Pagi itu, Alea tiba di kantor dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena Alden menyukai desainnya yang dianggap "kekanak-kanakan" oleh Rina. Di sisi lain, ia semakin penasaran. Mengapa Alden begitu terkesan dengan sesuatu yang begitu sederhana? Ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua ini.
Ketika ia masuk ke ruangannya, sebuah amplop putih tebal sudah tergeletak di mejanya. Di atasnya, tertera nama Alea Kirana dengan tulisan tangan yang rapi dan elegan. Amplop itu terasa berat. Alea mengambilnya dengan hati-hati dan membukanya. Di dalamnya, ada sebuah dokumen dengan logo Dirgantara Group di bagian atas. Ini adalah kontrak magangnya. Alea mulai membaca. Gaji yang ditawarkan jauh di atas rata-rata magang lainnya. Selain itu, ada asuransi kesehatan, tunjangan makan, dan beberapa tunjangan lainnya yang membuat Alea tercengang. Ia merasa bahwa ini adalah tawaran yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Namun, ketika ia membaca lebih lanjut, matanya berhenti pada sebuah klausul aneh yang tertera di bagian akhir. Klausul itu tidak terkait dengan pekerjaan, melainkan dengan kehidupan pribadi. Alea harus menandatangani perjanjian untuk tidak mengungkapkan hubungan profesionalnya dengan Alden Dirgantara kepada siapa pun, terutama media. Jika ia melanggar, ia akan dikenakan sanksi yang sangat berat. Selain itu, ada klausul lain yang membuatnya terkejut. Ia harus bersedia untuk menjadi "asisten pribadi" Alden di luar jam kerja, jika dibutuhkan. Alea menelan ludah. Ini bukan lagi tawaran magang, ini seperti sebuah perjanjian rahasia. Ia merasa bingung dan takut. Mengapa Alden membutuhkan perjanjian seperti ini? Apakah ada sesuatu yang ia sembunyikan? Atau apakah ia hanya ingin mengendalikan Alea? Ia merasa tidak nyaman. Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan yang sulit. Jika ia menerima, ia akan mendapatkan kesempatan emas, tetapi ia juga akan terikat pada perjanjian yang aneh. Jika ia menolak, ia akan kehilangan kesempatan emas. Ia merasa terjebak. Ia memutuskan untuk meminta saran dari Lia. Ia mengirimkan pesan dan menjelaskan semua yang ada di kontrak. Lia membalasnya dengan emoji yang menunjukkan kekagetan yang luar biasa. Lia: SERIUS, AL?! INI KAN KAYA DI NOVEL-NOVEL! Ciyee... kamu dipilih jadi Cinderella nih! Hahahah! Alea: Lia! Ini serius. Aku takut. Ini aneh banget. Kenapa dia butuh perjanjian kaya gitu? Lia: Ya, mungkin karena dia itu CEO. Banyak yang ingin menjatuhkannya. Mungkin dia hanya ingin menjaga privasinya. Dan bagian asisten pribadi di luar jam kerja... mungkin dia punya proyek rahasia yang tidak bisa ia lakukan sendiri. Alea merenung. Kata-kata Lia sedikit melegakannya. Ia tahu bahwa dunia korporat sangat kejam. Alden mungkin hanya ingin melindungi dirinya. Namun, ia masih merasa tidak nyaman. Ia memutuskan untuk berbicara langsung dengan Alden. Ia tidak mau mengambil risiko dengan menandatangani kontrak tanpa mengetahui apa yang akan ia hadapi. Ia mengetuk pintu kaca ruangan Alden. "Masuk," suara Alden terdengar dari dalam. Alea masuk dan melihat Alden sedang duduk di mejanya, menatap layar komputer dengan serius. Ia tampak sangat sibuk. Alea merasa gugup, namun ia berusaha untuk tetap tenang. "Ada apa, Alea?" tanya Alden tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. "Ehm... ini tentang kontrak magang, Pak," kata Alea. Alden akhirnya mengangkat kepalanya. Matanya menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada masalah?" Alea menarik napas dalam-dalam. "Ada beberapa klausul yang membuat saya bingung, Pak." Alden tersenyum tipis. "Saya tahu. Silakan duduk." Alea duduk. Alden mengambil kontrak itu dari mejanya dan menatapnya. "Saya tahu ini aneh. Tapi, ada beberapa alasan di baliknya." Ia lalu menjelaskan bahwa ia memiliki beberapa musuh di dunia bisnis yang akan melakukan apa pun untuk menjatuhkannya. Ia tidak ingin Alea, yang baru saja masuk, menjadi target mereka. Ia juga menjelaskan bahwa ia memiliki sebuah proyek rahasia