Hari-hari setelah insiden di Aula Utama berlalu bagai angin. Alea kembali disibukkan dengan kuliah, proyek akhir, dan persiapan skripsi. Namun, ada satu hal yang berbeda. Di sela-sela kesibukannya, pikirannya sering kali melayang ke sosok Alden Dirgantara dan percikan aneh yang ia rasakan. Ia berusaha keras untuk mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa semua itu hanyalah bagian dari kegugupan dan kekaguman sesaat. Lagipula, apa mungkin seorang CEO sukses akan mengingat seorang mahasiswi yang menumpahkan kopi padanya?
Suatu sore, saat Alea sedang asyik mengerjakan desain di kafe kampus, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia mengangkatnya dengan ragu. "Halo, dengan Alea Kirana?" suara tegas seorang wanita menyapa. "Iya, saya sendiri. Maaf, ini dengan siapa?" "Saya Dita Permata, sekretaris pribadi Bapak Alden Dirgantara dari Dirgantara Group," jawabnya. "Bapak Alden mengundang Anda untuk wawancara magang di kantor kami, besok pukul sembilan pagi." Jantung Alea serasa berhenti berdetak. Alden Dirgantara. Dirgantara Group. Magang? Ia menelan ludah, otaknya berputar cepat. "Maaf, Bu Dita, sepertinya ada kesalahan. Saya tidak pernah melamar magang di sana." "Bapak Alden secara pribadi memilih Anda setelah melihat presentasi proyek Anda di kampus," Dita menjelaskan, nadanya datar dan tanpa emosi. "Dia terkesan dengan kreativitas dan visi Anda. Ini kesempatan emas, Nona. Tidak banyak mahasiswa yang mendapatkan tawaran langsung seperti ini." Alea tidak bisa berkata-kata. Tawarannya terasa seperti fantasi. Ia melirik deadline proyeknya yang menumpuk di laptop, lalu memikirkan sosok Alden yang begitu dingin namun anehnya meninggalkan kesan mendalam. Lia benar, hidupnya seperti drama Korea. "Baik, Bu. Saya akan datang," jawab Alea akhirnya, suaranya sedikit gemetar. Setelah panggilan itu berakhir, Alea langsung mengirim pesan kepada Lia dan Faris. Keduanya terkejut. Lia menjerit kegirangan, sementara Faris mengirimkan emoji terkejut. Lia: OMG! Aku tahu! Aku tahu ini akan terjadi! Ini karma baik dari lo yang tabrak dia! Hahahah! Alea, lo harus ambil! Ini Dirgantara Group, Al! Beda level! Faris: Selamat ya, Alea. Itu kesempatan langka. Semoga sukses! Malam itu, Alea menghabiskan waktu dengan merenung. Tawaran magang itu adalah impian, sebuah gerbang menuju dunia profesional yang ia idam-idamkan. Namun, ada juga perasaan aneh yang mengganjal. Mengapa Alden memilihnya? Hanya karena presentasi? Atau ada hal lain yang tidak ia ketahui? Keraguan dan rasa ingin tahu bercampur aduk, menciptakan kegelisahan yang menyenangkan. Keesokan paginya, Alea sudah berdiri di lobi megah Dirgantara Group, mengenakan kemeja putih dan celana khaki, perpaduan yang ia harap terlihat profesional namun tetap mencerminkan dirinya. Ia disambut oleh Dita Permata, yang membawanya langsung ke lantai paling atas. Ruangan Alden terkesan minimalis namun berkelas. Dinding kaca besar menghadap ke pemandangan kota Jakarta yang sibuk. Alden sudah ada di sana, duduk di kursi kerjanya. Hari ini ia mengenakan kemeja putih polos yang pas di tubuhnya, memperlihatkan lengannya yang berotot. Ia tampak lebih santai, namun auranya tetap dominan. "Silakan duduk, Alea," kata Alden tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputernya. Alea duduk, jantungnya berdebar kencang. Ia merasa seperti sedang diinterogasi. "Presentasi Anda tentang event kampus selanjutnya sangat menarik," Alden memulai, suaranya tenang dan dalam. "Gagasan Anda tentang menggabungkan