Leo menahan napas. Suasana ruangan jadi panas."Maaf, Bu. Jujur saja... Aku nggak ingin hubungan seperti itu lagi terjadi," ucapnya."Karena, aku sadar itu salah, Bu. Dan aku ingin memperbaiki semuanya, mulai dari sekarang.""Memperbaiki?" Bu Mela tertawa sinis. "Memperbaiki dengan cara kabur? Dengan membawa Dinda pergi dari rumah?""Itu bukan kabur. Itu langkah untuk menyelamatkan rumah tanggaku dengan Dinda, Bu," balas Leo, ia berusaha tenang.Bu Mela melangkah maju, berdiri di depan Leo. "Kalau begitu, ceraikan Dinda?"Sontak Leo terbelalak. "Apa?""Ceraikan dia, dan nikahi aku. Kita bisa hidup bersama, Leo. Aku sudah tidak peduli lagi apa kata orang. Aku ingin kamu jadi suamiku," ucap Bu Mela dengan nada penuh obsesi.Leo mundur satu langkah. "Bu, sadar nggak apa yang baru saja Ibu bilang? Ini... ini gila!""Aku serius, Leo." Suara Bu Mela bergetar. "Selama ini aku mempertahankan Dinda hanya demi kamu. Aku membiarkan dia tinggal di rumah, aku pura-pura jadi ibu yang baik. Tapi hat
Malam itu. Leo duduk membungkuk di kursi dekat ranjang, wajahnya tertunduk, pandangannya kosong. Sementara Dinda duduk di ranjang tak jauh darinya, memegangi perutnya yang masih rata.Terlihat seperti ada sesuatu di mata Dinda, seperti ada beban yang menunggu untuk dilepaskan. Tapi bibirnya hanya terkatup rapat. Leo pun tak langsung bicara, seperti sedang menghimpun keberanian.Setelah cukup lama mereka saling diam, dengan napas berat, Leo berdiri dan mendekat. Tatapannya menunduk, namun tangannya meraih lembut jemari istrinya."Sayang. Sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu," ucapnya pelan, suaranya serak. "Aku harus jujur sama kamu, karena aku tidak mau membohongimu terus-terusan."Mendengar ucapan suaminya. Dinda mengernyit, hatinya mencelos. "Kenapa ngomong gitu sih, Mas? Emang ada apa?"Leo menahan napas. "Selama ini aku banyak berbohong sama kamu. Semenjak kamu menjadi istriku, jujur... Aku sering berhubungan dengan ibumu.""Apa? Kamu ngomong apa barusan?" Dinda terperanjat,
Setelah berminggu-minggu menahan perasaan, akhirnya Leo merasa tidak bisa lagi menahan hasratnya yang muncul begitu kuat. Suatu malam, saat mereka berdua sedang bersantai di kamar, Leo memutuskan untuk jujur kepada Dinda. Dia merasa ini adalah satu-satunya cara agar dia tidak lagi merasa tertekan oleh perasaannya sendiri. "Sayang, aku mau ngomong sesuatu," ucap Leo dengan nada lembut namun serius.Dinda yang sedang duduk di ranjang, mengusap perutnya yang semakin membesar, menoleh ke arah suaminya dengan tatapan penuh perhatian. "Apa, sayang? Ada apa?" tanyanya dengan senyum kecil, meski dia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Leo.Leo menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata yang tepat, "Aku... aku merasa bersalah karena hasratku. Kamu sedang hamil, dan aku takut membebanimu atau membuatmu tidak nyaman. Tapi aku juga tidak bisa menahan perasaan ini terus-menerus. Aku ingin tetap dekat denganmu, tapi aku juga tidak mau memaksakan sesuatu yang mungkin
Leo tahu, semakin lama dia membiarkan ini berlarut-larut, semakin besar risikonya untuk menghancurkan keluarganya. Dia tak ingin menyakiti Dinda, apalagi sekarang ketika istrinya sedang hamil. Oleh karena itu, Leo bertekad untuk memastikan Rudi bisa menjalin hubungan serius dengan Bu Mela. Hanya dengan begitu, dia bisa benar-benar lepas dari situasi yang menjeratnya ini.Beberapa hari setelah pertemuan pertama mereka, Leo kembali menghubungi Rudi. Dia mengajak Rudi untuk makan malam lagi di rumah bersama Bu Mela dan Dinda. Rudi setuju, dan malam itu pun diatur.Saat makan malam, Dinda yang sedang hamil besar tampak lebih berseri-seri. Leo memperhatikan bagaimana Rudi dan Bu Mela semakin akrab. Mereka berbincang tentang banyak hal, mulai dari hobi hingga masa lalu, dan Bu Mela tampak benar-benar tertarik pada Rudi.Sepanjang malam, Leo diam-diam memperhatikan reaksi Bu Mela. Meskipun dia masih bisa merasakan ketertarikan mertuanya padanya, Leo melihat bahwa perhatian Bu Mela perlahan m
Pagi harinya, Leo dan Dinda bangun dengan suasana hati yang cerah. Wajah Dinda tampak berseri-seri, meski perasaan bersalah masih menyelimutinya. Keduanya tidak sabar membayangkan masa depan dengan bayi yang akan lahir. Dinda berbicara penuh antusias tentang nama-nama yang mungkin mereka berikan pada anak mereka, dan Leo hanya mengikuti pembicaraan itu dengan senyuman di wajahnya, meski di dalam hatinya, rasa khawatir terus menghantui. "Bagaimana kalau kita mulai menyiapkan kamar untuk bayi?" ujar Dinda dengan penuh semangat, memandangi Leo yang sedang duduk di tepi tempat tidur.Leo tersenyum kecil, mencoba menutupi kegelisahan yang belum hilang. "Ya, itu ide yang bagus," jawabnya, meskipun pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana. Kegembiraan di pagi itu sedikit ternoda oleh rasa takut yang terus muncul, bagaimana jika Bu Mela hamil?Selama sarapan, Bu Mela tampak lebih ceria dari biasanya. Dia melayani Dinda dengan penuh perhatian, mengingatkan menantunya untuk makan makanan s
Semuanya tampak berjalan dengan lancar dalam kegelapan yang penuh rahasia. Bu Mela dan Leo saling terjerat dalam hubungan terlarang di rumah, sementara di tempat lain, Pak Bram dan Dinda juga menikmati malam mereka dengan cara yang sama. Keduanya, Bu Mela dan Pak Bram, merasakan kepuasan dari hubungan terlarang itu, seolah mendapatkan kendali penuh atas menantu mereka masing-masing. Mereka bermain di balik bayang-bayang, tanpa peduli pada konsekuensi dari tindakan mereka.Namun, di balik semua itu, baik Dinda maupun Leo merasa hati mereka semakin tertekan. Setiap momen keintiman yang mereka bagikan dengan mertua masing-masing terasa seperti luka baru yang menggali semakin dalam ke jiwa mereka. Dinda, meski terpaksa, mulai merasa seperti terjebak dalam lingkaran yang tak mungkin bisa ia hindari. Tatapan Pak Bram yang penuh hasrat, kata-kata manisnya, semua itu hanya membuat perasaan bersalahnya semakin besar.**Di rumah, Leo pun merasakan hal yang sama. Meski tubuhnya menikmati keint