Arjuna.
Pria itu yang menyapanya, khas dengan nada datar dan dingin. Berdiri hadapannya, Arjuna sudah mengganti chef jacket-nya dengan kaos putih polos berlengan pendek. Tatapan Renata terhenti pada kaos ketat yang dikenakan Arjuna.
Kedua otot tangannya terlihat sempurna. Dada bidangnya...ugh! Renata ingin mengusapnya lembut. Dan wajahnya juga terlihat lebih bersih serta tatanan rambutnya juga begitu rapi. Tampak sebuah tas punggung hitam yang tergantung pada sebelah bahunya yang kekar. Pokoknya, seksi abis!!!
"Renata?" panggil Arjuna, yang membuat Renata makin salah tingkah, karena ketahuan merenung pria itu terlalu lama. Buru-buru, Renata memalingkan wajah dan mengutuk dirinya sendiri karena bersikap layaknya wanita jalang yang mendapatkan pelanggan. "Kamu belum pulang?"
"Be-belum, Pak." Renata masih memalingkan wajah, tak berani menatap Arjuna, karena itu bisa membuatnya sakit jantung lalu pingsan seketika.
"Um... " Arjuna bergumam. "Ngomong-ngomong, tangan kamu masih terasa panas?"
Lagi dan lagi, Arjuna terus menanyakan kondisi tangannya, dan tentu saja itu membuat Renata semakin salah tingkah. "Udah agak mendingan, Pak."
"Saya benar-benar minta maaf. Saya nggak sengaja."
Meskipun ucapan itu terdengar dingin, tetapi Renata dapat merasakan kekhawatiran yang Arjuna rasakan.
"Iya, Pak, nggak apa-apa, saya udah biasa kalau kena minyak panas." Sebisa mungkin, Renata mencoba untuk tidak bertukar tatap dengan Arjuna.
"Mau pulang bareng saya? Kebetulan, saya di jemput sopir pribadi, " tawarnya, yang membuat Renata membulatkan kedua matanya.
"Ng-nggak usah, Pak, saya udah pesan ojek online," tolak Renata cepat. Renata hanya tak ingin hubungannya dengan Arjuna melebihi batas antara atasan dan bawahan. Lagipula, dia tidak yakin jantungnya bisa tahan jika duduk semobil bersama Arjuna. Jadi, lebih baik tidak.
"Hujannya deras banget. Masa kamu pakai ojek," Arjuna tetap bersikeras.
Renata menggerak-gerakkan tangannya, juga bertekad menolak tawaran Arjuna. "Tadi saya pesan sebelum hujan, Pak."
"Yakin?"
Renata mengangguk cepat, tanpa benar-benar melihat ke arah Arjuna. Duh sial, kok atasannya ini tiba-tiba saja bersikap lembut? Argh...bisa-bisa Renata gila! Begitu mobil jemputan Arjuna datang, pria itu langsung saja menaikinya dan berpamitan dengan Renata.
Satu hal lagi yang membuat Renata gila saat itu juga adalah; Arjuna kembali tersenyum, senyum hangat yang mampu membuat kedua lutut Renata melemas dan ingin ambruk begitu saja.
Renata tidak peduli dengan padangan karyawan lain ketika dia berlarian memasuki hotel. Yang dia pikirkan saat ini - bagaimana dia bisa menghindar dari amukan seorang Arjuna Tunggajaya Nuraga.
Tepat pukul 09.00 pagi, dan Renata baru sampai di dapur. Dia terlambat satu jam! Masih dengan napas yang memburu, Renata berjalan masuk dengan cepat, dan membuat semua staf dapur menoleh untuk menatapnya.
Dia tidak sadar pada penampilannya sendiri sampai Imelda memanggilnya. Wanita itu menatap Renata dari atas ke bawah lalu kembali ke atas, lalu menepuk dahinya keras.
"Ampun Renataaa,” ucapnya gemas seraya menghampiri Renata yang masih sibuk mengatur napasnya.
"Lo apa-apaan? Duh ini.."
Imelda menunjuk kancing chef jacket Renata yang tidak terpasang pada tempatnya. Jadi, bayangkan saja betapa berantakannya penampilan Renata sekarang.
"Terus, ini," tunjuk Imelda pada rambut Renata yang tak terikat dan berantakan.
