Home / Urban / Jatah Malam Untuk Mertua / Syarat Nikah Yang Berat

Share

Jatah Malam Untuk Mertua
Jatah Malam Untuk Mertua
Author: WAZA PENA

Syarat Nikah Yang Berat

Author: WAZA PENA
last update Huling Na-update: 2025-06-10 12:39:19

Leo berdiri di depan pintu rumah calon istrinya, merasa sedikit gugup. Hari itu adalah kesempatan terakhirnya untuk bertemu dengan keluarga Dinda sebelum pernikahan mereka yang tinggal menghitung hari.

Setelah beberapa saat, pintu terbuka, dan Bu Mela, ibu Dinda, menyambutnya dengan senyuman hangat.

"Oh, Leo. Silakan masuk. Dinda masih di kamar mandi, tapi sebentar lagi selesai," ujar Bu Mela sambil mempersilakan Leo duduk di ruang tamu.

Leo merasa sedikit canggung, tapi dia berusaha menjaga sikapnya. Setelah beberapa menit, mereka mulai berbicara ringan, membahas persiapan pernikahan yang semakin dekat. Leo merasa lega karena semuanya tampak berjalan lancar.

Namun, suasana berubah saat Bu Mela tiba-tiba berhenti berbicara dan menatap Leo dengan sorot mata yang tajam.

"Leo," ucap Bu Mela dengan suara yang lebih serius. "Ada satu hal yang ingin Ibu bicarakan denganmu sebelum kalian menikah.”

Leo merasa ada sesuatu yang ganjil, tapi dia tetap mengangguk, menunggu Bu Mela melanjutkan.

"Sebenarnya, Ibu ingin meminta sesuatu darimu," ujar Bu Mela, suaranya sedikit bergetar, namun tetap tegas.

"Ibu tahu ini mungkin akan mengejutkanmu, tapi Ibu butuh kasih sayang, Leo. Ibu ini kan seorang janda, dan setelah ibu bercerai, Ibu merasa sangat kesepian," imbuhnya, sorot matanya penuh harap.

Leo menelan ludah, tidak yakin dengan arah pembicaraan ini.

“Ibu… butuh kasih sayang seorang lelaki,” ucapnya pelan namun jelas. “Dan Ibu ingin kamu… berbagi jatah malam setelah kamu menikah dengan Dinda.”

Leo tak bisa berkata-kata. Kata-kata itu menampar telinganya.

“Kalau kamu menolak,” lanjut Bu Mela tanpa kedip, “Ibu tidak akan restui pernikahan kalian.”

Leo memandangnya, berharap Bu Mela hanya salah bicara. Tapi wajahnya serius, tanpa sedikitpun keraguan.

“Bu… itu—” Leo tidak sanggup merangkai kalimat.

“Itu syaratnya,” potong Bu Mela. “Kalau kamu benar-benar mau menikah dengan Dinda, buktikan.”

Diam panjang menyelimuti ruangan. Leo ingin menolak, ingin berdiri dan pergi. Tapi bayangan Dinda, wanita yang sudah ia perjuangkan bertahun-tahun, menghantamnya lebih keras daripada ancaman itu sendiri.

Leo tahu Dinda begitu mencintainya. Ia tahu pernikahan ini sangat penting bagi keluarga Dinda. Ia tahu membatalkannya akan menghancurkan semuanya.

Dan Leo… tidak sanggup kehilangan Dinda.

Akhirnya ia mengangguk perlahan. “Baik, Bu… Saya setuju.”

Suaranya nyaris tidak terdengar.

Bu Mela tersenyum puas, lalu kembali bersikap seperti biasa seolah tidak ada yang terjadi.

Leo justru merasa seluruh ruangan menjadi lebih sempit.

Tangga berderit. Dinda turun sambil tersenyum cerah, membawa aura polos yang langsung menusuk hati Leo.

“Mas, maaf lama ya.”

Leo tersenyum kaku. “Nggak, kok.”

Ia hampir tidak bisa menatap Dinda setelah keputusan gila yang barusan ia buat.

Mencari alasan untuk pergi dari rumah itu, Leo mengajak Dinda keluar.

