Claire mendengar suara dari ruang tamu saat dia menuruni tangga. Dia tidak mau menunggu panggilan ibunya karena dia sudah selesai. Semakin cepat makan malam ini dimulai, semakin cepat acara itu berakhir. Claire memasang senyum di wajahnya dan memasuki ruang tamu. Semua orang menoleh ke arahnya. Claire berhenti, senyumnya memudar. Tamu yang ada di ruang tamu mereka tidak seperti yang dia bayangkan.
“Mama baru akan memanggilmu, Nak,” Nyonya Wilson bangkit dan mengarahkan Claire untuk berdiri di hadapan tamu mereka. Claire melihat ke arah ayah dan kakaknya sebentar—keduanya tersenyum padanya—lalu menatap tamu yang ada di hadapannya. Dua orang yang terlihat berusia di akhir umur lima puluhan dan satu orang yang terlihat di akhir umur dua puluhan.
“Kenalkan, Nak,” ayahnya berdiri.
“Ini rekan bisnis Ayah. Edward Collins dan istrinya Mitchell Collins.” Mereka dan pria yang Claire pikir pasti anak mereka berdiri. Edward menjabat tangan Claire dengan tersenyum.
“Kau memiliki putri yang cantik, Irene,” ucap Nyonya Collins sambil tersenyum dan menjabat tangan. Claire juga menjabat tangan Mitchell dan tersenyum tipis walaupun perasaannya tidak enak.
“Dan ini putra mereka Andrew Collins,” Andrew mengulurkan tangannya, tapi, Claire tidak menjabat tangan pria itu. Pikirannya berkecamuk. Dia tidak mau berpikiran buruk, tapi, tidak bisa mencegahnya. Ini bukan tentang makan malam bisnis. Dia berpikir ayahnya ingin menjodohkan dirinya dengan Andrew. Pertemuan ini untuk mengenalkannya dengan Andrew.
“Andrew Collins.” Claire baru menjabat tangan pria itu saat ibunya menyentuh tubuh bagian belakangnya.
“Claire Wilson.” Balas Claire. Wajah Andrew tidak asing. Pria itu pernah menjadi cover beberapa majalah bisnis karena prestasinya dalam memberikan penghasilan yang besar pada perusahaannya. Collins Corp adalah salah satu perusahaan terbesar di Amerika, dan semenjak Andrew menjadi Direktur perusahaan itu, perusahaannya semakin terkenal.
“Puteriku lulus sebagai mahasiswa terbaik di fakultasnya.” Ucap Tuan Wilson bangga.
“Selamat, Claire. Kamu sudah siap bergabung dengan Ayah dan Kakakmu?” Claire hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Tuan Collins. Saat itu kepala asisten rumah tangga mereka menghampiri Nyonya Clinton, berbisik pada Nyonya rumahnya lalu mengundurkan diri.
“Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan ini setelah makan malam.” Semua orang setuju dan ibu Claire mengarahkan tamu mereka menuju ruang makan. Claire menarik kakaknya berjalan bersama di belakang.
“Apa kau tahu tujuan pertemuan ini?” bisik Claire pada Christian.
“Bisnis.” Jawab Christian singkat lalu meninggalkan adiknya di belakang sendiri. Claire membuang napasnya kasar. Perasaan buruknya tidak hilang.
Semua sudah mengambil tempat duduk, menyisakan kursi kosong yang berhadapan dengan Andrew. Claire menempatinya. Pandangannya langsung bertabrakan dengan Andrew begitu dia melihat ke depan. Pria itu tersenyum padanya. Claire mengalihkan pandangan ke steak yang ada di hadapannya. Ia ingin pertemuan ini segera berakhir. Dia hanya fokus menyantap steak-nya sampai semua orang selesai makan dan asisten rumah tangga membersihkan piring dari meja makan.
“Edward adalah orang yang sudah lama menjadi rekan bisnis Ayah, Claire,” Claire mengalihkan pandangannya dari wine yang dia pegang begitu namanya disebut. Dia melihat ayahnya yang duduk di kursi utama meja makan.
