Ciuman itu... mengubah segalanya. Itu adalah pengakuan yang tidak terucap, sebuah janji yang mengikat, dan sebuah kenyataan yang memabukkan. Alea tidak bisa lagi lari dari perasaannya, begitu pun Alden. Batasan profesionalisme yang selama ini mereka jaga, runtuh dalam sekejap. Pagi itu, Alden mengantarnya pulang. Di dalam mobil, keheningan yang nyaman menyelimuti mereka. Tangan Alden menggenggam tangan Alea, kehangatan itu mengalir hingga ke jantungnya.
"Aku akan melindungimu, Alea," bisik Alden, suaranya dalam dan meyakinkan. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu." Alea hanya bisa tersenyum. Ia merasa bahwa ia tidak sendirian. Ia merasa bahwa ia memiliki Alden. Namun, dunia tidak hanya berputar di antara mereka berdua. Keesokan harinya, saat Alea tiba di kantor, ia disambut dengan tatapan sinis dan bisik-bisik yang semakin keras. Gosip tentang kedekatannya dengan Alden semakin memanas. Dita Permata terlihat lebih dingin dari biasanya, dan Bima menatapnya dengan senyum penuh arti. "Aku dengar, kamu sudah menjadi ratu di kantor ini, ya?" bisik Bima saat mereka berpapasan di koridor. "Selamat, semoga kamu bisa bertahan." Alea hanya bisa menelan ludah. Ia tahu Bima tidak akan tinggal diam. Ia merasa bahwa ia sedang berada di tengah-tengah perang yang tidak ia mengerti. Saat jam makan siang, Alea mendapat telepon dari Lia. "Al, aku dapat kabar buruk," katanya, suaranya terdengar cemas. "Paman-ku, yang kerja di bagian SDM Dirgantara Group, bilang... kamu akan dipecat." Jantung Alea serasa berhenti berdetak. "Dipecat? Kenapa?" "Aku nggak tahu persis," kata Lia. "Tapi, ada rumor yang bilang, kamu sudah melanggar perjanjian rahasia yang kamu tanda tangani. Dan juga... tunangan Alden, Sarah, sudah menelepon dewan direksi." Alea merasa bahwa ia tidak bisa bernapas. Ia merasa bahwa ia sedang berada di persimpangan jalan. Ia harus membuat keputusan. Ia bisa lari, atau ia bisa melawan. Ia bisa kembali ke dunia kampus yang aman, atau ia bisa berjuang untuk cinta dan karirnya. Ia langsung pergi ke ruangan Alden. Ia mengetuk pintu, dan Alden menyambutnya dengan senyum. "Ada apa, Alea?" "Saya dipecat?" tanya Alea, suaranya serak. Senyum Alden memudar. "Siapa yang bilang begitu?" "Lia. Dia dapat info dari pamannya di SDM," jawab Alea. "Apakah itu benar?" Alden menghela napas. Ia menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. "Alea, saya akan melindungimu. Saya akan melawan mereka. Saya tidak akan membiarkan mereka memecatmu." "Tapi, Pak..." "Jangan panggil aku 'Pak'," potong Alden. "Panggil aku Alden." "Alden, ini terlalu berisiko," kata Alea. "Aku tidak ingin kamu kehilangan reputasimu. Aku tidak ingin kamu kehilangan segalanya." "Aku tidak peduli," kata Alden, suaranya terdengar tegas. "Aku hanya peduli padamu. Aku akan melindungimu." Alea tahu bahwa Alden tulus. Ia tahu Alden akan melakukan apa pun untuknya. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan Alden kehilangan reputasinya. Ia tidak bisa membiarkan Alden kehilangan segalanya. Ia harus membuat keputusan. "Aku akan mengundurkan diri," kata Alea. "Jangan bodoh," kata Alden, suaranya terdengar marah. "Kamu sudah bekerja sangat keras. Kamu sudah membuktikan dirimu. Kamu tidak bisa menyerah begitu saja." "Aku tidak menyerah," kata Alea. "Aku hanya ingin melindungimu. Aku tidak ingin menjadi penyebab kehancuranmu." Alden terdiam. Ia menatap Alea dengan tatapan yang penuh cinta, namun juga penuh kekecewaan. Ia tahu bahwa Alea sedang membuat keputusan yang sulit. Ia tahu bahwa ia tidak bisa memaksanya. "Baiklah," kata Alden, suaranya