"Dan satu lagi, ini," Imelda menunjuk bagian celana Renata yang belum terpasang dengan rapi. Kancingnya saja masih terlepas. Untung saja sepanjang perjalanan, celananya itu tidak melorot.
"Lo kayak gembel, tahu nggak," tambahnya lagi.
"Gue kesiangan, Del, jadi gue buru-buru aja," ucap Renata, seolah itu menjawab semuanya.
"Iya-iya, gue tau. Udah, lo sana, benerin dulu, tuh, baju sama semuanya," saran Imelda dan Renata mengangguk setuju. "Sebelum Pak Arjuna datang."
Mata Renata tak henti-hentinya memperhatikan sekelilingnya saat berjalan menuju ruang ganti. Dengah langkah cepat, sambil sesekali berlari kecil, Renata mencapai ruang ganti dalam waktu singkat. Begitu memasuki ruang ganti, Renata langsung saja berlari menuju cermin besar yang terpasang di dinding.
Betapa terkejutnya Renata saat melihat penampilannya sendiri. Kancing yang tak terpasang rapi, rambut yang berantakan, belum memakai make up dan celana yang belum dia kaitkan. Sangat buruk. Jauh lebih buruk dari seorang gembel.
Tak tinggal diam, Renata mulai merapikan dirinya sendiri. Dimulai dengan menyisir rambutnya dan mengikatnya dengan gaya pony tail, lalu merapikan kancing baju, dan kemudian mengaitkan celananya cepat.
"Renata?" Suara itu membuat Renata hampir mengumpat karena rasa terkejut yang luar biasa. Renata menoleh dan mendapati Arjuna muncul dari ruangan di baliknya.
Aduh, sial! Dia pikir pria itu sudah ada di ruang briefing pagi. Tapi, bukan itu masalah terbesarnya sekarang.
Renata membulatkan kedua matanya ketika menyadari penampilan Arjuna rambut pria itu berantakan dan Arjuna memang sudah mengenakan chef jacket, tapi... Oh Tuhan, aura keseksian pria itu menyeruak memenuhi ruang ganti sumpek ini.
Renata bisa melihat perut sixpack pria itu, begitu juga dengan dada bidangnya yang terekspos jelas, karena chef jacket yang dikenakanannya belum dikancingkan. Membuat Renata harus menelan salivanya susah payah.
"Kamu ngapain di sini?" Masih sama dengan Arjuna yang biasa, suaranya masih datar dan sedingin es, walaupun dia nyaris tampil bertelanjang dada di depan bawahannya.
"Umm... anu, Pak." Renata benar-benar salah tingkah. Putus asa, dia mengedarkan pandangannya ke segala arah. "Saya lagi merapikan baju saya, Pak," jawabnya jujur, sambil sesekali melirik Arjuna yang mulai mengancingi bajunya.
"Tapi, ini, Re-"
"Pak, saya minta maaf, Pak, " potong Renata cepat, sebelum pria itu melanjutkan. Dia sudah tahu apa yang akan dikatakan Arjuna padanya. "Saya telat Pak, saya pulang dari sini jam dua belas malam, Pak. Terus sampai rumah udah jam satu pagi, Pak. Dan akhirnya saya bangun kesiangan, Pak," jelasnya cepat, dengan nada yang sedikit memohon.
"Renata-"
"Pak, tolong maafin saya, Pak. Jangan pecat saya, Pak. Kalau saya dipecat, saya nggak bisa makan, Pak. Saya minta maaf, Pak. Saya janji nggak akan mengulangi kesalahan ini lagi, Pak. Dan saja janji, nggak akan bikin Bapak marah sama saya lagi," cerocosnya tanpa henti.
"Renata-"
"Pak, tolong, Pak," lagi-lagi Renata memotong ucapan Arjuna. Dia tahu bahwa itu sangatlah tidak sopan, tetapi Renata melakukan itu agar Arjuna mau memaafkannya.
"Tapi, Renata, ini ruang ganti khusus laki-laki," ucap Arjuna akhirnya, dengan nada datar. Sambil menatap intens kedua mata Renata yang langsung melebar kaget.
"HAHI?"