“Kami ingin melanjutkan hubungan ini lebih lanjut dengan menjadi keluarga,” para orang tua yang ada di ruangan itu terlihat senang dan menatapnya sambil tersenyum. Claire melihat ayah, ibu, dan terakhir pada kakaknya. Dia menatap Christian lama. Tidak mungkin Christian tidak tahu rencana ayahnya. Ibunya juga keterlaluan. Beliau tidak mengatakan apa pun. Claire merasa dikhianati. Dia ingin keluar dari sana, tapi sopan santun menahan dirinya.
“Kami bermaksud menjodohkan kalian,” lanjut Tuan Wilson.
“Tentu saja kalian mempunyai waktu untuk saling mengenal,” Tuan Collins menyambung ucapan ayahnya.
“Apa aku bisa bicara dengan Andrew sebentar?” Claire menatap Tuan Wilson keras. Dia marah dan kecewa karena beliau tidak memberitahunya.
“Tentu, Claire. Kami akan mengatur semuanya. Kalian bisa saling mengenal dari sekarang.” Tuan Collins yang menjawab pertanyaannya. Claire berdiri. Dia berjalan meninggalkan ruang makan. Mereka tidak menanyakan pendapatnya tentang perjodohan ini dan langsung berasumsi dia menerimanya. Claire berhenti karena merasa Andrew tidak mengikutinya. Wanita itu mendesah berat. Baru dia akan kembali ke ruang makan, Andrew muncul di hadapannya. Claire berusaha menahan diri agar rasa kesal yang dia rasakan tidak terlihat di wajahnya. Wanita itu melanjutkan langkahnya membawa Andrew menuju taman.
“Kau setuju dengan perjodohan ini?” tanya Claire begitu mereka sampai di taman.
“Aku tidak punya alasan untuk menolak,” Claire mengumpat dalam hati. Hanya dia yang tidak tahu tentang rencana besar kedua keluarga. Sepertinya perjodohan mereka sudah lama direncanakan.
“Aku tidak tahu tujuan pertemuan ini sebelumnya,”
“Kau sudah tahu sekarang,” Claire tidak bisa menyembunyikan kekesalannya lagi. Apa-apaan jawaban pria itu? Dia seperti tidak memiliki emosi.
“Aku menolak perjodohan ini. Aku akan memberitahu orangtuaku.” Niat Claire untuk kembali ke dalam rumah terhenti karena ucapan Andrew.
“Kenapa? Perjodohan ini membawa keuntungan untuk kedua keluarga,” Claire menatap Andrew lama. Wajahnya yang tampan, manik matanya yang berwarna hijau, dan rambutnya yang pirang tidak bisa meredakan kekesalan Claire.
“Kau akan menikah hanya untuk keuntungan keluarga?” Andrew menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu lebih baik kau cari wanita lain karena aku tidak mau melakukannya,” balasan tegas Claire tidak membuat Andrew mundur.
“Kenapa? Apa lagi yang dibutuhkan wanita sepertimu? Semua wanita pasti iri padamu jika kita menikah,” Andrew tidak dirugikan dengan perjodohan ini. Perusahaannya akan semakin besar dan dia memiliki istri yang cantik. Claire terlihat sempurna di sampingnya. Keberadaannya akan bagus untuk menghadiri pesta bisnis.
“Aku tidak mencintaimu. Aku tidak bisa menikah tanpa cinta,” ucap Claire tegas.
“Kau ingin cinta?” Andrew terkekeh. Dia tidak menduga wanita seperti Claire peduli dengan cinta. Cinta tidak diperlukan dalam pernikahan, itu tidak bisa melengkapi kebutuhan wanita dengan status sosial seperti Claire. Walaupun begitu, Andrew akan menghiburnya.
“Aku bisa memberimu cinta,” Andrew melihat Claire dari kepala sampai kaki dan dia sangat puas dengan apa yang dia lihat. Jika bukan karena etika, dia akan mengajak Claire ke penthouse-nya sekarang.