yang membutuhkan bantuan Alea. Alea mendengarkan dengan saksama. Ia merasa bahwa Alden sedang jujur kepadanya. Ia merasa bahwa Alden tidak ingin mengendalikan Alea, tetapi hanya ingin melindunginya. "Saya mengerti, Pak. Tapi, bagaimana jika saya tidak ingin menandatangani perjanjian ini?" tanya Alea. Alden menatapnya. "Itu pilihanmu, Alea. Saya tidak akan memaksamu. Tapi, jika kamu tidak menandatanganinya, kamu tidak bisa bekerja di sini. Kamu akan kehilangan kesempatan emas." Alea terdiam. Ia tahu bahwa Alden sedang memanipulasi Alea, namun ia juga tahu bahwa Alden sedang menawarkan kesempatan yang tidak akan ia dapatkan lagi. Ia harus membuat keputusan yang sulit. "Saya butuh waktu untuk memikirkannya, Pak," kata Alea. Alden mengangguk. "Tentu. Tapi, saya tidak punya banyak waktu. Saya ingin kamu memberikan jawaban besok pagi." Alea keluar dari ruangan Alden. Ia merasa bingung. Ia merasa bahwa ia sedang berada di persimpangan jalan. Ia harus memilih antara karirnya dan kebebasannya. Ia tidak tahu mana yang harus ia pilih. ────୨ৎ────────୨ৎ────────୨ৎ────────୨ৎ─────── Alea menatap kontrak magang yang ada di tangannya. Semalam suntuk ia memikirkannya. Pilihan yang sulit, tetapi setelah berdiskusi dengan Lia dan merenung sendiri, ia membuat keputusan. Ia tidak akan melewatkan kesempatan emas ini hanya karena takut pada sebuah perjanjian. Ia akan menerima tantangan ini, dan ia akan membuktikan dirinya. Pagi itu, ia datang lebih awal. Dita Permata sudah berada di meja kerjanya. Alea menghampirinya. "Bu Dita, saya sudah mengambil keputusan. Saya akan mengambil tawaran ini." Dita menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Bagus. Silakan tanda tangani kontraknya." Alea mengambil pulpen dan menandatangani kontrak. Ia merasa bahwa ia baru saja mengambil langkah besar dalam hidupnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia merasa siap. Setelah menandatangani kontrak, Dita memberinya sebuah kartu akses. "Ini kartu akses Anda. Anda bisa masuk ke ruangan Pak Alden jika dibutuhkan." Dita lalu menunjuk ke arah pintu kaca Alden. "Beliau sedang menunggu Anda." Alea merasa gugup. Ia mengetuk pintu kaca ruangan Alden, dan suara Alden terdengar dari dalam. "Masuk." Alea masuk dan melihat Alden sedang duduk di mejanya, menatap layar komputer dengan serius. Ruangan itu sangat bersih, rapi, dan minimalis. Hanya ada sebuah meja besar, beberapa kursi, dan sebuah rak buku yang dipenuhi oleh buku-buku tebal. Di sudut ruangan, ada sebuah jendela besar yang menghadap ke kota. "Selamat pagi, Alea," kata Alden, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputernya. "Dita sudah bilang, Anda sudah menandatangani kontraknya. Bagus. Sekarang, kita bisa mulai bekerja." Alden lalu mematikan komputernya dan menatap Alea. "Tugas pertama Anda hari ini adalah meninjau kembali semua proyek yang sedang berjalan di Divisi Kreatif. Saya ingin Anda memberikan masukan, apa yang bisa kita perbaiki dari sudut pandang seorang milenial." Alea merasa kaget. Tugasnya terdengar sangat berat. Ia merasa bahwa Alden sedang mengujinya. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. "Saya akan berikan contoh," Alden lalu mengambil sebuah tablet dan membukanya. "Ini adalah proyek yang sedang dikerjakan tim. Sebuah aplikasi yang bisa membantu orang-orang untuk mencari tempat makan yang sesuai dengan selera mereka. Apa pendapat Anda?" Alea menatap layar tablet itu dengan saksama. Ia melihat desain yang rumit dan fitur yang terlalu banyak. Ia merasa bahwa aplikasi itu akan terlalu sulit untuk digunakan. "Ehm... menurut saya, Pak, desainnya terlalu rumit. Mungkin kita bisa membuatnya lebih sederhana, dengan warna yang lebih cerah dan ikon yang lebih mudah dipahami," kata Alea. Alden menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Alea, seolah-olah mencoba membaca pikirannya. "Dan... mungkin kita bisa menambahkan fitur yang bisa membantu orang-orang untuk menemukan tempat makan yang sesuai dengan mood mereka. Seperti, 'tempat