Dering ponsel memecah keheningan di ruangan itu. Pemiliknya belum terusik, dia nyenyak tidur. Suara ponselnya berhenti, tapi tak lama kemudian kembali berdering. Si pemilik mengerang. Dia meraba tempat tidur sampai tangannya menyentuh benda itu.
“Halo,” jawabnya serak. Tenggorokannya terasa kering.
“Claire, kamu di mana, Nak?” tanya ibunya. Setelah makan malam merayakan kelulusan dengan keluarganya, Claire pergi bersama teman-temannya dan dia tidak pulang ke rumah. Claire bangun lalu menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.
“Aku di rumah teman, Ma‚” jawab Claire berbohong. Dia di kamar hotel. Ayahnya pasti marah jika dia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk.
“Kamu pulang ke rumah hari ini, ‘kan?”
“Iya, Ma. Nanti sore,” Claire melihat jam yang tertera di ponselnya. Jam sepuluh pagi. Dia melihat ke arah jendela kamar. Claire tidak bisa melihat apa pun karena jendela tertutup tirai berwarna gelap.
“Apa kamu ada kegiatan dengan temanmu? Mama ingin mengajakmu belanja.”
“Aku akan belanja dengan Evelyn nanti‚” Claire memberi alasan karena keadaannya yang belum kembali normal.
“Baiklah. Pastikan kamu membeli dress yang cantik, Sayang.”
“Siap, Nyonya Park,” canda Claire, menyebut marga ibunya sebelum beliau menikah dengan ayahnya.
“Sampai nanti, Ma.”
“Bye, Sayang.” Claire meletakkan ponselnya dan bangkit dari tempat tidur. Dia langsung menuju kamar mandi. Claire meringis begitu melihat pantulan dirinya di cermin. Eye make-up yang luntur membuatnya terlihat mengerikan. Dia segera membersihkan dirinya. Setelah selesai, dia keluar dari kamar mandi dengan menggunakan bathrobe. Claire duduk di tempat tidur, mengambil ponselnya lalu memesan pakaian secara online. Dia juga memesan makanan dari kamarnya. Ponselnya berdering saat wanita itu hendak beranjak dari tempat tidur. Panggilan dari temannya, Evelyn.
“Hai, Eve!”
“Kau sudah sadar.”
“Aku tidak semabuk itu,” protes Claire.
“Terima kasih sudah mengantarku semalam,” jika saja Evelyn tidak tinggal bersama tunangannya, dia pasti menginap di apartemen temannya.
“Kau sudah mengatakan itu,” Claire berjalan menuju jendela, menyibak tirai dan melihat kesibukan kota New York.
“Jam berapa kau kemari?”
“Setelah aku sarapan dan pakaianku datang.”
“Baiklah. Sampai jumpa.” Saat itu bel kamarnya berbunyi. Dia berjalan menuju pintu dan membukanya kecil.
“Room service, Miss.” Ucap waiter restoran hotel tempat dia menginap. Dia membuka pintu kamar lebih lebar, memberi ruang untuk waiter mendorong trolley ke dalam kamar lalu pergi ke ruang tidur untuk mengambil beberapa lembar uang.
“Ini untukmu,” Claire melihat name tag waiter yang sudah selesai meletakkan sarapan yang dia pesan ke meja.
“Robert.” Si waiter menerima tip dari Claire dan tersenyum.
“Thank you and have a nice day, Miss.”
“Kamu juga. Tolong tutup pintunya, Robert.”
“Baik, Miss Wilson.” Claire duduk di kursi makan dan menyantap American Breakfast yang ada di depannya. Sambil sarapan, Claire memikirkan apa yang dia lakukan selanjutnya. Dia akan melamar kerja di perusahaan tempat dia magang. Bel kamarnya menghentikan pikiran Claire. Wanita itu membuka pintu dan mendapati bellboy memegang paper bag dengan nama butik langganannya.
“Selamat pagi, Miss. Ini pesanan untuk Miss Claire Wilson,” Claire menerimanya. Dia juga memberi tip pada bellboy. Memberi tip saat berada di hotel adalah keharusan untuk Claire. Itu memberi kesenangan dan membuat pegawai hotel semangat melakukan pekerjaannya.
“Terima kasih sudah mengantar pesanan saya.” Bellboy itu tersenyum.
“Terima kasih kembali, Miss Wilson. Semoga hari anda menyenangkan.” Claire mengangguk lalu menutup pintu kamar hotel. Dia kembali ke meja makan dan menyelesaikan sarapannya.
Claire mengeluarkan pakaian dari paper bag, melepas price tag pakaian yang dia pesan lalu memakainya. Dia mengambil tas yang berada di nakas, dan pergi ke kamar mandi. Di sana dia menyisir rambut dan memakai lipstik. Setelah puas melihat dirinya di cermin, Claire memungut dress yang dia tinggalkan di lantai kamar mandi. Memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Claire keluar dari kamar dan berjalan menuju lift. Dia menekan panel tombol bawah dan menunggu. Tak lama lift berhenti di lantainya.
