Dia memandangi uap kopi di depannya lalu melihat keluar jendela. Tidak ada salju yang turun, tapi, cuaca tetap dingin. Kebanyakan orang pasti memilih berada di rumah. Claire tersenyum miring. Dia tidak punya rumah di negara ini.
“Apa kau menunggu lama? Aku baru selesai shooting iklan smartphone yang akan diluncurkan bulan depan.” Terang pria yang mengambil tempat duduk di depannya. Claire memutuskan untuk tidak peduli apa pun yang pria itu lakukan beberapa waktu lalu.“Kau tidak datang bersama Aiden?” matanya menyapu seluruh kafe, berharap menemukan bocah laki-laki, puteranya di salah satu sisi kafe.“Aku menitipkannya di penitipan anak sebentar.”“Kenapa kau tidak mengajak Aiden? Aku merindukannya,” ucapan itu membuat Claire tersenyum remeh. Dia merindukan Aiden sekarang? Di mana dia saat Aiden sakit dan terus memanggilnya?“Apa kau ingin memesan sesuatu? Atau aku bisa bicara sekarang?” pria itu tertegun. Cara bicara Claire terasa dingin.“Apa yang ingin kau katakan?”“Aku merasa cukup, Jayden.” Claire menatap pria yang mengajaknya ke Seoul keras.“Aku kembali ke New York bersama Aiden hari ini.”“Apa yang kau bicarakan?!” Jayden sudah menyelesaikan masalahnya dengan mantan kekasihnya. Dia pikir setelah masalah dengan mantannya selesai dia bisa menghabiskan waktu bersama Aiden dan Claire. Sekarang wanita itu mengatakan akan kembali ke New York?“Aku tidak bisa menerima apa yang kau lakukan pada Aiden,” Jayden melihat Claire bingung. Apa yang sudah dia lakukan pada Aiden? Wajah clueless Jayden membuat Claire merasa muak.“Kau membuat Aiden mengejarmu di cuaca dingin saat dia sedang sakit!” mata Claire memanas mengingat apa yang Aiden alami.“Apa... aku tidak pernah—““Hari itu, saat skandal dengan pacarmu menjadi konsumsi publik lagi,” suaranya rendah. Claire membenci dirinya karena dia masih terpengaruh oleh hubungan Jayden.“Aku bisa terima kau menyimpan banyak hal dariku, Jayden, tapi, Aiden, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya. Apalagi dirimu.” Claire tersenyum miris.“Bagaimana kau bisa melakukan itu pada anakmu?”“Aku meninggalkan Aiden saat dia tidur,” suaranya pelan.“Anak itu sangat merindukanmu, dia terus memanggilmu saat tidur. Apa kau pikir dia tidak akan bangun ketika merasakan kau pergi?” Jayden menundukkan kepalanya. Dia tidak tahu Aiden mengejarnya. Saat itu yang dia pikirkan hanya memberi pelajaran pada Hyunjoo.“Dia jatuh saat mengejar mobilmu. Sakit, kedinginan, dia bahkan tidak memakai alas kaki! Aiden memanggilmu, tapi kau tidak berhenti,”“Claire, aku tidak tahu.” Balasnya lemah, merasa buruk hanya dengan mendengar ucapan ibu anaknya.“Jika tahu apa yang akan kau lakukan?” seharusnya dia tidak menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya. Jayden pernah meninggalkan anak mereka cukup lama hanya untuk menyelesaikan masalah dengan pacarnya.“Apa kau tidak merasa semakin Aiden besar semakin sedikit waktu yang kau habiskan dengannya?” Claire menggelengkan kepala. Dia juga punya andil atas apa yang dialami Aiden.“Aku meninggalkan semuanya bukan untuk memberikan rasa sakit pada anakku,” jika Jayden meminta Claire ikut ke Seoul dengan alasan kebahagiaan anak mereka, Claire memilih ikut ke Seoul untuk memenangkan hati Jayden.“Aku bodoh mengikutimu kemari. Semua orang yang menyayangiku mengingatkan kau bukan pria yang baik untukku, tapi, aku tidak mendengarkan mereka. Aku pikir jika aku ikut denganmu kau akan menyadari perasaanku padamu. Bukan hanya suka, Jayden, aku mencintaimu,” Claire mengatakan kata yang selama ini takut dia ungkapkan pada Jayden. Pria itu akan menghindar jika mendengar kata cinta.“Mereka benar. Hanya sebentar aku hidup bahagia denganmu lalu semuanya hancur,” Jayden dan Claire tinggal bersama tanpa status, walaupun begitu Claire merasa cukup puas karena dia bisa bersama Jayden dan anaknya.