“Akan sangat mudah untuk memberimu cinta,” Claire mengepalkan tangannya. Dia menahan diri untuk tidak mengumpat di depan pria itu. Claire tidak menyangka ayahnya menjodohkan dia dengan laki-laki tidak berperasaan ini.
“Menurutmu, pernikahan itu apa?” tanya Claire seolah menantang pria di depannya.
“Bisnis,” Andrew tidak perlu berpikir untuk menjawab Claire.
“Pernikahan bukan hanya tentang dua orang, Claire. Kau juga harus memikirkan apa yang terbaik untuk keluargamu. Apa gunanya menikah jika merugikan keluargamu? Kau tidak akan bahagia,” Claire menggelengkan kepalanya. Pandangan mereka sangat berbeda.
“Aku akan sangat menderita jika menikah denganmu. Lebih baik kau mencari wanita yang sepemikiran denganmu. Dengan begitu kau bisa menjalani pernikahanmu seperti kau menjalankan bisnismu.” Claire masuk ke dalam rumah. Tidak peduli Andrew mengikutinya atau tidak. Pria itu akan memperlakukannya seperti boneka jika mereka menikah. Memikirkannya saja sudah membuat Claire ngeri. Cara pria itu melihatnya juga membuat Claire muak. Dasar laki-laki. Hanya berpikir dengan alat kelaminnya.
Andrew hanya bisa melihat kepergian Claire. Ini pertama kalinya dia ditolak. Dia bahkan belum mengutarakan kemewahan apa saja yang bisa dia berikan pada Claire. Wanita lain pasti akan langsung melemparkan diri padanya, tapi, Claire bahkan terlihat tidak tertarik pada Andrew.
“Ini menyenangkan,” Andrew semakin ingin perjodohan ini terjadi. Dia ingin menunjukkan pada Claire bahwa dia bisa memberikan wanita itu cinta yang sangat dia inginkan. Cinta hanya bonus dalam pernikahan untuk orang-orang seperti mereka. Namun, untuk Claire, Andrew akan membuat cinta sebagai kewajiban yang harus dia berikan pada Claire. Andrew melangkahkan kakinya menuju rumah. Penolakan Claire membuatnya merasa tertantang. Dia tidak pernah gagal sebelumnya, dia juga tidak akan gagal mendapatkan Claire.
“I’m coming for you, Sweetheart.”
Claire menyelamati dirinya dalam hati karena bisa bertahan untuk tetap bersikap sopan sampai tamu orang tuanya pulang. Dia bahkan pantas diberi piala karena tetap tenang saat Andrew memegang tangan dan mengecup punggung tangannya sebelum pria itu pamit. “Aku tidak percaya kalian bisa melakukan ini padaku,” ucap Claire begitu mobil keluarga Collins keluar dari kediaman keluarganya. “Kalian menganggapku apa? Barang yang bisa dijual?” Claire meluapkan emosinya. “Claire, Sayang, kita bisa bicarakan ini di dalam.” Claire ingin berontak, tapi, Nyonya Wilson sudah lebih dulu menariknya ke dalam rumah. Mereka berkumpul di ruang keluarga. “Kenapa?” “Karena ini bagus untuk perusahaan, Princess.” “Aku tidak merasa seperti seorang puteri sekarang.” Claire melihat ayahnya marah. Bagaimana bisa Tuan Wilson memanggilnya Princess setelah beliau menjatuhkan bom besar yang disebut perjodohan? “Yang aku tahu puteri menikahi pangeran yang dia cintai,” Claire menarik napas dan mengeluarkannya. Teta
