Share

Bab 1 Tuan Puteri

Dering ponsel memecah keheningan di ruangan itu. Pemiliknya belum terusik, dia nyenyak tidur. Suara ponselnya berhenti, tapi tak lama kemudian kembali berdering. Si pemilik mengerang. Dia meraba tempat tidur sampai tangannya menyentuh benda itu.

“Halo,” jawabnya serak. Tenggorokannya terasa kering.

“Claire, kamu di mana, Nak?” tanya ibunya. Setelah makan malam merayakan kelulusan dengan keluarganya, Claire pergi bersama teman-temannya dan dia tidak pulang ke rumah. Claire bangun lalu menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.

“Aku di rumah teman, Ma‚” jawab Claire berbohong. Dia di kamar hotel. Ayahnya pasti marah jika dia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk.

“Kamu pulang ke rumah hari ini, ‘kan?”

“Iya, Ma. Nanti sore,” Claire melihat jam yang tertera di ponselnya. Jam sepuluh pagi. Dia melihat ke arah jendela kamar. Claire tidak bisa melihat apa pun karena jendela tertutup tirai berwarna gelap.

“Apa kamu ada kegiatan dengan temanmu? Mama ingin mengajakmu belanja.”

“Aku akan belanja dengan Evelyn nanti‚” Claire memberi alasan karena keadaannya yang belum kembali normal.

“Baiklah. Pastikan kamu membeli dress yang cantik, Sayang.”

“Siap, Nyonya Park,” canda Claire, menyebut marga ibunya sebelum beliau menikah dengan ayahnya.

“Sampai nanti, Ma.”

Bye, Sayang.” Claire meletakkan ponselnya dan bangkit dari tempat tidur. Dia langsung menuju kamar mandi. Claire meringis begitu melihat pantulan dirinya di cermin. Eye make-up yang luntur membuatnya terlihat mengerikan. Dia segera membersihkan dirinya. Setelah selesai, dia keluar dari kamar mandi dengan menggunakan bathrobe. Claire duduk di tempat tidur, mengambil ponselnya lalu memesan pakaian secara online. Dia juga memesan makanan dari kamarnya. Ponselnya berdering saat wanita itu hendak beranjak dari tempat tidur. Panggilan dari temannya, Evelyn.

“Hai, Eve!”

“Kau sudah sadar.”

“Aku tidak semabuk itu,” protes Claire.

“Terima kasih sudah mengantarku semalam,” jika saja Evelyn tidak tinggal bersama tunangannya, dia pasti menginap di apartemen temannya.

“Kau sudah mengatakan itu,” Claire berjalan menuju jendela, menyibak tirai dan melihat kesibukan kota New York.

“Jam berapa kau kemari?”

“Setelah aku sarapan dan pakaianku datang.”

“Baiklah. Sampai jumpa.” Saat itu bel kamarnya berbunyi. Dia berjalan menuju pintu dan membukanya kecil.

Room service, Miss.” Ucap waiter restoran hotel tempat dia menginap. Dia membuka pintu kamar lebih lebar, memberi ruang untuk waiter mendorong trolley ke dalam kamar lalu pergi ke ruang tidur untuk mengambil beberapa lembar uang.

“Ini untukmu,” Claire melihat name tag waiter yang sudah selesai meletakkan sarapan yang dia pesan ke meja.

“Robert.” Si waiter menerima tip dari Claire dan tersenyum.

Thank you and have a nice day, Miss.”

“Kamu juga. Tolong tutup pintunya, Robert.”

“Baik, Miss Wilson.” Claire duduk di kursi makan dan menyantap American Breakfast yang ada di depannya. Sambil sarapan, Claire memikirkan apa yang dia lakukan selanjutnya. Dia akan melamar kerja di perusahaan tempat dia magang. Bel kamarnya menghentikan pikiran Claire. Wanita itu membuka pintu dan mendapati bellboy memegang paper bag dengan nama butik langganannya.

“Selamat pagi, Miss. Ini pesanan untuk Miss Claire Wilson,” Claire menerimanya. Dia juga memberi tip pada bellboy. Memberi tip saat berada di hotel adalah keharusan untuk Claire. Itu memberi kesenangan dan membuat pegawai hotel semangat melakukan pekerjaannya.

“Terima kasih sudah mengantar pesanan saya.” Bellboy itu tersenyum.

“Terima kasih kembali, Miss Wilson. Semoga hari anda menyenangkan.” Claire mengangguk lalu menutup pintu kamar hotel. Dia kembali ke meja makan dan menyelesaikan sarapannya.