makan yang cocok untuk kencan pertama' atau 'tempat makan yang cocok untuk melepas penat'," lanjut Alea, suaranya sedikit gemetar karena gugup. Alden tersenyum tipis. "Ide yang bagus. Saya suka. Kamu memang memiliki pandangan yang berbeda. Kamu bisa melihat apa yang tidak bisa kami lihat." Alea merasa lega. Ia tersenyum, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. "Terima kasih, Pak." "Jangan senang dulu. Tugasmu masih banyak," kata Alden. "Kamu harus bisa mengubah ide-ide brilianmu menjadi sesuatu yang bisa diimplementasikan. Saya akan membimbingmu." Alden lalu mengambil sebuah pena dan buku catatan. Ia mulai menjelaskan semua tentang proyek-proyeknya. Ia menjelaskan tentang strategi, target pasar, dan semua hal yang berhubungan dengan bisnis. Alea mendengarkan dengan saksama. Ia merasa bahwa ia sedang mendapatkan pelajaran yang tidak akan ia dapatkan di universitas. Pelajaran itu berjalan selama berjam-jam. Alea merasa lelah, namun ia juga merasa bersemangat. Ia merasa bahwa ia sedang belajar dari yang terbaik. Ia merasa bahwa ia sedang menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Ketika pelajaran itu selesai, Alden mengambil sebuah mug kopi dari mejanya. "Kamu mau kopi?" tawarnya. Alea terkejut. Ia tidak menyangka Alden akan menawarkan kopi padanya. "Ehm... iya, Pak. Terima kasih." Alden tersenyum tipis. Ia lalu mengambil sebuah mug kosong dan mengisi kopi untuk Alea. Ia lalu duduk di kursi di hadapan Alea. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Alden. "Magang di Dirgantara Group, apa yang kamu rasakan?" "Saya merasa senang, Pak. Saya merasa beruntung," kata Alea. "Tapi, saya juga merasa takut. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya." Alden mengangguk. "Itu wajar. Tapi, kamu tidak perlu takut. Saya akan melindungimu. Saya akan membantumu. Saya akan membuatmu menjadi desainer yang terbaik." Alea menatap Alden. Matanya yang gelap memancarkan ketenangan yang aneh. Ia merasa bahwa ia bisa mempercayai pria ini. Ia merasa bahwa ia bisa membuka hatinya pada pria ini. "Terima kasih, Pak," kata Alea. Alden tersenyum tipis. "Sama-sama. Sekarang, habiskan kopimu. Kita masih punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."Setelah badai berlalu, keheningan di kantor terasa begitu berat. Bima dan Rina tidak lagi terlihat, seolah menghilang ditelan bumi. Sarah pun tidak lagi mengganggu. Namun, Alea dan Alden tidak bisa kembali ke hubungan profesional mereka yang dulu. Ciuman di lift, pengakuan Alden, dan janji untuk melindunginya telah meruntuhkan semua batasan. Suatu sore, Alden memanggil Alea ke ruangannya. Alea masuk, jantungnya berdebar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah mereka akan melanjutkan hubungan mereka? Apakah mereka akan kembali ke hubungan profesional mereka? Alden menatap Alea dengan tatapan yang sulit diartikan. "Alea, saya sudah memikirkan ini. Saya rasa kita butuh jeda." Hati Alea serasa hancur. Ia tidak tahu apa maksud Alden. Apakah ia akan memecatnya? Apakah ia akan mengakhiri hubungan mereka? "Maksud Anda?" tanya Alea, suaranya serak. "Saya rasa kita berdua butuh waktu untuk merenung. Ki
Ciuman itu... mengubah segalanya. Itu adalah pengakuan yang tidak terucap, sebuah janji yang mengikat, dan sebuah kenyataan yang memabukkan. Alea tidak bisa lagi lari dari perasaannya, begitu pun Alden. Batasan profesionalisme yang selama ini mereka jaga, runtuh dalam sekejap. Pagi itu, Alden mengantarnya pulang. Di dalam mobil, keheningan yang nyaman menyelimuti mereka. Tangan Alden menggenggam tangan Alea, kehangatan itu mengalir hingga ke jantungnya. "Aku akan melindungimu, Alea," bisik Alden, suaranya dalam dan meyakinkan. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu." Alea hanya bisa tersenyum. Ia merasa bahwa ia tidak sendirian. Ia merasa bahwa ia memiliki Alden. Namun, dunia tidak hanya berputar di antara mereka berdua. Keesokan harinya, saat Alea tiba di kantor, ia disambut dengan tatapan sinis dan bisik-bisik yang semakin keras. Gosip tentang kedekatannya dengan Alden semakin me
