Fiona Wulandari, dosen baru di kampus yang akan menjadi tempat kuliah Alisya. Katanya, Fiona baru mengajar di sana sekitar delapan bulanan. Dan dari segala pembicaraan, Alisya tebak Fiona tahu banyak tentang keluarganya.
Awalnya Alisya pikir, Fiona ada sesuatu dengan Andra, karena tatapan Andra tak bisa disembunyikan. Tapi dari Fiona sendiri, Alisya tahu kalau semua yang Fiona tahu itu dari Radit. Dan katanya, dia dengan Radit pernah dekat juga. Pernah dekat, yang berarti mungkin sekarang sudah tidak lagi. Setelah menyelesaikan pendaftaran, Alisya pun keluar dari area kampus. Alisya sudah diberitahu jadwal masa orientasi untuk para mahasiswa baru. Semoga saja masa orientasi yang akan dia lewati tidak aneh-aneh. Alisya berjalan melewati gerbang, lalu mencari-cari keberadaan mobil Andra. Alisya pikir, pria itu akan langsung pergi tanpa menunggunya, mengingat pria itu harus ke kantor juga. Tapi ternyata, Andra setia menunggu Alisya selesai. Dan dia masih di sana, menunggu Alisya dengan tubuh bersandar pada badan mobilnya yang mewah. Perbincangannya dengan Andra yang kurang enak tadi membuat Alisya sedikit bingung untuk memulai interaksi. Apalagi, sepertinya kondisi hati Andra memburuk setelah bertemu dengan Fiona tadi. "Kenapa masih di sini?" Alisya bertanya, setelah berada di samping Andra yang sibuk dengan ponselnya. "Masih tanya? Pikir saja sendiri." Andra menjawab dengan sinis. Alisya melebarkan mata, tak percaya mendapatkan respon sesinis itu dari Andra barusan. "Kalau gak mau, ya pergi aja. Aku juga gak minta ditungguin," ujar Alisya kesal. Andra tak membalas, dan langsung masuk ke dalam mobil. Setelah duduk di balik kemudi, Andra menatap Alisya dan menyuruh adik tirinya tersebut untuk segera masuk. "Cepat masuk. Aku harus kerja." Masih dengan nada sinis. Alisya menghembuskan nafas kesal sebelum masuk ke dalam mobil. Pada akhirnya, suasana dalam mobil sekarang lebih menyeramkan ketimbang saat berangkat tadi. Karena tak ada urusan lain, Andra pun mengantarkan Alisya langsung ke rumah. Andra dan Alisya turun bersamaan dari dalam mobil, dan mereka melihat ada beberapa orang asing yang keluar-masuk rumah. "Oh, hai. Kalian sudah pulang?" Perhatian Andra dan Alisya langsung teralihkan pada Radit, yang berjalan mendekati mereka berdua. "Iya, Kak. Mereka siapa ya? Apa ada acara?" Alisya bertanya dengan penasaran seraya menunjuk orang-orang tersebut. "Oh itu. Mereka itu orang yang bantu aku membawa barang ke kamarmu," jawab Radit dengan enteng. Alisya mengerutkan kening mendengar itu. "Kamarku?" "Iya. Ibu tadi bilang kamu belum memiliki meja rias dan rak sepatu. Alvina juga menyarankan aku untuk membeli barang-barang lain yang mungkin kamu perlukan." Radit menjawab disertai dengan senyuman yang lembut. Mendengar penuturan Radit, Alisya merasa senang. Dia segera masuk ke dalam rumah, sampai lupa mengucapkan terima kasih pada Andra. "Bagaimana kabarmu, Kak? Mau ma-" Belum juga Radit selesai bicara, Andra langsung masuk ke dalam mobil dan pergi dari sana. Radit hanya tersenyum paksa melihat itu. setelah mobil Andra hilang dari pandangan, Radit pun masuk ke dalam rumah, menyusul Alisya. "Bagaimana? Apa kamu suka?" Radit langsung bertanya pada Alisya yang sudah berada di dalam kamar. "Suka, Kak. Warnanya cocok dengan cat kamar ini. Dan modelnya juga