terdengar pasrah. "Jika itu yang kamu inginkan. Tapi, ingat satu hal. Aku tidak akan membiarkanmu pergi." Alea tersenyum. Ia tahu bahwa ia akan berjuang untuk cinta mereka. Ia tahu bahwa ia tidak akan menyerah. ────୨ৎ────────୨ৎ────────୨ৎ────────୨ৎ─────── Alea menatap kepergian Alden dengan hati hancur. Keputusannya sudah bulat: ia akan mengundurkan diri. Ia tidak bisa membiarkan Alden kehilangan segalanya hanya karena dirinya. Perusahaan yang dibangun Alden dengan susah payah tidak pantas hancur karena desas-desus yang menyakitkan. Pagi itu, ia datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Bukan untuk bekerja, tetapi untuk membereskan barang-barangnya. Ia melipat *file* terakhir, memasukkan mug dan pena ke dalam kotaknya, dan menatap meja kerjanya yang kini kosong. Di dalam kotak, ia menemukan liontin kaca pembesar yang diberikan Alden. Ia memegangnya erat, air mata menggenang di matanya. "Sudah mau pergi?" Alea mendongak. Di ambang pintu kubikelnya, Sarah Wijaya berdiri dengan senyum puas. Bima dan Rina berada di belakangnya, menatap Alea dengan tatapan mengejek. "Aku tahu ini akan terjadi," kata Sarah. "Kamu tidak cocok di sini. Kamu terlalu naif untuk dunia ini." Alea tidak menjawab. Ia hanya menatap Sarah, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. "Aku tahu kamu sudah dekat dengan Alden," lanjut Sarah, suaranya terdengar dingin. "Tapi, kamu harus tahu, Alden dan aku... kami sudah punya sejarah panjang. Aku adalah orang yang paling mengerti dia. Aku yang selalu ada saat dia membangun Dirgantara Group. Aku yang akan menjadi istrinya." "Itu tidak benar," Alea mencoba membela diri. "Alden bilang kalian tidak punya hubungan apa pun." Sarah tertawa sinis. "Alden bilang begitu? Tentu saja. Dia tidak ingin kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak ingin kamu tahu bahwa dia akan menikahiku. Dia tidak ingin kamu tahu bahwa aku akan menjadi bagian dari hidupnya." Air mata Alea jatuh. Ia merasa bahwa ia telah dipermainkan. Ia merasa bahwa ia telah dibohongi. Ia merasa bahwa ia telah jatuh cinta pada pria yang salah. "Kamu pikir kamu bisa mendapatkan Alden? Kamu hanya mahasiswi bodoh yang tidak tahu apa-apa," bisik Sarah, suaranya terdengar penuh kebencian. "Kamu tidak akan pernah bisa mengalahkanku." "Aku tidak ingin mengalahkanmu," kata Alea, suaranya serak. "Aku hanya ingin bekerja. Tapi, kalian... kalian membuatku merasa tidak nyaman. Kalian membuatku merasa tidak diinginkan." Alea lalu mengambil kotak di tangannya dan berjalan menuju lift. Ia tidak ingin berurusan dengan Sarah, Bima, dan Rina lagi. Ia hanya ingin pergi. Ketika ia sampai di lift, pintu lift terbuka, dan Alden berada di dalamnya. Alden terkejut melihat Alea dengan kotak di tangannya. Matanya lalu beralih ke belakang Alea, di mana Sarah, Bima, dan Rina sedang tersenyum puas. "Apa yang terjadi di sini?" tanya Alden, suaranya terdengar marah. Sarah mencoba tersenyum. "Alden, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Kami hanya..." "Diam!" potong Alden. "Aku tidak butuh penjelasan dari kalian. Aku butuh penjelasan dari Alea." Alden menatap Alea, matanya menatap matanya dalam. "Alea, apa yang terjadi?" Alea menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku akan mengundurkan diri, Alden. Aku tidak bisa di sini lagi." "Kenapa?" tanya Alden. "Karena aku sudah tahu yang sebenarnya. Aku sudah tahu bahwa kamu dan Sarah punya sejarah," jawab Alea. "Aku tidak ingin menjadi bagian dari drama kalian. Aku tidak ingin mengganggu hubungan kalian. Aku akan pergi." Alden menatap Sarah. Matanya