Begitu pintu tertutup di belakang mereka, Leo menghirup udara panjang seperti ingin melarikan diri dari sesuatu yang menempel di kepalanya.

Di dalam mobil, Dinda bercerita tentang hal-hal kecil mengenai pesta, rumah masa depan, dan rencana setelah menikah. Biasanya Leo akan ikut bersemangat, tapi kali ini setiap kata yang keluar dari mulut Dinda justru menambah sesak dadanya.

“Mas? Kamu kok diam banget hari ini?” tanya Dinda.

Leo mengerjap. “Oh? Nggak apa-apa kok, cuma capek.”

Jawaban aman. Tidak jujur. Tapi Dinda menerimanya tanpa curiga.

Leo memutar mobil menuju taman yang sepi. Bukan tempat khusus, hanya ruang tenang di mana ia bisa mendengar pikirannya sendiri tanpa gangguan.

Dinda memandangnya dengan khawatir begitu mobil berhenti. “Mas… kamu yakin nggak apa-apa?”

Leo menarik napas panjang. Semua ingin ia ceritakan. Tapi ia teringat ancaman Bu Mela. Teringat bagaimana keluarga Dinda begitu bergantung pada restu sang ibu.

Teringat cinta Dinda yang begitu besar padanya. Dan Leo langsung merasa seperti pria paling pengecut di dunia.

“Aku cuma mikir soal pernikahan nanti,” katanya pelan. Separuh kebenaran, separuh kebohongan.

Dinda mengangguk, lalu menyentuh lengannya dengan lembut. “Semua akan baik-baik aja. Kita sudah lewati banyak hal, Mas. Kita bisa jalanin semuanya bareng.”

Kata-kata itu menghantam Leo tepat di titik rapuhnya. Ia menunduk. “Iya…”

Dinda sempat menggenggam tangan Leo, tapi sentuhan itu yang justru membuat Leo merasa makin bersalah.

Karena ia tahu, Dinda tidak pantas menerima pria yang membuat keputusan seperti tadi.

Namun Leo juga tahu, ia tidak sanggup kehilangan Dinda.

“Sayang, nanti setelah kita menikah, kamu pengen tinggal di mana?” tanya Dinda tiba-tiba.

Leo mencoba tersenyum. “Rumah yang dekat taman itu. Tenang, tapi tetap deket ke mana-mana.”

Dinda mengangguk, matanya berbinar. “Iya, terus anak-anak kita bisa main di taman.”

Leo tertawa kecil. “Kamu ngomongnya kayak mau punya banyak anak.”

Dinda menjawab tanpa ragu, bercampur canda, “Memang aku pengen punya banyak anak! Mungkin lima atau enam. Lucu kalau mereka kayak kamu.”

Leo tertawa, tapi ada sedikit ketakutan yang menyelinap. “Lima atau enam? Kita bakal sibuk banget.”

“Tapi kan seru, Mas. Aku suka rumah yang rame.”

Ia lalu bersandar pada bahu Leo.

“Kamu harus bantu jagain anak-anak nanti. Jangan sibuk kerja terus.”

“Tentu. Aku bakal jadi suami yang baik dan ayah yang bertanggung jawab.”

Dinda tersenyum bahagia. “Aku seneng banget denger itu.”

Setelah tawa kecil itu mereda, Leo kembali terpaku pada wajah Dinda. Senyum wanita itu… polos, penuh harapan, dan tidak sedikit pun mencerminkan beban yang sedang dihancurkan oleh keputusan Leo sendiri.

Dan rasa bersalah itu datang lagi, bahkan lebih besar dari sebelumnya.

Leo mengusap tengkuk, menatap ke depan, lalu suara rendahnya keluar tanpa ia rencanakan.

“Din… boleh aku nanya sesuatu?”

“Boleh,” jawab Dinda lembut.