lucu sekali. Terima kasih banyak, Kak." Alisya berkata dengan tulus. Radit hanya tersenyum seraya mengangguk kecil. "Sama-sama. Jika kamu butuh apapun, katakan saja padaku. Aku akan bantu sebisa mungkin," ujar Radit. Alisya mengangguk dengan semangat sebagai balasan. "Oh ya. Apa kamu suka dengan barang-barang yang lain? Maksudku, lemari, ranjang, sofa dan barang lainnya. Soalnya kan itu bekas Kak Andra. Jika kamu mau menggantinya, aku bisa membantu." Radit menawarkan bantuan. Tatapan Alisya kini beralih pada barang-barang berat yang disebutkan oleh Radit barusan. Tak ada yang rusak, dan semuanya masih bagus. Hanya saja, warna sofa kurang cocok dengan suasana kamarnya yang didominasi warna putih. Tapi, Alisya tak akan menggantinya. Selama masih dipakai, tak masalah. "Tak perlu, Kak. Semuanya masih bagus dan layak dipakai. Kecuali mungkin jika nantinya Kak Andra mau membawa semua barangnya ini, maka aku akan meminta beli yang baru pada ayah," jawab Alisya. Radit tertawa kecil mendengar itu. "Baiklah jika begitu. Ada lagi yang kamu perlukan sebelum aku pergi?" Radit bertanya. Alisya diam sesaat, tak sengaja dia teringat pada Fiona. "Ehm, apa Kak Radit mengenal Bu Fiona? Beliau dosen baru di kampus dan yang mengurus pendaftaranku juga. Tadi beliau banyak bercerita tentang keluarga ini. Katanya Kak Radit yang sering cerita." Setelah mengatakan itu, Alisya bisa melihat perubahan raut wajah Radit. Namun, pria itu langsung tersenyum untuk menyembunyikan ekspresi tak nyamannya. "Iya. Ya kamu tahulah. Kami teman satu profesi," jawab Radit simpel. Alisya menatapnya heran, namun tak bertanya lagi. Dia mengingatkan diri, kalau itu adalah hal privasi yang tak boleh dia usik. "Baiklah. Aku pergi dulu. Jangan lupa hubungi aku jika ada apa-apa." Radit berpamitan kemudian melenggang pergi dari kamar Alisya. Alisya merasa aneh, namun dia tak peduli. Matanya kini melihat sekeliling kamarnya yang terisi perabotan baru. Mungkin dia akan membereskannya agar lebih rapi. Yap, dari pada hanya diam saja. *** Makan malam kali ini, tidak selengkap malam kemarin. Andra dan Rama tak ada, karena memang mereka sudah tak tinggal di sana. Hanya tersisa Radit saja yang masih betah tinggal di rumah orang tua bersama adik-adiknya. Dan tentu saja, itu menjadi nilai plus bagi sosok Radit. Memperlihatkan diri yang peduli pada keluarga. Sikap Radit memang ramah, seperti yang diceritakan oleh Alvina. Senyum selalu terukir di wajah saat sedang bicara. Tak ada nada ketus atau sinis. Wajah teduhnya pun enak dipandang. Yap, jauh sekali jika dibandingkan dengan Andra yang menyebalkan. Kalau Rama, Alisya belum bisa menilai. Karena dia belum berinteraksi dengan kakak tirinya yang satu itu. "Sya, bagaimana pendaftaran tadi? Andra membantumu kan?" Sarah bertanya, saat makan malam sudah selesai. "Semua baik-baik saja kok, Bu. Kak Andra banyak membantuku." Alisya menjawab disertai senyuman kecil. Hanya untuk menghargai ibu tirinya saja, karena Alisya sudah terlanjur sebal pada anak sulung Sarah. "Baguslah. Sekarang, Ayah dan Ibu mau membahas masalah transportasi. Kalian tak keberatan kan jika tak punya kendaraan masing-masing?" Hendra bersuara, bertanya pada putri kandungnya, juga pada tiga anak tirinya. "Tak masalah, Yah. Kami bisa berangkat bareng Kak Radit. Kan tempat tujuan kita