo mendaratkan bibirnya di bibir Dinda, di situ Dinda langsung merespon dengan penuh perasaan. Keduanya saling menyesap seakan sama-sama ingin melampiaskan nafsu birahinya yang sudah lama menunggu momen malam pertama pernikahan mereka."Mmm... Ahh...." Dinda mulai menggeliat ketika Leo mulai mengecup lehernya dengan buas. Leo tampak begitu bernafsu karena malam itu Dinda benar-benar cantik dengan balutan gaun pengantin. "Aku ingin kita menikmatinya bersama, Sayang," bisik Leo. Nafasnya memburu, kedua tangannya perlahan-lahan melepaskan gaun yang dikenakan oleh istrinya.Saat itu Dinda langsung paham, dia mengerti keinginan suaminya, sehingga Dinda juga mengambil posisi untuk lebih mudah melepaskan gaun pengantin yang dipakainya."Sabar, Mas... Jangan buru-buru,' ucap Dinda, suaranya terdengar lembut dan sangat menggoda. "Aku sudah lama me
Hari itu, Leo berusaha mengalihkan pikirannya dengan tenggelam dalam berbagai urusan pernikahannya dengan Dinda. Dia sibuk menghubungi vendor dekorasi, mencocokkan jadwal dengan katering, hingga memastikan semua persiapan berjalan lancar. Meskipun pikirannya masih terus dihantui oleh sikap Bu Mela, Leo tahu bahwa pernikahannya dengan Dinda harus menjadi prioritas utama.Setelah berjam-jam sibuk dengan persiapan, Leo merasa sudah waktunya untuk berbicara dengan Dinda. Dia ingin memastikan semua rencana berjalan cepat dan mulus, tapi di balik itu, ada keinginan lain yang mendesak di hatinya: mempercepat pernikahan agar dia bisa segera mengakhiri semua tekanan yang dia rasakan dari Bu Mela.Dia mengambil ponselnya dan menelepon Dinda. Suara lembut kekasihnya terdengar dari seberang telepon. "Halo, Mas. Gimana, semuanya lancar?" tanya Dinda dengan nada riang. "Iya, lancar kok. Aku baru selesai ngurus beberapa hal. Sayang bisa datang ke rumah nggak? Ada yang pengen aku omongin langsung
Leo duduk di ruang tamu, merasa gelisah. Malam itu terasa begitu tenang, namun ada ketegangan yang tak bisa dia abaikan. Dinda, kekasihnya, sudah tertidur di kamar, sementara Bu Mela terus mendekatinya dengan sikap yang membuat Leo merasa tidak nyaman. "Leo, kamu pasti capek, ya?" tanya Bu Mela sambil duduk lebih dekat dari biasanya. Tatapan matanya begitu intens, seakan-akan dia mencari sesuatu dari Leo yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya."Tidak, Bu. Aku baik-baik saja kok, hanya sedikit masih mengantuk aja," jawab Leo tersenyum kaku.Namun, semakin lama, Bu Mela semakin berani. Tangan halusnya mulai menyentuh lengan Leo, dan meskipun terlihat santai, Leo tahu ada maksud tersembunyi di balik sikapnya. "Bu, jangan seperti itu. Ini sudah pagi, dan aku tidak ingin Dinda terbangun kemudian memergoki kita," ujar Leo mencoba mencari alasan untuk menjauh. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.Tapi, Bu Mela tidak menyerah begitu saja. Dia mendekat, lebih dekat lagi, hingga
Leo terus memainkan lidahnya di area mahkota Dinda yang semakin basah. Sedangkan Dinda terus saja mendesah seolah sangat menikmati apa yang dilakukan oleh calon suaminya itu. Leo yang juga sudah tidak kuat lagi menahan gejolak hasrat birahinya yang semakin memuncak, kemudian dia menyudahi permainan itu. Dia tersenyum menatap Dinda, keduanya saling tatap dengan penuh perasaan. Tangan Leo memegang miliknya yang membuat Dinda sedikit kaget melihat itu. "Mas, jangan ngelakuin yang lebih," ucap Dinda pelan dan seolah memohon. "Kamu tenang saja, Sayang. Aku tidak akan memasukannya kok, kan kita sudah janji. Aku hanya ingin menggesek-gesekkan aja biar kita sama-sama mendapatkan kenikmatan," balas Leo diakhiri senyuman. Mendengar itu, Dinda mengangguk lemah, meski ada rasa ketakutan jika sampai Leo melakukannya sebelum pernikahan. Dinda tidak mau merusak momen saat nanti malam pertama. Namun di satu sisi dia yakin jika Leo pasti memegang ucapnya. "Kita nikmati bareng-bareng yah, Saya
Mendengar perkataan Leo, sontak Dinda membuka matanya lebar-lebar. "Ihh, Sayang. Kenapa sih bisa gitu?" Dinda terlihat keheranan. "Ya nggak tau, Sayang. Mungkin udah gak sabar masuk ke sarangnya," jawab Leo sedikit bercanda. "Jangan lah, Mas. Kita kan udah sepakat untuk tidak melakukannya sebelum menikah. Kamu tahan aja yah," ucap Dinda yang tidak mau melanggar komitmennya. "Aku tahu itu, Sayang. Tapi gimana dong ini? Sumpah gak kuat banget, Sayang." Leo mengusap-usap bagian celananya yang menyembul. Saat itu Dinda terdiam memperhatikan calon suaminya yang memang tampak sangat bernafsu. Walaupun sebenarnya Dinda juga ingin cepat-cepat merasakan benda keras milik suaminya, tetapi dia tidak mau itu terjadi sebelum pernikahan. "Mas, aku tahu kamu nggak kuat, aku bantuin aja yah," ucap Dinda yang akhirnya menawarkan diri. Leo tersenyum meski sebenarnya dia ingin melakukan lebih, namun dia juga sadar dengan perjanjiannya dengan Dinda. Yang akhirnya Leo mengangguk, karena biar
"Sayang, kamu yakin kita akan tidur bareng di sini?" tanya Leo dengan tatapan mata yang penuh cinta. "Iya, Mas. Kan kita cuma tidur, kita jangan melakukan sesuatu yang lebih," jawab Dinda mencoba untuk menahan Leo agar tidak melakukannya sebelum sah menjadi pasangan suami-isteri. "Iya juga sih, tapi kalo bukan itu boleh dong, Sayang, hehe." Leo menggodanya, dia mencubit lembut hidung calon istrinya itu. Dinda tertawa kecil mendengar lelucon itu, tetapi dalam hatinya Dinda tahu jika Leo sangat mencintainya, dan begitu juga dengan Dinda sendiri yang juga sangat mencintai Leo. Akan tetapi, keduanya sudah berkomitmen untuk tidak melakukan hubungan badan sebelum menikah. Leo tersenyum sambil memandangi kamar Dinda yang memang terlihat nyaman dan indah. "Kamar ini benar-benar indah, Sayang. Wanginya juga bikin betah. Rasanya aku nggak sabar ingin tinggal selamanya di sini bareng kamu," ucap Leo sambil menggenggam tangan Dinda. Mendengar itu, Dinda tersenyum mendengar pujian Leo,