Mag-log inDinda menoleh cepat, jelas terkejut. Namun ia tidak langsung marah, hanya menatap Leo seolah mencoba membaca apakah pertanyaan itu serius atau sekadar ketakutan biasa jelang pernikahan.
“Ber—berkhianat?” ulang Dinda pelan.
Leo tidak bisa menatap matanya. “Iya… kalau… misalnya aja.”
Hening sebentar.
Dinda menarik napas dan memandang ke luar jendela sebelum menjawab.
“Aku bakal sakit hati, Mas.” Nada suaranya stabil, tapi ada ketegasan di sana. “Tapi aku juga percaya… kalau orang itu nyesel dan mau berubah, keluarga tetap bisa diperbaiki.”
Leo mengepal tangan di pangkuannya.
“Tapi kalau dia nggak mau berubah?” bisiknya.
Dinda menatap Leo dan kali ini matanya tidak berkelakar. Ada kejujuran yang tajam.
“Kalau dia sengaja menghancurkan keluarga kita, berarti dia nggak layak dipertahankan.”
Leo tersentak pelan. Kalimat itu menancap seperti paku di dadanya.
Dinda melanjutkan, suaranya lebih lembut namun tetap tegas, “Mas… aku cuma mau rumah tangga yang jujur. Kita nggak perlu sempurna, tapi jangan saling nyakitin.”
Leo menunduk. “Iya… aku ngerti.”
Dinda mengusap bahunya, tidak tahu apa yang sebenarnya sedang ia jawab.
Leo memejamkan mata sejenak karena ironisnya, di saat Dinda bicara tentang kejujuran dan keluarga utuh, Leo sudah membawa rahasia paling kotor sejak tadi.
Leo menyalakan kembali mobil dan melanjutkan perjalanan dengan hati yang lebih tenang meski ada beban yang masih tersisa.
Setelah beberapa saat di perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah Dinda. Hujan gerimis masih terus turun, membuat suasana malam terasa semakin dingin.
Leo dan Dinda bergegas masuk ke dalam rumah, menggigil sedikit karena dinginnya udara di luar.
Begitu masuk ke dalam rumah, Dinda langsung menunjukkan perhatiannya kepada Leo.
"Mas, kamu kelihatan lelah banget. Aku buatin teh panas, ya?" tawarnya dengan senyum lembut.
Leo hanya mengangguk sambil tersenyum, berusaha menyingkirkan pikiran tentang apa yang terjadi di dalam mobil tadi.
Meskipun hatinya masih sedikit berat, melihat perhatian Dinda membuatnya merasa lebih tenang. Mereka duduk di ruang tamu, menikmati kehangatan rumah yang kontras dengan dinginnya udara di luar.
Sementara Dinda sibuk di dapur, Bu Mela muncul dari ruang dalam, tersenyum melihat kedekatan mereka.
"Kalian memang kelihatan cocok sekali," ucap Bu Mela sambil mendekati Leo.
Leo tersenyum kikuk, merasa sedikit canggung di depan Bu Mela setelah perjanjian yang mereka lakukan sebelumnya.
Setelah beberapa saat, Dinda kembali dengan dua cangkir teh panas dan duduk di sebelah Leo.
"Ini, Sayang. Biar kamu hangat," ujar Dinda sambil menyerahkan cangkir itu.
Leo menerima teh itu dengan senyum hangat, "Terima kasih, Sayang"
Bu Mela memperhatikan mereka sejenak sebelum berkata, "Leo, di luar hujan, sudah malam juga, terus kamu kelihatan sangat lelah. Kenapa nggak menginap saja di sini malam ini? Lebih aman daripada kamu harus pulang dalam keadaan seperti ini"
Leo ragu sejenak, merasa tidak enak hati.
"Aduh … nggak usah, Buk. Takut merepotkan," ujar Leo.
Namun, Bu Mela segera menenangkannya.
"Nggak usah khawatir. Kamu bisa tidur di kamar tamu. Lagipula, Dinda juga pasti setuju, kan, Sayang?" Bu Mela menoleh ke arah putrinya.
Dinda mengangguk setuju, menunjukkan rasa peduli yang tulus kepada tunangannya,"Iya, Mas. Menginap aja di sini. Aku nggak pengen kamu sakit karena kelelahan. Ingat pernikahan kita hanya menghitung hari"
Leo merasa hatinya sedikit lega mendengar itu, meski masih ada rasa canggung.
"Baiklah, kalau begitu saya terima tawarannya, Bu. Tapi maaf jika aku merepotkan ibu sama Dinda," ucap Leo sambil melirik Dinda yang tersenyum malu.
Bu Mela tertawa kecil, "Tentu saja tidak, Leo. Kamu kan sudah ibu anggap anak ibu juga."