Leo menelan ludah. “Menurut kamu… kalau dalam rumah tangga nanti… ada salah satu dari kita yang… berkhianat… kamu bakal gimana?”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
orchid
iiih serem nih calon bumer
goodnovel comment avatar
Eli Mirza
baru jg mau baca udh ga nyaman thor..jd mles ada hal2 kaya gitu...norak jln cerita nya menjijikan..mnding kluar deh
goodnovel comment avatar
Mee Author
Ini gimana sih ceritanya? Kok bisa berbagi jatah? Aneh
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Jatah Malam Untuk Mertua    AIR MATA KEBAHAGIAAN

    Pagi itu udara terasa berbeda. Matahari baru saja muncul dari ufuk timur, sinarnya masuk melalui sela-sela tirai kamar. Dinda terbangun dengan napas terengah, tangannya refleks memegang perut yang terasa menegang. "Mas…," suaranya lirih, namun terdengar panik.Leo yang sedang bersiap di meja rias langsung berbalik. "Kenapa, Sayang? Sakit?" tanyanya cemas sambil menghampiri."Kayaknya… ini sudah waktunya," jawab Dinda dengan wajah menahan sakit. Matanya berkaca-kaca.Leo langsung memanggil kedua orang tuanya, Pak Arman dan Bu Ratna, yang langsung sigap membantu. Dalam waktu singkat mereka sudah bersiap menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Leo menggenggam tangan Dinda erat, seakan tidak ingin melepaskannya sedetik pun."Sayang, tarik napas dalam… buang pelan-pelan, ya. Kita sudah dekat," ucap Leo berulang kali, mencoba menenangkan walau hatinya sendiri berdegup tak karuan.Setibanya di rumah sakit, perawat segera membawa Dinda ke ruang bersalin. Leo sempat ingin ikut masuk, tapi do

  • Jatah Malam Untuk Mertua    Kebahagiaan Baru

    Satu bulan kemudian, kehidupan Leo dan Dinda terasa semakin membaik. Hari-hari mereka kini dipenuhi senyum dan ketenangan. Perut Dinda semakin membuncit, menandakan usia kandungannya telah memasuki tahap akhir. Setiap gerakan kecil dari janin di dalam rahimnya membuat Dinda tersenyum bahagia.Suatu sore, Leo duduk di sampingnya sambil menatap penuh sayang. “Aku nggak sabar, Sayang… sebentar lagi kita bisa lihat anak kita lahir,” ucapnya lirih, suaranya dipenuhi harapan dan kegembiraan.Dinda membalas tatapan itu dengan senyum hangat. "Aku juga, Mas. Rasanya campur aduk… senang, deg-degan, takut juga. Tapi aku bersyukur, anak kita lahir di keluarga yang penuh kasih."Kebahagiaan mereka semakin lengkap karena hubungan dengan mertua berjalan harmonis. Ibu Leo selalu memperhatikan Dinda, memastikan ia makan cukup, istirahat, dan tidak terlalu lelah. Setiap pagi, aroma masakan hangat buatan sang mertua menyambut mereka di meja makan, menambah suasana rumah yang begitu nyaman.Di tengah keb

  • Jatah Malam Untuk Mertua    Pak Bram dijebloskan

    Pagi itu, suasana di halaman depan rumah Pak Bram terasa tegang. Udara pagi yang biasanya segar kini terasa berat, seolah ikut merasakan amarah yang membara di dada Leo. Lelaki itu melangkah cepat, langkah kakinya menghentak lantai teras kayu. Wajahnya kaku, rahang mengeras, matanya menyala dengan tatapan penuh kemarahan.Pak Bram, ayah angkatnya, sedang duduk santai di kursi rotan sambil menyeruput kopi hitam. Begitu melihat Leo datang, alisnya terangkat, seolah terkejut namun tetap berusaha mempertahankan ekspresi tenang."Ada apa pagi-pagi begini, Leo?" tanya Pak Bram, nadanya datar, tapi ada sedikit nada waspada di balik suaranya.Leo tidak langsung menjawab. Dia berdiri di hadapan ayah angkatnya itu, menatap tajam seakan ingin menembus lapisan topeng yang selama ini menutupi wajah pria tua tersebut. "Aku mau tanya, kenapa Bapak tega memfitnah Dinda?!"Pak Bram mengerutkan kening, berpura-pura tidak mengerti. "Fitnah apa? Aku nggak ngerti maksud kamu.""Jangan pura-pura nggak tahu