Pagi hari setelah malam lembur yang mengubah segalanya, Alea datang ke kantor dengan senyum yang tidak bisa ia sembunyikan. Di lehernya, liontin kaca pembesar pemberian Alden melingkar indah. Ia merasa bahwa ia tidak lagi hanya seorang mahasiswi magang, melainkan seseorang yang spesial di mata Alden. Kehangatan dan perhatian yang Alden tunjukkan tadi malam membuatnya merasa seperti ia adalah satu-satunya orang di dunia. Ia masuk ke ruangannya, hatinya berdebar-debar. Dita Permata sudah ada di mejanya, tatapannya datar seperti biasa. Dita menyerahkan sebuah file tebal pada Alea. "Ini proyek yang harus Anda selesaikan, Alea," katanya. "Pak Alden ingin ini selesai sebelum makan siang." Alea terkejut. "Tapi, Bu Dita, ini terlalu banyak untuk diselesaikan dalam waktu sesingkat itu." "Itu urusan Anda," jawab Dita. "Pak Alden tidak suka orang yang suka mengeluh. Dia suka orang yang bisa menyelesaikan masalah." Alea menatap Dita, l
Enam minggu berlalu sejak Alea resmi magang di Dirgantara Group. Kehidupannya kini terbagi menjadi dua dunia yang sangat berbeda, dunia kampus yang penuh tawa dan kebebasan, serta dunia korporat yang serba cepat dan penuh tekanan. Ia mulai terbiasa dengan jadwal yang padat, meeting yang panjang, dan jargon-jargon bisnis yang sebelumnya terasa asing. Namun, yang paling mengejutkan adalah interaksinya dengan Alden. Jarak antara mereka, secara fisik maupun profesional, seolah menguap. Alden bukan lagi sosok CEO yang dingin dan tak terjamah. Ia adalah mentor yang sabar, membimbing Alea dengan teliti, dan bahkan terkadang terlibat dalam diskusi santai tentang hal-hal di luar pekerjaan. Kopi pagi di mejanya selalu diikuti oleh obrolan ringan, dan di sela-sela proyek, Alden sering melontarkan pertanyaan pribadi tentang kuliah, hobi, dan impian Alea. Suatu sore, saat Alea sedang menyelesaikan revisi desain, Alden memanggilnya ke ruangan. "Saya sudah
Pagi itu, Alea tiba di kantor dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena Alden menyukai desainnya yang dianggap "kekanak-kanakan" oleh Rina. Di sisi lain, ia semakin penasaran. Mengapa Alden begitu terkesan dengan sesuatu yang begitu sederhana? Ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua ini. Ketika ia masuk ke ruangannya, sebuah amplop putih tebal sudah tergeletak di mejanya. Di atasnya, tertera nama Alea Kirana dengan tulisan tangan yang rapi dan elegan. Amplop itu terasa berat. Alea mengambilnya dengan hati-hati dan membukanya. Di dalamnya, ada sebuah dokumen dengan logo Dirgantara Group di bagian atas. Ini adalah kontrak magangnya. Alea mulai membaca. Gaji yang ditawarkan jauh di atas rata-rata magang lainnya. Selain itu, ada asuransi kesehatan, tunjangan makan, dan beberapa tunjangan lainnya yang membuat Alea tercengang. Ia merasa bahwa ini adalah tawaran yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Namun, ketika ia membaca lebih lanjut, matanya b
Hari-hari setelah insiden di Aula Utama berlalu bagai angin. Alea kembali disibukkan dengan kuliah, proyek akhir, dan persiapan skripsi. Namun, ada satu hal yang berbeda. Di sela-sela kesibukannya, pikirannya sering kali melayang ke sosok Alden Dirgantara dan percikan aneh yang ia rasakan. Ia berusaha keras untuk mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa semua itu hanyalah bagian dari kegugupan dan kekaguman sesaat. Lagipula, apa mungkin seorang CEO sukses akan mengingat seorang mahasiswi yang menumpahkan kopi padanya? Suatu sore, saat Alea sedang asyik mengerjakan desain di kafe kampus, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia mengangkatnya dengan ragu. "Halo, dengan Alea Kirana?" suara tegas seorang wanita menyapa. "Iya, saya sendiri. Maaf, ini dengan siapa?" "Saya Dita Permata, sekretaris pribadi Bapak Alden Dirgantara dari Dirgantara Group," jawabnya. "Bapak Alden mengundang Anda untuk wawancara magang di kantor kami, besok pukul sembilan pagi." Jantung Alea serasa berhent