teknologi dan seni adalah sesuatu yang kami butuhkan di perusahaan ini." "Terima kasih, Pak," jawab Alea. "Saya butuh seseorang yang bisa melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Seseorang yang tidak hanya berfokus pada data dan angka," lanjut Alden, akhirnya mengalihkan pandangannya dan menatap Alea. "Saya butuh seorang 'mata ketiga'." Ia lalu mengambil sebuah benda kecil dari sakunya. Itu adalah sebuah kaca pembesar antik berbingkai perak yang sangat indah. Ia meletakkannya di meja. "Anggap ini sebagai alat kerjamu. Tugasmu adalah melihat hal-hal yang tidak dilihat orang lain." Alea menatap kaca pembesar itu, lalu menatap Alden. "Maksudnya?" "Setiap data, setiap desain, setiap detail, punya cerita di baliknya. Tugasmu bukan hanya membuat laporan, tetapi juga menemukan cerita itu. Sama seperti insiden di koridor kemarin. Orang lain hanya melihat noda kopi, tapi saya melihat sebuah flashdisk yang sangat penting," Alden menjelaskan, matanya menatap dalam mata Alea. "Dan itu membuat saya penasaran." Jantung Alea berdebar kencang. Ia bisa merasakan pipinya memerah. Apakah Alden sedang menggodanya? Atau ia benar-benar serius? "Jadi, saya magang di sini karena..." "Karena kamu memiliki hal-hal yang tidak dimiliki oleh kandidat lain. Sebuah pandangan yang segar," Alden memotong. "Dan saya punya firasat, kamu akan menjadi 'kaca pembesar' yang saya butuhkan di tim ini." Alden tersenyum tipis, senyum yang sama seperti kemarin. Lalu, ia berbalik dan masuk ke ruangannya, meninggalkan Alea dengan perasaan campur aduk yang tak bisa ia jelaskan. Ia mengambil kaca pembesar itu. Dingin dan berat di tangannya. Ini adalah hal yang aneh, aneh, dan sangat... menarik. Ia tidak tahu apa yang Alden harapkan darinya, tetapi satu hal yang pasti, magang ini akan menjadi jauh lebih menarik dari yang ia bayangkan. Di balik pintu kaca, Alden mengambil sebuah tablet dari mejanya. Matanya menatap CCTV yang mengarah ke meja Alea. Ia memperhatikan Alea yang sedang menatap kaca pembesar yang ia berikan. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. "Semoga saja kamu bisa melihat apa yang saya lihat, Alea," gumamnya pelan. "Karena permainan ini baru saja dimulai." ────୨ৎ────────୨ৎ────────୨ৎ────────୨ৎ─────── Keesokan harinya, Alea tiba di kantor Dirgantara Group dengan perasaan gugup kembali menyelimutinya. Lingkungan kerja yang serba modern, rapi, dan senyap terasa sangat asing baginya. Tidak ada lagi obrolan riuh teman-teman atau aroma kopi sachet murahan. Yang ada hanya aroma parfum mahal, suara ketukan sepatu hak tinggi, dan bisik-bisik yang nyaris tak terdengar. Suasana profesional yang dingin, rapi, dan intimidatif. Ia memandang sekeliling, merasa seperti seekor ikan kecil yang dilemparkan ke dalam lautan hiu. Dita Permata, sekretaris Alden, menyambutnya dengan wajah datar. "Sudah siap bekerja, Nona Kirana?" tanyanya, suaranya menusuk. Alea mengangguk dengan tegas. "Ya, Bu Dita." "Bagus. Hari ini Anda akan diperkenalkan pada tim Divisi Kreatif. Mereka akan membantu Anda beradaptasi." Dita memimpin Alea menuju sebuah ruangan besar yang dipenuhi kubikel-kubikel. Di dalamnya, beberapa orang sibuk menatap layar monitor. Alea diperkenalkan kepada Bima Sentosa, manajer divisi, yang menyambutnya dengan senyum lebar yang terlihat dibuat-buat. Bima adalah pria yang ambisius, yang selalu terlihat rapi, tetapi tatapan matanya menunjukkan bahwa ia menilai Alea. Di sampingnya, seorang wanita yang menatap Alea dengan tatapan tidak bersahabat, Rina, salah