penuh kemarahan. "Sarah, apa yang kamu bilang padanya?" Sarah terdiam. Ia tidak bisa menjawab. Ia hanya menatap Alden, matanya penuh ketakutan. Alden lalu berbalik dan menatap Alea. Ia mengambil tangan Alea. "Alea, aku akan jujur padamu. Aku dan Sarah memang punya sejarah. Kami pernah berpacaran. Tapi, itu sudah lama. Itu sudah berakhir. Kami tidak punya hubungan apa-apa lagi. Kami hanya rekan bisnis. Tidak lebih dari itu." Alea menatap Alden, matanya penuh keraguan. "Apakah itu benar?" "Ya," jawab Alden. "Aku bersumpah. Aku tidak akan membohongimu." Alea lalu menatap Sarah. "Apakah itu benar, Sarah?" Sarah terdiam. Ia tidak bisa menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya. Ia tahu bahwa ia telah kalah. Alea merasa lega. Ia merasa bahwa ia telah mendapatkan jawaban yang ia butuhkan. Ia merasa bahwa ia tidak perlu pergi. Ia merasa bahwa ia bisa mempercayai Alden. Alden lalu menatap Sarah, Bima, dan Rina. "Kalian... keluar dari sini. Sekarang!" teriaknya. Mereka semua langsung pergi, meninggalkan Alden dan Alea sendirian. Alden lalu menatap Alea, matanya penuh cinta. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi, Alea. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita. Aku akan melindungimu." Alea tersenyum. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang benar. Ia tahu bahwa ia telah jatuh cinta pada pria yang benar.Setelah badai berlalu, keheningan di kantor terasa begitu berat. Bima dan Rina tidak lagi terlihat, seolah menghilang ditelan bumi. Sarah pun tidak lagi mengganggu. Namun, Alea dan Alden tidak bisa kembali ke hubungan profesional mereka yang dulu. Ciuman di lift, pengakuan Alden, dan janji untuk melindunginya telah meruntuhkan semua batasan. Suatu sore, Alden memanggil Alea ke ruangannya. Alea masuk, jantungnya berdebar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah mereka akan melanjutkan hubungan mereka? Apakah mereka akan kembali ke hubungan profesional mereka? Alden menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. "Alea, saya sudah memikirkan ini. Saya rasa kita butuh jeda." Hati Alea serasa hancur. Ia tidak tahu apa maksud Alden. Apakah ia akan memecatnya? Apakah ia akan mengakhiri hubungan mereka? "Maksud Anda?" tanya Alea, suaranya serak. "Saya rasa kita berdua butuh waktu untuk merenung. Ki
Ciuman itu... mengubah segalanya. Itu adalah pengakuan yang tidak terucap, sebuah janji yang mengikat, dan sebuah kenyataan yang memabukkan. Alea tidak bisa lagi lari dari perasaannya, begitu pun Alden. Batasan profesionalisme yang selama ini mereka jaga, runtuh dalam sekejap. Pagi itu, Alden mengantarnya pulang. Di dalam mobil, keheningan yang nyaman menyelimuti mereka. Tangan Alden menggenggam tangan Alea, kehangatan itu mengalir hingga ke jantungnya. "Aku akan melindungimu, Alea," bisik Alden, suaranya dalam dan meyakinkan. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu." Alea hanya bisa tersenyum. Ia merasa bahwa ia tidak sendirian. Ia merasa bahwa ia memiliki Alden. Namun, dunia tidak hanya berputar di antara mereka berdua. Keesokan harinya, saat Alea tiba di kantor, ia disambut dengan tatapan sinis dan bisik-bisik yang semakin keras. Gosip tentang kedekatannya dengan Alden semakin me
