Semoga Suka dengan Bab ini. Papai ... @deasta18 (follow ig penulis agar selalu mendapatkan informasi terbaru tentang novel kita)
Apa yang istimewa dengan anak baru itu sampai-sampai Sbastian memperlihatkan sisi lembutnya pada Tita?! ***"Kak, aku mau berhenti bekerja," ucap Tita, di mana saat ini dia berada di ruangan Damian. Ada Sbastian juga di sana–kedua pria itu terlihat bekerja dengan sangat serius. Tita di sini untuk makan siang bersama kedua pria itu. Namun, karena keduanya masih sibuk, mereka belum makan siang. "Kenapa?" Damian dan Sbastian sama-sama menjawab, bahkan serentak menoleh pada Tita. "Karena tidak ada unsur pertaniannya, dan aku cukup bosan," jawab Tita. "Dek, kau tidak boleh begitu. Setiap pekerjaan pasti akan membosankan, dan itu bagian dari rintangan ingin kita," nasehat Sbastian, geleng-geleng kepala mendengar jawaban adiknya. "Tapi ini bukan duniaku, Kak. Aku sama seperti cacing."Damian dan Sbastian saling bertatapan karena merasa aneh dengan jawaban Tita. Apalagi ini? Cacing? Ada apa dengan otak Tita? Perempuan diluaran sana ingin disamakan dengan hewan yang lucu seperti kucing,
"Jaga baik-baik istrimu yah, Dami Sayang," nasehat Carmen, di mana saat ini Tita dan Damian akan berangkat bekerja. Libur untuk pengantin baru telah selesai dan mereka kembali ke dunia kerja. Sebetulnya, Damian rak pernah benar-benar libur. Dia masih bekerja di rumah. "Tentu, Mah," ucap Damian. Setelah pamit, dia dan Tita langsung berangkat. Tiba di kantor, Damian langsung ke ruangannya. Begitu juga dengan Tita yang bekerja dibawah pengawasan kakaknya sendiri. "Kau paham?" tanya Sbastian, setelah sebelumnya dia menjelaskan apa yang harus Tita kerjakan. Tita menganggukkan kepala, "aku paham, Kak.""Humm. Nanti kalau sudah selesai, antar pekerjaanmu pada Kakak." "Baik, Kak," jawab Tita dengan nada bersemangat. Sebelum pergi, Sbastian menyempatkan diri untuk mengusap pucuk kepala adiknya. Hal tersebut tak luput dari perhatian staf lain. Banyak dari mereka yang bertanya-tanya siapa Tita sehingga dia dekat dengan Sbastian, dan ada beberapa perempuan yang suka pada Sbastian merasa ta
"Dalam rangka apa kau memberiku kado?" tanya Damian, di mana dia mengikuti Tita ke kamar–sambil membawa buket bunga dan kado. Tita yang baru saja duduk di sofa langsung menoleh pada Damian. Dia sejujurnya masih dilanda rasa gugup, akan tetapi Tita berusaha untuk terlihat biasa saja. "Hari ini hari kasih sayang. Semua orang menunjukan kasih sayang pada pasangannya," jawab Tita, mencoba santai walau sebenarnya jantungnya tambah terguncang ketika melihat Damian membuka kado darinya. Dia deg degkan, takut Damian tidak suka pada kado pemberiannya. Damian berhenti membuka kado, menoleh pada Tita dengan ekspresi datar tetapi dengan senyuman tipis yang lembut. "Itu berarti kau menyayangi pasanganmu." "Ouh, tentu," jawab Tita lantang, terlalu bersemangat. Namun, saat menyadari sesuatu, air muka Tita berubah muram bercampur malu, "jangan salah paham. Maksudku semua manusia itu sudah seharunya saling mengasihi dan menyayangi." "Humm." Damian berdehem singkat, kembali melanjutkan akti
"Tita," jawab Damian cukup cuek, efek kesal karena tak menemukan istrinya. Carmen dan Raymond sama-sama saling bersitatap, merasa sedikit bingung karena sebelumya Damian bilang istrinya ada di kamar. "Coba ditelpon, Sayang," ucap Carmen. Damian menganggukkan kepala, segera mengeluarkan ponsel kemudian menelpon istrinya. Dertttt' Sebuah handphone berdering, membuat semua orang menoleh pada benda tersebut. Itu telpon Tita, berada di atas meja bar. Handphone perempuan itu ada di sini, tetapi di mana orangnya? "Handphone Tita ada di sini," ucap Carmen pelan, "tapi kemana orangnya?" Damian tak menjawab perkataan mamanya, dia menghela napas sejenak karena tak tahu harus mengatakan apa. Hingga pada akhirnya, matanya tak sengaja memandang ke arah petugas pemotong kayu. Ada dua petugas kayu di bawah, tengah memegang tangga besar. Merasa heran kenapa petugas ada di bawah, Damian langsung menatap ke atas. Seketika matanya melebar, cukup shock melihat istrinya sedang memotong dah
Tita masih bersama Lisa, kali ini mereka di sebuah toko gelang untuk membeli hadiah pada pacar Lisa. Hari ini adalah hari kasih sayang, dan Lisa ingin memberikan gelang sebagai hadiah pada kekasihnya. "Aku sudah sering ngode dia supaya beli gelang persaaman denganku, tapi sampai sekarang dia enggak mau. Jadi aku ngasih hadiah gelang persamaan saja," ucap Lisa pada Tita sambil menggoyangkan paper bag berisi gelang yang telah ia beli, "aku juga sekalian ngasih coklat ke dia. Hehehe …." "Idih." Tita menatap julid pada Lisa, "masih bucin ajah yah kamu sama cowok kere itu. Aku yakin banget nih, kamu ngasih kado ke dia tapi dia nggak akan ngasih apa-apa sama kamu." "Kemarin dia ngasih aku bunga kok," jawab Lisa, sedikit cemberut karena ucapan Tita sebelumya. Namun mau bagaimana lagi, Tita memang tak suka pada pacarnya. Tita terkesan membenci pemuda yang saat ini menjadi pacarnya. "Tumben." Tita mengerutkan kening, heran karena tak biasanya pacar Lisa memberikan sesuatu pada Lisa.
