Enam minggu berlalu sejak Alea resmi magang di Dirgantara Group. Kehidupannya kini terbagi menjadi dua dunia yang sangat berbeda, dunia kampus yang penuh tawa dan kebebasan, serta dunia korporat yang serba cepat dan penuh tekanan. Ia mulai terbiasa dengan jadwal yang padat, meeting yang panjang, dan jargon-jargon bisnis yang sebelumnya terasa asing. Namun, yang paling mengejutkan adalah interaksinya dengan Alden.
Jarak antara mereka, secara fisik maupun profesional, seolah menguap. Alden bukan lagi sosok CEO yang dingin dan tak terjamah. Ia adalah mentor yang sabar, membimbing Alea dengan teliti, dan bahkan terkadang terlibat dalam diskusi santai tentang hal-hal di luar pekerjaan. Kopi pagi di mejanya selalu diikuti oleh obrolan ringan, dan di sela-sela proyek, Alden sering melontarkan pertanyaan pribadi tentang kuliah, hobi, dan impian Alea. Suatu sore, saat Alea sedang menyelesaikan revisi desain, Alden memanggilnya ke ruangan. "Saya sudah melihat desain yang kamu perbaiki. Hasilnya bagus," pujinya. "Tapi, ada satu hal lagi yang ingin saya tahu. Proyek ini akan diluncurkan saat musim semi. Apa filosofi di balik pilihan warna ini? Kuning dan hijau?" Alea tersenyum. "Kuning melambangkan optimisme dan kehangatan, Pak. Sementara hijau melambangkan pertumbuhan dan harapan. Saya ingin audiens merasa bahwa produk ini bukan hanya sebuah aplikasi, tapi sebuah awal yang baru." Alden menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kekaguman di matanya, dan ia mengangguk perlahan. "Kamu selalu berhasil melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang lain." Saat Alea kembali ke mejanya, ia tidak sadar bahwa percakapan mereka telah menjadi tontonan bagi beberapa rekan kerjanya. Dari balik kubikel, Bima dan Rina memperhatikan setiap gerak-gerik Alea dan Alden. Mereka saling berbisik, mata mereka dipenuhi kecurigaan. "Lihat itu. Anak magang kok bisa sampai di ruangan CEO?" bisik Rina pada Bima. Bima menyeringai. "Magang? Bukannya dia sekretaris pribadi kedua Pak Alden, ya? Semua tahu kok, kalau dia itu punya akses istimewa." Keesokan harinya, desas-desus mulai menyebar. Awalnya hanya bisik-bisik di belakang punggung, namun lama-kelamaan gosip itu menyebar seperti api. "Anak magang baru itu dekat banget sama Pak Alden, ya?" "Katanya mereka pacaran." "Padahal, Pak Alden sudah tunangan." Gosip itu menyebar dari divisi ke divisi, dari satu meja kopi ke meja kopi yang lain. Alea mulai merasakan tekanan. Ia memperhatikan tatapan-tatapan sinis dari rekan kerjanya, bisikan-bisikan yang berhenti saat ia lewat, dan senyuman palsu yang menyambutnya. Rina, yang selalu terlihat tidak bersahabat, kini secara terang-terangan menunjukkan ketidaknyamanan. Ia sering membuang muka saat Alea menyapanya, atau memberikan tugas tambahan yang tidak masuk akal. Suatu hari, saat makan siang, Alea makan bersama dengan Lia. Ia menceritakan semua gosip yang beredar. Lia mendengarkan dengan serius, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Al, kamu harus hati-hati," kata Lia. "Dunia kerja itu kejam. Mereka akan melakukan apa pun untuk menjatuhkanmu." "Tapi kenapa? Aku tidak melakukan apa-apa," jawab Alea, suaranya putus asa. "Karena kamu terlalu dekat dengan Alden," jelas Lia. "Mereka melihatmu sebagai ancaman. Mereka takut kamu akan mengambil posisi mereka, atau lebih buruk lagi, mengambil Alden dari mereka." Malam itu, Alea mengirim pesan pada Alden. Ia merasa perlu membicarakannya. Ia tidak bisa lagi menahan tekanan ini. Alea: Pak, apakah ada waktu untuk berbicara? Ada hal penting yang ingin saya sampaikan. Beberapa menit kemudian, balasan dari Alden datang. Alden: Besok, di atap kantor. Jam tujuh malam. Alea merasa lega, namun juga takut. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia hanya tahu bahwa ia harus menghadapi semua ini. Ia tidak bisa lari dari masalah. Keesokan harinya, di atap kantor, Alden menunggu Alea. Pemandangan kota yang sibuk di bawah mereka terlihat sangat indah. Angin malam menerpa rambut Alea, membuatnya merinding. "Ada apa, Alea?" tanya Alden, matanya menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. Alea menarik napas dalam-dalam. "Saya tahu apa yang Anda lakukan, Pak." Alden mengerutkan kening. "Apa yang saya lakukan?" "Anda mencoba untuk membuat saya menjadi 'mata ketiga' Anda," jawab Alea. "Anda ingin saya melihat celah yang tidak bisa dilihat orang lain. Tapi, Anda tidak sadar, bahwa saya juga punya mata. Saya bisa melihat gosip yang beredar di kantor. Saya bisa melihat tatapan sinis dari rekan-rekan saya. Saya bisa melihat tekanan yang Anda ciptakan." Alden terdiam. Ia menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Alea, seolah-olah mencoba membaca pikirannya. "Saya tidak akan berhenti," kata Alea. "Saya akan terus bekerja keras. Saya akan terus membuktikan diri. Tapi, saya ingin Anda tahu, saya bukan bagian dari permainan Anda. Saya tidak akan menjadi alat Anda." Alden tersenyum tipis. "Alea, saya tahu. Saya tahu kamu bukan bagian dari permainan saya. Kamu adalah bagian dari hidup saya." Alea terdiam. Jantungnya berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia hanya menatap Alden, dan ia melihat sesuatu di matanya. Sesuatu yang jujur dan tulus. Sesuatu yang membuatnya merasa bahwa ia bisa mempercayai pria ini. ────୨ৎ────────୨ৎ────────୨ৎ────────୨ৎ─────── Setelah percakapan mereka di atap, kepala Alea terasa pening. Matanya perih, menatap layar komputer yang menampilkan puluhan slide presentasi yang nyaris selesai. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan lampu-lampu di kantor Dirgantara Group sebagian besar sudah padam. Hanya ruangan Alea dan ruang Alden yang masih terang benderang. Proyek besar yang sudah mereka kerjakan selama berminggu-minggu harus diselesaikan malam ini. Presentasi final di hadapan dewan direksi sudah menanti besok pagi. Alea menghela napas, ia merasakan bahunya kaku dan punggungnya pegal. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil mug berisi teh chamomile yang sudah dingin, lalu matanya melirik ke arah pintu kaca Alden. Pria itu masih di dalam, sibuk dengan laptopnya. Ia tampak begitu serius, urat di lehernya terlihat jelas, dan rambutnya sedikit berantakan. Ia terlihat lelah, tetapi fokusnya tidak goyah sedikit pun. Alea merasa kagum. Ia tidak pernah bertemu orang yang memiliki dedikasi setinggi Alden. Ia menyukai cara Alden menjelaskan setiap detail proyek, cara ia membimbing Alea, dan cara ia melihat potensi di balik setiap ide. Ia tidak lagi melihat Alden sebagai CEO yang menakutkan, tetapi sebagai sosok yang ia kagumi. Ia tersenyum tipis, merasa bahwa ia beruntung bisa belajar dari yang terbaik. Tiba-tiba, pintu kaca ruangan Alden terbuka. Alden keluar dengan wajah lelah, tetapi matanya menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. "Alea, kamu baik-baik saja?" tanyanya, suaranya terdengar lembut, jauh berbeda dari nada profesional yang biasa ia gunakan. Alea mengangguk. "Saya baik-baik saja, Pak. Hanya sedikit lelah." Alden tersenyum tipis. "Saya tahu. Kamu sudah bekerja sangat keras. Istirahat sejenak. Saya akan memesankan makanan untuk kita." Alea terkejut. "Tidak perlu, Pak. Saya sudah membawa bekal." "Tidak," potong Alden. "Ini perintah. Kamu sudah bekerja keras. Kamu butuh energi. Saya akan memesankan sushi." Alea tidak bisa membantah. Ia hanya bisa mengangguk. Ia merasa bahwa Alden sedang peduli padanya. Perasaan aneh itu kembali muncul, dan kali ini terasa lebih kuat. Ini bukan lagi tentang kagum, tetapi tentang... sesuatu yang lebih dalam. Alden kembali ke ruangannya, sementara Alea menatap layar komputernya. Ia merasa bahwa ia tidak bisa fokus. Pikirannya dipenuhi oleh Alden. Ia memikirkan semua momen yang mereka habiskan bersama. Dari saat mereka berdua berdiskusi tentang desain, saat Alden memberinya mug kopi, hingga saat mereka berdua bercanda tentang film. Momen-momen kecil itu terasa begitu berharga, dan ia merasa bahwa ia telah jatuh cinta pada pria yang dingin dan misterius ini. Tidak lama kemudian, Alden keluar dari ruangannya dengan membawa dua kotak makan besar berisi sushi dan dua botol air mineral. Ia meletakkannya di meja Alea, lalu menarik kursi di seberangnya. "Makanlah," katanya, matanya menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. Alea