“Kau memiliki hubungan putus nyambung dengan seorang wanita dan itu membuka mataku,” Claire tertawa kecil meremehkan dirinya.“Peranku hanya sebagai ibu dari anakmu,” suaranya terdengar sangat jelas di telinga Claire.“Kau tidak akan bisa membalas perasaanku karena kau sudah mencintai wanita lain,” selanjutnya itu akan menjadi pengingat Claire untuk melupakan perasaannya pada Jayden.“Aku berusaha menerimanya, Jayden. Dan sikapmu padaku sangat membantu. Kau membuatnya jelas aku tidak perlu tahu tentang kehidupan pribadimu. Hanya Aiden yang membuatku bertahan tinggal di rumah itu,” pada akhirnya Claire menyadari rumah mewah yang dibeli Jayden untuk tempat tinggalnya tidak lebih seperti tempat singgah bagi pria itu.“Kau Ayah yang baik untuk Aiden,” Claire tersenyum.“Sayang itu tidak lama karena kau juga meninggalkannya.”“Aku tidak tahu, Claire. Aku bersumpah.”“Apa gunanya bersumpah sekarang? Aiden tidak menanyakanmu lagi setelah hari itu.”Deg!Ucapan terakhir Claire membuat jantung Jayden nyeri.“Dia sudah tahu Ayahnya tidak bisa menemaninya karena kerja. Aiden sudah terbiasa dengan alasan pekerjaan,” Claire menatap pria yang menghancurkan hatinya lama. Jayden berusaha keras untuk tidak menjadi seperti ayahnya, tapi, apa yang pria itu lakukan?“Pada akhirnya kau sama seperti ayahmu,” Claire tahu dia menjadi rendah karena mengucapkan itu. Dia tidak peduli, Claire ingin Jayden merasa terluka walau alasannya berbeda dengan luka yang dia rasakan.“Ayahmu jarang ada di rumah karena pekerjaan juga,” Jayden mengepalkan tangannya. Dia tidak sama dengan ayahnya. Kesalahan yang dia buat masih bisa diperbaiki.“Itu tidak akan terjadi lagi. Aku sudah mengakhiri hubunganku dengan Hyunjoo,” mata Claire melebar. Mereka putus, tapi, Claire tidak merasa senang mendengarnya. Tidak lama lagi Jayden pasti kembali pada wanita itu.“Aku akan tinggal di rumah bersama kalian mulai sekarang,” Jayden mengambil tangan kanan Claire dan menggenggamnya dengan kedua tangannya.“Pulang ke rumah. Aku mohon,” tatapan dan suaranya memelas. Claire melihat Jayden sendu. Dia selalu luluh jika Jayden melakukannya. Namun, tidak kali ini. Claire menarik tangannya dari genggaman Jayden.“Tidak, Jayden. Seharusnya aku tetap kukuh pada pendirianku untuk merawat Aiden sendiri. Dia tidak perlu mengemis perhatianmu jika aku tetap tinggal di New York.”“Aku akan memperbaiki kesalahanku,” Claire menggelengkan kepalanya.“Bukan hanya untuk kebaikan Aiden, ini juga untuk kebaikanku,” Intuisi Jayden berkata dia tidak akan menyukai apa yang Claire katakan selanjutnya.“Kau selalu bilang kalau kau tidak bisa menjalin hubungan serius. Faktanya kau bisa, Jayden. Kau hanya tidak bisa melakukannya denganku," Claire tersenyum sedih."Aku sadar apa pun yang kulakukan tidak akan bisa membuatmu mencintaiku. Aku hancur jika terus menunggumu membalas perasaanku. Aku harus pergi.”“Claire—““Gagal dalam hubungan hal yang biasa, semua orang pernah mengalaminya. Mungkin kau belum menemukan orang yang tepat,” Claire melihat tangannya. Dia masih saja menghibur Jayden saat dirinya terluka.“Jangan berpikir kau akan menjadi pria buruk hanya karena kegagalan orang tuamu, Jayden. Banyak orang yang memiliki hubungan—pernikahan yang harmonis di luar sana. Cari tahu apa yang membuat hubungan mereka bertahan. Kau harus mencoba berkali-kali sampai berhasil. Jangan menutup kesempatan untuk memulai hubungan,” Claire bangkit dari duduknya.