satu anggota tim kreatif. "Selamat datang, Alea," kata Bima, suaranya terdengar ramah. "Saya yakin Anda sudah tahu apa tugas Anda. Anda akan bekerja di bawah saya dan Rina. Kami berharap Anda dapat memberikan kontribusi yang besar untuk tim." Alea mengangguk, mencoba untuk terlihat profesional. "Terima kasih, Pak Bima." Bima kemudian menunjuk ke arah Rina. "Rina, tolong bantu Alea. Pastikan dia tidak mengganggu pekerjaan kita," katanya, dengan nada yang tersirat makna lain. Rina hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Alea tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan sambutan hangat di sini. Suasana tegang di ruangan itu sudah cukup menjelaskan segalanya. Ia merasa seperti tamu tak diundang di pesta yang tidak ia ketahui. Ia mencoba untuk mengabaikan perasaan itu dan fokus pada pekerjaannya. Tugas pertamanya adalah membuat konsep desain untuk marketing produk baru. Ia diberi sebuah brief yang sangat rumit dan penuh dengan jargon yang tidak ia mengerti. Alea merasa kewalahan. Ia mencoba bertanya pada Rina, namun wanita itu selalu sibuk atau menjawab dengan nada malas. "Lihat saja di database," kata Rina, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputernya. "Semua informasi ada di sana." Alea merasa sendirian. Ia tahu ia harus menyelesaikan tugasnya, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana. Ia mencoba mencari bantuan di database, namun file-nya sangat rumit dan tidak terorganisir. Ia frustrasi. Matanya melirik ke arah ruang kerja Alden. Ia berpikir sejenak, haruskah ia meminta bantuan Alden? Namun, ia takut mengganggu CEO yang sangat sibuk itu. Ia tahu ia harus berusaha sendiri. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu mengambil kaca pembesar yang diberikan Alden. Ia menatapnya sejenak, lalu menatap layar komputernya. Ia ingat kata-kata Alden. "Tugasmu adalah melihat hal-hal yang tidak dilihat orang lain." Alea memutuskan untuk tidak hanya melihat data, tetapi juga melihat ceritanya. Ia mulai membaca semua brief dengan lebih saksama. Ia mencari tahu tentang sejarah perusahaan, visi dan misi, dan target pasar mereka. Ia mencoba membayangkan dirinya sebagai seorang pelanggan. Apa yang akan menarik perhatiannya? Apa yang akan membuat ia merasa terhubung dengan produk ini? Setelah berjam-jam membaca dan berpikir, Alea mulai mendapatkan ide. Ia mulai membuat sketsa, membuat konsep, dan akhirnya membuat sebuah presentasi. Ia menggunakan warna-warna cerah dan desain yang minimalis, sesuatu yang berbeda dari gaya desain perusahaan yang lebih formal. Ketika ia selesai, ia merasa puas. Ia telah memberikan yang terbaik. Namun, ia juga merasa takut. Akankah Bima dan Rina menyukai desainnya? Akankah Alden menyukai desainnya? Alea mengirimkan presentasinya kepada Bima dan Rina. Beberapa menit kemudian, Rina datang ke mejanya. Wajahnya datar. "Desainmu terlalu kekanakan, Alea," katanya. "Dirgantara Group itu perusahaan profesional. Bukan taman kanak-kanak." Alea merasa sedih. Ia mencoba menjelaskan konsepnya, namun Rina tidak mendengarkannya. "Tidak ada waktu untuk berdebat. Ganti desainnya," kata Rina, lalu pergi. Alea menatap layar komputernya. Ia merasa ingin menangis. Namun, ia tidak mau menyerah. Ia tahu ia harus membuat desain yang lebih baik. Tiba-tiba, ia mendapat email dari Alden. "Saya ingin melihat presentasi Anda, Alea. Sekarang." Jantung Alea berdebar kencang. Ia merasa takut, namun ia juga merasa ada harapan. Ia langsung pergi ke ruangan Alden. Alden menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Presentasi Anda sudah saya terima. Saya ingin Anda menjelaskannya." Alea mulai menjelaskan konsepnya. Ia berbicara tentang warna, desain, dan makna di baliknya. Ia berbicara dengan penuh semangat, mencoba meyakinkan Alden bahwa desainnya adalah yang terbaik. Alden mendengarkan dengan saksama. Ia tidak memotong pembicaraan Alea. Ia hanya menatapnya, seolah-olah mencoba membaca pikirannya. Setelah Alea selesai, Alden mengambil napas panjang. "Desainmu... sangat berbeda," katanya. "Maaf, Pak. Saya akan ganti jika Anda tidak suka," kata Alea, suaranya sedikit gemetar. Alden menggelengkan kepalanya. "Tidak. Saya suka. Desainmu memang kekanakan, namun ada sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang jujur dan tulus. Desainmu memiliki cerita di dalamnya, Alea." Alea merasa lega. Ia tersenyum, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. "Terima kasih, Pak." "Satu lagi," Alden mengambil kaca pembesar dari mejanya. "Kamu sudah menggunakan ini. Sekarang, gunakan untuk melihat hal lain. Lihat celah yang tidak saya lihat." Alea mengangguk. Ia tahu ia harus bekerja lebih keras. Ia tahu ia harus membuktikan dirinya. Ia tahu ia harus menjadi "mata ketiga" yang Alden butuhkan.Setelah badai berlalu, keheningan di kantor terasa begitu berat. Bima dan Rina tidak lagi terlihat, seolah menghilang ditelan bumi. Sarah pun tidak lagi mengganggu. Namun, Alea dan Alden tidak bisa kembali ke hubungan profesional mereka yang dulu. Ciuman di lift, pengakuan Alden, dan janji untuk melindunginya telah meruntuhkan semua batasan. Suatu sore, Alden memanggil Alea ke ruangannya. Alea masuk, jantungnya berdebar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah mereka akan melanjutkan hubungan mereka? Apakah mereka akan kembali ke hubungan profesional mereka? Alden menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. "Alea, saya sudah memikirkan ini. Saya rasa kita butuh jeda." Hati Alea serasa hancur. Ia tidak tahu apa maksud Alden. Apakah ia akan memecatnya? Apakah ia akan mengakhiri hubungan mereka? "Maksud Anda?" tanya Alea, suaranya serak. "Saya rasa kita berdua butuh waktu untuk merenung. Ki
Ciuman itu... mengubah segalanya. Itu adalah pengakuan yang tidak terucap, sebuah janji yang mengikat, dan sebuah kenyataan yang memabukkan. Alea tidak bisa lagi lari dari perasaannya, begitu pun Alden. Batasan profesionalisme yang selama ini mereka jaga, runtuh dalam sekejap. Pagi itu, Alden mengantarnya pulang. Di dalam mobil, keheningan yang nyaman menyelimuti mereka. Tangan Alden menggenggam tangan Alea, kehangatan itu mengalir hingga ke jantungnya. "Aku akan melindungimu, Alea," bisik Alden, suaranya dalam dan meyakinkan. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu." Alea hanya bisa tersenyum. Ia merasa bahwa ia tidak sendirian. Ia merasa bahwa ia memiliki Alden. Namun, dunia tidak hanya berputar di antara mereka berdua. Keesokan harinya, saat Alea tiba di kantor, ia disambut dengan tatapan sinis dan bisik-bisik yang semakin keras. Gosip tentang kedekatannya dengan Alden semakin me