Leo mengangguk, merasa sedikit lebih tenang meski hatinya masih dipenuhi berbagai perasaan. Dalam hatinya, dia senang bisa lebih dekat dengan Dinda, meski tetap berusaha menjaga jarak sesuai dengan komitmen mereka.
Setelah Dinda memastikan bahwa Leo mendapat tempat tidur yang nyaman di kamar tamu, ia meninggalkan Leo di kamar itu usai mengucapkan selamat malam.
Leo berbaring di tempat tidur, matanya memandang langit-langit kamar sambil merenungkan kejadian hari ini.
Perasaan campur aduk memenuhi pikirannya, antara rasa cinta yang mendalam untuk Dinda, rasa bersalah atas perjanjian yang telah ia buat dengan Bu Mela.
Malam itu, meski tubuhnya lelah, pikirannya tetap terjaga, dipenuhi dengan harapan untuk masa depan yang akan segera datang, namun juga dengan keraguan dan kebimbangan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Leo terbangun dari tidurnya saat mendengar suara pintu kamar terbuka perlahan. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya samar dari lampu koridor.
Jantungnya berdegup kencang ketika melihat sosok Bu Mela melangkah masuk dengan perlahan. Pakaian daster yang dikenakan Bu Mela begitu tipis dan menggoda, menampilkan siluet tubuhnya yang montok dengan sangat jelas.
Leo menelan ludah, merasa campuran antara kaget dan kebingungan.
"Bu... Ada apa?" tanya Leo dengan suara serak, mencoba tetap tenang meski pikirannya mulai kacau balau karena penampilan calon mertuanya.
Bu Mela hanya tersenyum tipis, senyum yang membawa aura misterius sekaligus menggoda. Dia duduk di tepi ranjang, sangat dekat dengan Leo, membuat udara di sekitarnya terasa semakin panas.
"Leo, ibu nggak bisa tidur. Rasanya dingin sekali malam ini," bisiknya, matanya menatap Leo dengan pandangan yang sulit diartikan.
Leo merasakan tubuhnya kaku, pikirannya berputar-putar mencari alasan untuk memahami situasi ini.
“Gimana kalau kamu hangatkan ibu malam ini?” Bu Mela membelai lengan Leo dengan senyum menggoda.
Ia juga lelaki normal. Mendapat serangan seperti ini, jelas tubuhnya bereaksi.
Pagi itu udara terasa berbeda. Matahari baru saja muncul dari ufuk timur, sinarnya masuk melalui sela-sela tirai kamar. Dinda terbangun dengan napas terengah, tangannya refleks memegang perut yang terasa menegang. "Mas…," suaranya lirih, namun terdengar panik.Leo yang sedang bersiap di meja rias langsung berbalik. "Kenapa, Sayang? Sakit?" tanyanya cemas sambil menghampiri."Kayaknya… ini sudah waktunya," jawab Dinda dengan wajah menahan sakit. Matanya berkaca-kaca.Leo langsung memanggil kedua orang tuanya, Pak Arman dan Bu Ratna, yang langsung sigap membantu. Dalam waktu singkat mereka sudah bersiap menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Leo menggenggam tangan Dinda erat, seakan tidak ingin melepaskannya sedetik pun."Sayang, tarik napas dalam… buang pelan-pelan, ya. Kita sudah dekat," ucap Leo berulang kali, mencoba menenangkan walau hatinya sendiri berdegup tak karuan.Setibanya di rumah sakit, perawat segera membawa Dinda ke ruang bersalin. Leo sempat ingin ikut masuk, tapi do
Satu bulan kemudian, kehidupan Leo dan Dinda terasa semakin membaik. Hari-hari mereka kini dipenuhi senyum dan ketenangan. Perut Dinda semakin membuncit, menandakan usia kandungannya telah memasuki tahap akhir. Setiap gerakan kecil dari janin di dalam rahimnya membuat Dinda tersenyum bahagia.Suatu sore, Leo duduk di sampingnya sambil menatap penuh sayang. “Aku nggak sabar, Sayang… sebentar lagi kita bisa lihat anak kita lahir,” ucapnya lirih, suaranya dipenuhi harapan dan kegembiraan.Dinda membalas tatapan itu dengan senyum hangat. "Aku juga, Mas. Rasanya campur aduk… senang, deg-degan, takut juga. Tapi aku bersyukur, anak kita lahir di keluarga yang penuh kasih."Kebahagiaan mereka semakin lengkap karena hubungan dengan mertua berjalan harmonis. Ibu Leo selalu memperhatikan Dinda, memastikan ia makan cukup, istirahat, dan tidak terlalu lelah. Setiap pagi, aroma masakan hangat buatan sang mertua menyambut mereka di meja makan, menambah suasana rumah yang begitu nyaman.Di tengah keb