  • Jatah Malam Untuk Mertua    Tuduhan Palsu

    Pagi Hari di Kantor Baru. Matahari baru saja meninggi ketika Leo memarkir mobil di halaman gedung megah bertingkat lima. Di bagian depan, papan nama perusahaan itu terpampang jelas, kini sudah resmi atas nama Dinda Prameswari.Leo membuka pintu mobil dan tersenyum. "Ayo, Sayang. Hari ini kamu yang jadi bosnya."Dinda menatap gedung itu dengan mata berkaca-kaca. Rasanya masih seperti mimpi, bahwa tempat yang dulu menjadi sumber ketidakadilan dan rasa sakit hati, kini sepenuhnya miliknya. "Aku… nggak nyangka, Mas. Semua perjuangan kita akhirnya sampai juga di sini."Leo menggenggam tangannya. "Kita sampai di sini bukan karena kebetulan. Kamu berhak, Din. Ini memang milikmu."Mereka melangkah masuk. Begitu pintu lobi terbuka, seluruh karyawan yang sudah diberi pengarahan oleh Pak Arman berdiri rapi di sisi kanan dan kiri, bertepuk tangan menyambut kedatangan pemilik baru mereka. Beberapa karyawan yang dulu mengenal Dinda waktu kecil bahkan menahan air mata, terharu karena gadis yang dulu

  • Jatah Malam Untuk Mertua    Mengadili Bu Mela

    Ruang sidang penuh sesak. Kursi-kursi di barisan belakang dipenuhi wartawan, beberapa memegang kamera, siap mengabadikan setiap momen. Di kursi pengunjung, Pak Arman dan Bu Ratna duduk tegak, wajah mereka tegas namun tenang. Di depan, Leo menggenggam erat tangan Dinda, memberi kekuatan sebelum sidang dimulai. Dinda terlihat gugup, namun Leo terus memenangkannya. Ketika hakim memasuki ruangan, semua berdiri. "Sidang perkara dugaan pemalsuan dokumen dan perampasan hak ahli waris atas nama terdakwa, Melati Wulandari, dibuka." Bu Mela duduk di kursi terdakwa, mengenakan setelan rapi, tapi wajahnya pucat. Sesekali ia menoleh ke arah Leo dan Dinda dengan tatapan tajam, dia terlihat benar-benar benci. Jaksa penuntut bangkit. "Yang Mulia, kami telah mengumpulkan bukti-bukti bahwa terdakwa, Melati Wulandari, secara sengaja menyembunyikan dan memalsukan dokumen waris yang seharusnya menjadi milik saksi korban, Dinda Prameswari. Tindakan ini dilakukan untuk menguasai aset dan saham perusaha

  • Jatah Malam Untuk Mertua    Berkas itu Berhasil Kembali

    Leo dan Dinda masuk ke kamar dengan langkah yang masih terasa berat, seakan-akan mereka baru saja keluar dari mimpi panjang yang belum benar-benar mereka pahami. Leo duduk di tepi ranjang, matanya masih menerawang, memikirkan percakapan barusan dengan kedua orang tua kandungnya."Aku… nggak nyangka, Sayang," ucap Leo pelan, suaranya bergetar. "Mereka… orang tuaku… ternyata selama ini hidup di dunia yang begitu jauh dari kehidupanku. Kaya raya, berpengaruh… tapi aku bahkan nggak tahu mereka ada."Dinda duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat. Ia bisa merasakan betapa campur aduknya perasaan Leo, antara terkejut, bahagia, dan masih ada sedikit rasa asing yang menyelinap."Tapi satu hal yang bikin aku lega," lanjut Leo sambil menatap mata Dinda."Mereka nggak cuma menerimaku… tapi juga mau membantumu. Kita bisa lawan Bu Mela. Kita bisa ambil kembali hakmu, Sayang."Dinda tersenyum tipis, namun matanya berkaca-kaca. "Aku senang kamu akhirnya ketemu keluargamu, Leo. Dan aku… bersy

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status