mengambil sumpitnya dan mulai makan. Mereka berdua makan dalam diam. Tidak ada kata-kata, tetapi keheningan itu tidak canggung. Sebaliknya, keheningan itu terasa nyaman. Seolah-olah mereka berdua sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. "Kamu punya hobi, Alea?" tanya Alden tiba-tiba, memecah keheningan. Alea terkejut. Ia tidak menyangka Alden akan menanyakan hal itu. "Ehm... iya, Pak. Saya suka mendengarkan musik. Saya juga suka membaca buku, terutama buku-buku yang menceritakan tentang misteri." Alden tersenyum tipis. "Misteri? Kenapa?" "Karena saya suka mencoba memecahkan teka-teki. Saya suka mencari tahu apa yang tersembunyi di balik semua itu," jawab Alea. Alden mengangguk. "Saya juga. Saya selalu suka memecahkan misteri. Terutama misteri-misteri yang ada di dunia bisnis." Mereka berdua lalu berbicara tentang musik, buku, dan film. Mereka berbicara tentang hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Mereka tertawa, bercanda, dan saling bertukar cerita. Alea merasa bahwa ia tidak pernah merasa sebahagia ini. Ia merasa bahwa ia sedang bersama dengan orang yang ia sukai, dan ia merasa bahwa ia bisa menjadi dirinya sendiri. Tiba-tiba, mata Alea teralih pada jam yang ada di dinding. Sudah pukul sepuluh malam. Ia merasa bahwa ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya. "Pak, kita harus segera menyelesaikan pekerjaan," kata Alea. Alden mengangguk. "Tentu. Tapi, sebelum itu, saya ingin memberimu sesuatu." Alden lalu mengambil sebuah kotak kecil dari sakunya. Ia membukanya, dan di dalamnya, ada sebuah kalung perak yang sangat indah. Di tengahnya, ada liontin berbentuk kaca pembesar. "Ini untukmu, Alea," kata Alden, matanya menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. "Saya harap kamu bisa menggunakannya untuk melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang lain. Saya harap kamu bisa melihat... apa yang ada di balik semua ini." Alea terdiam. Jantungnya berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia hanya menatap Alden, dan ia melihat sesuatu di matanya. Sesuatu yang jujur dan tulus. Sesuatu yang membuatnya merasa bahwa ia bisa mempercayai pria ini. Ia tersenyum, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. "Terima kasih, Pak." Alden tersenyum tipis. Ia lalu mengambil kalung itu dan memasangkannya di leher Alea. Saat tangannya menyentuh leher Alea, Alea merasa bahwa ia tidak bisa bernapas. Ia merasa bahwa ia sedang berada di awan. Ia merasa bahwa ia sedang jatuh cinta.Setelah badai berlalu, keheningan di kantor terasa begitu berat. Bima dan Rina tidak lagi terlihat, seolah menghilang ditelan bumi. Sarah pun tidak lagi mengganggu. Namun, Alea dan Alden tidak bisa kembali ke hubungan profesional mereka yang dulu. Ciuman di lift, pengakuan Alden, dan janji untuk melindunginya telah meruntuhkan semua batasan. Suatu sore, Alden memanggil Alea ke ruangannya. Alea masuk, jantungnya berdebar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah mereka akan melanjutkan hubungan mereka? Apakah mereka akan kembali ke hubungan profesional mereka? Alden menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. "Alea, saya sudah memikirkan ini. Saya rasa kita butuh jeda." Hati Alea serasa hancur. Ia tidak tahu apa maksud Alden. Apakah ia akan memecatnya? Apakah ia akan mengakhiri hubungan mereka? "Maksud Anda?" tanya Alea, suaranya serak. "Saya rasa kita berdua butuh waktu untuk merenung. Ki
Ciuman itu... mengubah segalanya. Itu adalah pengakuan yang tidak terucap, sebuah janji yang mengikat, dan sebuah kenyataan yang memabukkan. Alea tidak bisa lagi lari dari perasaannya, begitu pun Alden. Batasan profesionalisme yang selama ini mereka jaga, runtuh dalam sekejap. Pagi itu, Alden mengantarnya pulang. Di dalam mobil, keheningan yang nyaman menyelimuti mereka. Tangan Alden menggenggam tangan Alea, kehangatan itu mengalir hingga ke jantungnya. "Aku akan melindungimu, Alea," bisik Alden, suaranya dalam dan meyakinkan. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu." Alea hanya bisa tersenyum. Ia merasa bahwa ia tidak sendirian. Ia merasa bahwa ia memiliki Alden. Namun, dunia tidak hanya berputar di antara mereka berdua. Keesokan harinya, saat Alea tiba di kantor, ia disambut dengan tatapan sinis dan bisik-bisik yang semakin keras. Gosip tentang kedekatannya dengan Alden semakin me