Claire mengeluarkan pakaian dari paper bag, melepas price tag pakaian yang dia pesan lalu memakainya. Dia mengambil tas yang berada di nakas, dan pergi ke kamar mandi. Di sana dia menyisir rambut dan memakai lipstik. Setelah puas melihat dirinya di cermin, Claire memungut dress yang dia tinggalkan di lantai kamar mandi. Memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Claire keluar dari kamar dan berjalan menuju lift. Dia menekan panel tombol bawah dan menunggu. Tak lama lift berhenti di lantainya.

Pintu terbuka, hanya ada satu orang di dalamnya. Claire dan orang itu yang terlihat berdarah Asia sama-sama bergerak. Claire ke dalam dan orang itu keluar lift. Dia berbalik menghadap pintu dan mendapati orang itu melakukan hal sama. Pria itu menatap Claire. Senyumannya adalah hal terakhir yang dia lihat sebelum pintu lift tertutup. Claire menautkan alisnya. Apa tadi itu senyuman? Kenapa Claire merasa yang dia lihat adalah seringai? Apa ada yang salah dengan penampilannya? Claire mengecek dirinya yang terpantul di pintu lift, dia juga memutar tubuhnya untuk melihat bagian belakang. Tidak ada yang salah dengan penampilannya. Claire mengedikkan bahunya. Huh. Dasar aneh.

***

Claire kembali ke rumahnya pukul enam sore dengan empat paper bag di tangannya. Ibunya sudah menyambut begitu dia membuka pintu rumah.

“Akhirnya kamu pulang, Nak!” Nyonya Wilson langsung mengambil paper bag yang dipegang Claire dan melihat isi masing-masing.

“Cepat siap-siap,” Nyonya Wilson merasa puas dengan pilihan puterinya.

“Saran Mama pakai dress yang berwarna peach.”

“Kenapa?” Claire bertanya bingung.

“Apa kita akan menghadiri acara?” Ibunya menarik Claire menuju tangga.

“Sebentar lagi Ayah dan Kakakmu pulang. Dia mengundang rekan bisnisnya makan malam di rumah,” alis  Claire bertaut. Seumur hidup, belum pernah ayahnya mengundang rekan bisnisnya makan malam di rumah. Jika ada makan malam bisnis, itu selalu dilakukan di restoran. Dan yang paling penting, dia tidak pernah ikut dengan ayahnya.

“Berdandan yang cantik, Sayang. Mama akan memanggilmu jika Ayah sudah sampai,” ujar Nyonya Wilson setelah mereka sampai di kamar Claire.

“Apa aku harus ikut? Aku ingin istirahat sebentar. Lagipula, aku masih kenyang, Ma.”

“Ini pertemuan yang penting.” Nyonya Wilson tersenyum kecil lalu pergi. Claire membuka pintu kamarnya sambil berpikir. Sepenting apa pertemuan itu? Apa ayahnya ingin membuat Claire bergabung di perusahaan keluarga mereka dengan cara melibatkannya dalam makan malam bisnis? Claire menggelengkan kepalanya. Dia sudah mengatakan berulang kali kalau dia tidak mau bekerja di perusahaan ayahnya, tidak dalam waktu dekat ini. Alasan Claire klise. Dia tidak mau mendapatkan jabatan karena dia anggota keluarga pemilik perusahaan itu. Dia ingin memperbanyak pengalamannya dengan bekerja di perusahaan lain.

Claire meletakkan paper bag-nya di meja lalu duduk di sofa. Dia mengambil ponselnya dari tas dan menelepon ayahnya.

“Halo, Princess,” Ayahnya menjawab dengan panggilan sayangnya untuk Claire sejak kecil.

“Aku tidak mau ikut makan malam bisnis,” balas Claire langsung pada intinya.

“Makan malam bisnis?” Ya ampun. Kenapa ayahnya harus pura-pura tidak tahu?

“Ayah mengundang rekan bisnis Ayah makan malam di rumah. Aku tidak mau ikut. Ini pasti cara Ayah agar aku bekerja di perusahaan.” James Wilson terkekeh.

“Wah, pikiranmu buruk sekali terhadap Ayah,”

“Bagaimana tidak? Ayah sendiri yang mengajarkan jika penampilan merupakan salah satu faktor penting untuk membuat rekan bisnis terkesan. Mama menyuruhku berdandan cantik malam ini,” ujar Claire sambil melepas sepatu haknya.

“Kamu lakukan itu, Nak. Tapi, Ayah janji, ini bukan rencana Ayah untuk mempekerjakan dirimu di perusahaan. Ayah hanya ingin kamu hadir,” Claire bernapas lega. Dia tidak mau berdebat karena topik yang sama dengan ayahnya.

“Baiklah. Sampai jumpa, Ayah.”

“Sampai jumpa, Princess.” Claire meletakkan handphonenya di meja lalu beranjak dari sofa. Dia harus siap-siap. Walaupun dia tidak menyukainya, dia akan berdandan untuk mengesankan siapa pun itu tamu ayahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status