“Selamat tinggal, Jayden.”Dering ponsel memecah keheningan di ruangan itu. Pemiliknya belum terusik, dia nyenyak tidur. Suara ponselnya berhenti, tapi tak lama kemudian kembali berdering. Si pemilik mengerang. Dia meraba tempat tidur sampai tangannya menyentuh benda itu. “Halo,” jawabnya serak. Tenggorokannya terasa kering. “Claire, kamu di mana, Nak?” tanya ibunya. Setelah makan malam merayakan kelulusan dengan keluarganya, Claire pergi bersama teman-temannya dan dia tidak pulang ke rumah. Claire bangun lalu menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. “Aku di rumah teman, Ma‚” jawab Claire berbohong. Dia di kamar hotel. Ayahnya pasti marah jika dia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. “Kamu pulang ke rumah hari ini, ‘kan?” “Iya, Ma. Nanti sore,” Claire melihat jam yang tertera di ponselnya. Jam sepuluh pagi. Dia melihat ke arah jendela kamar. Claire tidak bisa melihat apa pun karena jendela tertutup tirai berwarna gelap. “Apa kamu ada kegiatan dengan temanmu? Mama ingin mengajakmu belanja.” “Aku akan be
Claire mendengar suara dari ruang tamu saat dia menuruni tangga. Dia tidak mau menunggu panggilan ibunya karena dia sudah selesai. Semakin cepat makan malam ini dimulai, semakin cepat acara itu berakhir. Claire memasang senyum di wajahnya dan memasuki ruang tamu. Semua orang menoleh ke arahnya. Claire berhenti, senyumnya memudar. Tamu yang ada di ruang tamu mereka tidak seperti yang dia bayangkan. “Mama baru akan memanggilmu, Nak,” Nyonya Wilson bangkit dan mengarahkan Claire untuk berdiri di hadapan tamu mereka. Claire melihat ke arah ayah dan kakaknya sebentar—keduanya tersenyum padanya—lalu menatap tamu yang ada di hadapannya. Dua orang yang terlihat berusia di akhir umur lima puluhan dan satu orang yang terlihat di akhir umur dua puluhan. “Kenalkan, Nak,” ayahnya berdiri. “Ini rekan bisnis Ayah. Edward Collins dan istrinya Mitchell Collins.” Mereka dan pria yang Claire pikir pasti anak mereka berdiri. Edward menjabat tangan Claire dengan tersenyum. “Kau memiliki putri yang cant
Claire menyelamati dirinya dalam hati karena bisa bertahan untuk tetap bersikap sopan sampai tamu orang tuanya pulang. Dia bahkan pantas diberi piala karena tetap tenang saat Andrew memegang tangan dan mengecup punggung tangannya sebelum pria itu pamit. “Aku tidak percaya kalian bisa melakukan ini padaku,” ucap Claire begitu mobil keluarga Collins keluar dari kediaman keluarganya. “Kalian menganggapku apa? Barang yang bisa dijual?” Claire meluapkan emosinya. “Claire, Sayang, kita bisa bicarakan ini di dalam.” Claire ingin berontak, tapi, Nyonya Wilson sudah lebih dulu menariknya ke dalam rumah. Mereka berkumpul di ruang keluarga. “Kenapa?” “Karena ini bagus untuk perusahaan, Princess.” “Aku tidak merasa seperti seorang puteri sekarang.” Claire melihat ayahnya marah. Bagaimana bisa Tuan Wilson memanggilnya Princess setelah beliau menjatuhkan bom besar yang disebut perjodohan? “Yang aku tahu puteri menikahi pangeran yang dia cintai,” Claire menarik napas dan mengeluarkannya. Teta
Claire masih diliputi kemarahan saat dia sampai di club.“A shot of tequila, please.” Pesan Claire pada bartender. Dia meminta teman-temannya, Evelyn, Mia, dan Alicia untuk menemuinya di Paradise Club.“Hari yang buruk?” bartender menyodorkan tequila pada Claire. Claire langsung meminumnya dalam sekali teguk.“Isi terus sampai aku bilang berhenti.” Claire mengabaikan pertanyaan bartender. Dia tidak tahu apakah ayahnya membatalkan perjodohan dengan Andrew atau tidak. Dia bukan hanya marah, tapi, kecewa dan sedih. Ibunya, orang yang sangat dia sayangi tidak memberitahu Claire tentang maksud pertemuan makan malam bisnis ayahnya. Beliau malah menyuruhnya membeli dress yang cantik. Rasa terkhianatinya lebih parah dibandingkan dengan ayah dan kakaknya karena dia selalu cerita pada ibunya.“Pelan-pelan. Kau bisa mabuk dalam waktu singkat jika minum seperti itu.” Si bartender memperingatkan Claire karena dia sudah empat kali mengisi gelas pelanggannya. Bartender itu meninggalkan Claire setela