Hingga pada akhirnya Tita memutuskan keluar dari kamar lalu diam-diam pergi dari rumah mewah tersebut. Dia memilih diam-diam karena dia tahu Damian tak akan membiarkannya keluar dari rumah. Sebagai orang yang benci dikekang, Tita memilih kabur. *** "Itu sepertinya Tita," gumam Sbastian, di mana saat ini dia sedang di jalan, menuju rumah Damian untuk sebuah pekerjaan. Damian sama seperti ayahnya, pengila kerja dan tak mengenal waktu. Meski Damian baru menikah dan dia sedang libur kerja, akan tetapi Damian tetap bekerja di rumah. "Ah tidak mungkin. Pasti aku salah lihat," gumam Sbastian lagi, menghela napas dan memilih fokus pada jalanan. Tadi, sekilas dia melihat adiknya sedang menyeberang. Akan tetapi sepertinya dia salah melihat. Tak mungkin adiknya di sini, dia baru menikah. Setelah tiba di rumah Damian, Sbastian masuk menemui Damian. Tanpa basa-basi, dia langsung menghidupkan laptop dan bekerja dengan Damian. Hingga setelah berlangsung 3 jam, Sbastian mendadak
Deg Mendengar itu, Catrine langsung melebarkan mata. Wajahnya tegang, berbalut perasaan tak percaya dan kaget luar biasa. Menikah? Perempuan ini menikah dengan Damian? Catrina terus mengamati perempuan itu, dalam hati dia membantah kalau perempuan itu bukan istri Damian, meski rasanya sudah jelas. "Damian, dia siapa?" tanya Catrina untuk memperjelas. Damian menoleh pada Catrina, begitu juga dengan Tita yang ikut menoleh pada sosok perempuan tersebut. Dia sedikit terkejut, baru menyadari kalau ada orang lain di sini. 'Damian? Dia memanggil Kak Damian tanpa embel-embel. Kalau dia orang asing, tak mungkin dia tahu nama Kak Damian. Kalau hanya sekadar kenal, tak mungkin dia memanggil Kak Damian dengan hanya menyebut nama. Pasti dia dekat dengan Kak Damian.' batin Tita, mengamati perempuan tersebut dari atas hingga bawah. Dia juga menatap anak laki-laki yang bergandengan tangan dengan perempuan itu. "Istriku," jawab Damian singkat. Catrina kembali membelalak, antara kage
Tita duduk melamun di dalam mobil, menatap jalanan dengan ekspresi lesu. Setelah sarapan bersama dengan keluarga Abraham, Damian langsung membawa Tita pulang ke rumah orang tua pria ini. Untuk sekarang, Tita dan Damian akan tinggal di rumah orangtua Damian. Tita sejak tadi melamun karena campuran mengantuk dan lemes. Dia telah makan banyak akan tetapi dia merasa baterainya belum terisi penuh. Hah, tadi malam adalah hal yang mengerikan bagi Tita. Damian seperti penjajah yang menerapkan romusa pada Tita. Gara-gara tadi malam, Tita sekarang takut hari menjadi gelap. Damian sendiri juga hanya diam karena dia memang suka suasana yang hening dan tenang. Namun, dia diam-diam terus memperhatikan Tita. Perempuan yang telah menjadi istrinya tersebut telihat bosan dan terlihat menahan kantuk juga. Damian menghela napas pelan. Damian memutuskan membawa Tita ke minimarket, agar perempuan ini kembali bersemangat dan tak mengantuk. Dan benar! Damian belum mengatakan apa-apa, hanya berhenti
Tita langsung membaringkan tubuh di atas ranjang, merentangkan tangan lalu menengadah ke atas langit-langit kamar. "Akhirnya aku bisa berbaring," ucap Tita lega, tersenyum tipis karena merasa nyaman dengan ranjang ini. Ini sudah hampir tengah malah, dan Tita baru bisa istirahat sejak dia memasuki aula pernikahan. Karena pernikahannya dimulai dari siang dan dilanjut hingga malam, Tita benar-benar tak ada waktu untuk bersantai sedikit saja. "Huah." Tita menghela napas, "kenapa yah aku mau menikah dengan Kak Damian? Kan awalnya aku menolak keras, tapi …- jangan-jangan dia mengguna-guna aku, supaya aku nurut dan tunduk sama dia. Iya yah." Tita yang bermonolog sendiri, segera bangkit dari ranjang. Dia sedikit kesusahan karena dress yang membalut tubuhnya. Setelah berhasil berdiri, Tita berjalan ke arah balkon. Dia hanya berdiri di sana sambil menatap ke luar, "kenapa tiba-tiba aku menurut padanya? Dan sekarang aku istrinya? Aku-- seorang istri?" Tita berkacak pinggang, masih tak