sama." Vian bersuara, mewakili jawaban dari kedua kembarannya. "Itu benar. Aku tak keberatan berangkat setiap hari dengan adik-adikku," timpal Radit. Hendra dan Sarah tersenyum bahagia mendengar itu. Bahagia karena Radit menjadi sosok kakak yang baik bagi adik-adiknya. "Nah, untuk Alisya, kamu bisa berangkat bersama dengan Andra jika ada kelas pagi karena jalur kampus kamu dengan kantor satu arah," lanjut Sarah. Alisya terdiam, merasa kaget mendengar itu. "Tak perlu, Bu. Aku bisa naik ojek online atau taksi. Aku tak mau merepotkan Kak Andra," tolak Alisya secara halus. "Jika mau, Alisya bisa berangkat dengan kami juga, Bu." Tiba-tiba Radit bersuara, menawarkan bantuan. "Arah kampus kalian dengan kampus Alisya itu berbeda dan jaraknya juga cukup jauh. Alisya, jangan merasa merepotkan. Andra sudah setuju kok dengan rencana Ibu ini." Sarah berkata. Alisya terdiam, merasa kaget. Benarkah Andra sanggup? Rasa-rasanya, ada yang tak beres. Mengingat sikap Andra tadi, Alisya tahu kalau pria itu menganggap dirinya merepotkan. "Kak Andra setuju? Kupikir dia akan sibuk sekali," timpal Radit. "Untuk Alisya, sepertinya tak masalah. Dia sudah berjanji pada Axel akan menjaga Alisya dengan baik, mengambil alih tugas yang selama ini dilakukan oleh Axel," ujar Hendra dengan senyuman bangga. Tentu dia bangga, karena putri kandungnya di jaga dengan baik oleh kakak-kakak tirinya. Setelah Hendra berkata seperti itu, suasana menjadi hening. Bukan hanya Alisya, tapi Radit dan si triplets pun merasa tak percaya. Karena suasana berubah jadi sedikit tak nyaman, akhirnya Alisya pun pamit untuk segera masuk ke dalam kamar.Fiona Wulandari, dosen baru di kampus yang akan menjadi tempat kuliah Alisya. Katanya, Fiona baru mengajar di sana sekitar delapan bulanan. Dan dari segala pembicaraan, Alisya tebak Fiona tahu banyak tentang keluarganya. Awalnya Alisya pikir, Fiona ada sesuatu dengan Andra, karena tatapan Andra tak bisa disembunyikan. Tapi dari Fiona sendiri, Alisya tahu kalau semua yang Fiona tahu itu dari Radit. Dan katanya, dia dengan Radit pernah dekat juga. Pernah dekat, yang berarti mungkin sekarang sudah tidak lagi. Setelah menyelesaikan pendaftaran, Alisya pun keluar dari area kampus. Alisya sudah diberitahu jadwal masa orientasi untuk para mahasiswa baru. Semoga saja masa orientasi yang akan dia lewati tidak aneh-aneh. Alisya berjalan melewati gerbang, lalu mencari-cari keberadaan mobil Andra. Alisya pikir, pria itu akan langsung pergi tanpa menunggunya, mengingat pria itu harus ke kantor juga. Tapi ternyata, Andra setia menunggu Alisya selesai. Dan dia masih di sana, menunggu Alisya deng
"Sudah bangun?""Sarapan gih. Berangkat sama siapa ke kampus?"Alisya tersenyum lebar membaca dua pesan tersebut dari Axel. Dengan senyum yang setia menghiasi wajah, Alisya pun mulai mengetikkan sebuah balasan untuk Axel."Udah bangun kok dari tadi.""Kak Andra yang antar aku. Karena kampusku beda sama Vina dan yang lain."Alisya masih tersenyum seraya memasukkan ponsel dan barang penting lainnya ke dalam tas. Setelah itu, Alisya meraih map di atas meja belajar yang isinya sudah dia siapkan sejak malam. Isi map tersebut adalah surat-surat yang diperlukan untuk mendaftar kuliah.Alisya merasakan getaran ponsel dari dalam tasnya, dan langsung menebak kalau itu pesan dari Axel. Alisya hendak mengambil ponselnya tersebut, namun niatnya terhenti saat Alvina membuka pintu kamarnya."Sudah selesai? Kak Andra sudah datang." Alvina berbicara setengah berbisik membuat Alisya keheranan."Kamu tahu? Dia paling tidak suka menunggu." Kini Alisya paham dan dia segera menyusul Alvina ke ruang tamu. S