Pagi hari setelah malam lembur yang mengubah segalanya, Alea datang ke kantor dengan senyum yang tidak bisa ia sembunyikan. Di lehernya, liontin kaca pembesar pemberian Alden melingkar indah. Ia merasa bahwa ia tidak lagi hanya seorang mahasiswi magang, melainkan seseorang yang spesial di mata Alden. Kehangatan dan perhatian yang Alden tunjukkan tadi malam membuatnya merasa seperti ia adalah satu-satunya orang di dunia. Ia masuk ke ruangannya, hatinya berdebar-debar. Dita Permata sudah ada di mejanya, tatapannya datar seperti biasa. Dita menyerahkan sebuah file tebal pada Alea. "Ini proyek yang harus Anda selesaikan, Alea," katanya. "Pak Alden ingin ini selesai sebelum makan siang." Alea terkejut. "Tapi, Bu Dita, ini terlalu banyak untuk diselesaikan dalam waktu sesingkat itu." "Itu urusan Anda," jawab Dita. "Pak Alden tidak suka orang yang suka mengeluh. Dia suka orang yang bisa menyelesaikan masalah." Alea menatap Dita, l
Enam minggu berlalu sejak Alea resmi magang di Dirgantara Group. Kehidupannya kini terbagi menjadi dua dunia yang sangat berbeda, dunia kampus yang penuh tawa dan kebebasan, serta dunia korporat yang serba cepat dan penuh tekanan. Ia mulai terbiasa dengan jadwal yang padat, meeting yang panjang, dan jargon-jargon bisnis yang sebelumnya terasa asing. Namun, yang paling mengejutkan adalah interaksinya dengan Alden. Jarak antara mereka, secara fisik maupun profesional, seolah menguap. Alden bukan lagi sosok CEO yang dingin dan tak terjamah. Ia adalah mentor yang sabar, membimbing Alea dengan teliti, dan bahkan terkadang terlibat dalam diskusi santai tentang hal-hal di luar pekerjaan. Kopi pagi di mejanya selalu diikuti oleh obrolan ringan, dan di sela-sela proyek, Alden sering melontarkan pertanyaan pribadi tentang kuliah, hobi, dan impian Alea. Suatu sore, saat Alea sedang menyelesaikan revisi desain, Alden memanggilnya ke ruangan. "Saya sudah
Pagi itu, Alea tiba di kantor dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena Alden menyukai desainnya yang dianggap "kekanak-kanakan" oleh Rina. Di sisi lain, ia semakin penasaran. Mengapa Alden begitu terkesan dengan sesuatu yang begitu sederhana? Ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua ini. Ketika ia masuk ke ruangannya, sebuah amplop putih tebal sudah tergeletak di mejanya. Di atasnya, tertera nama Alea Kirana dengan tulisan tangan yang rapi dan elegan. Amplop itu terasa berat. Alea mengambilnya dengan hati-hati dan membukanya. Di dalamnya, ada sebuah dokumen dengan logo Dirgantara Group di bagian atas. Ini adalah kontrak magangnya. Alea mulai membaca. Gaji yang ditawarkan jauh di atas rata-rata magang lainnya. Selain itu, ada asuransi kesehatan, tunjangan makan, dan beberapa tunjangan lainnya yang membuat Alea tercengang. Ia merasa bahwa ini adalah tawaran yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Namun, ketika ia membaca lebih lanjut, matanya b
Hari-hari setelah insiden di Aula Utama berlalu bagai angin. Alea kembali disibukkan dengan kuliah, proyek akhir, dan persiapan skripsi. Namun, ada satu hal yang berbeda. Di sela-sela kesibukannya, pikirannya sering kali melayang ke sosok Alden Dirgantara dan percikan aneh yang ia rasakan. Ia berusaha keras untuk mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa semua itu hanyalah bagian dari kegugupan dan kekaguman sesaat. Lagipula, apa mungkin seorang CEO sukses akan mengingat seorang mahasiswi yang menumpahkan kopi padanya? Suatu sore, saat Alea sedang asyik mengerjakan desain di kafe kampus, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia mengangkatnya dengan ragu. "Halo, dengan Alea Kirana?" suara tegas seorang wanita menyapa. "Iya, saya sendiri. Maaf, ini dengan siapa?" "Saya Dita Permata, sekretaris pribadi Bapak Alden Dirgantara dari Dirgantara Group," jawabnya. "Bapak Alden mengundang Anda untuk wawancara magang di kantor kami, besok pukul sembilan pagi." Jantung Alea serasa berhent