“Aku masih ingin menciummu.” Kedua tangan Jayden langsung memegang wajah Claire sebelum wanita itu bisa mendaratkan bibirnya pada bibir Jayden. Dia tidak bisa bermain lebih lama lagi atau dia akan meledak.“I want you. Aku tidak bisa menahannya lagi,” Jayden menatap Claire dalam.“Come with me,” suara Jayden lembut merayunya.“Aku akan memuaskanmu bukan hanya dengan ciuman.” Claire melihat bibir Jayden. Ajakannya sangat menggoda, tubuhnya panas menginginkan lebih dari ciuman. Namun, bisakah dia melakukan one night stand?“Kau menginginkannya.” Claire menghadapkan tubuhnya ke meja bar dan meminum tequila-nya. Mungkin ini terakhir kalinya dia bisa melakukan apa yang dia mau. One night stand? Itu bukan hal yang besar. Jika teman-temannya bisa melakukan itu, dia juga pasti bisa. Claire hendak minum lagi, tapi sadar gelasnya kosong. Dia mengambil vodka Jayden dan menegaknya habis.“Aku menginginkannya.” Dua kata itu langsung membuat Jayden berdiri dan menarik Claire keluar dari club. Dia m
“Pemotretan selesai untuk hari ini!” Jayden berjalan menuju photographer untuk melihat hasil pengambilan gambarnya.“Hasilnya sangat bagus,” ujar Anthony menunjukkan gambar-gambar di kamera pada Jayden.“Ivy tidak salah menjadikanmu sebagai brand ambassador produk fashion-nya.” Jayden merasa puas setiap mendengar pujian dari rekan kerja-samanya. Dia melakukan pekerjaan yang dia geluti sejak umur dua puluh dua tahun dengan baik. Jayden sudah punya nama di dunia permodelan. Dia jadi brand ambassador beberapa merk fashion, mobil, skincare, perhiasan terkenal di dunia dan menjadi kameo di beberapa drama.“Sampai jumpa di pemotretan berikutnya.” Jayden pamit untuk mengganti pakaian, setelah itu pergi dari studio foto.“Jayden!” suara itu membuat Jayden menoleh ke belakang. Kevin Smith menghampirinya. Dia adalah rekan model yang bernaung di agensi yang sama cabang New York.“Let’s grab a drink. It’s been so long, Man.” Jayden tersenyum. Sudah satu tahun sejak dia datang ke New York, mereka
“Siapa dia, Claire?” tanya Alicia untuk kesekian kalinya. Sepanjang perjalanan pulang Claire terus menghindari pertanyaan Alicia.“Bukan siapa-siapa.” Claire duduk di sofa. Jayden memang bukan siapa-siapa baginya. Mereka kebetulan bertemu, itu bukan hal yang penting.“Dia teman dari teman yang mana? Tidak mungkin aku tidak tahu,” Alicia tidak mau mengakhiri pembicaraan mereka begitu saja.“Temanku yang lain. Kalian tidak mengenalnya.”“Lalu kenapa kau tidak mengatakan namamu yang sebenarnya?” Claire terdiam. Dia tidak menyangka Alicia seteliti itu.“Dia pasti tahu namamu jika ‘dia teman dari temanmu’.” Alicia menyilangkan tangannya di dada melihat Claire puas. Dia tidak bisa mengelak sekarang. Claire menghela napas karena tidak tahu bagaimana membalas Alicia selain berkata jujur.“Kami bertemu di club. Dia ... kami melakukan one night stand.” Claire mengatakan lima kata terakhirnya dengan cepat. Ini membuat Alicia duduk di samping Claire.“You did it? Kenapa?” Alicia pikir Claire akan
“Jangan melihat ke arah lain,” Jayden memegang wajah Claire dengan kedua tangannya.“Apa kau meninggalkan sihir padaku sebelum pergi?” Kenapa Jayden menatapnya seperti itu? Seolah dia kangen pada Claire.“Aku terus menginginkanmu, Claire.” Kalimat itu menggelitik hati Claire.“Jayden aku .... ” Claire berhenti. Dia tidak bisa mengatakan dia bukan wanita yang biasa melakukan one night stand karena sepertinya Jayden orang yang biasa melakukannya. Claire tidak tahu seperti apa reaksi Jayden jika dia mengatakannya. Malam itu dia melakukannya karena tekanan perjodohan dan pengaruh alkohol. Ya, alkohol. What a lame excuse.“Jangan berpikir terlalu rumit karena ini sederhana,” Jayden mendekatkan wajahnya pada wajah Claire.“Aku menginginkanmu dan kau juga menginginkanku.” Napas Jayden yang beraroma vodka menyapu wajahnya. Claire bohong jika dia tidak pernah memikirkan Jayden. Wajah tampan miliknya tidak diciptakan untuk dilupakan dan memikirkan Alicia mendekati Jayden membuatnya tidak rela.