Pagi hari setelah malam lembur yang mengubah segalanya, Alea datang ke kantor dengan senyum yang tidak bisa ia sembunyikan. Di lehernya, liontin kaca pembesar pemberian Alden melingkar indah. Ia merasa bahwa ia tidak lagi hanya seorang mahasiswi magang, melainkan seseorang yang spesial di mata Alden. Kehangatan dan perhatian yang Alden tunjukkan tadi malam membuatnya merasa seperti ia adalah satu-satunya orang di dunia. Ia masuk ke ruangannya, hatinya berdebar-debar. Dita Permata sudah ada di mejanya, tatapannya datar seperti biasa. Dita menyerahkan sebuah file tebal pada Alea. "Ini proyek yang harus Anda selesaikan, Alea," katanya. "Pak Alden ingin ini selesai sebelum makan siang." Alea terkejut. "Tapi, Bu Dita, ini terlalu banyak untuk diselesaikan dalam waktu sesingkat itu." "Itu urusan Anda," jawab Dita. "Pak Alden tidak suka orang yang suka mengeluh. Dia suka orang yang bisa menyelesaikan masalah." Alea menatap Dita, l
Enam minggu berlalu sejak Alea resmi magang di Dirgantara Group. Kehidupannya kini terbagi menjadi dua dunia yang sangat berbeda, dunia kampus yang penuh tawa dan kebebasan, serta dunia korporat yang serba cepat dan penuh tekanan. Ia mulai terbiasa dengan jadwal yang padat, meeting yang panjang, dan jargon-jargon bisnis yang sebelumnya terasa asing. Namun, yang paling mengejutkan adalah interaksinya dengan Alden. Jarak antara mereka, secara fisik maupun profesional, seolah menguap. Alden bukan lagi sosok CEO yang dingin dan tak terjamah. Ia adalah mentor yang sabar, membimbing Alea dengan teliti, dan bahkan terkadang terlibat dalam diskusi santai tentang hal-hal di luar pekerjaan. Kopi pagi di mejanya selalu diikuti oleh obrolan ringan, dan di sela-sela proyek, Alden sering melontarkan pertanyaan pribadi tentang kuliah, hobi, dan impian Alea. Suatu sore, saat Alea sedang menyelesaikan revisi desain, Alden memanggilnya ke ruangan. "Saya sudah
Pagi itu, Alea tiba di kantor dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena Alden menyukai desainnya yang dianggap "kekanak-kanakan" oleh Rina. Di sisi lain, ia semakin penasaran. Mengapa Alden begitu terkesan dengan sesuatu yang begitu sederhana? Ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua ini. Ketika ia masuk ke ruangannya, sebuah amplop putih tebal sudah tergeletak di mejanya. Di atasnya, tertera nama Alea Kirana dengan tulisan tangan yang rapi dan elegan. Amplop itu terasa berat. Alea mengambilnya dengan hati-hati dan membukanya. Di dalamnya, ada sebuah dokumen dengan logo Dirgantara Group di bagian atas. Ini adalah kontrak magangnya. Alea mulai membaca. Gaji yang ditawarkan jauh di atas rata-rata magang lainnya. Selain itu, ada asuransi kesehatan, tunjangan makan, dan beberapa tunjangan lainnya yang membuat Alea tercengang. Ia merasa bahwa ini adalah tawaran yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Namun, ketika ia membaca lebih lanjut, matanya b
Hari-hari setelah insiden di Aula Utama berlalu bagai angin. Alea kembali disibukkan dengan kuliah, proyek akhir, dan persiapan skripsi. Namun, ada satu hal yang berbeda. Di sela-sela kesibukannya, pikirannya sering kali melayang ke sosok Alden Dirgantara dan percikan aneh yang ia rasakan. Ia berusaha keras untuk mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa semua itu hanyalah bagian dari kegugupan dan kekaguman sesaat. Lagipula, apa mungkin seorang CEO sukses akan mengingat seorang mahasiswi yang menumpahkan kopi padanya? Suatu sore, saat Alea sedang asyik mengerjakan desain di kafe kampus, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia mengangkatnya dengan ragu. "Halo, dengan Alea Kirana?" suara tegas seorang wanita menyapa. "Iya, saya sendiri. Maaf, ini dengan siapa?" "Saya Dita Permata, sekretaris pribadi Bapak Alden Dirgantara dari Dirgantara Group," jawabnya. "Bapak Alden mengundang Anda untuk wawancara magang di kantor kami, besok pukul sembilan pagi." Jantung Alea serasa berhent