Pagi hari setelah malam lembur yang mengubah segalanya, Alea datang ke kantor dengan senyum yang tidak bisa ia sembunyikan. Di lehernya, liontin kaca pembesar pemberian Alden melingkar indah. Ia merasa bahwa ia tidak lagi hanya seorang mahasiswi magang, melainkan seseorang yang spesial di mata Alden. Kehangatan dan perhatian yang Alden tunjukkan tadi malam membuatnya merasa seperti ia adalah satu-satunya orang di dunia. Ia masuk ke ruangannya, hatinya berdebar-debar. Dita Permata sudah ada di mejanya, tatapannya datar seperti biasa. Dita menyerahkan sebuah file tebal pada Alea. "Ini proyek yang harus Anda selesaikan, Alea," katanya. "Pak Alden ingin ini selesai sebelum makan siang." Alea terkejut. "Tapi, Bu Dita, ini terlalu banyak untuk diselesaikan dalam waktu sesingkat itu." "Itu urusan Anda," jawab Dita. "Pak Alden tidak suka orang yang suka mengeluh. Dia suka orang yang bisa menyelesaikan masalah." Alea menatap Dita, l
Enam minggu berlalu sejak Alea resmi magang di Dirgantara Group. Kehidupannya kini terbagi menjadi dua dunia yang sangat berbeda, dunia kampus yang penuh tawa dan kebebasan, serta dunia korporat yang serba cepat dan penuh tekanan. Ia mulai terbiasa dengan jadwal yang padat, meeting yang panjang, dan jargon-jargon bisnis yang sebelumnya terasa asing. Namun, yang paling mengejutkan adalah interaksinya dengan Alden. Jarak antara mereka, secara fisik maupun profesional, seolah menguap. Alden bukan lagi sosok CEO yang dingin dan tak terjamah. Ia adalah mentor yang sabar, membimbing Alea dengan teliti, dan bahkan terkadang terlibat dalam diskusi santai tentang hal-hal di luar pekerjaan. Kopi pagi di mejanya selalu diikuti oleh obrolan ringan, dan di sela-sela proyek, Alden sering melontarkan pertanyaan pribadi tentang kuliah, hobi, dan impian Alea. Suatu sore, saat Alea sedang menyelesaikan revisi desain, Alden memanggilnya ke ruangan. "Saya sudah
Pagi itu, Alea tiba di kantor dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena Alden menyukai desainnya yang dianggap "kekanak-kanakan" oleh Rina. Di sisi lain, ia semakin penasaran. Mengapa Alden begitu terkesan dengan sesuatu yang begitu sederhana? Ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua ini. Ketika ia masuk ke ruangannya, sebuah amplop putih tebal sudah tergeletak di mejanya. Di atasnya, tertera nama Alea Kirana dengan tulisan tangan yang rapi dan elegan. Amplop itu terasa berat. Alea mengambilnya dengan hati-hati dan membukanya. Di dalamnya, ada sebuah dokumen dengan logo Dirgantara Group di bagian atas. Ini adalah kontrak magangnya. Alea mulai membaca. Gaji yang ditawarkan jauh di atas rata-rata magang lainnya. Selain itu, ada asuransi kesehatan, tunjangan makan, dan beberapa tunjangan lainnya yang membuat Alea tercengang. Ia merasa bahwa ini adalah tawaran yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Namun, ketika ia membaca lebih lanjut, matanya b
Hari-hari setelah insiden di Aula Utama berlalu bagai angin. Alea kembali disibukkan dengan kuliah, proyek akhir, dan persiapan skripsi. Namun, ada satu hal yang berbeda. Di sela-sela kesibukannya, pikirannya sering kali melayang ke sosok Alden Dirgantara dan percikan aneh yang ia rasakan. Ia berusaha keras untuk mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa semua itu hanyalah bagian dari kegugupan dan kekaguman sesaat. Lagipula, apa mungkin seorang CEO sukses akan mengingat seorang mahasiswi yang menumpahkan kopi padanya? Suatu sore, saat Alea sedang asyik mengerjakan desain di kafe kampus, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia mengangkatnya dengan ragu. "Halo, dengan Alea Kirana?" suara tegas seorang wanita menyapa. "Iya, saya sendiri. Maaf, ini dengan siapa?" "Saya Dita Permata, sekretaris pribadi Bapak Alden Dirgantara dari Dirgantara Group," jawabnya. "Bapak Alden mengundang Anda untuk wawancara magang di kantor kami, besok pukul sembilan pagi." Jantung Alea serasa berhent