Malam pertama tidur di rumah sang ayah, Alisya ditemani oleh Alvina. Alisya sendiri yang meminta Alvina untuk menginap di kamarnya, menemaninya. Sekaligus Alisya ada banyak pertanyaan yang mungkin bisa dijawab oleh Alvina.Yang Alisya tanyakan pertama kali adalah sosok kakak-kakak Alvina yang menjadi kakak tiri Alisya juga. Alisya ingin mengenal mereka dengan baik, berharap hubungannya dengan mereka bisa sebaik dirinya dengan Axel. Dan karena itu, Alisya ingin tahu sesuatu tentang mereka, walau sedikit. "Kak Andra. Kamu bisa bertanya pada Vian atau Vino nanti jika jawabanku tidak memuaskan. Tapi, memang tak ada yang spesial dari Kak Andra. Kak Andra orangnya sangat tertutup. Privasinya benar-benar dijaga hingga aku pun kurang tahu bagaimana kehidupannya selama ini." Itu gambaran sosok Andra dari Alvina. Memang tidak memuaskan, tapi bisa saja Alvina memang tak banyak tahu tentang kakaknya yang satu itu."Kak Andra pindah dan memiliki apartemen sendiri sejak satu tahun yang lalu. Kamar
Alisya berdiri di dalam sebuah ruangan yang cukup luas yang akan menjadi kamar tidurnya mulai sekarang. Kamar dengan dominasi warna putih itu terlihat bersih dan rapi. Katanya, kamar itu awalnya ditempati oleh anak sulung Sarah. Namun karena anak Sarah tersebut sudah memiliki tempat tinggal sendiri, maka kamar itu menjadi milik Alisya mulai sekarang.Ada sebuah ranjang berukuran king size di tengah ruangan. Lalu sebuah lemari kayu besar, sofa panjang berwarna merah marun, meja kaca kecil, dan karpet bulu yang lembut. Alisya ditawari banyak hal oleh ibu tirinya. Katanya, dia hanya perlu mengatakan saja apa yang dibutuhkan. Well, Alisya bersyukur ibu tirinya baik dan bisa menerimanya dengan baik juga di rumah itu. Semoga saja kebaikan ibu tirinya itu tulus, dan tidak berubah.Alisya menyeret koper hitamnya mendekati lemari. Lalu dia mulai menata pakaiannya di sana. Alisya memang membawa sedikit barang dan pakaian, hingga lemari raksasa itu masih memiliki banyak ruang yang kosong. Mungki
Seorang gadis remaja dengan seragam yang masih membalut tubuh terlihat duduk tenang di sofa bersama keluarganya. Di atas meja, terdapat sebuah surat yang menyatakan dirinya sudah lulus sekolah."Jadi, keputusanmu tidak berubah?" Seorang pria dewasa bertanya dengan nada kecewa pada Alisya, adik tirinya."Maafkan aku, Kak. Tapi aku sudah lama memikirkan ini. Dan aku tak akan berubah pikiran. Lagi pula, kemarin Mama Sarah menghubungiku dan berkata kalau dia tak sabar menunggu kepindahanku ke rumah mereka." Alisya menjawab. Diana, ibu kandung Alisya menghela nafas pelan. Sejak masih dalam kandungan sampai sekarang Alisya berusia 18 tahun, dia tak pernah berjauhan dengan sang anak. Saat bepergian pun, paling cuma dalam waktu satu minggu. Itu pun ada Axel yang selalu dia percaya untuk menjaga Alisya. Cukup berat bagi Diana melepaskan anak perempuannya."Kenapa harus pindah ke Jakarta? Di sini pun banyak universitas yang bagus dan baik. Kamu boleh memilih yang kamu suka." Diana mengutarakan