Claire masih diliputi kemarahan saat dia sampai di club.“A shot of tequila, please.” Pesan Claire pada bartender. Dia meminta teman-temannya, Evelyn, Mia, dan Alicia untuk menemuinya di Paradise Club.“Hari yang buruk?” bartender menyodorkan tequila pada Claire. Claire langsung meminumnya dalam sekali teguk.“Isi terus sampai aku bilang berhenti.” Claire mengabaikan pertanyaan bartender. Dia tidak tahu apakah ayahnya membatalkan perjodohan dengan Andrew atau tidak. Dia bukan hanya marah, tapi, kecewa dan sedih. Ibunya, orang yang sangat dia sayangi tidak memberitahu Claire tentang maksud pertemuan makan malam bisnis ayahnya. Beliau malah menyuruhnya membeli dress yang cantik. Rasa terkhianatinya lebih parah dibandingkan dengan ayah dan kakaknya karena dia selalu cerita pada ibunya.“Pelan-pelan. Kau bisa mabuk dalam waktu singkat jika minum seperti itu.” Si bartender memperingatkan Claire karena dia sudah empat kali mengisi gelas pelanggannya. Bartender itu meninggalkan Claire setela
“Aku masih ingin menciummu.” Kedua tangan Jayden langsung memegang wajah Claire sebelum wanita itu bisa mendaratkan bibirnya pada bibir Jayden. Dia tidak bisa bermain lebih lama lagi atau dia akan meledak.“I want you. Aku tidak bisa menahannya lagi,” Jayden menatap Claire dalam.“Come with me,” suara Jayden lembut merayunya.“Aku akan memuaskanmu bukan hanya dengan ciuman.” Claire melihat bibir Jayden. Ajakannya sangat menggoda, tubuhnya panas menginginkan lebih dari ciuman. Namun, bisakah dia melakukan one night stand?“Kau menginginkannya.” Claire menghadapkan tubuhnya ke meja bar dan meminum tequila-nya. Mungkin ini terakhir kalinya dia bisa melakukan apa yang dia mau. One night stand? Itu bukan hal yang besar. Jika teman-temannya bisa melakukan itu, dia juga pasti bisa. Claire hendak minum lagi, tapi sadar gelasnya kosong. Dia mengambil vodka Jayden dan menegaknya habis.“Aku menginginkannya.” Dua kata itu langsung membuat Jayden berdiri dan menarik Claire keluar dari club. Dia m
“Pemotretan selesai untuk hari ini!” Jayden berjalan menuju photographer untuk melihat hasil pengambilan gambarnya.“Hasilnya sangat bagus,” ujar Anthony menunjukkan gambar-gambar di kamera pada Jayden.“Ivy tidak salah menjadikanmu sebagai brand ambassador produk fashion-nya.” Jayden merasa puas setiap mendengar pujian dari rekan kerja-samanya. Dia melakukan pekerjaan yang dia geluti sejak umur dua puluh dua tahun dengan baik. Jayden sudah punya nama di dunia permodelan. Dia jadi brand ambassador beberapa merk fashion, mobil, skincare, perhiasan terkenal di dunia dan menjadi kameo di beberapa drama.“Sampai jumpa di pemotretan berikutnya.” Jayden pamit untuk mengganti pakaian, setelah itu pergi dari studio foto.“Jayden!” suara itu membuat Jayden menoleh ke belakang. Kevin Smith menghampirinya. Dia adalah rekan model yang bernaung di agensi yang sama cabang New York.“Let’s grab a drink. It’s been so long, Man.” Jayden tersenyum. Sudah satu tahun sejak dia datang ke New York, mereka
“Siapa dia, Claire?” tanya Alicia untuk kesekian kalinya. Sepanjang perjalanan pulang Claire terus menghindari pertanyaan Alicia.“Bukan siapa-siapa.” Claire duduk di sofa. Jayden memang bukan siapa-siapa baginya. Mereka kebetulan bertemu, itu bukan hal yang penting.“Dia teman dari teman yang mana? Tidak mungkin aku tidak tahu,” Alicia tidak mau mengakhiri pembicaraan mereka begitu saja.“Temanku yang lain. Kalian tidak mengenalnya.”“Lalu kenapa kau tidak mengatakan namamu yang sebenarnya?” Claire terdiam. Dia tidak menyangka Alicia seteliti itu.“Dia pasti tahu namamu jika ‘dia teman dari temanmu’.” Alicia menyilangkan tangannya di dada melihat Claire puas. Dia tidak bisa mengelak sekarang. Claire menghela napas karena tidak tahu bagaimana membalas Alicia selain berkata jujur.“Kami bertemu di club. Dia ... kami melakukan one night stand.” Claire mengatakan lima kata terakhirnya dengan cepat. Ini membuat Alicia duduk di samping Claire.“You did it? Kenapa?” Alicia pikir Claire akan