Pintu terbuka, hanya ada satu orang di dalamnya. Claire dan orang itu yang terlihat berdarah Asia sama-sama bergerak. Claire ke dalam dan orang itu keluar lift. Dia berbalik menghadap pintu dan mendapati orang itu melakukan hal sama. Pria itu menatap Claire. Senyumannya adalah hal terakhir yang dia lihat sebelum pintu lift tertutup. Claire menautkan alisnya. Apa tadi itu senyuman? Kenapa Claire merasa yang dia lihat adalah seringai? Apa ada yang salah dengan penampilannya? Claire mengecek dirinya yang terpantul di pintu lift, dia juga memutar tubuhnya untuk melihat bagian belakang. Tidak ada yang salah dengan penampilannya. Claire mengedikkan bahunya. Huh. Dasar aneh.
***
Claire kembali ke rumahnya pukul enam sore dengan empat paper bag di tangannya. Ibunya sudah menyambut begitu dia membuka pintu rumah.
“Akhirnya kamu pulang, Nak!” Nyonya Wilson langsung mengambil paper bag yang dipegang Claire dan melihat isi masing-masing.
“Cepat siap-siap,” Nyonya Wilson merasa puas dengan pilihan puterinya.
“Saran Mama pakai dress yang berwarna peach.”
“Kenapa?” Claire bertanya bingung.
“Apa kita akan menghadiri acara?” Ibunya menarik Claire menuju tangga.
“Sebentar lagi Ayah dan Kakakmu pulang. Dia mengundang rekan bisnisnya makan malam di rumah,” alis Claire bertaut. Seumur hidup, belum pernah ayahnya mengundang rekan bisnisnya makan malam di rumah. Jika ada makan malam bisnis, itu selalu dilakukan di restoran. Dan yang paling penting, dia tidak pernah ikut dengan ayahnya.
“Berdandan yang cantik, Sayang. Mama akan memanggilmu jika Ayah sudah sampai,” ujar Nyonya Wilson setelah mereka sampai di kamar Claire.
“Apa aku harus ikut? Aku ingin istirahat sebentar. Lagipula, aku masih kenyang, Ma.”
“Ini pertemuan yang penting.” Nyonya Wilson tersenyum kecil lalu pergi. Claire membuka pintu kamarnya sambil berpikir. Sepenting apa pertemuan itu? Apa ayahnya ingin membuat Claire bergabung di perusahaan keluarga mereka dengan cara melibatkannya dalam makan malam bisnis? Claire menggelengkan kepalanya. Dia sudah mengatakan berulang kali kalau dia tidak mau bekerja di perusahaan ayahnya, tidak dalam waktu dekat ini. Alasan Claire klise. Dia tidak mau mendapatkan jabatan karena dia anggota keluarga pemilik perusahaan itu. Dia ingin memperbanyak pengalamannya dengan bekerja di perusahaan lain.
Claire meletakkan paper bag-nya di meja lalu duduk di sofa. Dia mengambil ponselnya dari tas dan menelepon ayahnya.
“Halo, Princess,” Ayahnya menjawab dengan panggilan sayangnya untuk Claire sejak kecil.
“Aku tidak mau ikut makan malam bisnis,” balas Claire langsung pada intinya.
“Makan malam bisnis?” Ya ampun. Kenapa ayahnya harus pura-pura tidak tahu?
“Ayah mengundang rekan bisnis Ayah makan malam di rumah. Aku tidak mau ikut. Ini pasti cara Ayah agar aku bekerja di perusahaan.” James Wilson terkekeh.
“Wah, pikiranmu buruk sekali terhadap Ayah,”
“Bagaimana tidak? Ayah sendiri yang mengajarkan jika penampilan merupakan salah satu faktor penting untuk membuat rekan bisnis terkesan. Mama menyuruhku berdandan cantik malam ini,” ujar Claire sambil melepas sepatu haknya.
“Kamu lakukan itu, Nak. Tapi, Ayah janji, ini bukan rencana Ayah untuk mempekerjakan dirimu di perusahaan. Ayah hanya ingin kamu hadir,” Claire bernapas lega. Dia tidak mau berdebat karena topik yang sama dengan ayahnya.
“Baiklah. Sampai jumpa, Ayah.”
“Sampai jumpa, Princess.” Claire meletakkan handphonenya di meja lalu beranjak dari sofa. Dia harus siap-siap. Walaupun dia tidak menyukainya, dia akan berdandan untuk mengesankan siapa pun itu tamu ayahnya.