Pagi itu, suasana di halaman depan rumah Pak Bram terasa tegang. Udara pagi yang biasanya segar kini terasa berat, seolah ikut merasakan amarah yang membara di dada Leo. Lelaki itu melangkah cepat, langkah kakinya menghentak lantai teras kayu. Wajahnya kaku, rahang mengeras, matanya menyala dengan tatapan penuh kemarahan.Pak Bram, ayah angkatnya, sedang duduk santai di kursi rotan sambil menyeruput kopi hitam. Begitu melihat Leo datang, alisnya terangkat, seolah terkejut namun tetap berusaha mempertahankan ekspresi tenang."Ada apa pagi-pagi begini, Leo?" tanya Pak Bram, nadanya datar, tapi ada sedikit nada waspada di balik suaranya.Leo tidak langsung menjawab. Dia berdiri di hadapan ayah angkatnya itu, menatap tajam seakan ingin menembus lapisan topeng yang selama ini menutupi wajah pria tua tersebut. "Aku mau tanya, kenapa Bapak tega memfitnah Dinda?!"Pak Bram mengerutkan kening, berpura-pura tidak mengerti. "Fitnah apa? Aku nggak ngerti maksud kamu.""Jangan pura-pura nggak tahu
Pagi Hari di Kantor Baru. Matahari baru saja meninggi ketika Leo memarkir mobil di halaman gedung megah bertingkat lima. Di bagian depan, papan nama perusahaan itu terpampang jelas, kini sudah resmi atas nama Dinda Prameswari.Leo membuka pintu mobil dan tersenyum. "Ayo, Sayang. Hari ini kamu yang jadi bosnya."Dinda menatap gedung itu dengan mata berkaca-kaca. Rasanya masih seperti mimpi, bahwa tempat yang dulu menjadi sumber ketidakadilan dan rasa sakit hati, kini sepenuhnya miliknya. "Aku… nggak nyangka, Mas. Semua perjuangan kita akhirnya sampai juga di sini."Leo menggenggam tangannya. "Kita sampai di sini bukan karena kebetulan. Kamu berhak, Din. Ini memang milikmu."Mereka melangkah masuk. Begitu pintu lobi terbuka, seluruh karyawan yang sudah diberi pengarahan oleh Pak Arman berdiri rapi di sisi kanan dan kiri, bertepuk tangan menyambut kedatangan pemilik baru mereka. Beberapa karyawan yang dulu mengenal Dinda waktu kecil bahkan menahan air mata, terharu karena gadis yang dulu
Ruang sidang penuh sesak. Kursi-kursi di barisan belakang dipenuhi wartawan, beberapa memegang kamera, siap mengabadikan setiap momen. Di kursi pengunjung, Pak Arman dan Bu Ratna duduk tegak, wajah mereka tegas namun tenang. Di depan, Leo menggenggam erat tangan Dinda, memberi kekuatan sebelum sidang dimulai. Dinda terlihat gugup, namun Leo terus memenangkannya. Ketika hakim memasuki ruangan, semua berdiri. "Sidang perkara dugaan pemalsuan dokumen dan perampasan hak ahli waris atas nama terdakwa, Melati Wulandari, dibuka." Bu Mela duduk di kursi terdakwa, mengenakan setelan rapi, tapi wajahnya pucat. Sesekali ia menoleh ke arah Leo dan Dinda dengan tatapan tajam, dia terlihat benar-benar benci. Jaksa penuntut bangkit. "Yang Mulia, kami telah mengumpulkan bukti-bukti bahwa terdakwa, Melati Wulandari, secara sengaja menyembunyikan dan memalsukan dokumen waris yang seharusnya menjadi milik saksi korban, Dinda Prameswari. Tindakan ini dilakukan untuk menguasai aset dan saham perusaha
Leo dan Dinda masuk ke kamar dengan langkah yang masih terasa berat, seakan-akan mereka baru saja keluar dari mimpi panjang yang belum benar-benar mereka pahami. Leo duduk di tepi ranjang, matanya masih menerawang, memikirkan percakapan barusan dengan kedua orang tua kandungnya."Aku… nggak nyangka, Sayang," ucap Leo pelan, suaranya bergetar. "Mereka… orang tuaku… ternyata selama ini hidup di dunia yang begitu jauh dari kehidupanku. Kaya raya, berpengaruh… tapi aku bahkan nggak tahu mereka ada."Dinda duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat. Ia bisa merasakan betapa campur aduknya perasaan Leo, antara terkejut, bahagia, dan masih ada sedikit rasa asing yang menyelinap."Tapi satu hal yang bikin aku lega," lanjut Leo sambil menatap mata Dinda."Mereka nggak cuma menerimaku… tapi juga mau membantumu. Kita bisa lawan Bu Mela. Kita bisa ambil kembali hakmu, Sayang."Dinda tersenyum tipis, namun matanya berkaca-kaca. "Aku senang kamu akhirnya ketemu keluargamu, Leo. Dan aku… bersy