Renata tersentak begitu mendengar ucapan Arjuna. Pipinya langsung memerah karena rasa malu yang menjalari dirinya. Matanya mulai menjelajahi sekitar ruangan. Dan benar saja, saat kedua mata Renata menatap ke arah pintu, di sana tertulis jelas 'RUANG GANTI KHUSUS PRIA. Membuat Renata malu setengah mati karena berada di ruang ganti tersebut. Untung saja, hanya Arjuna yang berada di sini. Jika sampai banyak orang, bagaimana? Entahlah, mungkin Renata memilih untuk mati saja karena rasa malu.
"Aduh, Pak... maaf." Renata lalu terburu berbalik dan berjalan cepat ke arah pintu. Namun, suara pria itu kembali mencegahnya.
"Renata.." Terpaksa, Renata menahan langkah. Renata tak bergerak, namun tak juga membalikkan tubuh.
Remasan pada tasnya diperkuat dan sesekali juga, dia memejamkan kedua matanya. Hatinya sudah menjerit dan berharap agar atasannya itu tidak memarahinya lagi seperti kemarin.
"Kamu sakit?" selidik Arjuna.
"Hah!? Nggak Pak," jawab Renata, masih sambil memunggungi pria itu.
"Muka kamu pucat."
"Itu... itu karena saya nggak pake make up, Pak. Saya duluan ke dapur, ya, Pak."
Bagaikan kilat, Renata langsung melesat pergi. Dan dalam hitungan detik, wanita itu sudah hilang begitu saja. Sedangkan Arjuna, masih termangu manatap tempat Renata tadi berdiri. Pria itu kemudian tersenyum, yang sayangnya kali ini luput dari pandangan Renata.
Renata menatap dirinya sendiri pada pantulan cermin yang ada di ruang ganti. Tubuhnya sudah terbalut oleh busana pernikahan hasil rancangan Anne. Masih dengan veil yang belum menutupi wajahnya, Renata terus saja menatap dirinya sendiri. Renata tidak percaya, bahwa sebentar lagi, dia akan menjadi istri dari seorang Arjuna Tunggajaya Nuraga. Dan tentu saja, namanya akan berubah menjadi Renata Deanita Tunggajaya Nuraga. Panjang sekali memang, tetapi Renata menyukainya.Tok...tok..tokSuara ketukan dan decitan pintu membuat Renata menoleh ke belakang. Dilihatnya Imelda yang sudah tampak cantik dengan balutan dress tosca panjang dan rambut yang tergerai indah. Sahabatnya itu akan menjadi penggiring mempelai wanita."Yang sebentar lagi bakalan jadi Nyonya Nuraga, lagi deg-degan ya?" ucap Imelda seraya melangkahkan kaki mendekati Renata, lalu memegang kedua bahu Renata.Renata tersenyum samar, berusaha menutupi rasa gugupnya, tetapi gagal."Lo nggak usah
"Dua bulan yang lalu, aku nyaris buat kamu sengsara. Aku telah menyakiti kamu saat itu. Aku nggak tau harus bagaimana, mendengar kamu menangis membuat hatiku sakit. Aku bodoh, ya? Udah membuat kamu menangis.""Sayang..." Renata mengusap pipi Arjuna sekilas. "Nggak usah menyalahkan diri sendiri. Aku bahagia karena kamu kembali padaku. Kamu ada di sini sekarang, itu yang terpenting. Jadi, kita nggak perlu bahas masalah itu lagi, oke?"Arjuna mengangguk."Bae, aku janji nggak-""Udah," potong Renata cepat. "Aku udah nggak percaya sama janji kamu. Dulu kamu janji nggak akan ninggalin aku, tapi buktinya kamu hampir pergi selamanya. Kamu juga janji nggak akan buat aku nangis, tapi nyatanya kamu selalu buat aku nangis."Re,""Aku nggak percaya janji kamu lagi. Tapi, aku percaya kalau kamu akan selalu berusaha ada dan selalu menjagaku dengan cinta yang kamu berikan.""Jadi," Renata menarik tangannya yang sedang digenggam oleh Arjuna. Kemudian