Claire mendengar suara dari ruang tamu saat dia menuruni tangga. Dia tidak mau menunggu panggilan ibunya karena dia sudah selesai. Semakin cepat makan malam ini dimulai, semakin cepat acara itu berakhir. Claire memasang senyum di wajahnya dan memasuki ruang tamu. Semua orang menoleh ke arahnya. Claire berhenti, senyumnya memudar. Tamu yang ada di ruang tamu mereka tidak seperti yang dia bayangkan. “Mama baru akan memanggilmu, Nak,” Nyonya Wilson bangkit dan mengarahkan Claire untuk berdiri di hadapan tamu mereka. Claire melihat ke arah ayah dan kakaknya sebentar—keduanya tersenyum padanya—lalu menatap tamu yang ada di hadapannya. Dua orang yang terlihat berusia di akhir umur lima puluhan dan satu orang yang terlihat di akhir umur dua puluhan. “Kenalkan, Nak,” ayahnya berdiri. “Ini rekan bisnis Ayah. Edward Collins dan istrinya Mitchell Collins.” Mereka dan pria yang Claire pikir pasti anak mereka berdiri. Edward menjabat tangan Claire dengan tersenyum. “Kau memiliki putri yang cant
Claire menyelamati dirinya dalam hati karena bisa bertahan untuk tetap bersikap sopan sampai tamu orang tuanya pulang. Dia bahkan pantas diberi piala karena tetap tenang saat Andrew memegang tangan dan mengecup punggung tangannya sebelum pria itu pamit. “Aku tidak percaya kalian bisa melakukan ini padaku,” ucap Claire begitu mobil keluarga Collins keluar dari kediaman keluarganya. “Kalian menganggapku apa? Barang yang bisa dijual?” Claire meluapkan emosinya. “Claire, Sayang, kita bisa bicarakan ini di dalam.” Claire ingin berontak, tapi, Nyonya Wilson sudah lebih dulu menariknya ke dalam rumah. Mereka berkumpul di ruang keluarga. “Kenapa?” “Karena ini bagus untuk perusahaan, Princess.” “Aku tidak merasa seperti seorang puteri sekarang.” Claire melihat ayahnya marah. Bagaimana bisa Tuan Wilson memanggilnya Princess setelah beliau menjatuhkan bom besar yang disebut perjodohan? “Yang aku tahu puteri menikahi pangeran yang dia cintai,” Claire menarik napas dan mengeluarkannya. Teta
Claire masih diliputi kemarahan saat dia sampai di club.“A shot of tequila, please.” Pesan Claire pada bartender. Dia meminta teman-temannya, Evelyn, Mia, dan Alicia untuk menemuinya di Paradise Club.“Hari yang buruk?” bartender menyodorkan tequila pada Claire. Claire langsung meminumnya dalam sekali teguk.“Isi terus sampai aku bilang berhenti.” Claire mengabaikan pertanyaan bartender. Dia tidak tahu apakah ayahnya membatalkan perjodohan dengan Andrew atau tidak. Dia bukan hanya marah, tapi, kecewa dan sedih. Ibunya, orang yang sangat dia sayangi tidak memberitahu Claire tentang maksud pertemuan makan malam bisnis ayahnya. Beliau malah menyuruhnya membeli dress yang cantik. Rasa terkhianatinya lebih parah dibandingkan dengan ayah dan kakaknya karena dia selalu cerita pada ibunya.“Pelan-pelan. Kau bisa mabuk dalam waktu singkat jika minum seperti itu.” Si bartender memperingatkan Claire karena dia sudah empat kali mengisi gelas pelanggannya. Bartender itu meninggalkan Claire setela
“Aku masih ingin menciummu.” Kedua tangan Jayden langsung memegang wajah Claire sebelum wanita itu bisa mendaratkan bibirnya pada bibir Jayden. Dia tidak bisa bermain lebih lama lagi atau dia akan meledak.“I want you. Aku tidak bisa menahannya lagi,” Jayden menatap Claire dalam.“Come with me,” suara Jayden lembut merayunya.“Aku akan memuaskanmu bukan hanya dengan ciuman.” Claire melihat bibir Jayden. Ajakannya sangat menggoda, tubuhnya panas menginginkan lebih dari ciuman. Namun, bisakah dia melakukan one night stand?“Kau menginginkannya.” Claire menghadapkan tubuhnya ke meja bar dan meminum tequila-nya. Mungkin ini terakhir kalinya dia bisa melakukan apa yang dia mau. One night stand? Itu bukan hal yang besar. Jika teman-temannya bisa melakukan itu, dia juga pasti bisa. Claire hendak minum lagi, tapi sadar gelasnya kosong. Dia mengambil vodka Jayden dan menegaknya habis.“Aku menginginkannya.” Dua kata itu langsung membuat Jayden berdiri dan menarik Claire keluar dari club. Dia m