“Jangan melihat ke arah lain,” Jayden memegang wajah Claire dengan kedua tangannya.“Apa kau meninggalkan sihir padaku sebelum pergi?” Kenapa Jayden menatapnya seperti itu? Seolah dia kangen pada Claire.“Aku terus menginginkanmu, Claire.” Kalimat itu menggelitik hati Claire.“Jayden aku .... ” Claire berhenti. Dia tidak bisa mengatakan dia bukan wanita yang biasa melakukan one night stand karena sepertinya Jayden orang yang biasa melakukannya. Claire tidak tahu seperti apa reaksi Jayden jika dia mengatakannya. Malam itu dia melakukannya karena tekanan perjodohan dan pengaruh alkohol. Ya, alkohol. What a lame excuse.“Jangan berpikir terlalu rumit karena ini sederhana,” Jayden mendekatkan wajahnya pada wajah Claire.“Aku menginginkanmu dan kau juga menginginkanku.” Napas Jayden yang beraroma vodka menyapu wajahnya. Claire bohong jika dia tidak pernah memikirkan Jayden. Wajah tampan miliknya tidak diciptakan untuk dilupakan dan memikirkan Alicia mendekati Jayden membuatnya tidak rela.
“Jadi, apa kegiatanmu?” tanya Jayden sambil mengemudikan mobilnya menuju alamat yang Claire berikan. Awalnya wanita itu menolak diantar, tapi Jayden memaksa.“Bekerja.” Jawaban singkat Claire membuat Jayden mencengkeram setir. Claire tetap pada batasannya. Dia seperti dihadapkan pada dirinya versi wanita.“Aku ingin minta tolong padamu,” Claire melihat Jayden. Bukankah hubungan mereka hanya sebatas one night stand? Apa minta tolong tidak berlebihan?“Ini pertama kalinya aku ke New York.”“Kau tidak tinggal di sini, maksudku bukan warga New York?” Jayden menggelengkan kepalanya.“Aku dari Seoul.” Claire melihat Jayden tidak percaya.“Tapi, kau hapal jalan di sini,” pria itu tahu belokan mana yang harus diambil untuk menuju apartemen Alicia.“Aku mendengarkan GPS, Sayang.” Balas Jayden sambil mengetuk earphone di telinga kanannya. Ah, tentu saja dia tahu jika menggunakan GPS.“Jadi, ini pertama kali aku New York. Aku tinggal sekitar satu minggu lagi di sini dan aku ingin mengunjungi des
“Kau tidak cocok melakukan one night stand, Claire. Jangan lakukan itu lagi.” Komentar Mia terus berputar di kepalanya. Dia tidak senaif itu ‘kan? Claire bisa memisahkan kebutuhan fisik dan emosionalnya. Dia hanya tidak menyangka kalau one night stand akan seindah itu. Claire tahu batasannya.“Jangan temui model itu lagi. Dia hanya ingin menggunakan tubuhmu.” Lagi-lagi suara Mia mengusiknya. Bukankah itu tujuan one night stand? Menggunakan tubuh satu sama lain untuk memuaskan kebutuhan fisik masing-masing? Lagi, Claire tahu batasannya. Mia khawatir untuk alasan yang tidak jelas. Ponsel Claire bergetar saat dia hendak memadamkan komputernya. Dia mengabaikan benda itu dan meneruskan niatnya. Claire mengambil ponsel yang berada di samping keyboard, membukanya dan mendapati pesan dari nomor tidak dikenal.Hai, ini Jayden.“Kau tidak pulang, Claire?” Diana Brown rekan kerja Claire bertanya.“Sebentar lagi.”“Baiklah. Sampai jumpa besok.” Diana dan satu rekannya yang lain keluar dari ruanga