Sayang, bangun. Saya mohon sama kamu, tolong bangun..Suara itu sudah tak asing lagi, sangat familiar. Suara yang selama ini selalu membuatnya nmerasa tenang dan bahagia.Kamu bilang akan merasa bersalah jika saya nangis. Arjuna, saya lagi nangis sekarang, jadi kamu buka, ya, mata kamu.Dia mencoba untuk membuka mata, tapi apalah daya, dia tak sanggup. Dadanya terasa semakin sesak saat mendengar wanita itu menangis. Dia juga ingin menangis, tetapi tak bisa. Tubuhnya selalu saja menolak jika dia ingin berusaha. Kegelapan semakin dalam menyelimuti dirinya. Seakan-akan berada di dasar Samudra yang paling dalam dan sulit untuk mencapai ke atas. Berusaha berenang tetapi tak bisa. Tak ada yang bisa dia lakukan selain berdiam.Dia terus saja mendengar Renata menangisi dirinya. Dia ingin sekali nembuka mata dan mengatakan pada Renata bahwa dia merasa bersalah. Tangisan Renata membuat hatinya menjerit sakit. Renata hanya ingin dia bangun, tapi ke
Setelah menemui Anne, selanjutnya Renata bertemu Ivan wedding organizer yang akan mengurusi pernikahannya nanti. Saat Renata memasuki kantor pria itu, dilihatnya Ivan sedang memegang secangkir kopi dari kedai kopi ternama di Indonesia."Hai..." sapa Ivan sembari mengulurkan tangan kanannya."Hai juga, Van." Renata menerima jabatan tangan Ivan sambil tersenyum hangat.Pria itu langsung mempersilahkan Renata duduk. Bahkan, dia sudah memesankan Renata coffee latte, kopi favoritnya."Jadi, gimana, Ren?" tanya Renata seraya mengambil cangkir dan menyesap cofee latte-nya."Semuanya udah beres. Undangan sudah, alat dan bahan dekorasi pun udah, kateringnya juga sudah siap.""Untuk pelunasan sisa biaya, kira-kira kapan?" tanya Renata."Seminggu sebelum hari pernikahan," balas Ivan yang diikuti dengan anggukan kepala Renata. "Eh, kok sendiri ke sininya? Mana calonnya?""Sibuk kerja, dia masuk siang. Jadi, nggak bisa temenin saya ke sini.
Tuhan, kenapa kau bawa dia pergi sebelum aku benar-benar bahagia?Kenapa kau jauhkan dia saat aku ingin selalu dekat dengannya?Kenapa kau buat dia menjadi pria berengsek yang ingkar pada janjinya?Apa salah aku, Tuhan?Hingga kau membuatku seperti ini.Dia,Hanya dia satu-satunya yang membuatku bahagia.Setiap kata dan tindakan kecil yang dilakukannya selalu membuatku bahagia.Senyum, tawa, dan tangisnya sudah menjadi temanku selama ini.Tuhan,Jika aku boleh minta, tolong kembalikan dia.Atau,Jika kau tak bisa nengembalikannya...Tolong sampaikan padanya bahwa aku rindu...Dari Renata yang selalu merindukan pria bernama Arjuna.☆☆☆☆☆Dua bulan kemudian...Renata baru saja meletakkan sebuket bunga di atas salah satukuburan di pemak
Tiga hari berikutnya kondisi Arjuna masih sama. Masih koma, sepertinya pria itu masih menolak untuk bangun. Renata yang sudah rapi dengan chef jacket-nya berdiri di samping ranjang Arjuna. Tidak ada pilihan, dia harus kembali bekerja untuk menggantikan posisi Arjuna. Namun, Renata tak pernah absen menemani Arjuna sebelum dan sepulang kerja."Sayang.." Renata mengusap puncak kepala Arjuna. "Saya kerja dulu, ya? Kamu jangan kayak kemarin."Renata berjalan keluar dan mendapati Ayah Arjuna sudah siap menggantikannya. Setelah berpamitan, dengan berat hati, Renata terpaksa pergi ke hotel. Jujur saja, semuanya terasa salah tanpa kehadiran Arjuna, tapi bekerja akan membantu Renata tetap waras. Dia juga tidak ingin lagi terpuruk menangis, itu tidak akan membantu dirinya sendiri dan juga Arjuna."Selamat pagi," sapa Renata yang dibalas dengan sapaan serta senyuman oleh karyawan lain.Imelda juga merasa senang karena Renata berusaha keras untuk bersikap nor