“Pemotretan selesai untuk hari ini!” Jayden berjalan menuju photographer untuk melihat hasil pengambilan gambarnya.“Hasilnya sangat bagus,” ujar Anthony menunjukkan gambar-gambar di kamera pada Jayden.“Ivy tidak salah menjadikanmu sebagai brand ambassador produk fashion-nya.” Jayden merasa puas setiap mendengar pujian dari rekan kerja-samanya. Dia melakukan pekerjaan yang dia geluti sejak umur dua puluh dua tahun dengan baik. Jayden sudah punya nama di dunia permodelan. Dia jadi brand ambassador beberapa merk fashion, mobil, skincare, perhiasan terkenal di dunia dan menjadi kameo di beberapa drama.“Sampai jumpa di pemotretan berikutnya.” Jayden pamit untuk mengganti pakaian, setelah itu pergi dari studio foto.“Jayden!” suara itu membuat Jayden menoleh ke belakang. Kevin Smith menghampirinya. Dia adalah rekan model yang bernaung di agensi yang sama cabang New York.“Let’s grab a drink. It’s been so long, Man.” Jayden tersenyum. Sudah satu tahun sejak dia datang ke New York, mereka
“Siapa dia, Claire?” tanya Alicia untuk kesekian kalinya. Sepanjang perjalanan pulang Claire terus menghindari pertanyaan Alicia.“Bukan siapa-siapa.” Claire duduk di sofa. Jayden memang bukan siapa-siapa baginya. Mereka kebetulan bertemu, itu bukan hal yang penting.“Dia teman dari teman yang mana? Tidak mungkin aku tidak tahu,” Alicia tidak mau mengakhiri pembicaraan mereka begitu saja.“Temanku yang lain. Kalian tidak mengenalnya.”“Lalu kenapa kau tidak mengatakan namamu yang sebenarnya?” Claire terdiam. Dia tidak menyangka Alicia seteliti itu.“Dia pasti tahu namamu jika ‘dia teman dari temanmu’.” Alicia menyilangkan tangannya di dada melihat Claire puas. Dia tidak bisa mengelak sekarang. Claire menghela napas karena tidak tahu bagaimana membalas Alicia selain berkata jujur.“Kami bertemu di club. Dia ... kami melakukan one night stand.” Claire mengatakan lima kata terakhirnya dengan cepat. Ini membuat Alicia duduk di samping Claire.“You did it? Kenapa?” Alicia pikir Claire akan
“Jangan melihat ke arah lain,” Jayden memegang wajah Claire dengan kedua tangannya.“Apa kau meninggalkan sihir padaku sebelum pergi?” Kenapa Jayden menatapnya seperti itu? Seolah dia kangen pada Claire.“Aku terus menginginkanmu, Claire.” Kalimat itu menggelitik hati Claire.“Jayden aku .... ” Claire berhenti. Dia tidak bisa mengatakan dia bukan wanita yang biasa melakukan one night stand karena sepertinya Jayden orang yang biasa melakukannya. Claire tidak tahu seperti apa reaksi Jayden jika dia mengatakannya. Malam itu dia melakukannya karena tekanan perjodohan dan pengaruh alkohol. Ya, alkohol. What a lame excuse.“Jangan berpikir terlalu rumit karena ini sederhana,” Jayden mendekatkan wajahnya pada wajah Claire.“Aku menginginkanmu dan kau juga menginginkanku.” Napas Jayden yang beraroma vodka menyapu wajahnya. Claire bohong jika dia tidak pernah memikirkan Jayden. Wajah tampan miliknya tidak diciptakan untuk dilupakan dan memikirkan Alicia mendekati Jayden membuatnya tidak rela.
“Jadi, apa kegiatanmu?” tanya Jayden sambil mengemudikan mobilnya menuju alamat yang Claire berikan. Awalnya wanita itu menolak diantar, tapi Jayden memaksa.“Bekerja.” Jawaban singkat Claire membuat Jayden mencengkeram setir. Claire tetap pada batasannya. Dia seperti dihadapkan pada dirinya versi wanita.“Aku ingin minta tolong padamu,” Claire melihat Jayden. Bukankah hubungan mereka hanya sebatas one night stand? Apa minta tolong tidak berlebihan?“Ini pertama kalinya aku ke New York.”“Kau tidak tinggal di sini, maksudku bukan warga New York?” Jayden menggelengkan kepalanya.“Aku dari Seoul.” Claire melihat Jayden tidak percaya.“Tapi, kau hapal jalan di sini,” pria itu tahu belokan mana yang harus diambil untuk menuju apartemen Alicia.“Aku mendengarkan GPS, Sayang.” Balas Jayden sambil mengetuk earphone di telinga kanannya. Ah, tentu saja dia tahu jika menggunakan GPS.“Jadi, ini pertama kali aku New York. Aku tinggal sekitar satu minggu lagi di sini dan aku ingin mengunjungi des